Sebuah Penelitian Ilmiah Menarik Oleh: Ustaz Ahmad Muhammad Jawad Muhsin Tentang Ilmu Hisab (Matematika) Imam Ali as
Pendahuluan
Bukanlah hal yang mengherankan jika Imam Ali as dikenal sebagai seorang alim yang mumpuni dalam ilmu-ilmu fikih, bahasa, dan dasar-dasar ilmu hisab (matematika), terutama yang berkaitan dengan pembagian warisan, penghitungan zakat, serta penyelesaian beberapa persoalan matematika yang melibatkan pecahan. Hal ini wajar, sebab beliau tumbuh dalam asuhan kenabian dan menimba ilmu langsung dari sumbernya. Nabi Muhammad saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Maka barang siapa menginginkan ilmu, hendaklah dia datang dari pintunya.”(1)
Dalam hal ini, Abbas Mahmoud Aqqad berkata, “Jarang sekali kita mendengar ada cabang ilmu Islam atau ilmu kuno yang tidak dinisbahkan kepada beliau (Imam Ali). Jarang pula orang-orang membicarakan keutamaan ilmu tanpa menyebut nama beliau, dan hampir tidak ada pujian ilmu terhadap para tokoh terdahulu kecuali beliau memiliki andil di dalamnya.”(2)
Dia juga berkata, “Tetap menjadi milik Imam Ali as peranan pertama dalam membangun konsep tauhid Islam, sistem peradilan Islam, fikih Islam, ilmu nahwu Arab, dan seni penulisan Arab. Maka kita boleh menyebutnya sebagai dasar dari ensiklopedia ilmu-ilmu Islam pada masa awal, atau bahkan menyebutnya sebagai ensiklopedia Islam itu sendiri pada masa awal Islam. Selain itu, beliau juga memiliki mutiara-mutiara hikmah yang senantiasa tercatat dalam khazanah intelektual umat Islam lintas zaman.”(3)
Perlu juga kami kutip apa yang dikatakan Abul Ala’ Ma’arri tentang Imam Ali as,(4) “Dan di cakrawala, dalam darah para syuhada tampak Ali dan putranya sebagai saksi
Mereka berdua adalah fajar di akhir zaman dan cahaya kemerahan di awalnya.”
Selain ilmunya yang luas dan ketajaman mata batinnya, Imam Ali as juga terus-menerus mendorong umat untuk menuntut ilmu dan mengingatkan akan pentingnya ilmu. Beliau pernah berkata, “Belajarlah ilmu! Jika kamu kaya, dia akan menghiasimu, dan jika kamu miskin, dia akan menjagamu. Kekayaan berupa ilmu menyelamatkan dan kekal, sedangkan kekayaan berupa harta akan binasa dan lenyap. Kekayaan orang berakal terletak pada ilmunya, sedangkan kekayaan orang bodoh terletak pada hartanya.”
Beliau juga berkata, “Setiap wadah akan penuh dan sempit jika terus diisi, kecuali wadah ilmu, karena ia justru akan bertambah luas.”(5)
Dalam penelitian ini, kami akan mencoba mengungkap keutamaan dan kehebatan Imam Ali as dalam bidang ilmu hisab, melalui tiga karya penting beliau, yaitu:
- Nahjul Balaghah (puncak kefasihan)
- Masalah-masalah matematika yang beliau selesaikan dengan cepat dan akurat
- Syair-syair yang dinisbahkan kepadanya.
