Pada Kamis malam, 25 September 2025, Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menggelar kelas Tafsir Maudhu’i yang disampaikan oleh Syaikh Mohammad Sharifani dan diterjemahkan oleh Ustaz Hafidh Alkaf. Kajian malam itu merupakan lanjutan pembahasan yang dimulai pada malam Jumat sebelumnya tentang makna istighfar, urgensi istighfar berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan riwayat-riwayat, serta konteksnya dalam kehidupan spiritual. Pada pertemuan malam ini Syaikh Mohammad Sharifani mengarahkan pembahasan kepada apa yang dapat diwujudkan dan dipersiapkan manusia ketika melakukan istighfar.
Syaikh Mohammad Sharifani membuka dengan penegasan bahwa istighfar adalah suatu kondisi kejiwaan seseorang untuk kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau menjelaskan bahwa ada beberapa kondisi yang menjadi pemicu atau prasyarat bagi seseorang untuk berada dalam kondisi beristighfar. Pertama adalah keimanan. Syaikh Mohammad Sharifani merujuk pada Surah Ali Imran ayat 193: “Rabbanâ innanâ sami‘nâ munâdiyayan yunâdî lil-îmâni an âminû birabbikum fa âmannâ rabbanâ faghfir lanâ dzunûbanâ wa kaffir ‘annâ sayyi’âtinâ wa tawaffanâ ma‘al-abrâr.” Menurut beliau, meminta ampun atas dosa-dosa masa lalu sangat terkait erat dengan keimanan; do’a permohonan ampun muncul sebagai respons orang beriman terhadap seruan untuk beriman kepada Tuhan.
Kedua adalah dzikir. Syaikh Mohammad Sharifani mengutip Surah Ali Imran ayat 135: “Walladzîna idzâ fa‘alû fâḫisyatan au dhalamû anfusahum dzakarullâha fastaghfarû lidzunûbihim, wa may yaghfirudz-dzunûba illallâh, wa lam yushirrû ‘alâ mâ fa‘alû wa hum ya‘lamûn.” Beliau memaparkan bahwa dzikir, meskipun pada mulanya belum sepenuhnya menghadirkan hati, akan membiasakan seseorang dan mendorongnya untuk meninggalkan maksiat. Akan tetapi, Syaikh Mohammad Sharifani menegaskan bahwa ampunan Allah untuk pelaku dosa memiliki syarat: tidak mengulangi perbuatan dosa itu. Selain itu, Syaikh Mohammad Sharifani menyebutkan bahwa waktu yang tepat juga turut menciptakan kondisi untuk berdzikir; beliau mengutip Surah Adz-Dzariyat ayat 18: “Wa bil-as-khâri hum yastaghfirûn,” bahwa pada akhir malam—sahar—orang-orang tersebut memohon ampunan kepada Allah. Dalam pertemuan sebelumnya beliau juga menyinggung waktu-waktu yang utama untuk berdzikir, antara lain malam Idul Adha, bulan Rajab, dan waktu Ashar pada hari Jumat.
Syaikh Mohammad Sharifani selanjutnya mengangkat sebuah hadis Qudsi yang menyebutkan bahwa apabila Allah hendak menurunkan azab kepada penduduk bumi, Allah menahannya karena melihat ada orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah Allah, orang yang bertahajud, yang berkasih sayang karena Allah, serta orang yang beristighfar di waktu sahar; karena itu azab tidak diturunkan. Penekanan beliau adalah pada keutamaan waktu sahar dan pada kekuatan praktik ibadah kolektif dan konsisten sebagai pencegah azab.
Setelah membahas kondisi yang menggerakkan manusia kepada istighfar, Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan tata cara atau aturan beristighfar yang berangkat dari memahami sifat-sifat Allah. Pertama, memahami Allah sebagai Pencipta. Beliau merujuk kepada Surah Hud ayat 61: “Wa ilâ tsamûda akhâhum Shâliḥâ, qâla yâ qaumi‘budullâha mâ lakum min ilâhin ghairuh, huwa ansya’akum minal-ardli wasta‘marakum fîhâ fastaghfirûhu tsumma tûbû ilaîh, inna rabbî qarîbun mujîb.” Menurut Syaikh Mohammad Sharifani, istighfar merupakan bentuk balasan atas nikmat penciptaan dan anugerah-anugerah di muka bumi sehingga manusia diperintahkan memohon ampun dan bertobat kepada Yang Maha Dekat lagi Maha Mengabulkan.
Kedua, memahami Allah sebagai Wali yang berkuasa. Syaikh Mohammad Sharifani menyinggung kisah 70 orang dari kaum Nabi Musa yang terpilih untuk miqat dan kemudian meminta untuk melihat Allah sehingga dibinasakan dengan petir. Dalam konteks itu beliau mengutip Surah Al-A’raf ayat 155: “Anta waliyyunâ faghfir lanâ war-ḥamnâ wa anta khairul-ghâfirîn,” yang menunjukkan Nabi Musa memohon ampun dan rahmat kepada Tuhan yang menjadi pelindung dan pemilik kekuasaan.
