ICC Jakarta kembali menyelenggarakan program NGOBRAS (Ngobrolin Agama & Sains) Seri Ke-2 pada Jumat, 19 September 2025, di Aula Imam Khomeini lantai 3. Acara ini merupakan kerja sama ICC, Ijabi, dan Puskabi, dengan menghadirkan Dimitri Mahayana, Dosen STEI ITB Bandung, sebagai narasumber, serta dipandu oleh Syafin Al-Mandari, Koordinator Divisi Riset & Kegiatan Ilmiah ICC Jakarta, sebagai moderator.
Syafin Al-Mandari membuka kegiatan dengan menjelaskan kesinambungan diskusi dari pertemuan sebelumnya. Pada seri pertama, peserta diajak membedah persoalan kecerdasan buatan bersama Dimitri Mahayana. Dari pertemuan itu disadari bahwa gambaran kecerdasan buatan tidak sehebat yang sering dipublikasikan, dan kecerdasan sejati justru terletak pada akal manusia. Kecerdasan buatan memang mampu membantu dalam manajemen, analisis, maupun pengambilan keputusan, bahkan kini ada yang diangkat sebagai menteri di beberapa negara. Namun tetap ada ruang bagi manusia untuk mempertanyakan informasi dan analisis yang dihasilkannya. Pada seri kedua ini, moderator mengarahkan pembahasan kepada dimensi kesadaran. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah kecerdasan buatan memiliki kesadaran sebagaimana manusia. Syafin Al-Mandari menambahkan bahwa tema tidak hanya mencakup kecerdasan buatan, melainkan juga alam, karena dalam keyakinan lama benda-benda tertentu diyakini memiliki energi. Di dalam Al-Qur’an pun disebutkan bahwa seluruh semesta bertasbih kepada Allah, sehingga muncul pertanyaan apakah hal ini dapat dipahami sebagai bentuk kesadaran alam.
Dimitri Mahayana memulai pemaparannya dengan mengangkat kisah Eben Alexander, seorang ahli bedah saraf dan neurolog yang dikenal sebagai materialis tulen, tidak mempercayai eksistensi ruh, surga, dan neraka, serta menganggap pengalaman spiritual hanya hasil reaksi kimia otak. Namun pada usia 55 tahun beliau mengalami near-death experience setelah meningitis yang membuatnya koma selama tujuh hari. Dalam keadaan koma ia mengalami perjalanan spiritual yang kemudian mengubah pandangannya. Setelah pulih, Eben Alexander menulis buku-buku tentang pengalaman tersebut dan menghubungkannya dengan gagasan filsuf sains David Chalmers mengenai hard problem of consciousness, yaitu persoalan yang tidak dapat dijelaskan bagaimana kesadaran dapat muncul dari materi, biokimia, atau biofisika. Eben Alexander mengemukakan tiga bukti adanya kehidupan setelah mati, termasuk pengalamannya sendiri serta ribuan pengalaman serupa dari orang lain, dan menyimpulkan bahwa kesadaran bersifat immaterial. Dimitri Mahayana menambahkan bahwa dalam filsafat Mulla Sadra kesadaran meresapi seluruh alam semesta dan memiliki hirarki, karena filsafat Mulla Sadra adalah gabungan rasionalitas, intuisi, Al-Qur’an, dan riwayat Ahlul Bait.
Dimitri Mahayana kemudian membedakan antara kecerdasan buatan sebagai silikon mineral, yaitu bahan dasar transistor, dengan kecerdasan buatan sebagai sistem. Beliau menyampaikan pandangan tiga tokoh: Kastrup, filsuf idealisme analitik; Penrose, matematikawan Oxford, peraih Nobel, sekaligus penemu teori black hole; serta Kurt Godel, sahabat Einstein. Menurut ketiganya, kesadaran tidak akan pernah bisa muncul dari algoritma atau sistem komputasi. Dari Kastrup dijelaskan bahwa sekalipun kecerdasan buatan tampak mirip dengan manusia dalam menjawab pertanyaan, bahkan melampaui Turing Test yang dahulu dirancang Alan Turing, kemiripan fungsional itu tidak berarti ada kesadaran. Kecerdasan buatan tetap tidak memiliki pengalaman batin, hanya memanipulasi simbol. Kastrup menyebut kondisi ini sebagai kegilaan kecerdasan buatan.
Dimitri Mahayana meneruskan dengan pandangan David Chalmers yang menegaskan bahwa pengalaman subjektif tidak dapat direduksi oleh deskripsi fisik. Beliau lalu menguraikan Teorema Ketaklengkapan Godel yang membuktikan bahwa setiap sistem matematika hanya memiliki dua kemungkinan: jika konsisten maka tidak lengkap, dan jika lengkap maka kontradiktif. Teorema ini membantah filsafat matematika dominan pada masanya yang dipengaruhi Russell dan Whitehead. Dari sini Dimitri Mahayana menekankan bahwa silikon yang diprogram tidak akan bisa memiliki kesadaran karena kesadaran pada dirinya sendiri bersifat lengkap sekaligus konsisten tanpa membutuhkan argumen eksternal.
Menurut Dimitri Mahayana, Penrose berpendapat bahwa kecerdasan buatan hanyalah sistem komputasi yang tidak dapat memiliki pemahaman matematika sejati. Karena manusia tidak algoritmik, kecerdasan buatan tidak akan pernah mencapai pemahaman sebagaimana manusia. Kecerdasan buatan hanya bisa membandingkan data, misalnya kisah kesedihan seseorang, dengan basis data yang dimilikinya, tetapi tidak mampu menangkap perasaan yang sesungguhnya. Penrose menyimpulkan bahwa kesadaran manusia melampaui sistem formal, sehingga tidak bisa dijelaskan dengan komputasi.
Dimitri Mahayana juga menguraikan pandangan David Chalmers yang menunjukkan bahwa hal-hal material tidak bisa menjelaskan munculnya kesadaran. Kecerdasan buatan terlihat seolah sadar karena mampu memodelkan bahasa manusia, tetapi sesungguhnya sama seperti sistem kendali otomatis pada rudal yang tampak hidup karena mampu mengejar target, padahal sejatinya benda mati.
Selanjutnya Dimitri Mahayana membahas filsafat Mulla Sadra yang memberikan perspektif berbeda dari filsafat sebelumnya. Jika filsafat klasik memandang perubahan hanya pada kualitas atau aksiden, Mulla Sadra menyatakan bahwa substansi itu sendiri bergerak dan berubah. Beliau juga tidak membedakan secara tegas antara subjektif dan objektif, pandangan yang menurut Dimitri Mahayana berhubungan dengan tren sains modern. Mulla Sadra memandang jiwa bukan sebagai aksiden tubuh, melainkan sebagai prinsip yang melekat pada tubuh. Jiwa bermula dari keadaan kosong sebagaimana pandangan Aristoteles bahwa manusia lahir tanpa pengetahuan, kemudian berkembang seiring pertumbuhan tubuh. Potensi jiwa berkembang terus hingga tubuh tidak lagi mampu menampungnya, yang dikenal sebagai kematian. Dalam pandangan ini, semua makhluk memiliki kesadaran dan berusaha mencapai tingkat ontologis yang lebih tinggi. Namun Dimitri Mahayana menegaskan bahwa belum ada bukti cukup bahwa algoritma mampu meningkatkan tingkat ontologis sebagaimana jiwa manusia. Karena itu, walaupun kecerdasan buatan mampu memberikan simulasi yang sangat meyakinkan, tetap saja ia hanya berupa simulasi tanpa kesadaran sejati.