Oleh: Syekh Hasan Shaffar
Setiap pemimpin mungkin menginginkan kesetiaan mutlak dari orang-orang di sekitarnya, dan agar tanggapan mereka sepenuhnya sesuai dengan pendapat dan perintahnya. Dengan demikian, dia tidak perlu memikirkan pendapat yang berbeda, dan tidak ada posisi oposisi yang menghambat rencana dan programnya.
Namun, hal ini biasanya mustahil terjadi dalam masyarakat manusia. Siapa pun yang mengambil posisi kepemimpinan dan otoritas—baik agama maupun politik—tidak akan luput dari penentang, pembangkang, atau pesaing. Dan ujian sejati bagi setiap kepemimpinan adalah bagaimana menghadapi situasi-situasi semacam itu.
Pendekatan umum yang digunakan oleh para pemimpin politik dan agama dalam masyarakat non-demokratis adalah menolak dan menindas kasus-kasus tersebut, dengan berbagai alasan dan justifikasi, seperti menganggap mereka kafir dan pembangkang, atau menghukum mereka karena pengkhianatan dan perpecahan, atau menuduh mereka melakukan kerusakan dan penghancuran.
Pendekatan ini berasal dari mentalitas otoritarianisme, pembesaran diri, dan cinta akan dominasi serta penguasaan. Hal ini mengarah pada marjinalisasi masyarakat dan penghancuran potensi serta kompetensinya. Ini juga menjadi dasar bagi perpecahan, konfrontasi, dan konflik.
Nabi saw, sebagai pemimpin agama dan politik, menghadapi situasi-situasi ini di dalam masyarakat yang dia bangun dan pimpin. Bukan hanya di ranah eksternal yang diwakili oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang kafir—penderitaan beliau dari mereka, konfrontasi dengan mereka, dan peperangan beliau melawan mereka sudah diketahui dan jelas—melainkan juga di ranah internal yang diwakili oleh gerakan-gerakan penentang dan elemen-elemen yang membangkang di dalam masyarakat Islam di Madinah.
Ayat-ayat Alquran, sunah yang mulia, dan riwayat-riwayat dari Sirah Nabawiyah mengindikasikan keberadaan gerakan dan elemen-elemen tersebut.
Lalu, bagaimana pendekatan Nabi saw dalam menghadapi mereka?
Sulit untuk mengidentifikasi semua peran dan tindakan yang dilakukan oleh kaum munafik dalam menentang gerakan Islam dan menghadapi kepemimpinan Rasulullah. Satu saja dari peran dan tindakan tersebut sudah cukup bagi Rasulullah untuk melancarkan pukulan telak kepada para pemimpin dan pengikut mereka. Para sahabat senior sering kali menyarankan Nabi saw untuk menggunakan kekuatan untuk mengendalikan kaum munafik dalam banyak situasi.
Ayat-ayat Alquran dalam mengungkap rencana kaum munafik, mengecam konspirasi mereka, memperingatkan mereka, dan memerintahkan untuk memerangi mereka juga memberikan kesempatan bagi Nabi saw untuk menghadapi dan menindas mereka jika beliau menghendakinya, seperti firman Allah Swt, “Wahai Nabi! Berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”(1) Ayat ini diulangi dengan teks yang sama dalam surah al-Tahrim ayat 9.
Namun, apa yang mengejutkan adalah keluasan dada Rasulullah dan kesabarannya yang luar biasa terhadap semua pelanggaran serius dan tindakan permusuhan mereka.
Beliau menghadapi mereka dengan kesabaran yang panjang dan mendalam, dan menerapkan kebijakan asimilasi dan akomodasi kepada mereka, yang dapat kita pahami dalam poin-poin berikut:
- Tidak menggunakan kekuatan dan penindasan, meskipun ada provokasi dan kejahatan mereka. Beliau tidak memperlakukan mereka sebagai musuh yang berperang, tidak membunuh seorang pun dari mereka, tidak memenjarakan seorang pun, tidak mencambuk seorang pun, dan tidak mengusir seorang pun. Peneliti Muhammad Izzat Darwazah menegaskan bahwa “tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah menganggap kaum munafik sebagai musuh yang berperang atau memperlakukan mereka demikian, atau memerintahkan untuk membunuh mereka, atau membunuh tokoh-tokoh mereka, karena sifat munafik, atau karena sikap yang muncul darinya dari berbagai sikap yang diceritakan oleh ayat-ayat yang turun tentang mereka di berbagai fase wahyu, yang berisi banyak gambaran tentang penganiayaan, konspirasi, ejekan terhadap Allah, rasul-Nya, dan ayat-ayat-Nya, berbisik-bisik dalam dosa dan permusuhan dan tidak mematuhi Rasul, menghalangi jihad dan menipu di dalamnya, menyebarkan intrik dan membangkitkan fitnah dan kebencian, menyebarkan perbuatan keji dan membuat panik di kalangan kaum muslim yang menimbulkan kecemasan dan kepanikan mereka, menganiaya istri-istri kaum muslim, bahkan istri-istri Nabi saw, serta bersekutu dengan musuh-musuh Islam dan mencintai mereka.
