Oleh: Syekh Muhammad Amin Zainuddin
Kepemimpinan dan keterhindaran dari dosa (ismah) dalam Islam—inilah gagasan yang ingin saya bicarakan kepada Anda pada malam yang diberkahi ini. Sebuah gagasan yang sangat kuno, mengakar dalam keaslian, terkait dengan akidah, sistem, dan metodologi, terkait dengan erat dan kokoh, sehingga tidak mungkin untuk dipisahkan. Bagaimana mungkin memisahkan bagian dari keseluruhannya?
Saya katakan: Bagaimana mungkin memisahkan atau mencabut bagian dari keseluruhannya, dan yang saya maksud bukan bagian-bagian yang dapat diabaikan dalam membangun komponen. Saya katakan bahwa ini terkait dengan akidah, sistem, dan metodologi, dan bagian-bagian dari akidah, sistem, dan metodologi adalah bagian-bagian penting yang sama sekali tidak dapat diabaikan. Saya akan menjelaskan dimensi dari perkataan saya ini dalam pembahasan nanti, insya Allah Ta’ala.
Daftar Isi
- Kepemimpinan (Imamah) dalam Makna Bahasa
- Kepemimpinan (Imamah) dalam Terminologi Islam
- Peran Kepemimpinan (Imamah) dalam Islam
- Keharusan Ilmu dan Keterhindaran dari Dosa (Ismah) pada Pemimpin (Imam)
- Makna Keterhindaran dari Dosa (Ismah)
- Tidak ada Paksaan (Jabrr) dalam Keterhindaran dari Dosa (Ismah)
- Keyakinan terhadap Kepemimpinan (Imamah) dan Para Pemimpin (Imam)
Hal ini terkait dengan akidah Islam, sistemnya, dan metodologinya dalam kehidupan, serta dalam mengatasi masalah sejak pertama kali diturunkan dari langit dalam bentuk awalnya kepada para nabi terdahulu as.
Dan Islam adalah agama yang diutus dengannya semua nabi, baik yang terdahulu maupun yang terkemudian. Ia adalah agama yang diutus dengannya rasul pertama, diturunkan dengannya kitab pertama, dan ditetapkan syariat pertama.
Ia adalah agama yang terus berlanjut di antara para nabi as, yang seruan mereka sepakat, dan mereka telah mengerahkan upaya maksimal dalam penyampaiannya.
Maka, kepemimpinan (imamah) dan keterhindaran dari dosa (ismah) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari seruan Islam dalam sejarahnya yang panjang dan cemerlang. Imamah harus ada, dan Ismah harus ada dalam masa setiap nabi dan setiap seruan. Harus ada Imam yang maksum yang menerima janji dari Allah dan nas (ketetapan) dari Rasul. Dan bukti-bukti yakin yang menetapkan bagi kita wajibnya Imamah dan wajibnya Ismah setelah Rasulullah yang paling agung saw—dengan sendirinya—menetapkan bagi kita wajibnya Imamah dan wajibnya Ismah di setiap masa dan setelah setiap rasul.
Maka, itu adalah gagasan Islam dalam semua pembentukannya dan semua seruannya, meskipun dalam tampilan luarnya, hal itu menjadi kekhususan Mazhab Ahlulbait as.
Dan ini bukanlah hal pertama yang menjadi kekhususan mazhab para thahirin (orang-orang suci) as dari gagasan-gagasan Islam, dan ini adalah salah satu sumber kebanggaan mereka.
Kepemimpinan (Imamah) Menurut Bahasa
Kata Imamah dalam bidang bahasa berarti sifat dari Imam, yaitu orang yang memimpin suatu kaum dan menjadi teladan bagi mereka. Dikatakan: amma al-qauma (memimpin kaum) yang berarti maju di depan mereka, dan menjadi teladan bagi mereka dalam tindakan mereka. Dikatakan: i’tamamtu bi fulaanin (saya menjadikannya imam), yaitu saya menjadikannya pemimpin saya, mengikuti jejaknya dalam perjalanan saya, dan meneladani tindakannya atau pendapatnya dalam pekerjaan saya. Imam adalah orang yang diteladani dan diikuti tindakannya atau pendapatnya, dan imamah adalah sifatnya. Atas dasar pertimbangan ini, istilah ini diterapkan pada imam jamaah, dan pemimpin serta pembimbing kaum.
Imam (juga berarti) jalan yang jelas dan terang yang diikuti. Dengan makna ini, kadang-kadang diterapkan pada Alquran, dan kitab-kitab langit lainnya. Dalam Alquran mulia, “…dan sebelumnya (telah ada) Kitab Musa sebagai petunjuk (imam) dan rahmat…”(1)
Dan firman-Nya Ta’ala, “…dan segala sesuatu telah Kami catat dalam imam yang nyata,”(2) berdasarkan tafsir Imam dalam ayat mulia tersebut sebagai kitab.
Dan Imamah adalah kepemimpinan umum. Jadi, Imam adalah pemimpin umum mereka. Atas dasar pertimbangan ini, istilah ini diterapkan pada sebagian pemimpin dan raja.
Kepemimpinan (Imamah) Menurut Terminologi Islam
Adapun Imamah dalam terminologi Islam khusus—dan pada khususnya dalam Mazhab Ahlulbait as—adalah kepemimpinan umum dalam urusan dunia dan agama. Makna inilah yang telah menjadi istilah tetap para ulama kalam dari semua mazhab Muslim.
