Oleh: Syekh Shaleh Karbasi
Kaum Syiah sangat memperhatikan hadis yang merupakan representasi dari sunah yang mulia, karena hadis dianggap sebagai sumber kedua dalam legislasinya Islam setelah Alquran.
Adapun pengertian hadis menurut Syiah adalah perkataan yang menceritakan ucapan, perbuatan, atau ketetapan dari seorang maksum (yang maksum, yaitu para imam yang disucikan). Dengan pengertian ini, hadis terbagi menjadi hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Maka, apa yang tidak bersumber dari maksum tidaklah dianggap sebagai hadis.
Sedangkan menurut kalangan Ahlusunnah, hadis cukup dianggap sah apabila sanadnya berakhir pada sahabat atau tabi’in (pengikut sahabat). Oleh karena itu, untuk membedakan, mereka (Ahlusunnah) terkadang menyebut riwayat yang berakhir pada sahabat atau tabi’in sebagai “atsar”.(1)
Kaum Syiah memandang bahwa ilmu hadis adalah ilmu yang mulia dan sangat bermanfaat. Oleh karena itu, para ulama Syiah telah mencurahkan segala upaya untuk menyusun ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadis. Mereka menulis buku tentang Gharib al-Hadits (makna-makna asing dalam hadis), ilmu Rijal al-Hadits (ilmu tentang para perawi hadis guna membedakan mana perawi yang terpercaya dan mana yang tidak), serta ilmu Dirayah al-Hadits (ilmu yang membahas keadaan sanad dan isi hadis, cara penerimaan dan penyampaiannya,(2) serta adab meriwayatkannya).(3)
Karena pada awalnya hadis disampaikan secara lisan (riwayah syafahiyah) sebelum kemudian ditulis (riwayah tahririyah), dan karena sebagian besar hadis disampaikan melalui jalur khabar wahid (riwayat perseorangan), yang menurut ilmu Usul Fikih tidak memberikan keyakinan pasti tentang kebenarannya dari maksum as, maka para ulama menetapkan dua ilmu penting, yaitu: ilmu Rijal dan ilmu Hadis.(4)
Ilmu Rijal adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan para perawi, seperti identitas mereka serta sifat-sifat yang menentukan diterima atau ditolaknya sebuah riwayat.(5)
Para ulama menyatakan bahwa mempelajari ilmu Rijal dan Hadis adalah syarat mutlak untuk mencapai derajat ijtihad (kemampuan mengeluarkan hukum syariat secara mandiri) dan merupakan dasar penting dalam dunia fikih. Kedua ilmu ini dianggap sebagai prasyarat penting untuk mencapai derajat ijtihad fikih dan kemampuan istinbat (mengeluarkan hukum syariat dari sumbernya).
Dalam ilmu Rijal, proses menilai perawi secara kritis disebut dengan istilah al-Jarh wa al-Ta’dil. Maksudnya adalah hasil dari penelitian mendalam terhadap kondisi perawi dari sisi kejujuran atau ketidakjujurannya. “Tsiqah” (terpercaya) berarti perawi tersebut mu‘addal (diterima), sedangkan tidak tsiqah berarti perawi tersebut majruh (ditolak) dalam istilah ilmu Rijal.(6)
Syiah memiliki keistimewaan dibanding mazhab-mazhab lainnya karena mereka menilai semua perawi tanpa kecuali untuk mengetahui apakah mereka orang yang saleh atau tidak, mukmin atau munafik. Hal ini dilakukan agar mereka hanya meriwayatkan hadis dari orang-orang yang saleh dan beriman saja.
Sedangkan kalangan Ahlusunnah tidak menilai para sahabat secara kritis, dan mereka menganggap seluruh sahabat adil tanpa kecuali, sehingga mereka tidak memasukkan para sahabat dalam proses Jarh wa Ta’dil.
Topik tentang keadilan para sahabat merupakan isu sensitif yang menjadi fokus penting dalam kajian ilmu Hadis dan Rijal. Mayoritas Ahlusunnah berpendapat bahwa seluruh sahabat adalah adil dan tidak boleh dijadikan objek Jarh wa Ta’dil seperti muslim lainnya.(7)
Yang mengherankan, meskipun mereka mengklaim adanya konsensus mengenai kesucian dan keadilan para sahabat, ternyata mereka meriwayatkan puluhan hadis dalam kitab-kitab shahih mereka sendiri yang menyatakan bahwa sebagian sahabat murtad dari agama dan memberontak terhadap prinsip-prinsip Islam, dengan cara yang tidak meninggalkan keraguan bahwa para sahabat juga seperti manusia biasa lainnya—ada yang baik, ada yang buruk, ada yang munafik, dan ada yang mukmin. Hal ini pun ditegaskan oleh Alquran dan sunah Nabawiyah. Ini adalah hal yang sangat mengherankan.(8)
Sementara itu, para ulama Syiah menegaskan bahwa hadis baru bisa dijadikan sumber hukum setelah melewati tahapan-tahapan sebagai berikut:
- Evaluasi para perawi hadis dilakukan secara cermat dan ketat, tanpa adanya toleransi, guna mengidentifikasi dan menentukan identitas perawi secara menyeluruh. Hal ini didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan aturan-aturan yang telah digariskan dalam ilmu khusus yang dikenal dengan Ilmu Rijal. Dengan bantuan ilmu ini, para ulama dapat mengetahui keadaan perawi, apakah ia dapat dipercaya atau tidak, sehingga mereka dapat memutuskan untuk menerima atau menolak hadis yang diriwayatkannya.