Nabi saw menganggap apa yang ada dalam ayat-ayat Alquran sebagai pedoman yang pelaksanaannya diserahkan kepada beliau untuk menilai keadaannya, dan melanjutkannya sesuai dengan kepentingan Islam dan kaum muslim, terutama karena beberapa ayat yang berkaitan dengan hal ini disisipi dengan kalimat-kalimat yang menginspirasi makna bersyarat, seperti kalimat, “…maka jika mereka bertobat, itu lebih baik bagi mereka…”(2), dan, ‘Sungguh, jika orang-orang munafik itu tidak berhenti…’(3), dan, ‘…maka jika mereka berpaling, tangkaplah dan bunuhlah mereka…’(4), dan, ‘…jika Kami memaafkan sebagian dari kalian, Kami akan mengazab sebagian (yang lain)…’(5), dan seterusnya.” (Muhammad ‘Izzat Darwazah, Sirah al-Rasul, jilid 2, halaman 87).
- Tidak merampas hak-hak sipil mereka. Mereka menikmati hak-hak kewarganegaraan secara penuh seperti kaum muslim lainnya, mereka menghadiri masjid, menyampaikan pendapat mereka dalam masalah-masalah masyarakat, dan mengambil bagian dari rampasan perang serta tunjangan dari Baitulmal.
Bahkan lebih dari itu, Rasulullah saw senantiasa berbuat baik kepada mereka, melindungi mereka dengan kelembutannya, dan menyertakan mereka dalam akhlaknya yang mulia.
Ini terlihat ketika beliau menjadi perantara untuk para pengkhianat dari Yahudi Bani Qainuqa yang rumah-rumah mereka berada di dalam Madinah. Nabi telah mengadakan perjanjian damai dengan mereka, bahwa mereka tidak akan berbuat buruk kepada kaum muslim dan tidak akan membantu musuh-musuh mereka. Namun, mereka tidak mematuhi perjanjian, dan mulai memprovokasi dan menyakiti kaum muslim. Rasulullah saw menasihati dan memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak jera, dan tanda-tanda persiapan mereka untuk menghadapi kaum muslim mulai terlihat. Maka, Nabi saw segera mengepung mereka pada pertengahan bulan Syawal tahun ke-2 Hijriah. Mereka berlindung di benteng-benteng mereka selama 15 malam, kemudian mereka bernegosiasi untuk menyerah tanpa syarat.
Abdullah bin Ubay bertaruh pada keteguhan Bani Qainuqa dan konfrontasi mereka, tetapi ketika dia melihat mereka menyerah, harapannya pupus. Namun, dia meminta Nabi saw untuk memberikan pengampunan umum kepada mereka, dengan alasan bahwa mereka adalah sekutu Khazraj sebelum Islam, dia berkata, “Wahai Muhammad! Berbuat baiklah kepada sekutu-sekutuku.” Beliau berpaling darinya, tetapi dia memasukkan tangannya ke dalam kantong baju besi Rasulullah saw. Rasulullah saw berkata kepadanya, “Lepaskan aku,” dan Rasulullah saw marah hingga terlihat bayangan di wajahnya. Lalu beliau berkata, “Celakalah kamu! Lepaskan aku!” Ibnu Ubay berkata, “Demi Allah! Aku tidak akan melepaskanmu sampai kamu berbuat baik kepada sekutu-sekutu ku, empat ratus orang yang tidak memakai baju besi dan tiga ratus orang yang memakai baju besi, yang telah melindungiku dari merah dan hitam. Kamu akan membinasakan mereka dalam satu pagi. Demi Allah! Aku adalah orang yang takut akan perubahan nasib!” Maka Rasulullah saw berkata, “Mereka adalah milikmu.” Beliau mengabulkan permintaannya yang mendesak dan memaafkan mereka agar mereka semua keluar dari Yatsrib dengan selamat.(6)
Catatan Kaki:
- al-Taubah [9]:73, hal.199.
- al-Taubah [9]:74, hal.199.
- al-Ahzab [33]:60, hal.426.
- al-Nisa [4]:89, hal.92.
- al-Taubah [9]:66, hal.197.
- Kantor Syekh Hasan al-Shaffar, 16/4/2005 M.