ICC Jakarta
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami
  • Login
ICC Jakarta
No Result
View All Result

BAGAIMANA PROSES PENGAMBILAN (ISTINBATH) HUKUM-HUKUM SYARIAT DARI HADIS-HADIS NABI SAW DALAM FIKIH SYIAH IMAMIYAH?

by Syafrudin mbojo
September 18, 2025
in Maarif Islam
0 0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Syekh Shaleh Karbasi

Hadis Nabi yang mulia dianggap oleh mazhab Syiah Imamiyah sebagai sumber kedua dalam syariat Islam setelah Alquran. Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian besar dan sangat serius terhadapnya.

Hadis menurut mazhab Syiah adalah perkataan, perbuatan, dan ketetapan (persetujuan diam-diam) dari para maksum (yang terjaga dari dosa)—yaitu para Imam Ahlulbait as. Maka, apa yang tidak bersumber dari maksum as bukanlah hadis menurut mereka. Ini berbeda dengan mazhab lain yang cukup menjadikan suatu riwayat sebagai hadis apabila berakhir pada sahabat atau tabi’in, dan untuk membedakan antara dua kategori ini, mereka terkadang menyebut riwayat yang berakhir pada sahabat dan tabi’in dengan istilah “atsar”.

Karena hadis pada awalnya disampaikan(1) melalui periwayatan lisan, lalu kemudian secara tertulis, dan sebagian besar hadis sampai kepada kita melalui jalur khabar ahad (riwayat tunggal), sedangkan khabar ahad—sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fikih—tidak memberikan kepastian (yakin) bahwa ia berasal dari maksum, maka para ulama meletakkan dasar-dasar ilmu yang dikenal dengan nama “Ilmu Rijal” dan “Ilmu Hadis” untuk tujuan ini.(2)

Ilmu Rijal adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan para perawi, dari segi identitas pribadi mereka dan penjelasan tentang sifat-sifat mereka yang menjadi syarat diterimanya atau ditolaknya riwayat mereka.(3)

Para ulama menganggap mempelajari ilmu Rijal dan Hadis sebagai syarat untuk mencapai derajat ijtihad mutlak dan pondasi utama dalam keilmuan fikih, serta termasuk pendahuluan penting untuk bisa sampai pada tingkatan istinbat hukum (penggalian hukum dari sumbernya).

Penilaian terhadap perawi secara teliti dalam ilmu rijal disebut dengan istilah al-Jarh wa al-Ta’dil, yang maksudnya adalah hasil dari pengkajian atas keadaan perawi: apakah ia terpercaya atau tidak. Maka, terpercaya (tsiqah) sama dengan ta’dil (dapat diterima), dan tidak terpercaya (tidak tsiqah) sama dengan jarh (ditolak) dalam istilah ilmu Rijal.(4)

Mazhab Syiah memiliki keunggulan dibanding mazhab lain dalam hal ini, karena mereka menilai semua perawi hadis tanpa kecuali, untuk mengetahui apakah mereka orang saleh atau tidak, beriman atau munafik, agar hanya mengambil hadis dari orang-orang saleh dan beriman saja.

Adapun Ahlusunnah, mereka mengecualikan para sahabat dari proses penilaian dan evaluasi ini. Mereka tidak menilai para sahabat, karena meyakini bahwa semua sahabat adil tanpa kecuali, dan mereka dianggap berada di atas proses al-Jarh wa al-Ta’dil.