Pertama — Nahjul Balaghah
Kumpulan khotbah, surat, dan wasiat Imam Ali as yang terdapat dalam Nahjul Balaghah kaya akan konsep-konsep matematika seperti angka-angka, pecahan, satuan panjang, dan ungkapan-ungkapan matematis. Berikut ini beberapa contohnya:
Bilangan (Angka)
Angka-angka kecil maupun besar sering kali disebutkan dalam Nahjul Balaghah. Sebagai contoh:
- Angka satu disebut dalam wasiat beliau kepada putranya Hasan as, di mana beliau berkata, “Wahai anakku! Meski aku tidak hidup selama orang-orang sebelumku, namun aku telah mempelajari amal perbuatan mereka, merenungkan kisah-kisah mereka, dan menyusuri jejak mereka, seakan-akan aku hidup bersama generasi pertama hingga generasi terakhir dari mereka.”(6)
- Angka satu dan dua disebut dalam wasiat beliau kepada pasukan yang dikirim ke medan perang, “Hendaklah kalian bertempur dari satu arah atau dua arah. Tempatkan penjaga di puncak-puncak gunung dan lereng-lereng bukit, agar musuh tidak menyerang kalian dari tempat yang tidak disangka-sangka.”(7)
- Angka tiga dan dua disebut dalam pidato beliau saat menegur para pengikutnya karena lambat dalam membela kebenaran, “Wahai penduduk Kufah! Aku telah diuji dengan kalian dalam tiga hal dan dua hal lainnya: tuli padahal punya telinga, bisu padahal bisa bicara, buta padahal bisa melihat. Kalian bukanlah orang merdeka yang jujur dalam pertempuran, bukan pula saudara yang dapat dipercaya saat kesulitan. Binasalah tangan kalian!”(8)
- Angka empat disebut dalam ucapannya, “Barang siapa diberikan empat hal, maka ia tidak akan kehilangan empat hal lainnya:
- Barang siapa diberi kemampuan berdoa, tidak akan terhalang dari jawaban
- Barang siapa diberi taubat, tidak akan kehilangan penerimaan
- Barang siapa diberi istighfar, tidak akan kehilangan pengampunan
- Barang siapa diberi syukur, tidak akan kehilangan tambahan nikmat.”(9)
- Angka lima dalam nasihat beliau, “Aku wasiatkan lima perkara kepada kalian. Jika kalian harus menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya, maka lakukanlah:
- Jangan berharap kecuali kepada Tuhanmu
- Jangan takut kecuali kepada dosamu
- Jangan malu mengatakan ‘aku tidak tahu’ jika memang tidak tahu
- Jangan malu untuk belajar jika belum tahu
- Bersabarlah, karena sabar bagi iman seperti kepala bagi tubuh. Tidak ada kebaikan dalam tubuh tanpa kepala, begitu pula tidak ada iman tanpa kesabaran.”(10)
- Angka tujuh dalam pidato beliau menyatakan keteguhan terhadap keadilan, “Demi Allah! Seandainya diberikan kepadaku tujuh wilayah dengan segala isinya hanya untuk membuatku mendzalimi seekor semut dengan merampas kulit gandumnya, maka aku tidak akan melakukannya.”(11)
- Angka sepuluh disebut ketika beliau hendak memerangi kaum Khawarij, “Tempat jatuhnya mereka (akan terlihat) di depan air! Demi Allah! Tidak ada dari mereka sepuluh orang yang selamat, dan tidak ada dari kalian sepuluh orang yang mati!”(12)
- Angka dua puluh dan enam puluh dalam pidato beliau, “Demi Allah! Siapakah di antara mereka yang lebih berpengalaman dalam medan jihad daripada aku? Aku telah berperang ketika usiaku belum mencapai dua puluh, dan kini aku telah melewati usia enam puluh. Tapi tidak ada manfaatnya nasihat jika tidak ditaati.”(13)
- Angka seratus disebut dalam pidato beliau, “Jangan kalian tanya aku tentang apapun antara kalian dan hari kiamat, atau tentang pasukan yang akan membimbing seratus dan menyesatkan seratus, kecuali aku akan memberitahukan kepada kalian penyeru, pemimpin, dan pengiringnya.”(14)