- Seluruh hadis yang diriwayatkan dari para maksum as, kemudian dievaluasi dari sisi matan (isi) dan tingkatannya untuk membedakan hadis yang sahih dari yang lemah. Proses penyaringan dan evaluasi ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah yang kuat dan aturan-aturan yang tertulis dalam ilmu khusus yang dikenal dengan Ilmu Dirayah.(9)
- Setelah itu, hadis tersebut diuji dari segi kehujahannya dalam Ilmu Ushul.(10)
- Setelah semua tahapan tersebut dilalui, hadis akan masuk dalam proses istinbat (penggalian) hukum syar’i dalam Ilmu Fikih. Setelah terbukti kehujjahan hadis dan kelayakannya untuk dijadikan sandaran, maka hadis tersebut akan dijadikan sumber hukum oleh seorang fakih untuk menetapkan hukum syar’i yang diinginkan.
Ya, itulah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh perawi dan hadis yang diriwayatkannya sebelum hadis itu dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syar’i. Hal ini berbeda dengan metode Ahlusunnah, yang menganggap para sahabat berada di atas kritik dan penilaian (jarh wa ta’dil). Mereka menjadikan keadilan sahabat sebagai asas, baik yang diketahui keadaannya maupun yang tidak diketahui, karena menurut mereka para sahabat tidak layak dikritik dalam bentuk apa pun dan tidak ada keraguan sedikit pun terhadap mereka.
Syarat-syarat dan kualifikasi perawi yang diterima riwayatnya:
- Islam: Riwayat orang kafir tidak diterima sama sekali. Adapun penerimaan kesaksian orang dzimmi (non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam) dalam perkara wasiat terhadap seorang Muslim, itu merupakan pengecualian berdasarkan dalil, yakni firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman! Persaksian di antara kalian apabila salah seorang dari kalian menjelang kematian ialah dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang lain dari golongan selain kalian apabila kalian sedang dalam perjalanan di bumi…”(11).
Ayat ini ditafsirkan dalam riwayat bahwa “dua orang lain dari golongan selain kalian” maksudnya adalah dzimmi.(12) - Akal (kecerdasan): Riwayat orang gila tidak diterima, dan ini adalah sesuatu yang jelas dan tidak perlu diperdebatkan.
- Balig (dewasa secara hukum): Riwayat anak-anak yang belum mumayiz tidak diterima. Adapun anak yang sudah mumayiz, pendapat yang masyhur adalah tidak diterima riwayatnya.
- Iman: Yakni, perawi haruslah seorang penganut mazhab Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah (Syiah Dua Belas Imam).(13)
- Keadilan: Menurut pendapat masyhur, keadilan adalah sifat kejiwaan yang kokoh dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk terus bertakwa, menjauhi dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, dan menjauhi perbuatan yang bertentangan dengan muru’ah (kehormatan diri). Pelanggaran terhadap muru’ah menunjukkan bahwa seseorang tidak memperhatikan agamanya dengan serius, dan dengan demikian, tidak bisa dipercaya untuk menjauhi dosa.(14)
Catatan Kaki:
- Allamah Muhaqqiq Ayatullah Syekh Ja’far Subhani (semoga Allah menjaganya): Ushul al-Hadits wa Ahkamuh: halaman 19.
- Tahammul: Istilah dalam ilmu hadis, artinya adalah penerimaan hadis oleh seorang perawi dari perawi lainnya, lalu menghafalnya, baik secara lisan maupun dengan mencatatnya.
- Adā’: Istilah dalam ilmu hadis yang berarti penyampaian hadis oleh perawi kepada perawi lainnya.
- Syekh Abdul Hadi Fadhli: Ushul al-Hadits, halaman 14.
- Syekh Abdul Hadi Fadhli: Ushul ‘Ilm al-Rijāl, halaman 11.
- Untuk mengetahui istilah-istilah dalam jarh wa ta’dil, lihat: Syekh Ja’far Subhani: Ushul al-Hadits wa Ahkamuh fi ‘Ilm al-Dirayah, halaman 153.
- Syekh Agha Buzurg Tehrani: Hasr al-Ijtihad, halaman 81.
- Syekh Ja’far Subhani: al-Hadits al-Nabawi bayn al-Riwayah wa al-Dirayah, halaman 51.
- Ilmu Dirayah: Ilmu yang membahas kondisi hadis dari sisi sanad dan matan.
- Ilmu Ushul: Ilmu yang membahas kaidah-kaidah yang menjadi dasar dalam istinbat hukum syar’i.
- al-Maidah:106.
- Lihat: Zainuddin Amili (Syahid Tsani): al-Ri’ayah fi ‘Ilm al-Dirayah, halaman 181–182.
- Untuk lebih rinci, lihat: Allamah Thusi: ‘Uddat al-Ushul, halaman 379–381.
Lihat: Jamaluddin Hasan bin Zainuddin Amili, al-Ma‘alim, halaman 201, dinukil oleh Syekh Ja’far Subhani dalam Ushul al-Hadits wa Ahkamuh, halaman 134.