Namun, ulama Syiah menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap kondisi para perawi, dan mereka memandang bahwa suatu hadis baru bisa dijadikan sumber hukum syariat setelah melalui beberapa tahapan berikut:

Tahapan Proses Validasi Hadis

  1. Evaluasi detail terhadap perawi hadis, tanpa toleransi, untuk mengidentifikasi dan mengenali identitas perawi secara menyeluruh, berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang tersusun dalam ilmu Rijal, untuk mengetahui apakah ia tsiqah atau tidak. Berdasarkan hal itu, diterima atau ditolak riwayatnya.
  2. Evaluasi seluruh hadis yang diriwayatkan dari para maksum as dari segi matannya (isi) dan tingkatan sanadnya, guna membedakan antara hadis yang sahih dan yang daif. Evaluasi ini dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang baku, dalam ilmu khusus yang disebut dengan ilmu Dirayah (ilmu Hadis).(5)
  3. Setelah itu, hadis tersebut diperiksa dari sisi keabsahan hujahnya dalam ilmu Usul Fikih.(6)
  4. Setelah melewati semua proses itu, barulah hadis dapat digunakan dalam proses istinbat hukum dalam ilmu Fikih, dan setelah terbukti keabsahan dan validitasnya, hadis tersebut dipakai oleh seorang fakih sebagai sumber hukum syariat untuk menetapkan hukum yang dibutuhkan.

Demikianlah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang perawi dan hadisnya agar dapat digunakan untuk menggali hukum syariat.

Syarat dan Kualifikasi Perawi yang Diterima Riwayatnya

  1. Islam: Riwayat dari orang kafir tidak diterima secara mutlak. Adapun penerimaan kesaksian dari dzimmi (non-muslim yang hidup di bawah perlindungan Islam) dalam perkara wasiat, itu adalah pengecualian berdasarkan dalil, yaitu firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman! Persaksian di antara kalian apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, hendaklah dilakukan oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang lain dari selain kalian, jika kalian dalam perjalanan dan ditimpa musibah kematian. Tahanlah mereka berdua setelah salat, lalu mereka bersumpah dengan nama Allah jika kalian ragu, ‘Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga berapa pun, meskipun terhadap kerabat, dan kami tidak akan menyembunyikan kesaksian Allah, sungguh jika demikian, kami termasuk orang-orang berdosa.’”(7)

Beberapa riwayat menafsirkan kata “dua orang lain dari selain kalian” sebagai orang dzimmi.(8)

  1. Berakal (akalnya sehat): Riwayat dari orang gila tidak diterima, dan ini adalah sesuatu yang sudah jelas dan tidak diperselisihkan.
  2. Balig (dewasa): Riwayat dari anak kecil yang belum mumayyiz tidak diterima. Adapun anak yang sudah mumayyiz, maka pendapat yang masyhur di kalangan ulama menyatakan tidak diterima riwayatnya.
  3. Beriman (mukmin): Maksudnya, perawi harus seorang Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (pengikut 12 Imam).(9)
  4. Adil: Menurut pendapat masyhur, adil adalah sifat batin yang mendorong seseorang untuk selalu bertakwa, menjauhi dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, serta menjauhi perbuatan yang tidak sesuai dengan akhlak (muru’ah), karena melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan muru’ah menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap agama, sehingga tidak bisa dipercaya sebagai orang yang menjaga diri dari dosa.(10)

Contoh Praktis Proses Istinbat

Berikut ini contoh praktis bagaimana suatu riwayat digunakan sebagai dasar hukum, serta bagaimana dia melewati tahapan-tahapan evaluasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk contoh ini, kita ambil satu riwayat dari kitab al-Kafi yang diriwayatkan oleh Syekh Muhammad bin Ya’qub Kulaini qs, dari Ali bin Ibrahim, dari ayahnya, dari Ibnu Abi Umair, dari Abdullah bin Sinan, dari Abu Abdillah (Imam Ja’far Shadiq) as, yang berkata, “Aku mendengar beliau berkata, ‘Disunahkan bagi orang yang sakit untuk memberikan (sedekah) kepada peminta-minta dengan tangannya sendiri, dan menyuruh peminta-minta itu untuk mendoakannya.’”(11)

Jika kita ingin menggunakan hadis ini sebagai dalil, kita harus mengikuti tahapan-tahapan berikut,