- Angka seribu disebut saat beliau menyampaikan harapan, “Ya Allah! Hancurkan hati mereka sebagaimana garam hancur dalam air! Demi Allah, aku berharap memiliki seribu penunggang kuda dari Bani Firas bin Ghanam.”(15)
- Satuan waktu satu abad (qaran) disebut dalam Khotbah Asybah, “Dan Allah tidak membiarkan mereka setelah wafatnya (Nabi) tanpa hujah atas keuhanannya. Dia mengutus para nabi-Nya dan para penjaga amanat wahyu-Nya, dari generasi ke generasi (qaran faqaran), hingga hujah-Nya disempurnakan oleh Nabi Muhammad saw.”(16)
Pecahan
Pecahan di sini seperti seperlima, sepertiga, setengah, dan lain-lain. Misalnya, seperlima disebutkan dalam ucapannya, “Sesungguhnya Alquran diturunkan kepada Nabi (saw) dan harta terbagi menjadi empat: harta kaum muslimin yang dibagi kepada ahli waris sesuai bagian masing-masing, harta fa’i yang dibagikan kepada yang berhak menerimanya, dan seperlima (khumus) yang diletakkan Allah pada tempatnya, serta sedekah yang telah Allah tempatkan pada tempatnya.”(17)
Adapun sepertiga, disebutkan dalam surat beliau kepada para gubernur wilayah terkait salat, dengan ucapannya, “Dan salatlah bersama mereka salat Isya ketika merah senja telah menghilang hingga sepertiga malam.”(18)
Sembilan per sepuluh disebutkan dalam sabdanya, “Negerimu adalah negeri yang paling busuk di antara negeri-negeri Allah—yang paling dekat dengan air dan paling jauh dari langit, dan di dalamnya terdapat sembilan per sepuluh kejahatan.”(19)
Sedangkan setengah disebut dalam ucapannya, “Kecemasan adalah setengah dari kepikunan.”(20)
Satuan Ukuran Panjang
Satuan-satuan ini digunakan untuk mengukur panjang kecil seperti jari, jengkal, hasta, dan lain-lain, juga untuk panjang besar seperti farsakh (parasang).
- Satuan jari disebut dalam jawabannya ketika ditanya tentang jarak antara kebenaran dan kebatilan. Dia menjawab, “Empat jari. Kebenaran adalah ketika kamu berkata: aku melihat dengan mataku, dan kebatilan adalah ketika kamu berkata: aku mendengar dengan telingaku.”(21)
- Jengkal disebut dalam suratnya kepada Usman bin Hunaif Anshari, gubernurnya di Bashrah, di mana dia berkata, “Demi Allah! Aku tidak menyimpan emas dari duniamu, tidak menimbun rampasan perangnya, tidak menyiapkan kain usang untuk pakaianku, dan tidak memiliki sebidang tanah pun sejengkal pun darinya.”(22)
Jengkal dalam Lisan al-Arab adalah jarak antara ujung ibu jari dan ujung kelingking jika direnggangkan.(23)
- Farsakh disebut dalam suratnya kepada para gubernur wilayah terkait salat, “Salatlah bersama mereka salat Asar saat matahari masih putih dan terang di bagian siang, saat seseorang masih bisa menempuh perjalanan sejauh dua farsakh.”(24)
Kata farsakh berasal dari bahasa Persia. Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab mengatakan, “Farsakh adalah jarak tertentu yang ditempuh hingga seseorang duduk dan beristirahat—karena itulah ia dinamakan demikian.”(25) Farsakh sama dengan tiga mil atau enam ribu meter.(26)
Ungkapan-ungkapan Terkait Matematika
Banyak istilah dan ungkapan yang berhubungan dengan matematika disebutkan dalam khotbah-khotbah dan ucapan-ucapan Imam Ali as, seperti: panjang, lebar, jumlah, pembagian, kelipatan, atom (dzarrah), batas, statistik, bukti, kelompok, jarak, perhitungan, dan lainnya.