Ketiga, memahami Allah sebagai Rabb yang mengurus dan mengatur seluruh makhluk. Syaikh Mohammad Sharifani merujuk kepada beberapa ayat yang menampilkan doa hamba kepada Rabb, antara lain ayat-ayat yang berisi permintaan ampun dan rahmat: Surah Shad (dengan redaksi tentang segolongan hamba yang berdoa), Surah Al-Mu’minun ayat 118: “Wa qur rabbighfir war-ḫam wa anta khairur-raḥimîn,” serta contoh-contoh doa lain yang menegaskan peran Rabb sebagai pemberi rahmat.
Keempat, memahami Allah sebagai Tuhan yang Qadir. Syaikh Mohammad Sharifani mengutip Surah At-Tahrim ayat 8: “Yaqûlûna rabbanâ atmim lanâ nûranâ waghfir lanâ, innaka ‘alâ kulli syai’in qadîr.” Beliau mengaitkan ayat ini dengan ajakan untuk taubat nasuha, lalu menyajikan redaksi seruan: “Yâ ayyuhalladzîna âmanû tûbû ilallâhi taubatan nashûḥâ, ‘asâ rabbukum ay yukaffira ‘angkum sayyi’âtikum wa yudkhilakum jannâtin tajrî min taḥtihal-anhâr…” sebagai konteks janji ampunan dan ganjaran bagi yang bertobat dengan sungguh-sungguh.
Kelima, sifat Allah yang menunjukkan kemuliaan dan kebijaksanaan-Nya, yang digambarkan oleh Syaikh Mohammad Sharifani melalui Surah Al-Mumtahanah ayat 5: “Rabbanâ lâ taj‘alnâ fitnatal lilladzîna kafarû waghfir lanâ rabbanâ, innaka antal-‘azîzul-khakîm.” Beliau menyebutkan bahwa pengakuan akan kemuliaan dan hikmah Allah menjadi landasan etis dalam memohon ampun.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menegaskan peran tawasul dalam istighfar. Beliau menyebut Surah An-Nisa ayat 64: “Wa mâ arsalnâ mir rasûlin illâ liyuthâ‘a bi’idznillâh, walau annahum idz dhalamû anfusahum jâ’ûka fastaghfarullâha wastaghfara lahumur-rasûlu lawajadullâha tawwâbar raḥîmâ,” sebagai dalil bahwa apabila orang datang kepada Rasul setelah menzalimi dirinya dan memohon ampun, maka Rasul memohonkan ampun untuk mereka dan mereka akan menemukan Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Dalam penjelasan beliau, tawasul kepada Allah melalui perantaraan syafaat Rasul menjadi bagian tata etika beristighfar yang sesuai dengan syariat.
Etika istighfar berikutnya yang ditekankan Syaikh Mohammad Sharifani adalah kejujuran dalam mengakui dosa. Beliau menunjuk pada Surah Al-A’raf ayat 23: “Qâlâ rabbanâ dhalamnâ anfusana wa il lam taghfir lanâ wa tar-ḥamnâ lanakûnanna minal-khâsirîn,” sebagai contoh Nabi Adam yang mengakui kesalahan diri ketika memohon ampun. Beliau juga merujuk ke doa Abu Hamzah dan Munajat Sya’baniyah sebagai praktik-praktik tradisional yang menonjolkan pengakuan dosa dan kerendahan hati. Dalam konteks ini Syaikh Mohammad Sharifani menyinggung pula Surah Al-Fath ayat 11 yang mengkritik mereka yang mengucapkan permohonan ampun hanya dengan lisan tanpa kesungguhan hati: “Sayaqûlu lakal-mukhallafûna minal-a‘râbi syaghalatnâ amwâlunâ wa ahlûnâ fastaghfir lanâ, yaqûlûna bi’alsinatihim mâ laisa fî qulûbihim…”; dari ayat ini beliau menekankan bahwa kejujuran hati merupakan syarat penting dalam istighfar.
Terkait hukum dan cakupan istighfar, Syaikh Mohammad Sharifani menyampaikan bahwa istighfar adalah wajib untuk diri sendiri dan dianjurkan untuk memintakan ampunan bagi orang-orang yang dicintai, merujuk pada redaksi “Wastaghfirû rabbakum tsumma tûbû ilaih, inna rabbî raḥîmuw wadûd” sebagai perintah untuk memohon ampun dan bertobat. Namun beliau juga menjelaskan adanya batasan: tidak boleh memohonkan ampun bagi orang-orang musyrik setelah jelas bahwa mereka adalah penghuni neraka, merujuk pada Surah At-Taubah ayat 113: “Mâ kâna lin-nabiyyi walladzîna âmanû ay yastaghfirû lil-musyrikîna walau kânû ulî qurbâ mim ba‘di mâ tabayyana lahum annahum ash-khabul-jahîm.” Dalam kaitan tersebut Syaikh Mohammad Sharifani membawakan juga contoh Nabi Ibrahim yang awalnya memohon ampun untuk bapaknya karena suatu janji, namun ketika jelas bahwa bapaknya adalah musuh Allah beliau berlepas diri, sebagaimana dalam Surah At-Taubah ayat 114: “Ibrâhîma la’awwâhun ḫalîm…”