Oleh: Syekh Muhammad Taufiq Miqdad
Definisi Hauzah
Hauzah Ilmiah Diniyah (Pusat Keilmuan Agama) adalah tempat yang dituju oleh para pelajar ilmu agama untuk menimba ilmu dan pengetahuan Islam yang tersimpan dalam benak para maraji’ (pemegang otoritas keagamaan tertinggi), ulama, dan cendekiawan. Hauzah juga yang mengemban tugas menyampaikan dan menyebarkan Islam di kalangan muslim maupun non-muslim. Selain itu, Hauzah bertanggung jawab untuk membela Islam dalam menghadapi orang-orang yang meragukan, orang-orang yang menyimpang, dan para penganut bid’ah yang batil. Hauzah adalah tempat yang melahirkan para maraji’ (pemegang otoritas keagamaan tertinggi), mujtahid (ahli ijtihad), dan mubalig (penyampai pesan) untuk membawa Islam ke seluruh penjuru dunia demi membimbing dan menyelamatkan manusia dari jalan kerusakan, kekufuran, dan penyimpangan.
Hauzah Syiah
Hauzah Ilmiah Islamiyah menurut Syiah memiliki keistimewaan, yaitu merupakan satu-satunya Hauzah di dunia Islam yang tidak pernah menutup pintu ijtihad sejak berakhirnya Era Teks (yang menurut kami dimulai dari awal masa Ghaibah Kubra Imam Mahdi afs hingga hari ini). Para fukaha (ahli fikih) di Hauzah Syiah terus berijtihad dan menyimpulkan hukum-hukum syariat dari Alquran dan sunah yang mulia untuk segala urusan baru yang timbul dan tidak dikenal di masa lalu, mengingat perkembangan pengetahuan dan kemajuan ilmiah yang telah dicapai umat manusia di zaman kita ini.
Sebab Pintu Ijtihad Tetap Terbuka pada Syiah
Salah satu alasan terpenting mengapa pintu ijtihad tetap terbuka lebar di Hauzah Syiah adalah kemandirian moral dan materialnya dari otoritas politik yang memerintah perjalanan kaum muslim. Kemandirian inilah yang menjauhkan Hauzah dari tekanan dan gangguan. Bahkan jika hal itu terjadi, para ulama besar di setiap masa selalu menolak untuk tunduk kepada penguasa yang berkuasa.
Penyebab lainnya adalah kemandirian finansial Hauzah Syiah dari otoritas yang memerintah. Hauzah berupaya menjamin biaya hidup para maraji’, ulama, dan pelajar ilmu agama. Sementara itu, otoritas yang berkuasa, terutama di masa Abbasiyah, berhasil menutup pintu ijtihad bagi kaum muslim lainnya dan membatasi mazhab hanya pada empat saja: Hanafi, Hanbali, Maliki dan Syafi’i. Tidak ada otoritas yang memerintah kaum muslim yang pernah menjadikan mazhab Syiah sebagai mazhab resmi karena penolakan para pemimpin Hauzah Syiah sepanjang sejarah Islam yang panjang untuk tunduk kepada otoritas manapun yang berkuasa dan mengambil alih urusan kaum muslim.
Hauzah Diniyah adalah Implementasi Praktis dari Seruan Ilahi dalam Alquran
Sangat jelas bahwa cara seorang muslim menjaga istiqamah (konsistensi) dalam menerapkan Islam bergantung pada pengetahuannya tentang hukum-hukum agamanya dan kepatuhannya terhadapnya. Ini berarti harus ada ulama yang melaksanakan tugas yang mulia, sekaligus berbahaya, ini. Mengingat pentingnya masalah ini, kita melihat bahwa Allah Azza wa Jalla sendirilah yang mengeluarkan perintah ilahi-Nya bagi kaum muslim untuk menerima ilmu-ilmu Islam dan menyampaikannya kepada para pengikut Islam. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya dalam surah al-Taubah,
وَ مَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَافَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِيْ الدِّيْنِ وَ لِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوْا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”(1)
Meskipun ayat ini tidak memuat kata “Hauzah” dalam lafaznya, namun ia mengandung makna dan fungsinya. Ayat ini adalah seruan bagi kaum muslim untuk berupaya mendirikan tempat atau tempat-tempat di sepanjang dunia Islam agar kelompok-kelompok dari umat Islam dapat menerima ilmu-ilmu agama ini. Kemudian, mereka kembali ke kaum dan negara mereka untuk melaksanakan tugas tablig (penyampaian pesan) kepada masyarakat. Setiap tempat ini adalah yang kita sebut Hauzah Diniyah (Pusat Keagamaan) yang seharusnya, menurut tradisi yang berlaku, menampung ribuan pelajar ilmu agama, fukaha, dan maraji’ yang mengurus berbagai hal di Hauzah dan mengawasi jalannya urusan di dalamnya dari segi pengajaran, akhlak, dan lain-lain.