Contoh:
- Dalam nasihatnya kepada para sahabat, Imam as menggunakan istilah: panjang, lebih panjang, lebih lebar, lebih tinggi. Dia berkata, “Gunung-gunung yang tinggi menjulang—tak ada yang lebih panjang, lebih lebar, lebih tinggi, dan lebih besar darinya. Seandainya ada sesuatu yang dapat menolak (kuasa Tuhan) karena panjangnya, lebarnya, kekuatannya, atau keperkasaannya, niscaya gunung-gunung itu yang melakukannya.”(27)
- Istilah pembagian digunakan di banyak tempat. Misalnya dalam khotbah tentang penciptaan hewan, “Dia menciptakan awan-awan yang berat lalu menurunkan hujan derasnya, dan membagi-bagikannya, sehingga membasahi bumi yang kering, dan menumbuhkan tanaman setelah tandus.” Kata “Membagi-bagikan” di sini berarti menghitung takaran hujan yang diberikan ke setiap wilayah.(28)
- Kelipatan disebut dalam berbagai bentuk seperti: kelipatan, berlipat, menggandakan, dan lain-lain. Dalam khotbahnya di Shiffin, Imam as berkata, “Namun Allah menjadikan hak-Nya atas para hamba adalah mereka menaati-Nya, dan balasan dari-Nya berupa pahala yang berlipat ganda, sebagai karunia dan kemurahan dari-Nya.”(29)
- Atom disebut dalam Khotbah Asybah, di mana dia berkata, “Dan segala kata yang diucapkan, gerakan bibir, tempat tinggal setiap jiwa, dan seberat atom pun, serta bisikan setiap jiwa yang berbisik.”(30)
- Batas disebut dalam khotbah tentang penciptaan beberapa hewan, “Ia adalah yang memutuskan hukum atasnya, bukan karena keagungan yang terbatas hingga membesarkan-Nya secara fisik, bukan karena kemuliaan yang berhingga hingga memuliakan-Nya secara jasmani, melainkan agung dalam urusan dan mulia dalam kekuasaan.”
- Tanpa batas (tak hingga) disebut dengan makna seperti: tak terhitung, tak terbatas, tak berhingga, kekal, dan lainnya.
Misalnya,
-
- Dalam khotbah sebelumnya, “Dia menjadikan segala sesuatu sebagai saksi atas keazalian-Nya, dengan segala kelemahan yang ditandai-Nya padanya atas kekuasaan-Nya, dan dengan kefanaannya atas keabadian-Nya. Dia adalah satu tanpa jumlah, kekal tanpa batas waktu, dan berdiri tanpa tiang.”(31)
- Istilah tak terhitung muncul dalam ucapannya ketika hendak bertemu pasukan musuh di Shiffin, “Demi Tuhan bumi ini, yang menjadikannya tempat tinggal bagi manusia, dan tempat merayap binatang dan hewan ternak, dan segala sesuatu yang dapat dihitung maupun yang tidak.”(32)
- Banyaknya jumlah (yang bermakna tak hingga) disebut dalam Khotbah Asybah juga, “Ya Allah! Engkau adalah pemilik sifat yang indah dan jumlah pujian yang tak terhingga. Jika diharapkan, Engkau adalah harapan terbaik. Jika diimpikan, Engkau adalah yang paling mulia untuk dirindukan.”(33)
Masalah-masalah Matematika
Bukti lain atas kejeniusannya Imam Ali as adalah kemampuannya dalam menyelesaikan persoalan matematika yang kompleks dengan cepat dan tepat. Tak heran, karena beliau pernah berkata di hadapan umum, “Tanyalah Aku Sebelum Kalian Kehilangan Aku.”(34)
Abbas Mahmoud Aqqad mengatakan, “Dalam kisah-kisahnya terdapat bukti atas penguasaannya terhadap alat-alat fikih sebagaimana penguasaannya atas nas dan hukumnya. Salah satu alat itu adalah ilmu hisab, dan dia memiliki kemampuan yang lebih dari sekadar ahli waris biasa. Dia cepat tanggap dalam menghadapi soal-soal rumit yang pada masa itu dianggap sebagai teka-teki yang sulit dipecahkan.”(35)
Beberapa contoh masalah terkenal yang beliau pecahkan:
Masalah Mimbar (Masalah Warisan)
Ringkasan masalah ini,(36) adalah bahwa Imam Ali as pernah ditanya saat berada di atas mimbar tentang seseorang yang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, kedua orang tua, serta seorang istri. Maka beliau segera menjawab, “Seperdelapannya menjadi sepertisembilan.”
Masalah ini disebut sebagai “masalah mimbar” karena beliau memberikan fatwanya saat berada di atas mimbar di Kufah.
Harta warisan (yaitu harta peninggalan orang yang meninggal) dalam kasus ini adalah 24 bagian.
- Untuk istri diberikan seperdelapan (yaitu 3 bagian),
- Untuk kedua orang tua diberikan sepertiga (yaitu 8 bagian),
- Untuk dua anak perempuan diberikan dua pertiga (yaitu 16 bagian).
