Oleh: Sayid Hasyim Shafiyuddin
Daftar Isi
- Pertama: Kewajiban Jihad
- Keistimewaan Pertama
- Keistimewaan Kedua
- Keistimewaan Ketiga
- Keistimewaan Keempat
- Kedua: Konsekuensi Menolak Jihad
- Kelompok Pertama
- Kelompok Kedua
- Ketiga: Tujuan-Tujuan Jihad
- Keempat: Bantuan Gaib Itu Pasti dalam Jihad
Pertama: Kewajiban Jihad
Sebelum menyebutkan beberapa ayat yang secara eksplisit menunjukkan kewajibannya, penting untuk dicatat bahwa ada perbedaan antara esensi syariat dan kewajiban praktisnya. Bahkan jika para ulama dan mufasir berbeda pendapat tentang waktu kewajiban praktisnya bagi orang beriman, hal itu tidak memengaruhi fakta bahwa ia adalah syariat yang pasti, dan bahwa kebutuhannya tidak dapat diperdebatkan. Mungkin landasannya adalah apa yang sudah tertanam dalam fitrah manusia dan kehidupan sosial, yaitu perlunya perlawanan, dan pengerahan upaya untuk mengusir kekuatan jahat yang menghalangi gerakan risalah, atau untuk mencapai tujuan-tujuan ilahi yang luhur dalam membangun manusia dan masyarakat, atau setidaknya dalam batas minimal yang tidak dapat disangkal dan dilampaui, yaitu membela kebenaran dan para pembelanya serta menolongnya. Ini adalah pendahuluan yang diperlukan dan pengantar yang penting untuk syariat dan pelaksanaannya. Beberapa ayat mengisyaratkan hal ini, seperti firman Allah Swt, “… Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagog-sinagog Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah…”(1)
Dan firman Allah Swt, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak…”(2)
Dan firman Allah Swt, “… Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah rusak bumi ini…”(3)
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang membimbing akal manusia dan insan perisalah untuk melakukan sesuatu demi mencapai tujuan-tujuan yang luhur.
Adapun ayat-ayat yang jelas dan eksplisit tentang kewajibannya adalah firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung.”(4)
Dan firman Allah Swt, “Wahai Nabi! Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik…”(5)
Dan firman Allah Swt, “Wahai Nabi! Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin untuk berperang…”(6)
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang sebagiannya akan kita lihat saat membahas beberapa keistimewaan, sehingga tidak ada lagi keraguan tentang kewajiban ini yang ditujukan langsung kepada Nabi dan kepada orang-orang beriman yang mengikutinya. Mungkin penyebutan yang panjang lebar dalam Alquran terkadang tentang perjalanan para nabi dan jihad sebagian mereka dengan berperang dan menghadapi para pembangkang kekafiran, mengandung pendidikan yang jelas bagi orang-orang beriman bahwa kewajiban ini adalah suatu keharusan demi membela kebenaran dan risalah, sebagaimana akan dijelaskan.
Di antara hal-hal yang mencolok dalam Alquran ketika berbicara tentang jihad, adalah penyebutan sekelompok keistimewaan, saya hanya akan menyebutkan beberapa di antaranya:
Keistimewaan Pertama
Jihad, yang dianggap sebagai pertempuran dan tindakan militer, biasanya membutuhkan persiapan, pelatihan, membawa senjata, dan menunjukkan kekuatan serta manifestasinya, untuk mencapai kemenangan dan mengalahkan musuh. Kebutuhan dan keharusan ini menuntut adanya judul yang luas, dan garis yang jelas ditarik untuk para pengikut Islam agar mereka tidak tersesat atau terjerumus dalam kesombongan atau bergantung pada tujuan dan ambisi duniawi seperti kekuasaan dan dominasi serta manifestasi kekuatan lainnya, yang pada akhirnya jatuh ke dalam kerusakan yang pada dasarnya ditolak dalam Islam. Sebaliknya, tujuan jihad adalah untuk menolak kerusakan-kerusakan ini. Maka tidak benar bahwa Allah Swt mensyariatkan sesuatu bagi kaum muslim yang akan menjerumuskan mereka ke dalamnya, atau setidaknya menempatkan mereka pada jalan ini. Yang dituntut adalah membentengi mereka dan menarik perhatian mereka dari bahaya jatuh ke dalam sesuatu yang mereka rentan padanya dan tidak terhindar darinya. Di sini, saya tidak bermaksud tujuan taktis atau bahkan strategis dari pertempuran itu sendiri, itu adalah hal lain yang akan kita sebutkan juga nanti. Yang dimaksud adalah menetapkan kerangka umum dan dasar yang tidak dapat dipisahkan dari praktik penggunaan kekuatan, tanpanya pertempuran akan menjadi pertarungan dan upaya seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang memiliki ambisi duniawi dan kekuasaan. Judul ini adalah “Sabilillah” (jalan Allah). Ini adalah apa yang kita temukan jelas dalam ayat-ayat, dan mungkin penekanan yang berulang-ulang padanya karena pentingnya dan keharusannya agar kaum muslim tidak lupa dan tersesat seperti umat-umat sebelum mereka. Oleh karena itu, kita menemukan bahwa setiap pertempuran dalam Islam tidak memiliki legitimasi kecuali jika berada di jalan Allah, dan tidak akan mendapatkan konsekuensi hukum dan praktis yang dibangun di atas dasar istilah dan konsep ilahi yang suci ini (yaitu jihad). Dengan ini, kita dapat membedakan antara satu jihad dengan yang lain di dunia kita. Di sini, saya tidak hanya merujuk pada tujuan militer, tetapi pada dasarnya pada motivasi yang harus ada pada kelompok yang membawa senjata dan mempersiapkan diri untuk berperang dan turun ke medan laga. Ini adalah judul yang luas yang juga memiliki detail, tingkatan, dan level yang mungkin akan kita jelaskan nanti.
