Pada Kamis malam, 18 September 2025, Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menyelenggarakan Kelas Tafsir Maudhu’i bersama Syaikh Mohammad Sharifani dan diterjemahkan oleh Ustaz Hafidh Alkaf. Kajian rutin yang membahas tema-tema besar Al-Qur’an ini telah menuntaskan topik ikhlas pada pertemuan sebelumnya dan kini memasuki tema baru, yaitu istighfar.
Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa secara bahasa, kata istighfar berasal dari akar kata ghafara yang berarti menutupi atau menghapus bekas suatu perbuatan. Dalam konteks keagamaan, istighfar dimaknai sebagai permohonan kepada Allah agar dosa-dosa yang dilakukan manusia dihapuskan bersama pengaruh buruknya. Beliau menambahkan bahwa istighfar seringkali dikaitkan dengan taubat. Jika taubat merupakan perbuatan hati berupa penyesalan yang mendalam dan tekad untuk kembali kepada Allah, maka istighfar adalah bentuk lahiriah berupa permohonan ampunan yang diucapkan dengan lisan. Dengan kata lain, taubat adalah mukadimah yang membuka jalan bagi istighfar.
Untuk memperlihatkan pentingnya istighfar, Syaikh Mohammad Sharifani mengutip sejumlah ayat Al-Qur’an. Ayat pertama adalah Surah An-Nisa’ ayat 106: Wastaghfirillâh, innallâha kâna ghafûrar raḥîmâ — “Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat ini menegaskan bahwa permohonan ampunan harus selalu menjadi bagian dari kehidupan seorang mukmin karena Allah membuka pintu ampunan-Nya tanpa batas.
Namun, Al-Qur’an juga mengecam orang-orang yang enggan beristighfar. Dalam Surah Al-Kahf ayat 55 Allah berfirman: Wa mâ mana‘an-nâsa ay yu’minû idz jâ’ahumul-hudâ wa yastaghfirû rabbahum illâ an ta’tiyahum sunnatul-awwalîna au ya’tiyahumul-‘adzâbu qubulâ — “Tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka dan untuk memohon ampunan kepada Tuhannya, kecuali akan datang kepada mereka ketetapan Allah yang telah berlaku pada umat terdahulu atau datang kepada mereka azab yang nyata.” Beliau menjelaskan bahwa ayat ini membuka dua pintu: masa lalu dan masa depan. Masa lalu bisa diperbaiki dengan taubat, sedangkan jalan menuju masa depan diperbaiki melalui iman kepada kenabian dan petunjuk Allah Swt.
Ayat berikut yang dibahas adalah Surah An-Nur ayat 62: Innamal-mu’minûnalladzîna âmanû billâhi wa rasûlihî wa idzâ kânû ma‘ahû ‘alâ amrin jâmi‘il lam yadz-habû ḥattâ yasta’dzinûh, innalladzîna yasta’dzinûnaka ulâ’ikal-ladzîna yu’minûna billâhi wa rasûlih, fa idzasta’dzanûka liba‘dli sya’nihim fa’dzal liman syi’ta min-hum wastaghfir lahumullâh, innallâha ghafûrur raḥîm — “(Yang disebut) orang-orang (yang benar-benar) mukmin hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama dengan Rasulullah dalam suatu urusan bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu, mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka, apabila mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang engkau kehendaki di antara mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Syaikh Mohammad Sharifani menekankan bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohonkan ampunan bagi umatnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw dijadikan wasilah untuk sampainya rahmat dan ampunan Allah kepada manusia. Fenomena serupa berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an, menegaskan posisi Nabi sebagai penghubung antara hamba dan Allah dalam mendapatkan ampunan.
Pembahasan berikutnya merujuk pada Surah Al-Muzzammil ayat 20 yang berbicara tentang salat malam: Inna rabbaka ya‘lamu annaka taqûmu adnâ min tsulutsayil-laili wa nishfahû wa tsulutsahû wa thâ’ifatum minalladzîna ma‘ak, wallâhu yuqaddirul-laila wan-nahâr, ‘alima al lan tuḥṣûhu fa tâba ‘alaikum faqra’û mâ tayassara minal-qur’ân, ‘alima an sayakûnu mingkum marḍâ wa âkharûna yaḍribûna fil-arḍi yabtaghûna min faḍlillâhi wa âkharûna yuqâtilûna fî sabîlillâhi faqra’û mâ tayassara min-hu wa aqîmush-shalâta wa âtuz-zakâta wa aqridlullâha qarḍan ḥasanâ, wa mâ tuqaddimû li’anfusikum min khairin tajidûhu ‘indallâhi huwa khairaw wa a‘ẓama ajrâ, wastaghfirullâh, innallâha ghafûrur raḥîm — “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Nabi Muhammad) berdiri (salat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya, dan demikian pula segolongan dari orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menghitungnya secara tepat sehingga menyulitkanmu dalam salat malam. Maka, Dia memberi keringanan kepadamu. Oleh karena itu, bacalah (ayat) Al-Qur’an yang mudah bagimu. Dia mengetahui akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, sebagian yang berjalan di bumi mencari karunia Allah, dan sebagian yang berperang di jalan Allah. Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an, tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman yang baik kepada Allah. Apa pun kebaikan yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperolehnya di sisi Allah dengan balasan yang lebih baik dan lebih besar. Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menurut beliau, ayat ini menarik karena menggambarkan pembagian peran umat: ada yang berjihad, ada yang mencari rezeki, ada yang sakit, dan ada yang mendirikan salat malam. Tetapi semuanya tetap diperintahkan untuk beristighfar, memperlihatkan bahwa permohonan ampunan tidak boleh lepas dari kondisi apa pun.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menyinggung keutamaan istighfar di momen-momen tertentu, misalnya pada hari Arafah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Baqarah ayat 198–199. Riwayat menyebutkan bahwa orang yang berwukuf di Arafah akan diampuni seluruh dosanya hingga seperti bayi yang baru lahir. Bahkan dikatakan bahwa begitu luasnya ampunan Allah pada hari itu sehingga yang tidak mendapatkan ampunan hanyalah mereka yang masih meragukan-Nya.
Selain ayat-ayat tersebut, beliau juga membacakan Surah Al-Ma’idah ayat 73–74 yang mengecam orang-orang yang menyekutukan Allah, namun tetap mengajak mereka untuk bertobat dan beristighfar, serta Surah Az-Zumar ayat 53 yang penuh dengan kasih sayang Allah: Qul yâ ‘ibâdiyalladzîna asrafû ‘alâ anfusihim lâ taqnathû mir raḥmatillâh, innallâha yaghfirudz-dzunûba jamî‘â, innahû huwal-ghafûrur-raḥîm — “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’” Ayat ini menunjukkan bagaimana Allah memanggil manusia dengan penuh kelembutan, menyebut mereka “hamba-hamba-Ku” sekalipun telah melampaui batas.
Beliau menambahkan bahwa seluruh nabi membawa misi serupa, yaitu mengajak umatnya untuk beristighfar. Hal ini tampak pada seruan Nabi Hud, Nabi Saleh, Nabi Syuaib, hingga Nabi Nuh sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan Nabi Nuh berkata: Fa qultustaghfirû rabbakum innahû kâna ghaffârâ — “Lalu aku berkata kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun.’” (Surah Nuh ayat 10).
Di bagian akhir, Syaikh Mohammad Sharifani mengutip hadis-hadis Ahlulbait a.s. yang menekankan keutamaan istighfar. Imam Ja’far al-Shadiq a.s. meriwayatkan sabda Rasulullah saw: “Istighfar dan dzikir tauhid adalah sebaik-baik ibadah.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Janganlah kalian lalai dari istighfar pada waktu sahar (akhir malam), karena istighfar di waktu itu bagi orang yang beribadah akan menumbuhkan kecintaan yang lebih besar kepada Allah dan memancarkan cahaya dalam hati.” Hal ini selaras dengan firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 17 yang menyebut ciri orang bertakwa sebagai wal-mustaghfirîna bil-asḥâr — “serta orang-orang yang memohon ampunan pada waktu sahur.”