Namun, jumlah bagian warisan yang harus dibagikan ternyata melebihi jumlah harta yang tersedia, karena sepertiga dan dua pertiga saja sudah menghabiskan seluruh harta (8 + 16 = 24), sehingga tidak ada bagian tersisa untuk seperdelapan milik istri.
Jika kita jumlahkan bagian istri (3) dan bagian kedua orang tua (8), maka jumlahnya adalah 11, dan jika dikurangkan dari total harta (24), maka sisanya adalah 13 bagian yang akan diberikan kepada dua anak perempuan. Artinya, bagian anak perempuan berkurang 3 bagian dari yang seharusnya (yaitu 16), dan ini menunjukkan adanya kekurangan dalam pembagian.
Tampaknya terdapat dua pendekatan dalam menyelesaikan masalah ini:
- Menggunakan metode aul (pengurangan bagian karena total bagian melebihi harta),
- Atau tidak menggunakan aul.
(Aul, sebagaimana disebutkan dalam kamus “Mukhtar al-Shihah,” berarti “fardu menjadi lebih besar (naik)”–yaitu ketika bagian-bagian yang telah ditentukan jumlahnya melebihi harta yang tersedia, maka bagian setiap ahli waris dikurangi secara proporsional.)(37)
Masalah Dinar
Dikisahkan bahwa seorang wanita datang kepada Imam dan mengeluhkan bahwa saudaranya meninggal dan meninggalkan warisan sebanyak 600 dinar, tetapi dia hanya mendapatkan satu dinar sebagai bagiannya. Maka Imam berkata kepadanya, “Mungkin saudaramu meninggalkan seorang istri, dua anak perempuan, seorang ibu, dua belas saudara laki-laki, dan kamu?” Dan ternyata benar demikian adanya.
Di sinilah tampak kekuatan ilmu dan ketajaman pemikiran Imam as, karena hanya dengan mengetahui bagian si wanita, beliau dapat menyimpulkan jumlah anggota keluarga, hubungan antar mereka, jenis kelamin mereka, dan bagian masing-masing dari warisan. Padahal si wanita mengira bahwa saudaranya telah menzalimnya, sehingga ia datang untuk meminta keadilan dan haknya.
Maka Imam as berkata, “Saudaramu meninggalkan dua anak perempuan yang mendapatkan dua pertiga dari harta, yaitu empat ratus (karena dua pertiga dari enam ratus adalah empat ratus). Dia juga meninggalkan seorang ibu yang mendapat seperenam, yaitu seratus. Dia meninggalkan seorang istri yang mendapat seperdelapan, yaitu tujuh puluh lima. Dan dia meninggalkan dua belas saudara laki-laki bersamamu; masing-masing dari mereka mendapat dua dinar, dan kamu mendapat satu dinar.”
Si wanita pun berkata, “Ya, benar.”
Karena itulah masalah ini dinamakan “Masalah Dinar”.(38) Dan jika kita jumlahkan bagian-bagian tersebut, totalnya adalah enam ratus dinar, yaitu jumlah warisan yang ditinggalkan.
Kisah Roti
Dikisahkan dua orang pria sedang makan bersama. Salah satunya membawa lima roti, dan yang lainnya membawa tiga roti. Ketika mereka meletakkan makanan di hadapan mereka, lewatlah seorang pria lain yang kemudian duduk dan ikut makan bersama mereka. Mereka bertiga pun menghabiskan delapan roti tersebut bersama-sama.
Setelah selesai makan, pria ketiga itu berdiri dan memberikan delapan dirham kepada mereka sebagai imbalan. Namun, kedua pria yang pertama berselisih mengenai pembagian uang itu, lalu mereka membawa perkara tersebut kepada Imam Ali as dan menceritakan kejadian yang mereka alami.
- Imam Ali as memutuskan bahwa:
- Pemilik tiga roti mendapatkan satu dirham,
- Dan pemilik lima roti mendapatkan tujuh dirham.
- Penjelasannya sebagai berikut:
- Delapan roti itu setara dengan 24 bagian sepertiga, karena setiap roti dianggap terdiri dari 3 sepertiga.
- Pemilik tiga roti memiliki 9 sepertiga (3 roti × 3 = 9 sepertiga).
- Pemilik lima roti memiliki 15 sepertiga (5 roti × 3 = 15 sepertiga).