  1. Kita kembali kepada kitab-kitab ilmu rijal untuk mengetahui tingkat kepercayaan masing-masing perawi dalam sanad hadis ini, yaitu:
  • Muhammad bin Ya’qub Kulaini: Najasyi berkata tentangnya, “Dia adalah orang yang paling terpercaya dalam hadis dan paling kokoh (dalam hafalan dan riwayatnya).” = Seorang Imami yang adil.
  • Ali bin Ibrahim Qummi: Najasyi berkata tentangnya, “Tsiqah (terpercaya) dalam hadis, kokoh, dapat diandalkan, dan bermazhab yang benar.” = Imamiyah yang adil.(12)
  • Ibrahim bin Hasyim Qummi: Khu’i berkata tentangnya, “Tidak pantas ada keraguan dalam ke-tsiqah-annya Ibrahim bin Hasyim,” kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil kuat yang menetapkan kepercayaannya. = Imamiyah yang adil.
  • Muhammad bin Abi Umayr Azdi: Najasyi berkata tentangnya, “Agung kedudukannya, mulia dalam pandangan kami dan juga di kalangan pihak yang menyelisihi kami.” = Imamiyah yang adil.
  • Abdullah bin Sinan: Najasyi berkata tentangnya, “Tsiqah, dari kalangan sahabat kami yang agung, tidak ada cela atasnya sama sekali.” = Imamiyah yang adil.
  1. Kemudian kita kembali ke ilmu Rijal dan menerapkan kaidah rijal yang mengatakan, “Setiap perawi yang disaksikan ke-tsiqah-annya oleh para ulama rijal terdahulu, atau ada indikator-indikator yang menunjukkan ke-tsiqah-annya, maka dia adalah tsiqah.”

Dengan menerapkan kaidah ini, kita menyimpulkan bahwa seluruh perawi hadis ini adalah orang-orang yang tsiqah dan adil.

  1. Setelah itu kita kembali ke ilmu Hadis dan menerapkan kaidah hadis yang mengatakan, “Setiap sanad yang perawinya adalah para pengikut mazhab Imamiyah yang adil, maka hadisnya sahih.”

Maka kita menyimpulkan bahwa sanad hadis ini adalah muktabar (dapat dipercaya) dan berada pada tingkat sahih.

  1. Kemudian kita kembali ke ilmu Ushul Fikih, dan menerapkan kaidah ushuliyah yang mengatakan, “Khabar tsiqah adalah hujah (bukti yang bisa dijadikan sandaran).”

Maka kita menerima bahwa sanad ini adalah hujah, karena seluruh perawinya tsiqah.

Dan setelah terbukti bahwa riwayat ini benar-benar bersumber dari Imam Ja’far Shadiq as—sebagaimana yang telah kita lihat—maka kita kembali kepada tradisi sosial Arab, dan akan kita dapati bahwa makna hadis ini secara uruf (kebiasaan sosial) adalah makna zahir, yaitu menunjukkan anjuran agar orang yang sakit memberikan sedekah itu sendiri kepada peminta-minta (fakir), dan memintanya agar berdoa untuk kesembuhan.

  1. Dan akhirnya: Kita kembali ke ilmu Ushul Fikih dan menerapkan terhadap makna hadis ini kaidah al-zhuhur (makna zahir) yang mengatakan, “Setiap yang zahir adalah hujah.”

Maka kita katakan: Ini (hadis) adalah zahir + Setiap yang zahir adalah hujah = Maka ini adalah hujah.