Hauzah bukanlah sekadar tempat untuk mengajarkan ilmu saja, melainkan tempat yang dipersiapkan untuk melahirkan para ulama dan mubalig yang harus mumpuni dari segala aspek: ibadah, keimanan, akhlak, dan perilaku, agar mereka memiliki pengaruh yang efektif di tengah masyarakat saat menjalankan tugas dan kewajiban agama mereka.
Kemunculan Pertama Hauzah Syiah
Diketahui bahwa setelah peristiwa Asyura dan syahidnya Imam Husain as, para khalifah Umayyah berkuasa atas Islam dan kaum muslim, sehingga mereka tidak mengizinkan para Imam as atau para pengikut mereka untuk beraktivitas secara bebas. Cara berinteraksi dengan para Imam as ini adalah cara yang dipelopori oleh Muawiyah; dia berusaha menyebarkan riwayat-riwayat yang tidak benar yang dinisbatkan kepada Nabi saw dan para sahabatnya agar menjadi umum di kalangan kaum muslim dan menjadi penyebab penyimpangan mereka dari Islam Muhammad yang otentik. Dia juga berusaha menyingkirkan Imam Hasan as melalui rayuan kepada istrinya dan berhasil dalam hal itu, sehingga Imam as syahid di tangan istrinya, putri Asy’ats.
Namun, apa yang terjadi setelah Karbala menghasilkan perasaan umum di kalangan umat bahwa ada bahaya terhadap Islam, yang mendorong banyak revolusi melawan Umayah, yang pada akhirnya melemahkan dan memperlambat pemerintahan mereka. Tepat pada periode ini, Imam Muhammad Baqir as mengambil alih kepemimpinan Imamah setelah ayahnya, Imam Zainul Abidin as. Selama periode tersebut, Umayah sibuk memadamkan revolusi yang terjadi melawan mereka, yang mengurangi pengawasan terhadap Imam Muhamamd Baqir as. Hal ini pada akhirnya memungkinkan Imam as untuk mengumpulkan sekelompok sahabat yang ikhlas guna mengajarkan dan membekali mereka dengan riwayat-riwayat Nabi saw untuk disebarkan di kalangan kaum muslim. Di antara mereka adalah Zurarah bin A’yan, Abu Bashir, Bukair bin A’yan, dan Muhammad bin Muslim.
Setelah wafatnya Imam Muhammad Baqir as, putranya Imam Ja’far Shadiq mengambil alih Imamah. Kekuatan Umayah telah semakin melemah dan perhatian mereka terbatas pada pertahanan kekuasaan mereka. Hal ini memberi Imam Ja’far Shadiq as kesempatan emas yang besar untuk menyebarkan fikih Ahlulbait Muhammad saw kepada semua kaum muslim di Madinah Munawwarah, tempat beliau tinggal. Pembicaraan Imam as dengan cepat menyebar dan namanya menjadi terkenal di kalangan kaum muslim. Kerumunan pelajar dan pencari pengetahuan tentang Islam bergegas mendatangi beliau, sehingga beliau menjadi otoritas utama tanpa tandingan di seluruh wilayah Dunia Islam. Para pelajar mengambil ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya dari beliau, seperti ilmu kedokteran, kimia, dan aritmatika.
Demikianlah Madinah Munawwarah menjadi inti pertama munculnya Hauzah Syiah Islamiyah, di mana gerakan ilmiah berkembang pesat dan para ulama dari segala penjuru negara Islam saat itu berdatangan untuk menerima ilmu dari tangan Imam Ja’far Shadiq as.
Ibnu Hajar berkata tentang Imam Ja’far Shadiq as, “Orang-orang menukil berbagai ilmu dari beliau, yang perjalanannya mencapai berbagai negeri dan hadis-hadisnya tersebar di seluruh penjuru negara. Para Imam besar meriwayatkan darinya, seperti Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraij, Malik, Abu Hanifah, dan lainnya.”
Setelah Madinah Munawwarah, Imam Ja’far Shadiq as pindah ke Kufah untuk beberapa waktu karena Kufah adalah salah satu kota Islam terbesar saat itu dan memiliki pergerakan perdagangan yang besar, yang membuat banyak kaum muslim dari berbagai negara sering berkunjung ke sana. Imam merasa bahwa pindah ke sana lebih bermanfaat bagi gerakan fikih dan penyebaran ilmu-ilmu Islam yang otentik. Dan memang demikian.