- Karena yang makan ada tiga orang, maka masing-masing dari mereka memakan 8 sepertiga (24 dibagi 3 = 8).
- Artinya:
- Pemilik tiga roti memakan 8 dari 9 sepertiga miliknya, sehingga dia telah memberikan 1 sepertiga kepada tamu.
- Pemilik lima roti memakan 8 dari 15 sepertiga miliknya, sehingga dia telah memberikan 7 sepertiga kepada tamu.(39)
- Jadi, tamu tersebut telah memakan:
- 1 sepertiga dari pemilik tiga roti,
- 7 sepertiga dari pemilik lima roti.
- Karena tamu itu memberikan 8 dirham sebagai imbalan untuk 8 sepertiga roti yang ia makan, maka nilai setiap sepertiga adalah 1 dirham.
- Dengan demikian:
- Pemilik tiga roti mendapat 1 dirham,
- Pemilik lima roti mendapat 7 dirham.
Masalah Wanita yang Melahirkan dalam Enam Bulan
Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar pernah didatangi seorang wanita yang melahirkan dalam usia kandungan enam bulan, maka beliau ingin merajam wanita itu karena dianggap berzina.
Namun Imam Ali as berkata kepadanya, “Jika aku berdebat denganmu dengan kitab Allah, niscaya aku akan mengalahkanmu. Allah Ta’ala berfirman, ‘…dan masa mengandung dan menyapihnya adalah tiga puluh bulan’(40); dan juga berfirman, ‘…dan para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan’(41).’”
Maka jika masa menyusui adalah dua tahun penuh (24 bulan), dan masa kehamilan dan menyusui adalah 30 bulan, maka masa kehamilan bisa jadi hanya 6 bulan.
Mendengar ini, Umar membebaskan wanita itu dan menetapkan hukum berdasarkan dalil tersebut. Para sahabat dan tabi’in pun mengamalkan hukum ini hingga saat ini.
Kisah Zubiyah (Perangkap Singa)
Dikisahkan bahwa saat Imam Ali as berada di Yaman, sebuah zubiyah (lubang jebakan untuk singa yang digali di tempat tinggi) digunakan untuk menangkap seekor singa. Singa pun jatuh ke dalamnya.
Lalu datang seorang lelaki dan berdiri di tepi zubiyah, tapi kakinya tergelincir, dan dia berpegangan pada lelaki kedua, yang kemudian berpegangan pada lelaki ketiga, dan dia berpegangan pada lelaki keempat. Akhirnya, keempatnya jatuh ke dalam zubiyah dan dimakan oleh singa.
Imam Ali as memutuskan, “Yang pertama adalah mangsa singa, maka keluarganya harus membayar sepertiga diyat kepada keluarga yang kedua. Keluarga yang kedua membayar dua pertiga diyat kepada keluarga yang ketiga. Keluarga yang ketiga membayar diyat penuh kepada keluarga yang keempat.”
Berita ini sampai kepada Rasulullah saw, dan beliau bersabda, “Abul Hasan (Ali) telah memutuskan dengan hukum Allah Yang Mahatinggi di atas Arsy-Nya.”
Ada pula riwayat lain yang sedikit berbeda, yaitu bahwa saat singa terperangkap, orang-orang berkumpul dan saling berdesakan untuk melihat, sehingga seorang terjatuh dan kemudian saling menarik seperti tadi, hingga keempatnya jatuh.
Dalam riwayat ini, Imam Ali as memutuskan:
- Dari para saksi zubiyah dikumpulkan: diyat penuh, setengah diyat, sepertiga diyat, dan seperempat diyat.
- Diberikan kepada keluarga korban berdasarkan posisi jatuh:
- Yang pertama (jatuh paling awal) → ¼ diyat (karena tiga orang jatuh di atasnya)
- Yang kedua → ⅓ diyat
- Yang ketiga → ½ diyat
- Yang keempat → diyat penuh
Rasulullah saw bersabda, “Putusan itu sesuai dengan kebenaran.”