Khalifah adalah orang yang menggantikan yang sebelumnya di tempatnya, dan menggantikannya pada kedudukannya, dan khilafah adalah sifatnya. Dalam Alquran mulia, “…Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi…”(3)
Dan Khalifah adalah Imam yang tidak ada Imam di atasnya. Dalam Alquran, “Wahai Dawud! Sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah di bumi, maka berilah keputusan di antara manusia dengan kebenaran.”(4)
Dan khilafah dalam terminologi khusus adalah perwakilan (niyabah) dari Rasul saw dalam kepemimpinan umum atas umat dalam agama dan dunia mereka.
Dan ia—dengan makna ini—identik dengan Imamah dalam kebanyakan kasus, meskipun Imamah lebih umum dalam konsepnya. Maka, Rasul saw pada dirinya sendiri adalah Imam dan bukan Khalifah.
Dan dalam Alquran mulia tentang Nabi Allah Ibrahim as, “… Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai imam bagi manusia…”(5)
Peran Kepemimpinan (Imamah) dalam Islam
Kalangan muslim telah sepakat bahwa Islam adalah agama yang mengatur kehidupan dan menatanya, sebagaimana ia juga mengarahkan kehidupan akhirat dan menjamin kebahagiaannya. Maka, dalam Islam harus ada pemimpin tertinggi pemerintahan yang bertindak atas nama Islam, dan wajib baginya untuk diangkat dan ditaati perintahnya.
Kemudian mereka berbeda pendapat tentang siapa yang wajib mengangkat pemimpin tertinggi ini, dan tentang sejauh mana tugas yang diemban olehnya.
Mayoritas muslim berpendapat bahwa itu adalah kepemimpinan duniawi yang mengatur urusan dunia atas nama Islam, dan sesuai dengan ajarannya, dan tidak ada campur tangan di dalamnya dalam agama lebih dari itu.
Menurut pendapat mereka ini, pengangkatan Imam adalah urusan umat, yang dilakukan oleh Ahlul Halli wal ‘Aqdi (orang-orang yang berwenang mengambil keputusan) dari kalangan mereka atas dasar syura (musyawarah) atau atas dasar pemilihan. Jadi, itu adalah cabang dari cabang-cabang agama, dan kewajibannya adalah kewajiban taklifi (kewajiban yang dibebankan) kepada umat Islam.
Kaum Imamiyah berpendapat bahwa itu adalah kepemimpinan umum atas manusia dalam semua urusan mereka, dan otoritas tertinggi mereka dalam urusan dunia dan agama mereka, serta kepemimpinan mutlak mereka setelah wafatnya pemimpin tertinggi dan otoritas terbesar mereka, yaitu Rasul yang agung saw.
Dan Imam menggantikan Rasul dalam semua fungsi yang dimilikinya, dalam semua tugas yang dilakukannya, dan dalam semua beban yang dipikulnya, kecuali tugas kerasulan dan kenabian. Itu adalah kekhususan yang tidak ada seorang pun yang berbagi dengannya.
Maka, jika kita mengecualikan tugas kerasulan dan pemeliharaan atas agama dan hukum-hukumnya dalam masa pendirian, semua tugas dan kewajiban Rasul yang lain diamanahkan setelahnya kepada Imam yang menggantikannya di dalamnya, dan memikul bebannya.
Maka, Rasul adalah Penjaga Pertama atas syariat dan Pelindung Pertama atas hukum-hukum, serta Pelaksana Pertama atas penyampaian dan pemeliharaannya. Dan Imam adalah Penjaga Kedua atas syariat dan Pelindung Kedua atas hukum-hukum, serta Pelaksana Kedua atas penyampaian, pemeliharaan, dan penerapannya. Dia adalah Penjaga yang amanah dan gigih yang menerima amanah langit untuk penduduk bumi, dan bertanggung jawab atas pemeliharaannya, serta merawatnya dengan sebaik-baiknya di masa-masa kelangsungannya.
Dan Rasul adalah Penyuci Jiwa Pertama bagi umat, dan Tabib Tertinggi bagi penyakit-penyakit mereka. Dia mengulurkan kesuciannya kepada mereka, memberi mereka bekal dari pengobatannya, dan memancarkan ruh serta petunjuknya kepada mereka.
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, dan menyucikan mereka…”(6)
Dan Rasul adalah Teladan Pertama bagi umat, dan contoh Tertinggi yang Allah Ta’ala ciptakan untuk mereka. Mereka membentuk jiwa mereka sesuai dengannya, mengikuti jejak langkahnya, dan meneladani perilakunya. Sementara Imam adalah Penyuci Jiwa Kedua, Tabib Tertinggi, dan Teladan Agung bagi umat setelah Rasul mereka wafat. Pada dirinya tampak jelas sifat-sifat Rasul, terwujud akhlak dan perilakunya, serta memancar petunjuk dan cahayanya.
Dan Rasul adalah Pemimpin Pertama pemerintahan Islam, dan Pemimpin Tertinggi bagi umat dan masyarakat muslim, bahkan bagi seluruh masyarakat manusia–sebagai ungkapan yang paling benar dan paling tepat dengan makna dan tugasnya. Beliau adalah Panglima Terbesar bagi barisan mereka, Pengatur Utama bagi gerakannya dan gerakan pemerintahan di dalamnya, dan Hakim Adil Pertama yang padanya keadilan Allah Swt terwujud di bumi, dan keadilan Islam dalam pemerintahan, serta keadilan Risalah dalam sifat dan perangai, terjelma. Dan Imam adalah Pemimpin Kedua dan Wakil yang Benar dan Sempurna yang padanya semua ciri dan kualifikasi ini terwujud secara setara, tanpa kekurangan dan tanpa perbedaan.
