Oleh: Sayid Ja’far Murtadha Amili
Teks Syubhat (Tuduhan)
Kaum Syiah mengatakan bahwa para Imam as mengetahui apa yang telah dan akan terjadi, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari mereka. Ali bin Abi Thalib as adalah pintu ilmu—maka bagaimana mungkin Ali tidak mengetahui hukum tentang madzi, dan malah mengutus seseorang kepada Nabi saw untuk menanyakan hukum-hukumnya?
Jawaban
Bismillahirraḥmanirraḥim
Segala puji bagi-Nya, dan salawat serta salam atas Muhammad dan keluarga sucinya.
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Berikut ini adalah jawaban kami:
Pertama:
Belajar dari Nabi Muhammad saw bukanlah sesuatu yang tercela bagi siapa pun. Terlebih lagi, Syiah memang meyakini bahwa Nabi saw adalah guru bagi Ali as secara langsung, dan bukan dari orang lain.
Kedua:
Sebenarnya, si penanya sudah menjawab sendiri pertanyaannya. Jika memang tidak masuk akal bahwa Ali as tidak mengetahui hukum madzi—mengingat telah ditetapkan bahwa beliau adalah “pintu kota ilmu Nabi saw”—maka riwayat-riwayat yang menyebutkan demikian harus ditolak dan tidak perlu diperhatikan. Apalagi, Syiah tidak mengharuskan diri mereka untuk menerima semua hadis hanya karena tercantum dalam kitab seperti al-Kafi atau lainnya, jika di dalamnya terdapat cacat atau kelemahan.
Adapun hadis mengenai Ali as yang bertanya tentang hukum madzi terdapat dalam Shahih Bukhari, yang meriwayatkan bahwa Ali berkata, “Aku adalah seorang yang sering keluar madzi, maka aku menyuruh seseorang bertanya kepada Nabi saw karena aku adalah menantunya (menikah dengan putrinya), lalu Nabi saw bersabda, ‘Berwudulah dan basuhlah kemaluanmu.’”(1)
Padahal, hukum najisnya madzi adalah pendapat para imam dari mazhab empat, meskipun mereka menganggap mani itu suci.
Sementara, riwayat-riwayat yang sahih menurut Syiah menegaskan bahwa madzi itu suci dan tidak membatalkan wudu. Inilah yang menjadi ijmak (kesepakatan) para ulama Syiah, kecuali sebagian dari mereka seperti Ibnu Junaid yang membedakan antara madzi yang keluar karena syahwat dan yang tidak.
Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Ali as adalah orang yang sering keluar madzi, dan bahwa beliau menyuruh Miqdad untuk bertanya kepada Nabi saw tentang hal itu—juga terdapat dalam sumber-sumber Syiah, namun tidak dapat dijadikan sandaran karena isinya berbeda-beda.
- Ada yang menyebutkan Nabi saw menjawab, “Itu tidak apa-apa.”(2)
- Ada juga yang menyebutkan bahwa beliau saw berkata, “Itu mengharuskan wudu.”(3)
Ketiga:
Bisa jadi Ali as sengaja menyuruh orang lain untuk bertanya kepada Nabi saw, dengan tujuan untuk menanamkan dalam benak umat bahwa hukum syariat harus diambil dari nas (teks wahyu), bukan berdasarkan pendapat pribadi, dugaan, atau hawa nafsu.
Ali as tidak pernah mengklaim bahwa dirinya boleh berfatwa berdasarkan kehendak pribadinya, atau bahwa dia tidak perlu belajar dari siapa pun, bahkan dari Rasulullah saw sendiri.
Salawat dan salam atas hamba-hamba Allah yang dipilih, yaitu Muhammad dan keluarganya.(4)
Catatan Kaki:
- Shahih Bukhari (cetakan tahun 1309 H), jil.1, hal.38 dan (cetakan Dar al-Fikr), jil.1, hal.42.
- Tahdzib al-Aḥkam, jil.1, hal.17; al-Istibṣar, jil.1, hal.91; Wasail al-Syi’ah (Cetakan Muassasah Al al-Bayt), jil.1, hal.278; (Cetakan Dar al-Islamiyah), jil.1, hal.197.
- Tahdzib al-Aḥkam, jil.1, hal.18; al-Istibṣhar, jil.1, hal.92; Wasail al-Syi’ah (Cetakan Muassasah Al al-Bayt), jil.1, hal.279 dan 281; (Cetakan Dar al-Islamiyah), jil.1, hal.197 dan 199; lihat juga Musnad Aḥmad, jil.1, hal.82, 108, 110, 111; Musnad al-Imam al-Riḍha, jil.2, hal.140; Shahih Bukhari, jil.1, hal.42 dan 52; Sunan Nasa’i, jil.1, hal.96 dan 214; al-Sunan al-Kubra karya Baihaqi, jil.1, hal.115; Kanz al-’Ummal (Cetakan Muassasah al-Risalah), jil.2, hal.362; dan jil.9, hal.335; al-Durr al-Mantsur, jil.1, hal.285; Tarikh Madinah Dimasyq, jil.54, hal.319 dan jilid 60, hal.299; Subul al-Huda wa al-Rasyad, jil.9, hal.230.
- Sumber: Mizan al-Ḥaqq (Syubhat dan Jawaban) Sayid Ja’far Murtadha Amili, Pusat Studi Islam, cetakan pertama, 1431 H/2010 M, jil.4, pertanyaan nomor 185.