Lalu kita susun kesimpulan ini dalam bahasa fikih sebagai berikut,

Disunahkan bagi orang sakit untuk memberikan sedekah kepada peminta-minta secara langsung, dan disunahkan pula agar dia memintanya mendoakan kesembuhannya.(13)

Catatan Kaki:

  1. Al-Tahammul: Merupakan istilah dalam ilmu hadis, yang berarti penerimaan seorang perawi terhadap hadis dari perawi lain yang meriwayatkannya, kemudian menjaganya oleh perawi yang menerima tersebut, baik dengan hafalan di luar kepala, atau melalui tulisan dan pencatatan. Maka tahammul secara bahasa berarti “membawa (sesuatu) dengan beban”, dan tidak diragukan bahwa membawa hadis memang memiliki beban tersendiri karena tuntutan untuk berhati-hati agar tidak ada sesuatu yang asing masuk ke dalamnya. (Rujukan: Ushul al-Hadits, halaman 223, oleh Dr. Syekh Abdul Hadi Fadhli, cet.2, 1416 H, Muassasah Umm al-Qura li al-Tahqiq wa al-Nasyr)
  2. Dr. Syekh Abdul Hadi Fadhli, Ushul al-Hadits, halaman 14.
  3. Dr. Syekh Abdul Hadi al-Fadhli: Ushul ‘Ilm al-Rijal, halaman 11.
  4. Untuk mengetahui istilah-istilah yang digunakan dalam jarh wa ta’dil (kritik dan validasi perawi), lihat:
    • Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm al-Dirayah, halaman 153, karya Ayatullah Syekh Ja’far Subhani, cet.2, 1419 H, Muassasah al-Imam al-Shadiq as, Qom, Iran.
    • Ushul al-Hadits, halaman 115–123, karya Dr. Abdul Hadi Fadhli, cet.2, 1416 H.
  1. ‘Ilm al-Dirayah: Ilmu yang membahas kondisi-kondisi yang melekat pada hadis dari sisi sanad maupun matan (isi). (Rujukan: Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, halaman 14, karya Ayatullah Syekh Ja’far Subhani)
  2. Ilm al-Ushul: Disiplin ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk menyimpulkan hukum-hukum syariat, atau kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan amal. (Rujukan: Kifayat al-Ushul, jilid 1, halaman 9, karya Khurasani.
  3. QS. al-Maidah [5]:106, halaman 125.
  4. Lihat: al-Ri’ayah fi ‘Ilm al-Dirayah, hal.181–182, karya Zainuddin Amili (Syahid Tsani), wafat tahun 966 H.
  5. Untuk pembahasan lebih rinci, lihat: ‘Uddah al-Ushul, hal.379–381, karya Syekh Thusi, cetakan Muassasah Al al-Bayt, tahun 1403 H.
  6. Lihat: Al-Ma’alim, hal.201, karya Jamaluddin Hasan bin Zainuddin Amili, wafat tahun 1011 H, dan darinya dikutip oleh Ayatullah Syekh Ja’far Subhani dalam: Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, halaman 134.
  7. Al-Kafi, Kitab Zakat, Bab Fadhilah Sedekah, karya Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq Kulaini, dijuluki Tsiqatul Islam, wafat tahun 329 H, cetakan Dar al-Kutub al-Islamiyah, tahun 1365 HS, Tehran/Iran.
  8. Lihat: Mu’jam Rijal al-Hadits, jil.1, hal.317, oleh Ayatullah Uzhma Sayid Abul Qasim Khu’i.

13. Ushul ‘Ilm al-Rijal, hal.21–23, karya Dr. Abdul Hadi Fadhli, cetakan ke-2, 1416 H, Muassasah Umm al-Qura li al-Tahqiq wa al-Nasyr.

Syafrudin mbojo

Syafrudin mbojo

Related Posts

ILMU HISAB (MATEMATIKA) IMAM ALI AS
Ahlulbait

ILMU HISAB (MATEMATIKA) IMAM ALI AS

September 18, 2025

Sebuah Penelitian Ilmiah Menarik Oleh: Ustaz Ahmad Muhammad Jawad Muhsin Tentang Ilmu Hisab (Matematika) Imam Ali as   Pendahuluan Bukanlah...