Dari sini dapat dikatakan bahwa Kufah adalah tempat utama di mana Hauzah Syiah bangkit dengan kuat setelah inti pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad Baqir as di Madinah Munawwarah. Diriwayatkan dari Hasan bin Ali bin Ziyad Wasyya’ bahwa dia berkata kepada Ibnu Isa Qummi, “Aku telah menjumpai di masjid ini–Masjid Kufah–sembilan ratus syekh, yang masing-masing berkata, ‘Ja’far bin Muhammad as telah menyampaikan kepadaku.’”
Jumlah murid Imam Ja’far Shadiq as sepanjang masa kepemimpinan Imamah dan gerakan ilmiahnya mencapai lebih dari empat ribu dalam berbagai ilmu dan pengetahuan.
Di antara murid-muridnya yang paling terkemuka adalah Aban bin Taghlib, Hisyam bin Hakam, Yunus bin Abdurrahman, dan Jabir bin Hayyan.
Ditambahkan pada pencapaian Imam Ja’far Shadiq as adalah dukungannya terhadap pendokumentasian (penulisan) hadis dan riwayat. Sebab, hanya mengandalkan ingatan tidak membentuk dasar yang kokoh untuk melestarikan warisan Islam, mengingat risiko lupa, perubahan, atau pemalsuan yang ada dalam hafalan.
Maka, para murid Imam Ja’far Shadiq as mulai mendokumentasikan hadis dan sirah agar terlindungi dari kelupaan dan penyelewengan. Syekh Agha Bozorg Tehrani menyebutkan dalam bukunya al-Dzari’ah bahwa ada dua ratus orang yang menulis hadis yang mereka dengar dari Imam Ja’far Shadiq as saja, sementara total yang ditulis oleh para perawi dari semua Imam as mencapai sekitar tujuh ratus lima puluh kitab.
Peran Imam Ja’far Shadiq as tidak terbatas pada periwayatan hadis saja, tetapi meluas hingga menjelaskan hakikat banyak masalah dan ide yang populer saat itu, seperti qiyas (analogi) dan istihsan (pertimbangan hukum berdasarkan kebaikan). Diriwayatkan dari beliau ‘alaihissalam dalam memerangi qiyas, “Sesungguhnya jika sunah di-qiyas-kan, maka agama akan terhapus. Orang yang pertama kali ber-qiyas adalah Iblis ketika dia berkata, ‘Engkau ciptakan aku dari api dan Engkau ciptakan dia (Adam) dari tanah’.”
Demikian pula, kita melihat bahwa Imam Ja’far Shadiq as membela elemen-elemen akidah Islamiyah setelah merebaknya berbagai mazhab akidah antara Jabr (Fatalisme) dan Tafwidh (Delegasi Penuh). Imam mengambil sikap tegas terhadap masalah akidah ini dan berkata as, “Tidak ada Jabr dan tidak ada Tafwidh, melainkan Amr Bainal Amrain (urusan di antara dua urusan).”
Selain itu, mazhab al-Shadiqain as menetapkan standar untuk membedakan antara hadis yang sahih dan yang tidak sahih, karena adanya perawi pemalsu yang pendusta, atau untuk membandingkan antara berita-berita yang bertentangan yang dinukil dari para Imam as, guna membedakan mana yang harus diamalkan dan mana yang tidak. Mengenai hal ini, Imam Muhammad Baqir as bersabda kepada Zurarah bin A’yan, “Wahai Zurarah! Ambillah apa yang terkenal di antara sahabat-sahabatmu dan tinggalkan yang syadz (janggal) dan nadir (langka).” Kami bertanya, “Wahai Tuanku! Keduanya sama-sama terkenal?” Beliau as menjawab, “Ambillah yang menurutmu paling adil dan paling terpercaya di antara keduanya.” Kami bertanya, “Keduanya sama-sama adil dan terpercaya?” Beliau as menjawab, “Lihatlah mana yang sejalan dengan ‘ammah (mayoritas Sunni), maka tinggalkanlah, dan ambillah yang menyelisihinya. Sesungguhnya kebenaran ada pada apa yang menyelisihinya…”
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa masa kedua Imam, Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Shadiq as, adalah masa di mana Hauzah Ilmiah Syiah didirikan dan diperkenalkan kepada semua kaum muslim, hingga dia menjadi rujukan pertama dan utama dalam seluruh gerakan keilmuan, akidah, fikih, dan pemikiran.
Perumusan Prinsip-prinsip Pengambilan Hukum
Peran kedua Imam, Imam Muhammad Baqir dan Imam Ja’far Shadiq as, tidak terbatas hanya pada penyebaran hadis Nabi saw dan penjelasan hukum-hukum furu’ (cabang) saja, tetapi mereka juga berupaya mendirikan inti dari ilmu Ushul Fikih (prinsip-prinsip fikih) untuk pengambilan hukum.
