Dalam rangkaian Seminar Maulid Nabi Muhammad Saw bertema “Cinta Nabi, Cinta Semesta” yang diselenggarakan oleh Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada Jumat, 12 September 2025, Achmad Husain, Ketua Program Studi Magister Manajemen Lingkungan Universitas Negeri Jakarta, menyampaikan materi berjudul “Pendidikan Lingkungan: Suatu Basis Pembentukan Kesadaran Mengelola Sumber Daya Alam Secara Bijak.”
Dalam pemaparannya, beliau menegaskan bahwa Al-Qur’an menempatkan manusia pada dua posisi utama, yaitu sebagai khalifah di muka bumi sekaligus sebagai hamba Allah. Kedua posisi ini, menurut beliau, saling berkaitan erat: kepemimpinan manusia di bumi harus diabdikan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, sementara ibadah yang dilakukan manusia seharusnya memberi dampak bagi kemaslahatan alam. Namun, ketika fungsi ganda ini terlalaikan, kerusakan lingkungan pun menjadi tidak terhindarkan.
Beliau menjelaskan bahwa Allah Swt telah memberikan bekal yang memadai kepada manusia berupa ilmu dan pengetahuan agar mampu menjalankan amanah tersebut. Maka, kerusakan alam yang terjadi sesungguhnya menjadi pertanda adanya kesalahan dalam menjalankan fungsi kekhalifahan. Dari perspektif pendidikan, sikap dan perilaku manusia yang memengaruhi lingkungan ditentukan oleh lima faktor penting.
Pertama adalah keyakinan terhadap nilai-nilai kebajikan. Jika seseorang tidak menjadikan nilai sebagai pedoman hidup, maka ia akan bertindak sewenang-wenang. Sebagai contoh, nilai kejujuran. Bila tidak diyakini sebagai jalan menuju keselamatan, seseorang akan mudah berbuat curang. Kedua adalah paradigma atau cara pandang. Sering kali guru, dalam dunia pendidikan, melihat anak nakal sebagai pembuat masalah. Padahal, menurut cara pandang yang lebih bijak, anak tersebut bisa jadi korban kondisi di rumah yang keras, sehingga menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Dengan pendekatan persuasif, perilaku seperti itu dapat dilihat lebih adil dan lebih mendidik.
Faktor ketiga adalah keteladanan. Lingkungan tempat seseorang tumbuh akan terekam dalam memorinya. Jika ia terbiasa melihat keburukan, maka berbuat buruk tidak lagi terasa salah. Keteladanan menjadi penting agar terbentuk perilaku baik. Keempat adalah pembiasaan. Seseorang yang terbiasa melakukan keburukan akan melanjutkannya di masa depan, apalagi jika perilaku itu justru mendapat penghargaan dari sekitarnya. Kelima adalah suasana kondusif. Contoh sederhana adalah suasana bulan Ramadan, di mana orang yang biasanya enggan beribadah akan terbawa untuk tadarus, bersedekah, dan berbuat baik karena lingkungannya mendukung.
Menurut Achmad Husain, kondisi pendidikan saat ini sangat memprihatinkan karena lebih menekankan aspek pengetahuan kognitif. Akibatnya, orang yang pintar dianggap hebat, sementara orang yang baik tidak mendapat penghargaan. Nilai, hati, dan keteladanan tidak mendapat perhatian serius. Padahal, bila pendidikan hanya menumpuk pengetahuan tanpa melatih implementasi, maka perilaku tidak akan terbentuk.
Beliau menekankan perlunya pendidikan yang utuh, yaitu pendidikan yang membangun paradigma dari aspek kognitif, menanamkan nilai-nilai kebajikan, melatih keterampilan, membiasakan perilaku baik, serta menciptakan suasana yang mendukung. Dengan pendidikan semacam itu, peserta didik akan memiliki lima faktor yang membuat mereka terhindar dari perilaku yang merusak lingkungan.
Sebagai bagian dari seminar, pemikiran Achmad Husain ini melengkapi perspektif yang dibawakan pemateri lainnya, seperti Syaikh Mohammad Sharifani (Direktur ICC Jakarta), Muhsin Labib (dosen STAI Sadra), dan Husain Heriyanto (dosen Pascasarjana Universitas Paramadina).