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL
Fikih

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL

September 18, 2025

Oleh: Sayid Ali Sistani   Pendahuluan Pada prinsipnya, seorang muslim diperbolehkan untuk menjalankan berbagai aktivitas vital dan berbagai jenis pekerjaan...

APA BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN OLEH ALLAH SWT UNTUK MENCIPTAKAN ADAM DAN HAWA, DAN APAKAH KEDUANYA DICIPTAKAN DARI BAHAN BAKU YANG SAMA?
Maarif Islam

APA BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN OLEH ALLAH SWT UNTUK MENCIPTAKAN ADAM DAN HAWA, DAN APAKAH KEDUANYA DICIPTAKAN DARI BAHAN BAKU YANG SAMA?

September 18, 2025

Oleh: Syekh Shaleh Karbasi Tidak diragukan lagi bahwa bahan dasar yang digunakan Allah Azza wa Jalla untuk menciptakan manusia adalah...

APAKAH SYIAH ABAI DALAM MASALAH RIBA?!
Fikih

APAKAH SYIAH ABAI DALAM MASALAH RIBA?!

September 15, 2025

Oleh: Sayid Abdul Husain Syarafuddin   Teks Syubhat (Keraguan): Dia berkata, “Saya menyukai agama Syiah dalam hal pengharaman setiap minuman...

APAKAH BOLEH MELAKUKAN HUBUNGAN INTIM SAAT MASA HAID?
Maarif Islam

APAKAH KAUM SYIAH MEMILIKI KITAB KUMPULAN HADIS YANG SETARA DENGAN SHAHIHAIN (SHAHIH BUKHARI DAN MUSLIM), MISALNYA?

September 15, 2025

Oleh: Syekh Shaleh Karbasi   Sesungguhnya kumpulan-kumpulan hadis di kalangan Syiah tidaklah sedikit, bahkan memuat puluhan ribu hadis. Berikut ini...

APAKAH BOLEH MELAKUKAN HUBUNGAN INTIM SAAT MASA HAID?
Fikih

APAKAH BOLEH MELAKUKAN HUBUNGAN INTIM SAAT MASA HAID?

September 15, 2025

Oleh: Syekh Shaleh Karbasi Melakukan hubungan intim (jimak)(1) selama masa haid yang dialami perempuan adalah haram bagi suami istri. Keduanya...

Next Post
APA BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN OLEH ALLAH SWT UNTUK MENCIPTAKAN ADAM DAN HAWA, DAN APAKAH KEDUANYA DICIPTAKAN DARI BAHAN BAKU YANG SAMA?

APA BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN OLEH ALLAH SWT UNTUK MENCIPTAKAN ADAM DAN HAWA, DAN APAKAH KEDUANYA DICIPTAKAN DARI BAHAN BAKU YANG SAMA?

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL

ILMU HISAB (MATEMATIKA) IMAM ALI AS

ILMU HISAB (MATEMATIKA) IMAM ALI AS

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ICC Jakarta

Jl. Hj. Tutty Alawiyah No. 35, RT.1/RW.7, Pejaten Barat.
Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12510

Telepon: (021) 7996767
Email: iccjakarta59@gmail.com

Term & Condition

Agenda

[tribe_events_list]

HUBUNGI KAMI

Facebook
Telegram

Jadwal Salat Hari Ini

sumber : falak-abi.id
  • Lintang: -6.1756556° Bujur: 106.8405838°
    Elevasi: 10.22 mdpl
Senin, 26 Desember 2022
Fajr04:23:34   WIB
Sunrise05:38:32   WIB
Dhuhr11:53:01   WIB
Sunset18:07:31   WIB
Maghrib18:23:39   WIB
Midnight23:15:32   WIB
  • Menurut Imam Ali Khamenei, diharuskan berhati-hati dalam hal waktu salat Subuh (tidak berlaku untuk puasa) dengan menambah 6-7 menit setelah waktu diatas

© 2022 ICC - Jakarta

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami

© 2022 ICC - Jakarta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist