Dalam Seminar Maulid Nabi Muhammad Saw bertema “Cinta Nabi, Cinta Semesta” yang digelar oleh Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta pada Jumat, 12 September 2025, Husain Heriyanto, dosen Pascasarjana Universitas Paramadina, menyampaikan ceramah bertajuk “Krisis Ekologi, Antara Kekeliruan Paradigma Pembangunan dan Perilaku Budaya.”
Beliau mengawali dengan refleksi tentang istilah genosida yang akhir-akhir ini banyak dikaitkan dengan penderitaan rakyat Palestina di Gaza. Menurutnya, genosida terjadi tidak hanya pada level fisik, tetapi juga dalam bentuk pemikiran, yang ia sebut sebagai genosida intelektual. Fakta bahwa sekolah-sekolah dan perpustakaan menjadi sasaran pertama penyerangan Israel ke Gaza menunjukkan adanya upaya memusnahkan pengetahuan. Dari titik ini, beliau memperkenalkan istilah genosida ekologis, yakni pemusnahan lingkungan hidup, yang jarang diperhatikan dalam diskursus publik.
Konteks genosida ekologis ini beliau hubungkan dengan ajaran Al-Qur’an. Dalam Surah Ar-Rum ayat 41, Allah berfirman: dhaharal-fasâdu fil-barri wal-baḥri bimâ kasabat aidin-nâsi (Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia). Beliau juga mengaitkannya dengan Surah Al-Baqarah ayat 205: wa idzâ tawallâ sa‘â fil-ardli liyufsida fîhâ wa yuhlikal-ḥartsa wan-nasl, wallâhu lâ yuḥibbul-fasâd (Apabila berkuasa, dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan). Kedua ayat ini menurut beliau menunjukkan bahwa kerusakan alam bukan semata masalah teknis, tetapi berkaitan erat dengan persoalan kekuasaan, budaya, moral, cara berpikir, dan nilai.
Mengutip temuan panel internasional tentang perubahan iklim (IPCC), beliau menjelaskan bahwa faktor kolonialisme merupakan katalis kerusakan lingkungan, meski aspek ini jarang dibahas karena kesadaran sejarah sering diabaikan. Artikel ilmiah The Legacy of Colonialism and Ecological Genocide disebutkan sebagai salah satu rujukan yang memperlihatkan bagaimana kolonialisme Eropa menghancurkan sistem pertanian di Afrika Utara maupun di Indonesia.
Di Indonesia, kerusakan sistem pertanian dimulai sejak diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830-an. Sistem pertanian yang sebelumnya berbasis konservasi, keanekaragaman hayati, dan nilai multikultural dipaksa berubah menjadi monokultur untuk memenuhi kepentingan pasar global, dengan komoditas seperti kopi, tebu, dan nila. Beliau menekankan bahwa kerusakan ini masih membekas hingga kini, sementara kearifan lokal pertanian yang lestari justru hilang dari kesadaran kolektif.
Sebagai contoh, beliau menyinggung masyarakat Samin di Blora dan Bojonegoro. Penelitian menyebutkan bahwa kelompok ini menolak sistem tanam paksa dan mempertahankan pertanian multikultur berbasis kearifan lokal, hingga mereka diasingkan oleh kolonial Belanda. Pengetahuan lokal tersebut, yang berakar pada penghormatan terhadap alam, kini dianggap sebagai model pelestarian lingkungan modern, meski generasi muda tidak lagi mengenalnya.
Hilangnya kearifan lokal ini beliau sebut juga sebagai bentuk genosida pengetahuan. Ia menyinggung kasus brotowali, tanaman obat Indonesia yang telah dipatenkan di luar negeri, terutama Jepang. Hingga kini, lebih dari 150 jenis obat herbal Indonesia telah dipatenkan pihak asing. Beliau juga membandingkan dengan Thailand, yang karena tidak mengalami penjajahan, tetap mempertahankan pertanian sebagai bagian dari budaya, sehingga sistem pertaniannya lebih maju.
Paradigma yang menempatkan alam hanya sebagai komoditas, menurut beliau, merupakan kelanjutan dari kolonialisme. Padahal, di Indonesia terdapat tradisi yang menghargai tanaman, hewan, sungai, dan seluruh unsur alam. Husain Heriyanto menegaskan bahwa sebagaimana dikatakan David McClelland, menghancurkan sebuah peradaban dapat dilakukan dengan menghancurkan kesadaran peradabannya.
Dari sini, beliau menutup dengan menekankan bahwa keadilan lingkungan sesungguhnya adalah bagian dari keadilan sosial. Krisis ekologi tidak bisa dilepaskan dari persoalan sosial, ekonomi, dan budaya. Karena itu, gerakan pelestarian lingkungan harus berjalan beriringan dengan gerakan menegakkan keadilan sosial dan mengawasi kekuatan modal yang kerap menempatkan alam, bahkan manusia, semata sebagai komoditas.
Ceramah ini menjadi salah satu bagian penting dari rangkaian seminar, melengkapi pandangan Syaikh Mohammad Sharifani (Direktur ICC Jakarta), Achmad Husain (Ketua Program Studi Magister Manajemen Lingkungan UNJ), dan Muhsin Labib (dosen STAI Sadra).