Alasan untuk ini adalah karena wilayah dunia Islam yang luas dan kesulitan bepergian dari berbagai negara ke Madinah atau Kufah untuk mengambil ilmu dari kedua Imam as menuntut perlunya menetapkan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan oleh para perawi yang adil dan terpercaya ketika masyarakat bertanya kepada mereka tentang berbagai peristiwa dan masalah syariat yang mereka hadapi. Oleh karena itu, kita menemukan hadis-hadis dari kedua Imam as yang mengandung kaidah-kaidah fikih atau ushul, seperti:
- Kaidah Thaharah (Kesucian), “Setiap sesuatu suci bagimu hingga kamu yakin itu najis.”
- Istishab (Prinsip Kelanjutan), “Tidak pantas bagimu merusak keyakinan dengan keraguan, tetapi rusaklah ia dengan keyakinan yang serupa.”
- Kaidah Dhaman (Jaminan/Tanggung Jawab), “Di tangan ada apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya.”
- Ashalatul Hilliyah (Prinsip Kebolehan), “Setiap sesuatu halal bagimu hingga kamu mengetahui secara pasti keharamannya lalu kamu meninggalkannya.”
- Demikian pula, kaidah-kaidah mendahulukan satu hadis atas hadis lain dalam konteks pengambilan hukum.
Kaidah-kaidah ini, baik di bidang Fikih maupun Ushul, kemudian—ketika ilmu-ilmu mulai didokumentasikan—menjadi dasar bagi ilmu Fikih dan ilmu Ushul yang merupakan tiang utama dan pilar Hauzah Ilmiah saat ini.
Dari sini, kita dapat menganggap bahwa pilar-pilar pertama ilmu-ilmu yang diperlukan dalam ijtihad para fukaha telah terbentuk pada masa kedua Imam as. Hal ini menjadi suatu kenyataan setelah dimulainya masa Ghaibah Kubra, di mana masa Teks berakhir menurut kami, dan dimulailah masa ijtihad dan pengambilan hukum dari Alquran, sunah Nabi saw, dan hadis para maksum as.
Keadaan tetap berlanjut seperti yang telah didirikan oleh Imam Muhammad Baqir dan putranya Imam Ja’far Shadiq as hingga berakhirnya masa Ghaibah Kubra, di mana Imam Mahdi yang kedua belas—semoga Allah mempercepat kemunculannya—menghilang dari pandangan hingga hari yang tidak kita ketahui, namun diketahui oleh Allah Swt. Pada awal fase itu, rujukan kepada para ulama menjadi satu-satunya jalan bagi masyarakat untuk mengetahui hukum-hukum syariat mereka, dan ketergantungan pada maraji’ menjadi landasannya. Hal ini pada akhirnya menjadikan keberadaan Hauzah Ilmiah suatu keharusan untuk mencapai peringkat Ijtihad dan menyimpulkan hukum-hukum syariat bagi orang-orang yang mukalaf (dibebani hukum).
Hauzah Qum dan Rey
Dengan dimulainya masa Ghaibah Kubra, Hauzah Ilmiah berpindah ke kota Qum dan Rey (yang sekarang menjadi pinggiran Tehran, ibu kota Republik Islam Iran).
Alasan kepindahan ini adalah karena adanya ulama besar dari penduduk Qum dan Ray yang memiliki pengaruh besar dalam perpindahan Hauzah ke kedua kota tersebut, selain adanya tekanan yang dilakukan oleh para khalifah Abbasiyah terhadap Syiah dan ajaran Syiah.
Untuk menunjukkan keagungan Hauzah Qum pada masa itu, kita sebutkan apa yang dinukil oleh Allamah Hilli dalam syarahnya atas kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih, di mana dia berkata, “Pada masa Ali bin Husain bin Musa bin Babawaih Qummi—penulis kitab tersebut—ada dua ratus ribu orang yang meriwayatkan hadis di Qum).”
Hauzah pada masa itu berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih (al-Buwaih), yang cenderung kepada Syiah dan mencintai Ahlulbait as. Di antara ulama terkemuka dari Hauzah tersebut adalah Syekh Kulaini dan Ibnu Babawaih (ayah dari Syekh Shaduq).
Kitab-kitab penting dalam pengumpulan hadis disusun pada fase usia Hauzah ini, seperti kitab al-Kafi dan kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih, yang merupakan induk kitab hadis bagi Syiah dan masih menjadi rujukan penting hingga saat ini.