Syarat Ilmu dan Keterhindaran dari Dosa (Ismah) pada Imam
Sebagai konsekuensi dari hal itu, maka kerasulan (risalah) dan kepemimpinan (imamah) keduanya adalah perjanjian dari Allah Swt, dan keduanya tidak akan terwujud kecuali dengan penunjukan (ta’yiin) dari-Nya dan penetapan (ja’l) bagi siapa pun yang memikul beban ini.
Itu adalah amanah Allah dan titipan-Nya, sehingga tidak diletakkan kecuali di tangan yang Allah percayai, dan Dia mengetahui kebenarannya dalam perkataan dan perbuatan. Dan masalah dalam Kerasulan sudah pasti dan tidak ada perselisihan di dalamnya, “…Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan risalah-Nya…”(7) Jadi, kerasulan tidak akan ada kecuali dengan penetapan (ja’l), dan Rasul tidak akan ada kecuali dengan penunjukan (ta’yiin).
Jika kita mengetahui bahwa jalan Imamah adalah jalan Risalah, dan jika kita mengetahui bahwa fungsinya adalah bersama-sama (antara Rasul dan Imam), maka kita yakin–tanpa keraguan–bahwa Imamah juga tidak akan ada kecuali dengan penetapan (ja’l), dan bahwa Imam tidak akan ada kecuali dengan penunjukan (ta’yiin).
Keharusan Ilmu dan Keterhindaran dari Dosa (Ismah) pada Imam
Tidak ada seorang muslim pun yang meragukan bahwa Syariat adalah amanah Allah bagi makhluk-Nya. Oleh karena itu, ia harus dititipkan di tangan Rasul yang terpercaya dan maksum (terhindar dari dosa), yang menerima Risalah dari Allah secara sempurna, tanpa kekurangan atau penyimpangan, dan menyerahkannya kepada makhluk-Nya secara sempurna, tanpa kekurangan atau penyimpangan. Dan Allah Swt adalah Yang Maha Mengetahui rahasia dan Yang Maha Mengetahui kebenaran, sehingga Dia harus memilih untuk amanah-Nya orang yang layak memikul amanah, dan orang yang dengannya hujah dapat ditegakkan atas makhluk.
Dan hamba-hamba—pada gilirannya—adalah jahil (tidak tahu). Dari mana mereka dapat mengetahui keabsahan amanah dan kebenaran orang yang terpercaya jika mereka tidak mengetahui keterhindaran dosanya (ismah), dan tidak meyakininya dengan pasti?
Sudah menjadi sifat dan karakter mereka bahwa mereka membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan menilai perbuatan berdasarkan perbuatan. Oleh karena itu, mereka akan meragukan penyampai dan kebenaran perkataannya jika mereka menemukan dalam sebagian perkataan atau perbuatannya sesuatu yang meragukan, atau sesuatu yang bertentangan dengan dakwah dan metodologi yang ia serukan kepada mereka.
Dari sisi inilah, mayoritas muslim berpendapat tentang wajibnya keterhindaran dari dosa (ismah) bagi Rasul dalam menyampaikan. Dan pandangan yang benar terhadap alasan-alasan yang disebutkan di atas, dan alasan-alasan lainnya, mengharuskan bahwa Rasul harus maksum (terhindar dari dosa) dengan keterhindaran dosa yang sempurna dalam segala keadaan.
Tidak ada seorang muslim pun yang meragukan bahwa sistem pemerintahan dalam Islam didasarkan pada keadilan yang sempurna dan menyeluruh, yang tidak menyimpang sedikit pun, bahkan seberat zarah. Dan sangat jelas bahwa jaminan pertama dan terbesar untuk mewujudkan keadilan menyeluruh ini adalah bahwa Pemimpin Tertinggi bagi pemerintahan Islam harus menjadi contoh nyata dari Keadilan Tertinggi dalam dirinya, baik dalam hal-hal khusus maupun umum.
Dan tidak ada yang lebih mendorong pelanggaran hukum dan meremehkan kehormatannya selain jika Pelaksana Utama atasnya bertentangan dengan teks-teksnya. Dari sisi inilah, wajib bagi Rasul saw menjadi Kepala Pemerintahan Islam selama hidupnya, karena jaminan ini terpenuhi pada dirinya.
Jika kita yakin bahwa Imam adalah orang yang menerima amanah Allah untuk makhluk setelah wafatnya Penjaga Amanah Pertama, yaitu Rasul.
Dan jika kita yakin bahwa pentingnya amanah ini masih sama dengan pentingnya yang pertama, dan kesuciannya masih sama dengan kesuciannya—meskipun masa pendirian telah berlalu—maka wajib untuk menunaikannya kepada orang-orang dan generasi saat ini dan masa depan, sebagaimana wajib menunaikannya kepada yang telah lalu, dan bahwa sifat-sifat dan karakter makhluk masih tetap sama.
Dan jika kita mengetahui bahwa kendali pemerintahan dalam Islam diterima oleh Imam setelah wafatnya Rasul, dan bahwa dia adalah Kepala Pemerintahan Kedua, Panglima Barisan Kedua, dan Pemimpin Gerakan Kedua.
Jika kita mengetahui hal itu, maka telah terbukti bagi kita—tanpa keraguan—bahwa Imam harus memiliki keterhindaran dari dosa (ismah) yang mendukung hujahnya, menguatkan perkataannya, dan mengokohkan hukumnya. Dan dia harus memiliki Ilmu yang memenuhi kebutuhan hamba-hamba, mencukupi untuk kebenaran, petunjuk, pengaturan urusan, dan pengelolaan masalah mereka. Jika tidak, metodologinya akan pincang, dan pengelolaannya akan tidak sempurna. Dan Allah Ta’ala dan kesucian syariat-Nya, serta keagungan pengelolaan-Nya jauh dari ciri-ciri kekurangan dan kekacauan metodologi.
Dia harus memiliki ilmu dan keterhindaran dari dosa (ismah), dan keduanya adalah syarat mendasar dalam gagasan Imamah. Adapun syarat-syarat lainnya yang disebutkan oleh ulama akidah hanyalah pelengkap dan penyempurna.
Sumber Ilmu dan Keterhindaran dari Dosa (Ismah) pada Imam
Imam harus memiliki Ilmu, jika tidak, hujah tidak akan ditegakkan padanya dan tujuan tidak akan tercapai. Dan dia harus tidak membutuhkan orang lain dalam hal itu. Jika dia membutuhkan orang lain, maka orang lain yang dia butuhkan itu lebih berhak atas Imamah darinya. Dalam Alquran mulia, “… Maka apakah orang yang menunjukkan kepada kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti, ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali bila diberi petunjuk? Maka mengapa kalian (berpikir) demikian?…”(8)
Dan ilmunya harus tidak diambil dari taklid (mengikuti pendapat orang lain) maupun ijtihad (penalaran mandiri), karena jika dia seorang muqallid (pengikut), maka rujukan (orang yang diikutinya) lebih berilmu darinya, sehingga orang itu lebih berhak atas Imamah darinya. Dan jika dia seorang mujtahid, ketaatannya tidak wajib atas mujtahid lain yang berbeda pendapat dengannya dalam hukum, dan tidak pula atas para pengikut mereka. Ini sangatlah jelas. Maka, ilmunya harus berasal dari sumber yang lebih tinggi dari ijtihad dan taklid.
Allah yang meridhoinya untuk memerintah, menunjuknya untuk Imamah dan kepemimpinan, serta memilihnya untuk amanah, Dia-lah yang melimpahkan Ilmu kepadanya dan mendukungnya dengan keterhindaran dari dosa (ismah). Dalam Alquran, Dia menggambarkan sebagian hamba yang diliputi oleh perhatian ini, Dia berfirman, “Maka mereka berdua (Musa dan muridnya) mendapati seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan Kami telah ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”(9)
Ini adalah hasil logis yang berurutan, yang dirangkai oleh akal dan diarahkan oleh bukti, dan tidak diragukan oleh siapa pun yang menghormati pikirannya setelah memahami maknanya dan memastikan dasarnya.
Dan tidak diragukan oleh siapa pun yang mengenal Islam, mengetahui tujuannya, dan memahami kedalaman urusan.
Dalam Alquran mulia, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu dia melaksanakannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata, ‘(Dan juga) dari keturunanku?’ Allah berfirman, ‘Perjanjian-Ku (ini) tidak berlaku bagi orang-orang zalim.’”(10)
Dan ayat yang mulia ini secara jelas menunjukkan bahwa Imamah bagi manusia adalah penetapan (ja’l) dari Allah Azza wa Jalla, dan perjanjian yang Dia khususkan bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Dan barangkali dalam ayat itu terdapat isyarat halus bahwa manusia adalah hamba yang dipertuan oleh Allah, dan Dia Swt adalah Tuhan mereka, dan Pengatur urusan mereka, sehingga pengangkatan Imam bagi mereka adalah hak murni bagi Allah, karena Dia Ta’ala adalah Wali (Pengurus) urusan mereka.
Dan ayat itu juga secara jelas menunjukkan bahwa perjanjian yang ditetapkan oleh Allah Swt ini tidak akan diperoleh oleh orang yang zalim, kezaliman apa pun itu, baik kezaliman terhadap orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Dan siapa pun yang melanggar batas-batas Allah, atau salah satu kewajiban-Nya, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri, sehingga perjanjian Allah tidak akan diperolehnya.
Makna yang jelas dari hal itu adalah bahwa perjanjian yang ditetapkan oleh Allah ini tidak akan diperoleh kecuali oleh orang yang maksum, yang keterhindaran dari dosanya (Ismah) menjaganya dari berbuat zalim, baik zalim terhadap orang lain maupun zalim terhadap dirinya sendiri.
Adalah mustahil bagi hikmah Allah Azza wa Jalla dan terlarang bagi syariat-Nya untuk menyerahkan kendali seluruh umat manusia ke tangan orang yang tidak dijamin tidak akan berbuat kesalahan, mengkhianati, atau melanggar sebagian hukum Allah, baik sengaja maupun tidak.
Adalah mustahil bagi hikmah Allah Ta’ala dan terlarang bagi syariat-Nya, untuk menempatkan kendali umat di tangan orang yang tidak dijamin tidak akan berbuat kesalahan, mengkhianati, atau melanggar, kemudian syariat Allah mewajibkan umat untuk menaatinya dan mengharamkan menentang perintahnya sedikit pun. Karena hal itu adalah kontradiksi yang jelas.