Keistimewaan Kedua
Yang kita lihat dalam beberapa ayat adalah pengingat terus-menerus akan motivasi keimanan dalam arti khususnya. Bukan kebetulan bahwa perintah jihad dalam surah al-Maidah datang setelah perintah takwa dan perintah untuk mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Ini menempatkan konsep ini dalam konteks alaminya, yaitu untuk mencapai kedekatan ilahi. Dan di dalamnya ada penyucian bagi Nabi dan para mujahid yang ikhlas bersamanya dari terjerumus ke dalam kecenderungan, keinginan, balas dendam, atau hal-hal lain. Di sini, saya tidak bermaksud bahwa seorang mujahid tidak mempertimbangkan hal-hal ini, tetapi yang dituntut adalah tidak memasukannya setiap kali ada sesuatu yang merasuki tindakannya, karena hal itu pasti akan mengurangi level dan derajatnya. Sebab tidak semua mujahid sama dalam motivasi, dan tidak semua yang berjalan dalam barisan mujahid memiliki takwa yang diperlukan dan mencari jalan mendekat kepada Allah. Maka makna ayat tersebut, seperti yang disebutkan oleh sebagian orang, adalah bahwa jihad yang dituntut harus dari jenis ini, dan ini adalah tugas setiap muslim.
Keistimewaan Ketiga
Mematuhi kewajiban ini tidak harus disukai oleh setiap orang, dan tidak semua muslim harus tertarik pada kewajiban ini karena kesulitan dan kesulitannya. Namun, Alquran, dengan isyarat ini, membuka cakrawala bagi kaum muslim tentang keharusan mematuhi hukum ini. Allah-lah yang menentukan maslahatnya; karena Dia adalah Yang Paling Mengetahui, dan kalian tidak mengetahui, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”(7)
Biasanya, orang yang lemah imannya ragu-ragu, takut, dan membuat perhitungan yang sempit sesuai dengan kesempitan akal dan hati mereka. Padahal, keuntungan yang pasti ada dalam menempuh jalan ini karena itu adalah kehendak Allah, dan Dia-lah Yang Maha Mengetahui.
Keistimewaan Keempat
Yaitu semakin seringnya jihad dikaitkan dalam Alquran dengan (harta dan jiwa). Ini jelas dalam makna dan tujuannya, serta hubungan yang kuat antara pengorbanan harta dan jiwa dalam pertempuran. Karena pertempuran pada dasarnya adalah menumpahkan darah dan hilangnya harta benda. Hal ini mendidik masyarakat Islam bahwa ketika mereka memasuki jihad, mereka harus mempersiapkan diri untuk mengorbankan jiwa dan harta benda. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk menghindari pertempuran, kadang-kadang dengan alasan menyelamatkan diri, dan kadang-kadang dengan alasan menjaga kekayaan dan cabangnya. Mungkin penggabungan kedua hal ini menekankan makna ini dan bahkan menuntutnya. Ini karena tujuan jihad lebih mulia dan lebih tinggi daripada harta dan jiwa, dan sungguh mengherankan bahwa sebagian muslim memisahkan antara konsep dan keharusannya, padahal Alquran menegaskan bahwa hal itu tidak benar.
Kedua: Konsekuensi Menolak Jihad
Karena jihad itu penting, dan karena ia menuntut pengorbanan dan melepaskan keuntungan serta godaan duniawi, dan karena masyarakat Islam tidak sama dalam menerima dan berinteraksi secara positif dengan kewajiban ini, kita menemukan bahwa jihad mengklasifikasikan Muslim menjadi dua kelompok:
Kelompok Pertama
Yaitu orang-orang yang bertakwa, tulus, mencintai Allah dan Rasul, yang patuh pada perintah ilahi, dan menganggap jihad sebagai jalan yang mereka tempuh untuk mencapai surga, kenikmatan, dan keridhaan. Mereka berharap untuk berperang di medan laga, dan mereka bergegas untuk membela Islam, agama, dan umat. Kelompok ini mungkin lebih cocok dibicarakan dalam topik syahadah, karena salah satu ciri khas kelompok ini adalah mencintai jihad dan keterikatan padanya, karena ia adalah salah satu pintu surga yang dibuka Allah untuk orang-orang pilihan-Nya, dan ia adalah perisai Allah yang kokoh dan benteng-Nya yang kuat.
Kelompok Kedua
Yaitu orang-orang yang tidak langsung patuh pada kewajiban. Mereka juga terbagi menjadi beberapa jenis: di antara mereka ada yang membenci pertempuran, maka Allah Swt membimbingnya dengan cara yang disukai dan lembut, berdasarkan akidah dan keimanan mereka bahwa Dia lebih tahu dari mereka, seperti dalam ayat, “Diwajibkan atas kamu berperang…” Ada juga jenis lain dari mereka yang terikat pada dunia dan beban-bebannya, mereka membutuhkan penjelasan lebih lanjut, dan dengan demikian kita memiliki tingkatan dalam berinteraksi dengan semua jenis ini.
“…dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]:216); “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”(8); “Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”(9); “… Tidaklah sama di antara kamu orang yang menginfakkan (hartanya) sebelum kemenangan (Fathul Makkah) dan berperang. Mereka itu lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) setelah itu dan berperang. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang baik. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan”(10); “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”(11)
Bersama dengan banyak ayat lain yang menjelaskan keutamaan jihad dan para mujahid, di dalamnya terdapat dorongan bagi orang-orang beriman untuk melaksanakan kewajiban ini, dan konsekuensi besar serta kebaikan yang melimpah yang tidak boleh hilang. Sampai pada titik di mana penjelasan ilahi mencapai batas menjadikan iman dan kebenaran terkait dengan jihad di jalan Allah, dan ini adalah pengantar bagi hukum-hukum yang akan datang dalam kasus meninggalkan jihad, di antaranya:
Tidak Adanya Kesamaan antara Mujahid dan Non-Mujahid
“Tidaklah sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (balasan) yang baik (surga). Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat dari-Nya, serta ampunan dan rahmat. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(12)
Ini adalah hukum ilahi yang jelas di dalam masyarakat orang-orang beriman, karena tidak boleh menyamakan seorang mujahid dan orang yang berkorban dari orang-orang yang tidak memiliki uzur dengan orang-orang beriman lainnya. Ini bukanlah pengelompokan berdasarkan kelas sosial, kekayaan dan kemiskinan, ilmu dan kebodohan, kekuasaan dan lain-lain… Ini adalah pembagian yang didasarkan pada ketaatan, kewajiban, dan pertolongan untuk kebenaran dengan harta dan jiwa, karena Dia menjadikan mereka lebih unggul dalam derajat dan lebih tinggi dalam kedudukan, dan memberikan kepada para mujahid pahala yang besar. Mungkin pahala ini adalah kebaikan yang melimpah yang terkandung dalam ayat, “…Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Seolah-olah Allah Swt ingin mengatakan kepada mereka, meskipun kalian tidak mengetahui, ini adalah (derajat) dan (pahala yang besar). Sangat bermanfaat untuk melengkapi ayat-ayat ini untuk melihat rahmat ilahi yang khusus bagi mereka saat kematian, dan seolah-olah inilah yang dimaksud dari firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(13)
Dan firman Allah Swt, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”(14)
Dan firman Allah Swt, “…maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala di sisi Allah. Dan di sisi Allahlah ada pahala yang baik”(15); “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”(16)
Ancaman bagi Orang yang Meninggalkan Jihad
Ancaman bagi orang yang meninggalkan jihad, dan isyarat akan hukuman Ilahi, dan bahwa mereka termasuk dalam barisan orang-orang fasik yang kehilangan petunjuk Ilahi, dan konsekuensi dari itu berupa kerusakan, kefasikan, dan hilangnya amanah Ilahi.
“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”(17)
Di sini ada beberapa poin:
Meninggalkan jihad bukan berarti meninggalkan kewajiban yang diperlukan seperti ibadah lainnya, oleh karena itu ia tidak termasuk dalam barisan dosa dan kejahatan yang mungkin dicari oleh seorang Muslim cara untuk menggantinya dengan kebaikan lain untuk menghapusnya dan sejenisnya. Sesungguhnya, penggabungan cinta kepada Allah, Rasul, dan jihad dalam satu ungkapan adalah petunjuk akan keagungan kewajiban ini dan keterikatan padanya, dan bukan hanya keimanan dan keyakinan seperti yang telah kita sebutkan dalam beberapa hal yang telah berlalu, tetapi yang dimaksud adalah cinta dan keterikatan hati yang diikuti dengan ketaatan praktis. Jika salah satu dari tiga hal ini tidak terwujud, itu tidak menghalangi terjadinya hal berikutnya, yaitu menunggu, yang merupakan tempat ancaman.
Ancaman itu diungkapkan dengan frasa “…maka tunggulah…”, artinya tunggulah sampai datang keputusan Allah. Ancaman yang tersembunyi di sini memiliki kekuatan yang tidak tersembunyi, karena ia mencakup semua hukuman, dan meskipun manifestasi sebagiannya dalam ayat-ayat yang akan kita sebutkan, seperti azab dan penggantian, itu tidak menghalangi kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin lebih keras dan lebih buruk, dan mungkin lebih dekat. Oleh karena itu, pintu terbuka bagi banyak kemungkinan yang tidak akan mengakhiri kecemasan manusia atau masyarakat yang meninggalkan jihad.
Sifat ancaman itu jelas melalui tiga hal:
Hal Pertama:
Bahwa itu adalah konsekuensi dari mendahulukan hal-hal yang berkaitan dengan dunia, godaannya, dan perhiasannya di atas cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, jadi wajar jika itu bukanlah sikap yang positif.
Hal Kedua:
“… Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. al-Taubah:24)
Ayat ini mengisyaratkan, hampir secara eksplisit, bahwa konsekuensi dari perbuatan ini adalah bahwa orang-orang ini telah menjadi bagian dari kaum yang fasik. Saya melihat perbedaan antara seseorang yang mengatakan, “Seseorang berbuat maksiat, lalu dia menjadi fasik.” Dan yang mengatakan, “Seseorang berbuat maksiat, lalu dia dimasukkan ke dalam kaum yang fasik.” Yang pertama menghasilkan dampak pribadi, sedangkan yang kedua menghasilkan dampak yang lebih umum, dan Allah Maha Mengetahui.
Hal Ketiga:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepadamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal, kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah mengazabmu dengan azab yang pedih dan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Taubah:38-39)
Perbedaan antara konsekuensi hukuman ini dan hukuman sebelumnya, seperti yang terlihat dari ayat-ayat, adalah bahwa hukuman sebelumnya adalah akibat dari mendahulukan hal-hal duniawi di atas cinta kepada Allah, rasul-Nya, dan jihad (dalam konteks ‘lebih kalian cintai’). Cinta hati (duniawi) ini secara tidak langsung mengakibatkan keengganan dan kemalasan.
Namun, dalam ayat ini, masalahnya berbeda. Hukuman yang menjadi konsekuensinya adalah (keterikatan) pada bumi, artinya tidak ada gerakan, tidak ada kelincahan dalam menanggapi perintah ilahi untuk bergerak sendiri dan berjihad yang ditujukan langsung kepada mereka dalam firman-Nya, “…Berangkatlah (untuk berperang)…”(19)
Mungkin yang lebih memperjelasnya adalah penundaan yang dibangun di atas penjelasan dan penegasan argumen kepada kaum ini, di mana dijelaskan kepada mereka bahwa alasannya adalah kerelaan mereka terhadap dunia, dan pengingat bahwa dunia yang fana ini tidak ada apa-apanya di hadapan akhirat dan janji Allah. Sudah maklum bahwa semakin jelas suatu perintah, semakin gamblang suatu argumen, dan semakin nyata kebenaran dalam pertempuran dan kewajiban, maka semakin berat pula hukumannya.
Hukuman di sini terdiri dari dua hal:
Hal Pertama: Azab yang Pedih
Dari sini tampak—dan Allah Maha Mengetahui—azab duniawi, dengan petunjuk dari firman Allah Swt, “…dan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain…”(20) Seluruh konteks ayat, hingga firman-Nya, “…dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun…”, adalah penjelasan tentang dampak duniawi, karena inilah kenyataan dan makna dari penggantian. Di sini juga dijelaskan sifat, jangkauan, dan ukuran azab. Mungkin penyebutan yang mutlak bertujuan untuk mencakup berbagai manifestasi sesuai dengan tingkat, masalah, dan isu yang ada.
Hal Kedua: Penggantian (Istibdal)
Artinya, Allah tidak lagi membutuhkan mereka dalam melayani risalah dan agama. Ini adalah pengeluaran mereka dari konsekuensi rahmat Ilahi yang khusus bagi para pengikut risalah. Ini akan membawa dampak yang besar dan agung pada tingkat pemikiran, akidah, praktis, politik, ekonomi, dan sejenisnya. Penggantian ini kepada kaum yang lebih baik, seperti dalam firman Allah Swt, “… Dan jika kamu berpaling, Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).”(21) Dan renungkanlah firman Allah Swt, “Dan jika kamu berpaling.” Konsekuensi dari penggabungan kedua ayat ini adalah bahwa keterikatan akan mengarah pada permusuhan dalam keadaan di mana jihad diwajibkan. Ini adalah poin penting dan sensitif yang dialami oleh masyarakat yang religius. Dan inilah yang dimaksud oleh Amirul Mukminin AS dalam perkataannya, “Barang siapa meninggalkannya—jihad—karena enggan, maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan.”(22)
Allah Swt, dalam rangka menegaskan bahwa manfaat dari jihad ini adalah untuk kalian, agar kalian tidak ditimpa azab atau penggantian, menjelaskan bahwa mereka tidak akan merugikan Allah sedikit pun, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Jadi, manfaat jihad hanya kembali kepada kalian, untuk menolak dugaan atau khayalan seperti yang mungkin dibisikkan setan kepada anak Adam.
Agar tidak ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dari ‘berangkat’ di sini lebih umum dari jihad, atau mungkin berbeda, kita sebutkan ayat lain dalam surah al-Maidah, di mana Allah Swt berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”(23)
Ketiga: Tujuan-Tujuan Jihad
Di antara tujuan-tujuan yang disebutkan dalam Alquran untuk jihad adalah:
Membela Islam dan kaum muslim, dan menolak serangan dan kezaliman yang menimpa mereka, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”(24); “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka.”(25)
Menghilangkan fitnah, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah…”(26); “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama itu seluruhnya bagi Allah…”(27)
Orang-orang yang melanggar perjanjian, dan selalu menjadi ancaman bagi umat, “(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka, kemudian mereka melanggar perjanjiannya pada setiap kali (mereka berjanji), dan mereka tidak bertakwa. Maka jika kamu menemui mereka dalam peperangan, cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menghukum) mereka, agar mereka mengambil pelajaran”(28); “…maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki sumpah (perjanjian). Semoga mereka berhenti (dari perbuatannya).”(29)
Mencegah kerusakan di bumi, dan menargetkan ibadah dan manifestasi keberagamaan serta keimanan, “…Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah rusak bumi ini…” (QS. al-Baqarah [2]:251)
“… Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagog-sinagog Yahudi, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah…” (QS. al-Hajj:40)
Menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan. Ini adalah judul yang luas yang mencakup setiap pelanggaran hak dan setiap agresi, “…agar Dia membenarkan yang benar dan membatalkan yang batil, sekalipun orang-orang yang berdosa itu tidak menyukainya.”(30)
Mungkin termasuk di dalamnya adalah melawan para zalim dan membela orang-orang yang tertindas, “Sesungguhnya jalan (siksaan) itu hanyalah bagi orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih”(31); “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak…” (QS. al-Nisa:75)
Mungkin yang dimaksud dari bagian ini adalah jihad primer sesuai dengan istilahnya, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Islam), (yaitu) orang-orang yang diberikan Alkitab, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”(32)
Keempat: Bantuan Gaib Itu Pasti dalam Jihad
Dari apa yang telah kita sebutkan sebelumnya, menjadi jelas bagi kita bahwa jihad yang diwajibkan oleh Alquran bukanlah sekadar kewajiban individu yang dilakukan oleh seorang mukmin untuk menggugurkan kewajibannya saja. Melainkan, ia adalah proyek terpadu dan terstruktur dalam kerangka mewujudkan tujuan ilahi yang setiap aspeknya telah dijaga dengan sangat teliti agar semua orang beriman terlibat di dalamnya. Kita telah menjelaskan bahwa syarat-syarat untuk terwujudnya jihad ini adalah mutlak dan penting, yaitu secara ringkas:
- Unsur-unsur motivasi dan landasan (takwa… mencari jalan mendekat kepada Allah…).
- Unsur-unsur yang menyertai kebenaran dan jalan yang lurus (jihad di jalan Allah…), dan ini memiliki peran mendasar dalam mengidentifikasi pertempuran yang kalian ikuti.
- Unsur-unsur tujuan syar’i dan Ilahi sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah kita sebutkan sebelumnya.
- Unsur-unsur kesiapan dan keyakinan untuk mengerahkan semua kemampuan dan potensi dalam pertempuran ilahi, “…dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu…”
- “Pertanyaan yang diajukan di sini adalah: Apakah ketersediaan unsur-unsur ini cukup bagi suatu proyek untuk menjalankan tugas ini dan memenuhi kewajiban ini? Pada pandangan pertama, tampaknya demikian, tetapi sampai saat ini kita masih berbicara tentang pengantar yang diperlukan untuk mendiagnosis sifat jihad seperti yang kita pahami dari Alquran. Adapun menempuh jalan jihad itu sendiri membutuhkan unsur-unsur tambahan yang juga tunduk pada sunnah dan hukum ilahi yang tidak diabaikan oleh Alquran dan telah dijelaskannya secara rinci, baik dalam pengalaman para nabi as maupun dalam pengalaman Rasulullah yang paling mulia saw dan kaum muslim yang bersamanya. Unsur-unsur ini adalah:
- Mempersiapkan Sarana dan Materi Perang
“Dan siapkanlah untuk mereka (musuh-musuh) apa saja yang kamu sanggup dari kekuatan dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk menggentarkan musuh Allah dan musuhmu serta orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; padahal Allah mengetahuinya. Dan apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu, dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).”(33)
Karena tujuannya adalah keridaan Allah, dan Dia-lah yang menjanjikan kemenangan dan dukungan, kaum muslim tidak boleh berkhayal bahwa selama kemenangan pasti datang, mengapa harus ada kekuatan dan persiapan. Ini adalah pengeluaran konsep jihad dari sifat perangnya, selain fakta bahwa persiapan dan mengambil sarana kekuatan adalah syarat mutlak untuk melaksanakan kewajiban. Oleh karena itu, yang dituntut adalah mengerahkan semua potensi, kemampuan, dan pengalaman militer, keamanan, politik, media, dan ekonomi untuk memasuki pertempuran dan konfrontasi.
Yang dituntut adalah bertarung dan menyerang seperti dalam firman Allah Swt, “…maka tebaslah leher-leher mereka dan penggallah tiap-tiap ujung jari mereka.”(34) Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk mundur atau melarikan diri atau lemah dalam pertempuran, berdasarkan firman Allah Swt, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang bergerak menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Dan barang siapa pada hari itu membelakangi mereka (mundur) kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak bergabung dengan pasukan lain, maka sungguh orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”(35)
Atau seperti dalam surah al-Taubah, “Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka merasakan kekerasan darimu…”(36)
Kekerasan, ketegasan, dan keahlian adalah unsur-unsur penting yang harus ada dalam pertempuran. Jika Ali as tidak memiliki ketegasan dan kekuatan ini, bagaimana orang-orang musyrik akan gentar padanya? Dan bagaimana dia akan menang atas semua kelompok yang dia hadapi di medan perang? Belum lagi perlunya semua unsur yang diperlukan seperti rencana dan metode yang sesuai dengan pertempuran dan sifatnya. Dan lihatlah keringanan ilahi di mana Dia berfirman, “…apa saja yang kamu sanggup…” dan Dia tidak meminta untuk menyediakan kemampuan dan pengalaman yang luar biasa. Yang dituntut adalah menunjukkan kejujuran dalam keimananmu terhadap pertempuran, dan kebenaran yang kamu cari dengan mengerahkan apa yang kamu miliki di medan pertempuran.
- Kesabaran dalam Pertempuran
Jika kesabaran bagi keimanan adalah seperti kepala bagi tubuh, maka kesabaran dalam jihad adalah ruh kemenangan, karena di dalamnya berkumpul sifat-sifat keteguhan, pengorbanan, dan kepasrahan. Seseorang yang melakukan kewajiban jihad tidak boleh tergesa-gesa dalam mencari kemenangan. Karena Allah Swt menjadikan pertempuran sebagai ujian dan cobaan bagi manusia di satu sisi, dan menjadikannya sebagai cara yang alami dan biasa dalam menolak kebatilan dan kerusakan. Jika kemenangan tidak dimaksudkan untuk diraih melalui tangan para mujahid, maka kemenangan bisa saja datang melalui mukjizat dalam sekali waktu, dan ini tidak akan memenuhi tujuan ilahi.
Allah Swt berfirman, “Perangilah mereka! Niscaya Allah akan mengazab mereka dengan tangan-tanganmu dan menghinakan mereka serta menolongmu (menang) atas mereka, dan melegakan hati orang-orang mukmin.”(37)
Karena itu, kita menemukan bahwa kesabaran dalam jihad adalah unsur penting untuk kesempurnaan bentuk dan kenyataannya. Dan atas dasar ini, jalan hidup para nabi as dijalani, “Dan berapa banyak nabi yang berperang, bersamanya para pengikut yang setia dan banyak. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar”(38); “Kemudian sesungguhnya Tuhanmu (melindungi) orang-orang yang berhijrah sesudah mereka difitnah, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sesungguhnya Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(39); “…Dan telah sempurna kalimat Tuhanmu yang baik (janji-Nya) kepada Bani Israil karena kesabaran mereka, dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Firaun dan kaumnya…”(40); “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar” (QS. Ali Imran:142); “Dan sesungguhnya akan Kami uji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan orang-orang yang sabar di antara kamu, dan agar Kami nyatakan (baik buruknya) keadaanmu”(41); “Dan sesungguhnya telah didustakan rasul-rasul sebelum kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang mereka alami), sampai datangnya pertolongan Kami kepada mereka. Dan tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat Allah…”(42)
Adalah wajar bahwa kelompok yang berjihad di jalan Allah, dan demi menegakkan kebenaran, akan menghadapi pengepungan, penganiayaan, keraguan, pelemahan semangat, dan segala macam penyiksaan dari kebatilan dan para pengikutnya. Setiap pertempuran akan menghadapi kejahatan dan keburukan sesuai dengan tujuannya dan sesuai dengan sifat musuh, kekuasaannya, dan kesombongannya. Dan sudah jelas bahwa perlawanan dan konfrontasi tidak dapat terjadi tanpa kesabaran dan ketahanan.
- Tawakkal kepada Allah
Unsur ketiga dan penting dalam jihad adalah tawakkal kepada Allah.
Allah Swt berfirman, “Dan mengapa kami tidak bertawakkal kepada Allah, sedang Dia telah menunjukkan jalan kepada kami? Dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap apa yang kamu sakiti terhadap kami. Dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri”(43); “Dan jika mereka bermaksud menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin”(44); “… Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”(45)
Setelah semua pengantar spiritual dan material, kita sampai pada unsur sentral dalam jihad, yang juga hadir dalam jihad Rasul dan semua nabi as. Yaitu, tidak boleh dalam momen-momen puncak pertempuran melupakan Allah dan kekuasaan-Nya yang mutlak, yang dalam keadaan apa pun Dia berikan untuk menolong orang-orang yang berada di pihak yang benar selama mereka waspada dan bertawakkal kepada-Nya. Namun, jika mereka melupakan-Nya, Dia akan melupakan mereka dan menyerahkan mereka kepada diri mereka sendiri dan kepada hukum-hukum material alami. Dengan ketersediaan unsur ini, syarat-syarat yang diperlukan untuk jihad yang dikehendaki Allah Swt dalam semua tahap dan formasinya menjadi lengkap. Di sini, kemenangan menjadi suatu keharusan dan kepastian. Di sini, alam gaib melayani para mujahid yang sabar dan jujur. Lihatlah ayat-ayat berikut:
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat)”(46); “Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul sebelummu kepada kaum mereka, lalu rasul-rasul itu datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang nyata, lalu Kami melakukan pembalasan (kepada) orang-orang yang berdosa. Dan merupakan kewajiban atas Kami untuk menolong orang-orang yang beriman”(47); “Jika Allah menolongmu, maka tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkanmu; dan jika Allah membiarkanmu, maka siapa lagi yang dapat menolongmu setelah itu? Dan hanya kepada Allahlah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal”(48); “Dan sungguh, telah berlaku firman Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, bahwa sesungguhnya mereka itulah yang akan mendapat pertolongan, dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang akan menang”(49); “Dan sungguh, telah Kami berikan karunia kepada Musa dan Harun, dan Kami selamatkan keduanya dan kaumnya dari kesusahan yang besar. Dan Kami tolong mereka, maka mereka-lah yang menang”(50); “Dan ingatlah ketika kamu (para muhajirin) masih sedikit, tertindas di bumi (Makkah), kamu takut orang-orang akan menculikmu, lalu Allah memberimu tempat tinggal, dan diperkuat-Nya kamu dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”(51)
Di antara manifestasi tawakkal adalah keyakinan dan keteguhan dalam pertempuran. Amirul Mukminin as berkata, “Dan orang seperti aku tidak diancam dengan perang, sementara aku yakin dengan janji Tuhanku.”(52) Di antara manifestasinya juga adalah memperbanyak doa untuk mendapatkan dukungan dan pertolongan ini. Lihatlah firman Allah Swt, “Dan (ingatlah kisah) Nuh, ketika dia berdoa sebelum itu, lalu Kami kabulkan doanya, maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar. Dan Kami tolong dia dari kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat, maka Kami tenggelamkan mereka semuanya”(53); “(Luth berdoa),(54) ‘Ya Tuhanku! Tolonglah aku dari kaum yang berbuat kerusakan itu’”(55); “(Hud berkata), ‘Ya Tuhanku! Tolonglah aku karena mereka mendustakan aku’”(56); “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa kesengsaraan dan penderitaan, dan diguncangkan (dengan berbagai cobaan), sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, ‘Kapankah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.”(57)
Sampai saat ini, kita telah menyebutkan turunnya pertolongan ilahi kepada orang-orang mukmin yang tulus. Tapi di mana kaidah dan sunnahnya, dan di mana kepastiannya? Sesungguhnya, dalam firman Allah Swt, “Sesungguhnya mereka itulah yang akan mendapat pertolongan, dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang akan menang,”(58) atau firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman…,” semua ayat yang kita sebutkan berbicara tentang kepastian kemenangan ini dan konteksnya adalah janji ilahi. Apakah kita dapat memahami dari keseluruhan ayat bahwa setiap jihad yang memenuhi unsur-unsur yang disebutkan akan menghasilkan kemenangan di dunia, sehingga kita tidak perlu melakukan penafsiran atau perluasan konsep seperti yang coba dilakukan oleh sebagian orang yang mengatakan, “Maksudnya di sini lebih umum dari keberhasilan duniawi atau ukhrawi”?
Setelah menelusuri banyak ayat yang berbicara tentang kemenangan, saya menemukan dua sumber yang mengisyaratkan terjadinya kepastian ini dalam konteks kalimat bersyarat, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”(59); “… Dan sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.” (QS. al-Hajj:40)
Jadi, kepastian turunnya pertolongan muncul ketika seseorang menolong agama Allah, dan ini adalah janji yang tidak akan berbeda atau ingkar. Pembahasannya tetap pada bagaimana kita bisa memastikan bahwa kita menolong agama Allah. Apakah semua unsur yang telah kita sebutkan sudah cukup, atau adakah isyarat yang lebih jelas tentang sifat suatu unsur atau syarat? Di sini, saya kembali kepada tawakal kepada Allah dan tingkatannya, karena pada salah satu tingkatannya, tidak mungkin pertolongan ilahi ini tidak terwujud, sebab di dalamnya terdapat pertolongan yang jelas dan sempurna bagi Allah Swt. Dan perhatikanlah perbedaan antara ayat-ayat sebelumnya yang menyebutkan permintaan pertolongan, “…Tuangkanlah kesabaran atas kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir…”; “Ya Tuhanku! Tolonglah aku dari kaum yang berbuat kerusakan…”; “Kapankah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat…”
Kemudian, perhatikanlah baik-baik firman Allah Swt dalam surah al-Anfal, “Dan jika mereka berpaling (tidak beriman dan tidak berjihad), maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”(60)
Dan perhatikanlah baik-baik firman Allah Swt dalam surah al-Baqarah untuk sampai pada kesimpulan yang menentukan dan final, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksaan) dari (kejahatan) yang dilakukannya. (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami! janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami! janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami! janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Berilah kami maaf, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau-lah Pelindung kami, maka tolonglah kami atas kaum yang kafir.’”(61)
Dengan firman-Nya, “… Engkau-lah Pelindung kami…,” tingkat perlindungan kepada Allah Swt ini layak diikuti dengan doa dengan huruf (fā’) yang menunjukkan urutan, dan bukan huruf (wāw) yang hanya menunjukkan doa. Dan dibandingkan dengan ayat sebelumnya, “… Allah Pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong,” bukan kebetulan bahwa (Pelindung) dikaitkan dengan (Penolong). Seolah-olah—dan Allah Maha Mengetahui—turunnya pertolongan berpusat pada perlindungan dan penolakan semua perantara lainnya. Inilah yang dapat kita sebut “Jihad dengan Allah”, dan bukan hanya “Jihad di jalan Allah” yang membimbing jalan, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, sungguh Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami…”(62) Karena ayat itu membedakan antara keteguhan pada jalan Allah, dan berperang dalam pertempuran serta menghadapi semua musuh dengan hanya bergantung pada Allah dan menolak segala perantara dan sebab.
Tingkat jihad ini membutuhkan kewalian (perlindungan) yang sejati dan sempurna kepada Allah Swt, dan yang mencapai tingkat ini adalah kelompok yang disebutkan Alquran dalam surah al-Maidah, “Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai pelindung, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang akan menang.”(63)
Dan inilah yang menjelaskan maksud ilahi dengan lebih baik dalam surah al-Mujadilah, “Allah telah menetapkan: ‘Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.’ Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, atau keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah Dia tanamkan keimanan dalam hati mereka dan Dia menguatkan mereka dengan ruh dari-Nya. Dan akan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.”(64)
Ayat ini datang dalam konteks gaya dakwah untuk berjihad yang ditujukan kepada orang-orang yang membenci jihad. Allah Swt berbicara kepada kelompok ini dengan berlandaskan pada keimanan dan keyakinan mereka bahwa Dia mengetahui sementara mereka tidak. Dia berfirman kepada mereka setelah menjelaskan esensi kewajiban, “Diwajibkan atas kamu berperang…” (QS. al-Baqarah [2]:216), bahwa apa yang kalian anggap buruk mungkin pada kenyataannya baik, dan sebaliknya. Jadi, patuhilah perintah-Ku (berperang) karena Aku mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui kebaikan atau keburukan ini.
Kita menemukan dalam ayat tersebut pola baru dalam berinteraksi dengan dakwah jihad, yang berbicara kepada kelompok yang telah melewati masalah kebencian terhadap perang, yaitu mereka yang terikat pada dunia dan beban-bebannya. Mereka membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan cara lain, maka datanglah firman Allah Swt untuk mengajak mereka meninggalkan keterikatan dunia, baik yang ringan maupun yang berat, dan Dia menjanjikan mereka kebaikan yang merupakan konsekuensi dari partisipasi dalam jihad, yang lebih baik dari kebaikan dunia, “…Itulah yang lebih baik bagimu…” (QS. al-Taubah:41).
Kita menemukan dalam gaya ini bahwa Allah Swt tidak hanya cukup dengan mengisyaratkan kebaikan yang tergantung pada jihad, tetapi Dia menetapkannya sebagai surga, yang merupakan balasan bagi para mujahid, karena dampaknya pada jiwa.
Pesan dalam ayat ini mengisyaratkan dua kelompok yang tidak setara dari mereka yang menanggapi perintah jihad. Mereka yang memenuhi seruan jihad sebelum penaklukan Mekah lebih baik daripada mereka yang menanggapi setelah penaklukan, meskipun masing-masing memiliki pahalanya, tetapi tidak pada tingkat yang sama menurut ayat tersebut.
Dalam ayat ini, ada penjelasan yang jelas bahwa orang-orang mukmin yang tidak ragu adalah para mujahid, dan bahwa orang-orang yang tidak berjihad adalah mereka yang keimanannya dicemari oleh keraguan. Seolah-olah dalam ayat tersebut ada garis pemisah, yaitu menanggapi seruan jihad yang merupakan kebenaran dalam iman, dan tidak menanggapi, yang merupakan ketidakbenaran dalam iman.
Kita melihat dalam ayat-ayat ini serangkaian gaya dalam dakwah jihad yang bervariasi sesuai dengan tingkat dan kondisi manusia, di mana setiap tingkat ini membutuhkan gaya persuasi. Dan karena pentingnya jihad, maka gaya-gaya ini pun datang.(65)
Catatan Kaki:
- al-Hajj [22]:40, hal.337.
- al-Nisa [4]:75, hal.90.
- al-Baqarah [2]:251, hal.41.
- al-Maidah [5]:35, hal.113.
- al-Taubah [9]:73, hal.199.
- al-Anfal [8]:65, hal.185.
- al-Baqarah [2]:216, hal.34.
- al-Taubah [9]:41, hal.194.
- al-Shaff [61]:10 dan 11, hal.552.
- al-Hadid [57]:10, hal.538.
- al-Hujurat [49]:15, hal.517.
- al-Nisa [4]:95 dan 96, hal.94.
- al-Baqarah [2]:218, hal.34.
- Ali Imran [3]:142, hal.68.
- Ali Imran [3]:195, hal.76.
- al-Shaff [61]:4, hal.551.
- al-Taubah [9]:24, hal.190.
- al-Taubah [9]:38 dan 39, hal.193.
- al-Taubah [9]:38, hal.193.
- al-Taubah [9]:39, hal.193.
- Muhammad [47]:38, hal.510.
- Nahjul Balaghah, khotbah Imam Ali as, jil.1, hal.67.
- al-Maidah [5]:54, hal.117.
- al-Baqarah [2]:190, hal.29.
- al-Hajj [22]:39, hal.337.
- al-Baqarah [2]:193, hal.30.
- al-Anfal [8]:39, hal.181.
- al-Anfal [8]:56 dan 57, hal.184.
- al-Taubah [9]:12, hal.188.
- al-Anfal [8]:8, hal.177.
- al-Syura [42]:42, hal.487.
- al-Taubah [9]:29, hal.191.
- b. QS. al-Anfal [8]:60, hal.184.
- al-Anfal [8]:12, hal.178.
- al-Anfal [8]:15 dan 16, hal.178.
- al-Taubah [9]:123, hal.207.
- al-Taubah [9]:14, hal.189.
- Ali Imran [3]:146, hal.68.
- al-Nahl (16]:110, hal.279.
- al-A’raf [7]:137, hal.166.
- Muhammad [47]:31, hal.510.
- al-An’am [6]:34, hal.131.
- Ibrahim [14]:12, hal.257.
- al-Anfal [8]:62, hal.185.
- al-Thalaq [65]:3, hal.558.
- Ghafir [40]:51, hal.473.
- al-Rum [30]:47, hal.409.
- Ali Imran [3]:160, hal.71.
- al-Shaffat [37]:171-173, hal.452.
- al-Shaffat [37]:114-116, hal.450.
- al-Anfal [8]:26, hal.180.
- Nahjul Balaghah, khotbah Imam Ali as, jil.1, hal.60.
- al-Anbiya [21]:76 dan 77, hal.328.
- al-Baqarah [2]:250-25, hal.-1.
- al-Ankabut [29]:30, hal.399.
- al-Mukminun [23]:26, hal.343.
- al-Baqarah [2]:214, hal.33.
- al-Shaffat [37]:172 dan 173, hal.452.
- Muhammad [47]:7, hal.507.
- al-Anfal [8]:40, hal.181.
- al-Baqarah [2]:286, hal.49.
- al-Ankabut [29]:69, hal.404.
- al-Maidah [5]:56, hal.117.
- al-Mujadilah [58]:21 dan 22, hal.544.
- Sumber: Website Ma’had al-Ma’arif al-Hikmiyah untuk Studi Keagamaan dan Filosofis.