Salah satu keistimewaan Hauzah Ilmiah di Qum dan Rey adalah penggunaan riwayat yang sama sebagai fatwa bagi yang bertanya tentang hukum syariatnya. Dengan kata lain, kajian ilmiah dan analitis terhadap fikih belum dimulai pada fase usia Hauzah Ilmiah tersebut. Hauzah di Qum dan Rey berlangsung sejak awal masa Ghaibah Kubra sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah hingga awal abad kelima Hijriah, yaitu saat Hauzah berpindah ke Baghdad, ibu kota negara Abbasiyah.
Hauzah di Baghdad
Alasan perpindahan Hauzah ke Baghdad bermacam-macam, yang paling penting di antaranya adalah melemahnya kekuasaan Abbasiyah yang tidak lagi sekuat di masa Harun Rasyid, Makmun, dan lainnya. Hal ini melemahkan kemampuan mereka untuk memburu Syiah.
Faktor-faktor yang mewajibkan perpindahan juga termasuk adanya ulama besar di Baghdad pada periode itu, seperti Syekh Mufid, Sayid Murtadha, dan Syekh Thusi (Syekh Thaifah).
Alasan lain yang mewajibkan perpindahan adalah bahwa Baghdad adalah ibu kota Abbasiyah dan dunia Islam, dan semua mazhab pemikiran dan fikih Islam ada di sana. Oleh karena itu, fikih Syiah harus ada di sana setelah hilangnya sebab-sebab yang mencegahnya hadir di Baghdad di samping semua mazhab Islam tersebut.
Hauzah di Baghdad dicirikan bahwa fikih tidak lagi sekadar proses mendokumentasikan, mengumpulkan, dan menyusun hadis, tetapi berpindah bersama ulama-ulama besar yang kami sebutkan ke tahap analisis dan pengambilan hukum (istimbath), dan menetapkan ilmu Ushul Fikih, seperti dalam kitab al-Wasilah oleh Syekh Thusi dan kitab al-Dzari’ah oleh Sayid Murtadha, yang merupakan guru Syekh Thusi sebelumnya.
Bukti terbesar dari perkembangan Hauzah Syiah pada masa ini adalah karya-karya ulama besarnya, di mana terlihat pembaruan dalam kajian fikih dan ushul yang sarat dengan analisis dan perbandingan. Fatwa tidak lagi sama persis dengan teks riwayat, tetapi fatwa dirumuskan secara ilmiah berdasarkan riwayat yang diandalkan sebagai dalil untuk hukum yang disimpulkan.
Di antara pencapaian Hauzah di Baghdad adalah pengadopsian Fikih Komparatif di antara mazhab-mazhab Islam. Syiah membutuhkan perbandingan fikih mereka dengan fikih mazhab lain untuk menunjukkan letak dan titik kekuatan fikih ini dalam menghadapi mazhab lain, dan bahwa fikih Syiah bersumber dari Alquran dan Sunnah, serta didasarkan pada dalil yang jelas dan bukti yang meyakinkan. Syiah sangat unggul dalam bidang ini. Salah satu kitab fikih komparatif yang paling penting pada masa itu adalah kitab al-Khilaf karya Syekh Thusi.
Terdapat teks penting dari Syekh Thusi ra yang menyoroti konflik antara Hauzah Syiah dan mazhab pemikiran Islam lainnya. Beliau berkata, “Saya senantiasa mendengar kalangan penentang kami dari para ahli fikih dan mereka yang menisbatkan diri pada ilmu furu’ (cabang) meremehkan fikih para sahabat kami Imamiyah dan menuduh mereka kekurangan dalam furu’ dan sedikitnya masalah, serta mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang hanya berkutat pada pengisian (hasyw) dan kontradiksi. Mereka berpendapat bahwa siapa pun yang menolak qiyas dan ijtihad tidak memiliki jalan menuju banyaknya masalah, pengembangan (tafri’) maupun prinsip (ushul), karena sebagian besar dari itu semua diambil dari dua jalan ini. Ini adalah kebodohan mereka terhadap mazhab kami dan kurangnya perenungan terhadap prinsip-prinsip kami. Seandainya mereka melihat riwayat dan fikih kami, mereka akan tahu bahwa sebagian besar masalah yang mereka sebutkan ada dalam riwayat kami dan dinaskan oleh para Imam kami, di mana perkataan mereka memiliki otoritas yang sama dengan perkataan Nabi saw, baik secara khusus maupun umum, secara jelas maupun tersirat.”
Perlu dicatat, ijtihad yang dimaksud di sini adalah fatwa seorang fakih (ahli fikih) dengan pendapat pribadinya sendiri jika dia tidak menemukan dalil syar’i tentang hukum syariat. Ijtihad di sini bukanlah yang berarti mencurahkan upaya untuk menyimpulkan hukum syariat dari sumber-sumber yang telah ditetapkan dalam Alquran, sunah, dan hadis para maksum as.