Tampaknya kedua riwayat tersebut mengisahkan dua kejadian yang berbeda, karena dalam yang pertama, lelaki pertama jatuh sendiri tanpa didorong, sedangkan dalam yang kedua, dia terdorong oleh kerumunan.(42)
Tiga Orang Bersengketa
Dalam Syarah al-Badi’ah oleh Ibnul Muqri, diceritakan bahwa tiga orang datang kepada Amirul Mukminin as bersengketa atas 17 unta.
- Orang pertama mengklaim setengahnya,
- Yang kedua mengklaim sepertiganya,
- Dan yang ketiga mengklaim sepersembilannya.
Mereka bingung karena pembagian ini akan menimbulkan pecahan (tidak utuh). Imam Ali as berkata, “Apakah kalian setuju jika aku tambahkan satu ekor unta milikku ke dalamnya agar bisa dibagi dengan mudah?”
Mereka menyetujui.
- Total menjadi 18 unta.
- Lalu Imam membagi:
- Yang pertama mendapat setengah = 9 unta
- Yang kedua mendapat sepertiga = 6 unta
- Yang ketiga mendapat sepersembilan = 2 unta
Total: 9 + 6 + 2 = 17 unta. Maka seekor unta milik Imam as dikembalikan kepadanya.(43)
Ketiga – Syair yang Dinisbatkan kepada Imam as
Terdapat ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan ilmu hisab seperti bilangan, pecahan, dan lainnya dalam puisi yang dinisbatkan kepada Imam (‘alaihissalam). Kami akan menyebutkan sebagian darinya:
Disebutkan kata “seribu” dalam salah satu puisinya,(44) di mana beliau berkata,
عليك بإخوان الصفاء، فإنهم
عماد إذا استنجدتهم و ظهور
و ليس كثيراً ألف خل و صاحب
و إن عدوا واحدا لكثير
Berpeganglah kepada saudara-saudara yang tulus
Karena mereka adalah penopang jika engkau meminta pertolongan dan sandaran
Tidaklah banyak seribu kawan dan sahabat
Jika mereka dihitung satu orang yang banyak.
Juga disebutkan bilangan tujuh puluh ribu dalam puisinya yang lain,(45)
لأصبحن العاصي إبن العاصي
سبعين ألفا عاقدي النواصي
مجنبين الخيل بالقلاص
مستحلقين حلق الدلاص
Sungguh aku akan mendatangi si durhaka, anak dari si durhaka
Dengan tujuh puluh ribu orang yang mengikat ubun-ubun (kuda mereka)
Menyisihkan kuda-kuda dengan pelana-pelana
Dengan kepala yang dicukur, mengenakan baju besi berkilau.
Dan dalam perhitungan usia, beliau berkata,(46) menyebutkan bilangan enam puluh, setengahnya, dan sepertiganya,
إذا عاش الفتى ستين عاما
فنصف العمر تمحقه الليالي
و نصف النصف يذهب ليس يدري
لغفلته يمينا من شمال
و ثلث النصف آمال و حرص
و شغل بالمكاسب و العيال
فحب المرء طول العمر جهل
و قسمته على هذا المنال
Jika seorang pemuda hidup enam puluh tahun
Maka setengah umurnya dihabiskan oleh malam-malam
Setengah dari setengah itu berlalu tanpa ia sadari
Karena kelalaiannya membedakan kanan dari kiri
Sepertiga dari setengah itu penuh dengan angan-angan dan keserakahan
Dan kesibukan mencari nafkah dan mengurus keluarga
Maka cinta seseorang terhadap panjang umur adalah kebodohan
Jika dihitung berdasarkan pembagian seperti ini.
Penutup
Berdasarkan jawaban dari persoalan-persoalan sebelumnya dan lainnya, terdapat bukti yang terang mengenai ilmu yang dimiliki Imam as, dan kehadiran ilmu tersebut pada dirinya menjadikannya sebagai hujah (argumen/otoritas) atas umat manusia dalam seluruh ilmu dan seni. Terutama jika kita bandingkan hal ini dengan zaman Imam dan keterbatasan budaya ilmiah masyarakat saat itu.
Dalam hal ini, Abbas Mahmoud Aqqad berkata, “Namun ilmu-ilmu dan seni-seni ini – atau sebagian besarnya – menjadi agung jika dibandingkan dengan zamannya dan dengan usaha-usaha yang dilakukan pada masa-masa awal perkembangannya.”(47)
Dia juga berkata, “Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa kebudayaan Imam as adalah kebudayaan ilmiah murni dan puncak tinggi di antara masyarakat dalam setiap kedudukan.”
Dari sini dapat dikatakan bahwa Imam as merupakan orang pertama yang bekerja dalam ilmu waris sebagaimana yang datang dalam Alquran, dan orang pertama yang memecahkan persoalan-persoalan matematika pada permulaan Islam. Dia juga merupakan orang pertama yang memiliki pemikiran ensiklopedis yang mencakup sebanyak mungkin cabang pengetahuan yang beragam.
Namun yang mengherankan—sebagaimana telah kami perhatikan—adalah bahwa mayoritas buku-buku sejarah matematika tidak menyebutkan hal ini, dan ini merupakan sesuatu yang disayangkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan lebih banyak penelitian dan kajian terhadap periode penting dari sejarah Islam ini.
Sumber Referensi:
- Izzuddin bin Atsir al-Jauzi (1994), Usdu al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, ditahkik (disunting oleh) Ali Muhammad Awwad, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Beirut, jil.4, hal.95.
- Abbas Mahmoud Aqqad (1967), ‘Abqariyyat al-Imam Ali as, Dar al-Kitab al-’Arabi, Beirut, hal.190.
- Ibid, hal.194.
- Ibid, hal.6.
- Ali bin Abi Thalib (1993), Nahj al-Balaghah, dengan syarah (penjelasan) oleh Muhammad Abduh, jil.4, Muassasah al-A’lami, Beirut, hal.671.
- Ibid, hal.529.
- Ibid, hal.501.
- Ibid, hal.217.
- Ibid, hal.657.
- Ibid, hal.643.
- Ibid, hal.468.
- Ibid, hal.132.
- Ibid, hal.92.
- Ibid, hal.210.
- Ibid, hal.87.
- Ibid, hal.204.
- Ibid, hal.688.
- Ibid, hal.571.
- Ibid, hal.66.
- Ibid, hal.658.
- Muhsin Amin (1947), A’yan al-Syi’ah, jil.3, Bagian Pertama, cetakan ke-2, Mathba’ah al-Itqan, Damaskus, hal.33.
- Nahj al-Balaghah, hal.559.
- Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, jil.4, Dar… / Dar Beirut, hal.391.
- Nahj al-Balaghah, hal.570.
- Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, jil.3, hal.44.
- Jalal Syauqi (1985), Min Turatsina al-Manzhum fi al-Riyadhiyyat (Warisan Sastra Puisi Kita dalam Ilmu Matematika), al-Majallah al-’Arabiyyah li al-Ulum, Organisasi Arab untuk Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, Tunisia, hal.94.
- Nahj al-Balaghah, hal.432.
- Ibid, hal.378.
- Ibid, hal.450.
- Ibid, hal.207.
- Ibid, hal.375.
- Ibid, hal.345.
- Ibid, hal.208.
- Muhsin Amin, A’yan al-Syi’ah, hal.33.
- Abbas Mahmoud Aqqad, hal.196.
- Muhsin Amin (1983), A’yan al-Syi’ah, jil.1, Dar al-Ta’aruf, Beirut, hal.242.
- Muhammad bin Abi Bakar Razi (1984), Mukhtar al-Shihah, Muassasah Ulum Alquran, Damaskus, hal.463.
- Muhsin Amin, A’yan al-Syi’ah, Dar al-Ta’aruf, hal.343.
- Ibid, hal.343.
- al-Ahqaf [46]:15, hal.504.
- al-Baqarah [2]:233, hal.37.
- Ibid, hal.411.
- Husain Ali Syafa’i (1990), al-Haqq al-Mubin fi Qadha’i Amir al-Mu’minin, Dar Karam, Damaskus, hal.115.
- Ahmad Taimur, ibid, hal.28.
- Ibid, hal.37.
- Abdulaziz Sayid al-Ahl (1980), Min al-Syi’r al-Mansub ila al-Imam al-Washi ‘Ali bin Abi Thalib, cetakan ke-2, Dar… / Dar Lebanon, hal.111.
- Abbas Mahmoud Aqqad, hal.210.