Dan jika di antara umat ada orang yang dapat meluruskannya jika ia berbuat salah, maka orang yang meluruskan itu lebih berhak atas Imamah dan wajib ditaati berdasarkan nas ayat mulia yang telah disebutkan sebelumnya, “Maka apakah orang yang menunjukkan kepada kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti, ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali bila diberi petunjuk? Maka mengapa kalian (berpikir) demikian?” (QS. Yunus [10]:35)
Ini adalah hasil-hasil logis yang dirangkai oleh akal bagi kita, dan dibimbing oleh bukti, satu per satu. Dan ini dikuatkan oleh argumen-argumen yang jelas dan pasti dari Kitab (Alquran) dan perkataan Rasul saw, sehingga kita tidak ragu, dan tidak ada keraguan yang menyelimutinya. Hasil-hasil logis inilah yang merupakan inti dari Mazhab Ahlulbait as dalam akidah Imamah dan Ismah.
Imam harus ditetapkan dan harus ada setelah Rasul saw untuk memelihara Syariat yang telah didirikan oleh kenabian. Selama syariat Allah Ta’ala adalah syariat untuk sepanjang masa, dan tidak dikhususkan hanya untuk masa Risalah, maka memeliharanya, menjamin tujuannya, dan menyampaikannya kepada manusia adalah wajib bagi Allah (Jallat Hikmatuh) di masa kelangsungannya, sebagaimana wajib bagi-Nya di masa pendiriannya.
Imam harus ditetapkan dan harus ada setelah Rasul saw untuk mendidik umat dan menyucikan jiwa mereka di generasi yang akan datang. Karena tujuan Risalah dalam menyucikan manusia dan membersihkan hati dan jiwa mereka tidak terpenuhi hanya dengan mendidik manusia di masa Rasul saw saja.
Imam harus ditetapkan dan harus ada setelah Rasul saw untuk mengambil alih kendali pemerintahan dalam Islam, dan mewujudkan keadilan tertinggi di antara manusia.
Tujuan-tujuan dan kebutuhan-kebutuhan mendasar ini tidak akan terpenuhi kecuali dengan pengangkatan dan keberadaan Imam setelah Rasul saw. Maka, pengangkatan dan penunjukannya adalah kebutuhan Islam yang mutlak.
Kemudian, Imam yang ditetapkan dan ditunjuk harus memiliki Ilmu, dan harus memiliki keterhindaran dari dosa (ismah), karena tujuan-tujuan Islam dan kebutuhan-kebutuhan mendasar itu tidak akan terpenuhi kecuali dengan keduanya. Maka, itu adalah jaminan ilahi bagi tujuan dan kebutuhan mendasar Islam, dan itu adalah akidah yang wajib diketahui dan tidak boleh menyimpang darinya, dan tidak ada tempat di dalamnya bagi ijtihad maupun pilihan.
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”(11)
Makna Keterhindaran dari Dosa (Ismah)
“Keterhindaran dari dosa (ismah) adalah derajat tertinggi dari keadilan Islam pada individu, derajat besar ini yang membangkitkan perasaan dan dasar-dasar orang yang maksum, mengungguli dorongan dan motifnya, serta mengangkat jiwa, akal, kemampuan, kerinduan, dan kehendaknya, sehingga dia tidak merosot, tidak menyimpang, dan tidak menyimpang dari norma.”
“Keterhindaran dari dosa (ismah)—sebagaimana yang saya katakan dalam beberapa ceramah saya—(simpanan psikologis yang besar yang terbentuk dari keseimbangan semua kekuatan psikologis manusia dan pencapaian masing-masing dari mereka pada tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh manusia, kemudian dominasi kekuatan akal atas semua kekuatan, naluri, dan dasar-dasar ini secara sempurna, sehingga tidak menyimpang darinya dalam suatu urusan, dan tidak bertindak mandiri tanpanya dalam suatu perbuatan.”
“Imunitas diri ini yang mengangkat manusia tertinggi dari kerendahan dalam tabiatnya, dan mencegahnya dari ketergelinciran dalam kehendaknya, dan dari penyimpangan dan pembelokan yang mengendap di alam bawah sadar dan berubah—sebagaimana yang dikatakan oleh para ilmuwan psikologi—menjadi simpul-simpul psikologis yang mengendalikan dorongan, perilaku, kecenderungan, dan kemampuan seseorang, dan membawanya tanpa disadari menuju penyimpangan dari kebenaran dan penyimpangan dari keadilan.”
“Imunitas diri ini yang membangkitkan perasaan manusia yang sempurna sehingga dia tidak lalai, dan mengangkat kemampuan dan kerinduannya sehingga dia tidak tergelincir atau tersandung, dan yang menjamin kesehatan mentalnya dari segala aspek. Inilah Ismah yang disyaratkan oleh Mazhab Ahlulbait bagi Pemimpin Tertinggi Pemerintahan Islam.”(12)
Keterhindaran dari dosa (ismah) adalah derajat tertinggi dari keadilan Islam pada individu. Ia adalah efek sempurna yang ditinggalkan oleh kepatuhan total terhadap metodologi dan akidah Islam dalam jiwa, kekuatan, dan perasaan individu.
Individu mungkin beriman pada agama dan patuh padanya dengan kepatuhan menengah, sehingga jiwa, kekuatan, dan perasaannya terpengaruh dengan pengaruh menengah pula. Pengaruh imannya tidak mencegahnya dari melakukan dosa, atau melalaikan kewajiban secara sengaja. Dia adalah mukmin yang melakukan dosa, dan inilah keadaan mayoritas manusia.