Perpindahan Hauzah ke Kota Hillah di Irak
Dapat dikatakan bahwa Hauzah di Baghdad telah menempuh jalur yang seharusnya dalam proses analisis fikih dan ushul. Awal penulisan ilmu Ushul telah terwujud di sana di bawah bimbingan Sayid Murtadha dan muridnya Syekh Thusi. Kerangka penelitian fikih, perincian masalah, dan sebagainya, telah meluas, dan segala sesuatunya berjalan lancar, hingga terjadi invasi Mongol ke Baghdad yang menghancurkannya, membakar perpustakaannya, dan merenggut nyawa penduduknya.
Hal ini mendorong banyak penduduk Baghdad untuk mengungsi dan melarikan diri ke negara-negara yang belum dijangkau oleh tentara Mongol. Kota Hillah telah meminta jaminan keamanan dari Mongol dan mendapatkannya, sehingga penduduknya hidup dalam keamanan dan kedamaian. Ini mendorong para ulama dan mujtahid untuk pindah ke kota itu, dan gerakan ilmiah pun ikut berpindah bersama mereka, hingga Hillah menjadi pusat alternatif bagi Hauzah Ilmiah Syiah. Dari sana lahirlah ulama-ulama besar yang mengukir nama mereka di antara ulama terkemuka mazhab, seperti Allamah Hilli, Muhaqqiq Hilli, Ibnu Idris, Sayid Ibnu Thawus, Syahid Awwal, dan banyak lagi.
Hauzah di Hillah mengikuti jejak Hauzah Baghdad, namun dengan fokus yang lebih besar pada penelitian analitis dan perluasan ilmu Ushul, serta pengelompokan fikih menjadi fikih Ibadah dan Muamalat, seperti yang dilakukan oleh Muhaqqiq Hilli, yang pembagian fikihnya masih digunakan hingga kini dalam semua tulisan fikih para maraji’ kita yang agung, mulai dari thaharah (kesucian) hingga diyat (ganti rugi).
Melalui semua tahapan ini, Hauzah Syiah mencapai posisi terhormat dan menjadi rujukan pertama dan utama bagi Syiah Ahlulbait ‘alaihimussalam dalam semua masalah fikih dan akidah mereka. Di setiap tahap, Hauzah melangkah maju, sebagaimana kita lihat dalam urutan tahapan usianya.
Hauzah tetap berada di jalur perkembangan ini dalam gerakan ijtihad dan istinbat (pengambilan hukum). Ilmu Ushul Fikih menjadi ilmu tersendiri yang berfokus pada kaidah-kaidah umum dalam proses penetapan hukum syariat, dengan membedakan kaidah-kaidah ilmu Fikih dari ilmu Ushul dan memisahkan perbedaan antara kedua ilmu tersebut. Hal ini mendorong ulama Hauzah untuk memberikan perhatian besar pada Ilmu Ushul karena ia bergantung pada kaidah-kaidah universal yang menjadi sandaran fakih dalam menyimpulkan hukum, seperti:
- Kaidah: Perintah menunjukkan wujub (wajib), dan larangan menunjukkan hurmah (haram).
- Kaidah umum dan mutlak.
- Serta kaidah-kaidah seperti istishab (prinsip kesinambungan), bara’ah (prinsip kebebasan tanggung jawab), ihtiyath (kehati-hatian), dan takhyir (pilihan), dan lain-lain.
Gerakan Akhbariyah
Namun, seiring dengan kemajuan gerakan Ushuliyah di Hauzah Ilmiah Syiah, muncullah gerakan Akhbariyah yang menentangnya. Gerakan ini berarti bahwa fakih dalam proses pengambilan hukum hanya mengandalkan riwayat (berita/hadis) tanpa kaidah-kaidah ilmu Ushul.
Menurut kelompok Akhbariyah, mengandalkan kaidah-kaidah ilmu Ushul akan menjauhkan dari pengamalan teks-teks syariat yang datang dari para Imam. Padahal, beramal dengan teks-teks syariat dan berfatwa langsung melalui teks tersebut adalah lebih dahulu daripada berfatwa dengan mengandalkan ilmu Ushul.
Selain itu, alasan yang membuat Akhbariyah memerangi ilmu Ushul adalah karena ilmu ini bersama (digunakan) oleh Syiah dan Sunni, dan ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kekacauan dan kebingungan bagi fikih Syiah.
Karena ilmu Ushul relatif baru dibandingkan dengan ilmu Fikih dan berfatwa dengan bersandar pada riwayat, maka kaum Akhbariyah berhasil menghentikan perkembangan ilmu Ushul Fikih dan mengembalikan otoritas fatwa melalui sandaran langsung pada riwayat (akhbar).
Tokoh pelopor gerakan Akhbariyah, yaitu Muhaddis Astarabadi, menggunakan dalil untuk membenarkan pandangannya sebagai berikut, “Arah Akhbariyah adalah arah yang dominan di antara para fukaha Imamiyah hingga masa Syekh Kulaini dan Syekh Shaduq. Arah ini tidak goyah kecuali pada akhir abad keempat dan sesudahnya, ketika sekelompok ulama Imamiyah mulai menyimpang dari garis Akhbariyah dan mengandalkan akal dalam pengambilan hukum mereka serta menghubungkan kajian fikih dengan Ilmu Ushul karena dipengaruhi oleh metode Sunni dalam istinbat. Kemudian, penyimpangan ini mulai meluas dan menyebar.”
Masa dominasi kaum Akhbariyah ditandai dengan disusunnya ensiklopedia besar kitab hadis. Yang paling penting di antaranya adalah kitab Bihar al-Anwar, kitab Wasail al-Syi’ah oleh Hurr Amili, dan kitab al-Wafi oleh Faidh Kasyani. Hal ini juga membantu melemahkan kecenderungan di Hauzah untuk mengandalkan Ilmu Ushul dalam rangka pengambilan hukum syariat.
Meredanya Gelombang Akhbariyah dan Kembalinya Otoritas Ilmu Ushul
Dominasi gelombang Akhbariyah berlangsung dari awal abad ke-11 hingga awal abad ke-13. Kemudian, gerakan Ushuliyah muncul kembali, dipimpin oleh pembaharu besar Syekh Muhammad Baqir Bahbahani, yang menghadapi gerakan Akhbariyah.
Pusat konflik antara dua aliran ini adalah kota Karbala, yang merupakan pusat utama keilmuan Syiah pada masa itu. Bahbahani berhasil membatasi kecenderungan Akhbariyah dan mengembalikan otoritas Ilmu Ushul dan kaidah-kaidah umumnya. Hal ini dicapai melalui perdebatan ilmiah antara kedua aliran, di mana kaum Ushuliyah menang dengan kekuatan dalil mereka atas kaum Akhbariyah.
Aliran Akhbariyah telah menghabiskan sarana kekuatannya melalui penyusunan ensiklopedia hadis besar yang telah kita sebutkan. Di sisi lain, ilmu Ushul dimasuki unsur-unsur baru yang tidak dikenal sebelumnya, seperti ilmu Filsafat, yang memberikan kekuatan tambahan pada ushul dalam penelitian dan analisis ilmiah, sehingga menarik banyak ulama dan pelajar. Dengan demikian, aliran Akhbariyah tidak lagi memiliki pendukung yang kuat untuk mempertahankannya. Dengan ini, konflik di antara keduanya berakhir demi kemenangan aliran yang menjadi sandaran utama Syiah dalam pengambilan hukum, yaitu aliran yang masih dianut di Hauzah kita hingga zaman ini.
Perpindahan Hauzah Diniyah ke Najaf Asyraf
Di sini, kita tidak memiliki alasan yang jelas mengenai perpindahan Hauzah Ilmiah ke Najaf. Namun, dapat dikatakan bahwa serangan gerakan Wahabi ke Karbala pada pertengahan abad ketiga belas merupakan salah satu faktor pendorong perpindahan Hauzah ke Najaf, di samping makam Amirul Mukminin as. Hauzah terus berlanjut di sana hingga zaman kontemporer ini, tepatnya hingga kemenangan Revolusi Islam yang diberkati di Iran.
Perpindahan ke Najaf dan stabilnya situasi di sana secara umum memberikan dorongan baru bagi Hauzah. Hal ini terwujud dalam penelitian fikih dan ushul yang mendalam. Dari Hauzah itu lahirlah ulama Syiah terbesar setelah Syekh Mufid, Sayid Murtadha, Syekh Thusi, Allamah dan Muhaqqiq Hilli. Cukuplah kita sebutkan para genius dari Hauzah Najaf:
- Syekh Ja’far Kasyiful Ghitha’
- Sayid Mahdi Bahrul Ulum
- Syekh Asadullah Tustari
- Mulla Ahmad Naraqi
- Syekh Muhammad Hasan Najafi (penulis kitab al-Jawahir dalam Fikih)
- Syekh Anshari (penulis kitab al-Rasail dan al-Makasib yang masih diajarkan hingga kini di Hauzah Ilmiah)
- Muhaqqiq Akhund (penulis kitab Kifayah al-Ushul yang masih menjadi kitab rujukan dalam studi Ushul tingkat tinggi di Hauzah).
Hauzah di Najaf memainkan peran penting dalam perjalanan ilmu Fikih dan Ushul Syiah. Gerakan ijtihad meluas dan berkembang secara kuantitas maupun kualitas. Ilmu Ushul mencapai puncaknya dalam pengambilan kaidah dan prinsip umum. Demikian pula ilmu Fikih yang mengikuti perkembangan zaman kebangkitan ilmiah dan memberikan jawaban terhadap bidang-bidang pengetahuan yang dicapai manusia di era pertumbuhan ilmu, teknologi, dan perkembangan.
Perpindahan Hauzah ke Kota Suci Qum
Setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran dan pengetatan yang parah oleh rezim Irak terhadap Hauzah Ilmiah di Najaf, terjadi gelombang migrasi dan eksodus para ulama dan pelajar dari Najaf ke Qum, hingga Qum menjadi pusat utama Hauzah Syiah di dunia Islam.
Para pencari ilmu agama Syiah berdatangan ke sana dari seluruh penjuru dunia, terutama karena sistem pemerintahan di Iran adalah hasil dari Hauzah dan tunduk pada fatwa maraji’-nya. Pemimpinnya adalah Wali Amril Muslimin (Pemimpin Urusan Kaum muslim) yang harus minimal seorang mujtahid atau seorang marja’ dini (otoritas keagamaan), sebagaimana yang terjadi pada mendiang Imam Khomeini qs.
Keislaman sistem, dan kesyiahannya secara khusus, telah memberikan elemen keamanan dan stabilitas bagi Hauzah, serta membuka peluang bagi Hauzah untuk memanfaatkan potensi negara Islam. Ini adalah hal yang tidak dimiliki oleh Hauzah Syiah sejak tahap pendiriannya di zaman para Imam as hingga fase terakhir sebelum kepindahannya ke Qum Muqaddasah.
Potensi ini memberikan kesempatan kepada Hauzah, ulama, dan maraji’-nya untuk mengeluarkan warisan Syiah dari kondisi terabaikan menjadi terurus, dipublikasikan, dan dikembangkan. Sehingga, dapat dikatakan hari ini bahwa Hauzah Ilmiah di Qum menjadi pusat perhatian semua muslim karena menyaksikan kebangkitan ilmiah yang menyeluruh. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Qum adalah Hauzah Ilmiah terbesar di sepanjang wilayah dunia Islam, dan dari sanalah kini memancar sinar peradaban fikih Ahlulbait as. Fikih yang selama sejarah Islam yang panjang ini tetap terbatas dalam lingkup Syiah saja karena tekanan yang dialami oleh Syiah, Hauzah mereka, dan ulama mereka di tangan para penguasa.
Inilah, secara ringkas, sejarah Hauzah Ilmiah Syiah. Sebagaimana kita lihat, ini adalah sejarah yang penuh dengan jihad dan perjuangan: kadang demi keberadaan, kali lain demi melindungi Syiah, atau demi memerangi pandangan yang mencoba menyelewengkan pemikiran Islam, atau memerangi gagasan non-Islam melalui penolakan yang mencegah dampaknya terhadap kaum muslim.
Hauzah telah menderita banyak bencana dan musibah sepanjang sejarahnya, menghadapi bahaya besar, dan memberikan banyak pengorbanan dari para ulama besar yang gugur sebagai syuhada bagi Hauzah sepanjang sejarah, seperti Syahid Awwal dan Syahid Tsani, yang keduanya adalah ulama terbesar dari Jabal Amil. Serta Syahid Sa’id Sayid Muhammad Baqir Shadr, jenius di masanya yang tiada bandingannya di Dunia Islam.
Hauzah Ilmiah Syiah akan tetap menjadi tempat perlindungan, benteng, dan tembok yang kokoh yang menangkis serangan terhadap Islam secara umum dan Syiah secara khusus. Ia akan tetap menjadi mercusuar petunjuk dan kebaikan, dan akan tetap menjadi cahaya yang menerangi jalan bagi orang-orang yang tersesat dan pencari kebenaran. Karena Hauzah adalah suara kebenaran dan keadilan Ilahi, suara yang tidak akan pernah diam hingga muncul Shahib Zaman, Imam Mahdi afs, untuk memenuhi bumi dengan keadilan sebagaimana orang-orang zalim telah memenuhinya dengan kezaliman dan kesewenang-wenangan.(2)
Catatan Kaki:
- QS. al-Taubah [9]:122, hal.206.
- Artikel ini diterbitkan di situs resmi Syekh Muhammad Taufiq al-Miqdad pada: Sabtu, 15 Februari 2014.