Dan individu mungkin beriman pada agama dan patuh padanya dengan kepatuhan yang kuat dan mendalam, sehingga jiwa, kekuatan, dan perasaannya terpengaruh dengan pengaruh yang kuat dan mendalam pula. Pengaruh yang kuat dan mendalam ini mencegahnya dari melakukan dosa, atau melalaikan kewajiban secara sengaja. Dan jika sesekali timbul padanya gejala kelemahan manusia, sehingga ia melakukan dosa atau melalaikan kewajiban, dia akan segera kembali kepada kekuatan imannya dan memperbaiki keadaan, dan bersegera bertobat, dan dengan itu dia menghapus efek samping yang timbul, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa oleh waswas (godaan) dari setan, mereka segera ingat (kepada Allah), maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahan mereka).”(13)
Dan inilah derajat ketakwaan (taqwa), dan kedudukan keadilan (‘adaalah) dengan perbedaan tingkatan di antara manusia.
Adapun manusia tertinggi adalah manusia yang kesempurnaan kemanusiaannya utuh, dia beriman pada agama dan patuh padanya dengan kepatuhan total, dan melebur dengannya secara menyeluruh, sehingga dia menjadi kebenaran yang terwujud, keadilan yang nyata, dan kejujuran yang hadir. Tidak ada kecenderungan, kerendahan, atau penyimpangan, melainkan keseimbangan menyeluruh yang sempurna, kesadaran yang hidup dan peka, dan ketinggian dalam setiap makna dan setiap arah. Inilah derajat keterhindaran dari dosa (ismah). Maka, ismah adalah limpahan Ilahi yang dilimpahkan-Nya Swt kepada jiwa-jiwa yang luhur yang mencakup firman Allah dan mencakup petunjuk-Nya. Dan limpahan dan karunia Allah tidak diberikan karena pilih kasih, dan tidak diberikan secara sembarangan tanpa kualifikasi dan kesiapan. Dan Allah lebih mengetahui di mana Dia meletakkan karunia-Nya dan memberikan karunia-Nya.
Tidak Ada Paksaan (Jabr) dalam Keterhindaran dari Dosa (Ismah)
Dan keterhindaran dari dosa (ismah) adalah imunitas diri psikologis–sebagaimana yang telah saya sampaikan–yang dipersiapkan kualifikasinya dalam jiwa orang yang maksum, dan dimudahkan kesempurnaannya dalam dirinya, kemudian disempurnakan oleh limpahan dan karunia Allah Ta’ala bagi jiwa yang luhur dan patuh tersebut. Hal itu tidak mewajibkan paksaan (jabr) bagi orang yang maksum untuk taat, maupun pemaksaan (iqtishar) untuk menjauhi maksiat, sebagaimana yang diduga sebagian orang, lalu mereka mempertanyakan dan meragukan.
Namun, itu adalah jiwa yang suci yang luhur dari kerendahan, akal yang bercahaya yang agung dari keterpurukan, kehendak yang terbimbing yang besar dari ketergelinciran, ruh yang agung yang besar dari kecenderungan menyimpang dan tujuan-tujuan remeh, dan hati yang menyala-nyala dengan perasaan dan kepekaan, sehingga kelalaian, kemunduran, atau kesalahan tidak menemukan jalan kepadanya.
Seolah-olah masalah ini menjadi rancu bagi orang-orang ini dari sisi perkataan tentang keterhindaran dari dosa (ismah) para malaikat, di mana ismah pada mereka mungkin mengandung makna paksaan (jabr) dan pemaksaan (qashr). Makna ini pada malaikat datang dari ketiadaan faktor syahwat, amarah, emosi, dan dorongan yang mendorong manusia kepada kejahatan dalam pembentukan malaikat. Mereka adalah kekuatan yang secara bawaan cenderung pada kebaikan, dan tidak ada kecenderungan pada kejahatan dalam diri mereka.
Saya katakan: Makna ini pada malaikat datang dari sisi ini, bukan dari sisi makna ismah.
Sesungguhnya makna ismah itu satu, yaitu imunitas dari jatuh ke dalam dosa. Perbedaannya hanyalah pada sebab dan hasilnya, dan rujukan pertamanya adalah limpahan Allah yang mendukung setiap orang sesuai dengan apa yang ia layak dapatkan.
Keyakinan terhadap Kepemimpinan (Imamah) dan Para Pemimpin (Imam)
Inilah gagasan kepemimpinan (imamah) dan keterhindaran dari dosa (ismah) dalam Islam, bersinar dengan cahaya Islam, jelas dengan kejelasan hikmahnya, terang dengan kejelasan tujuan dan sasarannya. Di atas cahaya gagasan ini dan kejelasan tujuannya, kita harus melangkah dalam pembahasan Imamah, dalam akidah kita tentang Imam, dan dalam rantai Imamah. Maka, Imam adalah orang yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala, dan dijanjikan kepadanya dengan nas yang jelas dan terang, dan memenuhi syarat-syarat penunjukan. Dia adalah orang yang maksum yang di antara umat tidak ada yang lebih berilmu darinya, tidak ada yang lebih memberi petunjuk kepada kebenaran, tidak ada yang lebih berbakti, dan tidak ada yang lebih bertakwa.
Dan yang pertama dalam rantai suci itu adalah Ali as, yang oleh Ayat Mubahalah (QS. Ali Imran [3]:61) menjadikannya diri Rasul saw.(14) Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya di dalam Bab (Fadhail Ali bin Abi Thalib as) dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqas, dari ayahnya–dalam suatu hadis–bahwa ketika ayat ini turun, “Maka katakanlah, ‘Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…,’”(15) Rasulullah saw memanggil Ali, Fathimah, Hasan, dan Husain, lalu beliau bersabda, “Ya Allah! Mereka ini adalah keluargaku.” (Diriwayatkan juga oleh Tirmizi dalam Shahih-nya (jilid 2, halaman 300) dan Ahmad bin Hambal dalam Musnad-nya (jilid 1, halaman 185) dan Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur dalam tafsir Ayat Mubahalah dari surah Ali Imran, dan dia berkata bahwa itu dikeluarkan oleh Ibnu Mundzir, Hakim, dan Baihaqi dalam Sunan-nya dari Sa’ad bin Abi Waqqas sebagaimana kisah itu diriwayatkan oleh banyak mufasir dan imam hadis. Lihat kitab Fadhail al-Khamsah min al-Shihah wa al-Sunnah, jilid 1, halaman 244-250). Dan yang berasal dari diri orang yang maksum adalah maksum pula. Dan ayat menjadikannya sebagai orang yang bersedekah dengan cincin.(16) (Suyuthi berkata dalam al-Durr al-Mantsur, “Khathib meriwayatkan dalam al-Muttafaq dari Ibnu Abbas yang berkata, ‘Ali as bersedekah dengan cincinnya saat sedang rukuk, lalu Nabi saw bertanya kepada pengemis itu, ‘Siapa yang memberimu cincin ini?’ Dia berkata, ‘Orang yang sedang rukuk itu.’ Maka Allah menurunkan, ‘Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, rasul-Nya…’”(17) Dan dia meriwayatkan kisah itu dengan banyak jalur lain sebagaimana diriwayatkan oleh perawi dan mufasir lain. Lihat kitab Fadhail al-Khamsah min al-Shihah al-Sittah, jilid 2, halaman 13 dan seterusnya). Ali as adalah mitra Rasul saw dalam perwaliannya (wilayah) atas umat. Dan hadis Ghadir(18) menjadikannya sebagai wali (mawla) setiap mukmin laki-laki dan mukmin perempuan.
Dan hadis-hadis Rasul menjadikannya pasangan kebenaran yang berputar bersamanya ke mana pun kebenaran berputar,(19) dan pintu kota ilmu ke mana pun dia menuju,(20) dan berkedudukan seperti Harun bagi Musa dari Rasul saw.(21)
Dan sisa dari rantai itu adalah orang-orang yang maksum as yang dirangkum oleh Ayat Pembersihan (Tathhir).(22) (Tirmizi meriwayatkan dari Amr bin Abi Salamah, anak tiri Nabi saw, yang berkata, “Ketika ayat ini turun kepada Nabi saw, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran dari kalian, hai Ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya’ di rumah Ummu Salamah, beliau memanggil Fathimah, Hasan dan Husain dan menyelimuti mereka dengan kain, dan Ali di belakang punggungnya, lalu beliau menyelimuti mereka dengan kain, kemudian beliau bersabda, ‘Ya Allah! Mereka ini adalah Ahlulbaitku, maka hilangkanlah dari mereka segala kekotoran dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah bertanya, ‘Apakah aku bersama mereka, wahai Nabi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau tetap di tempatmu dan engkau dalam kebaikan.’” Shahih Tirmizi, jilid 2, halaman 209, sebagaimana diriwayatkan oleh yang lain seperti Muslim dalam Shahih-nya, Hakim dalam al-Mustadrak dan Shahih-nya, Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsur, Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib dan lainnya. Lihat Fadhail al-Khamsah, jilid 1, halaman 224 dan seterusnya). Dan mereka adalah pasangan kitab yang tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangi Nabi saw di Telaga Haudh dalam Hadis Tsaqalain.(23) Dan merekalah yang dirincikan oleh sunah yang suci, yang dikenal ciri-ciri, nama-nama, dan identitas mereka oleh nas-nas mutawatir yang tidak meninggalkan keraguan bagi orang yang ragu, dan tidak ada perdebatan bagi orang yang ingin berdebat.
Dan yang terakhir dari mereka adalah cahaya yang dinubuatkan oleh agama-agama, kebenaran yang dalil-dalilnya mutawatir dalam memperkenalkannya, dan keadilan yang disepakati oleh umat untuk dinanti-nantikan kedatangannya.
Inilah gagasan kepemimpinan (imamah) dan keterhindaran dari dosa (ismah), dan inilah rantai yang disucikan, cahaya dari cahaya, petunjuk dari petunjuk, dalil dari dalil, dan percikan dari percikan. Semoga Allah memperkenalkan kita akan hak mereka, menetapkan kita di atas loyalitas mereka, dan memberi kita rezeki cinta kepada mereka.
“Ya Tuhan kami! Kami telah beriman kepada apa yang Engkau turunkan, dan kami telah mengikuti Rasul, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (kebenaran).”(24)
“Ya Tuhan kami! Janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.” 25&26)
Catatan Kaki:
- Hud [11]:17, hal.223.
- Yasin [36]:12, hal.440.
- al-Baqarah [2]:30, hal.6.
- Ṣhad [38]:26, hal.454.
- al-Baqarah [2]:124, hal.19.
- al-Jumu’ah [62]:2, hal.553.
- al-An’am [6]:124, hal.143.
- Yunus [10]:35, hal.213.
- al-Kahfi [18]:65, hal.301.
- al-Baqarah [2]:124, hal.19.
- al-Aḥzab [33]:36, hal.423.
- Kitab: Al-Islam: Yanabi’uh. Manahijuh. Ghayatuh (Islam: Sumber-Sumbernya, Metodologinya, Tujuan-Tujuannya), halaman 332-333, cetakan ke-2.
- al-A’raf [7]:201, hal.176.
- Yaitu firman-Nya Ta’ala, “Maka barang siapa membantahmu tentang hal itu setelah datang ilmu kepadamu, maka katakanlah (kepada mereka), ‘Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, dan diri kami dan diri kamu, kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta’” Ali Imran [3]:61, hal.57.
- Ali Imran [3]:61, hal.57.
- Yaitu firman-Nya Ta’ala, “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka rukuk.” al-Maidah [5]:55, hal.117.
- al-Maidah [5]:55, hal.117.
- Hadis Ghadir dan sabda Rasul saw di dalamnya, “Barang siapa menjadikan aku walinya (mawla), maka Ali adalah walinya (mawla-nya),” adalah hadis yang mutawatir (diriwayatkan oleh banyak jalur) di kalangan muslim dan diriwayatkan oleh 120 sahabat–sesuai perhitungan penulis kitab al-Ghadir–dan delapan puluh empat tabi’in, dan 353 dari kalangan ulama dari berbagai abad, di mana Ahmad bin Hambal meriwayatkannya dari 40 jalur, Thabari dari lebih dari 70, dan Ibnu Uqdah dari 120 jalur. (Untuk rinciannya, lihat kitab al-Ghadir, jilid 1 secara keseluruhan).
- Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak ‘ala al-Ṣhaḥiḥain, jilid 3, halaman 124, dari Nabi saw, yang bersabda, “Semoga Allah merahmati Ali. Ya Allah! Edarkanlah kebenaran bersamanya di mana pun dia beredar.” Dan diriwayatkan oleh Tirmizi dalam Shahih-nya, sebagaimana Khathib Baghdadi meriwayatkan dalam Tarikh-nya, jilid 14, halaman 321 dengan sanadnya dari Abu Tsabit mawla Abu Dzar, yang berkata, “Aku masuk menemui Ummu Salamah, lalu aku melihatnya menangis dan menyebut Ali as, dan ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di Telaga Haudh pada hari kiamat.’”
- Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak ‘ala al-Ṣhaḥiḥain, jilid 3, halaman 126, dengan sanadnya dari Mujahid dari Ibnu Abbas, yang berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barang siapa ingin memasuki kota, hendaklah ia mendatangi pintunya.” Hakim berkata: Hadis ini ṣaḥiḥ Dan dia meriwayatkannya dengan jalur lain sebagaimana diriwayatkan oleh imam hadis lainnya. (Lihat kitab Fadhail al-Khamsah min al-Ṣhiḥaḥ al-Sittah, jilid 2, halaman 250 dan seterusnya).
- Hadis Manzilah (Hadis Kedudukan) yang di dalamnya Rasul saw bersabda kepada Ali, “Kedudukanmu bagiku adalah seperti kedudukan Harun bagi Musa,” adalah hadis mutawatir di kalangan muslim. Di antara yang meriwayatkannya adalah Bukhari dalam Kitab Bad’ al-Khalq, Bab (Manaqib Ali bin Abi Thalib), dan Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Faḍhail al–Ṣhaḥabah, Bab (Min Faḍhail Ali bin Abi Thalib), dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya, halaman 12, dan Ahmad bin Hambal dalam al-Musnad, jilid 1, halaman 174 dan lainnya. Ḥaskani berkata dalam Syawahid al-Tanzil.
- Yaitu firman-Nya Ta’ala dalam surah al-Aḥzab, “… innama yuridullahu liyudhiba ‘ankumur rijsa ahlal baiti wa yuthahhirakum taṭhira.” (… Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan segala kekotoran dari kamu, hai Ahlulbait dan menyucikan kalian sesuci-sucinya.) QS. al-Aḥzab [33]:33, halaman 422.
- Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak, jilid 3, halaman 109, dengan sanadnya dari Zaid bin Arqam yang berkata, “Ketika Rasulullah saw kembali dari Haji Wada’ dan singgah di Ghadir Khum, beliau memerintahkan, lalu beliau berdiri dan bersabda, ‘Seolah-olah saya telah dipanggil dan saya telah menjawab. Sesungguhnya saya telah meninggalkan dua perkara berat (tsaqalain), salah satunya lebih besar dari yang lain, yaitu Kitabullah dan itrah-ku. Maka perhatikanlah bagaimana kalian menggantikan saya dalam (memimpin) keduanya, karena keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di Telaga Haudh.” Kemudian beliau saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla adalah Waliku (mawla), dan aku adalah wali (mawla) setiap mukmin.” Kemudian beliau memegang tangan Ali as dan bersabda, “Barang siapa yang aku adalah walinya (mawla-nya), maka ini adalah walinya (wali-nya). Ya Allah! Cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya…” Lalu dia menyebutkan hadis tersebut, kemudian dia berkata: Hadis ini ṣaḥiḥ sesuai syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim). Dan Hadis Tsaqalain diriwayatkan oleh semua imam hadis seperti Muslim dalam Shahih-nya, dan Ahmad bin Hambal, Darimi, Muttaqi dalam Kanz al-Ummal dan lainnya. (Lihat kitab Fadhail al-Khamsah, jilid 2, halaman 43 dan seterusnya).
- Ali Imran [3]:53, hal.57.
- Ali Imran [3]:8, hal.50.
- Kitab: Asyi’’ah Alquran (Cahaya-Cahaya Alquran) Bagian Ketiga oleh Syekh Muhammad Amin Zainuddin: Judul nomor (5).