ICC Jakarta
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami
  • Login
ICC Jakarta
No Result
View All Result

CIRI-CIRI KREATIVITAS FUNDAMENTALIS (USHULI) PADA DIRI SYAHID SAYID MUHAMMAD BAQIR SHADR

by Syafrudin mbojo
October 1, 2025
in Fikih
0 0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Ustaz Haidar Hubballah

Pendahuluan

Tidak mungkin membaca beberapa fenomena manusia dengan pemahaman yang komprehensif tanpa mempertimbangkan elemen ruang-waktu tempat fenomena itu lahir dan hidup—yakni, semua suasana di sekitarnya yang berinteraksi dengan fenomena tersebut. Ini penting agar perbandingan dan pendekatan yang mengungkapkannya dapat dilakukan. Jika tidak, menghakiminya dari sudut pandang ruang-waktu yang berbeda hanya akan menjerumuskan kita, di satu sisi, pada proyeksi subjektif atau, di sisi lain, pada pengabaian elemen-elemen unik dari fenomena tersebut. Hal ini terutama berlaku ketika fenomena tersebut merupakan mata rantai dalam rangkaian kemajuan manusia. Mempelajarinya dari sudut pandang mata rantai yang lebih maju atau lebih kompleks dapat membuat kita kehilangan banyak elemen dan hasil evaluasi, sebagaimana ditegaskan oleh kaidah-kaidah pembacaan sejarah.

Syahid Sayid Muhammad Baqir Shadr adalah salah satu fenomena besar dalam kehidupan Islam dan kemanusiaan di abad terakhir. Beliau memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh banyak tokoh yang muncul di abad ini dan berusaha melakukan perubahan serta pengembangan. Membaca sosok seperti ini dapat menjebak pembaca dalam beberapa kesalahan ketika membebaninya dengan sesuatu yang tidak dimaksudkan atau mengambil darinya apa yang menjadi ciri khasnya.

Halaman-halaman ini akan berusaha menggali keunikan pemikiran Syahid Shadr. Namun, berangkat dari pentingnya transparansi dalam mendefinisikan dan membatasi penelitian, perlu kita ketahui bahwa kita di sini tidak sedang mengkaji pembenaran historis dan objektif yang melahirkan dan membawa fenomena Shadr. Sebaliknya, kita membaca hasil karyanya yang layak menjadi saksi atas ciri kreativitas yang dimilikinya, dengan mempertimbangkan periode, kondisi, dan lingkungan historisnya.

Kami juga—sambil mengakui adanya keterkaitan antarbidang yang menjadi arena kreativitas dan pembaharuan pada Syahid Shadr—akan menyoroti kreativitas Ushuli-nya, yaitu dalam garis prinsip-prinsip fikih Islam (Ushul Fikih), yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai area terpenting dalam kreativitas Islam karena keasliannya sebagai disiplin ilmu Islam yang lahir bersama ilmu Kalam (Teologi Islam) sebelum era penerjemahan.(1)

Daftar Isi

  • Pendahuluan
  • Kreativitas Ushuli
  • Kreativitas Metodologis Syahid Shadr
  • Wacana Pertama: Bahasa Ushuli
    1. Transparansi dan Kejelasan
    2. Modernitas Istilah dan Ekspresi
    3. Tatanan dan Susunan
    4. Menggabungkan Bahasa Ilmiah dan Ekspresif
    5. Bahasa Ilmiah, Edukatif, dan Definisional
    • Masalah Praktis Bahasa Ushuli Shadr
  • Wacana Kedua: Klasifikasi Ilmu Ushul Fikih
    1. Klasifikasi Ilmu Ushul Fikih yang Populer
    2. Klasifikasi yang Diusulkan
    • Mengenai Dua Rumusan yang Diusulkan dalam Klasifikasi Sayid Shadr
  • Wacana Ketiga: Ilmu Sejarah Ushuli
    • Keunikan Pembacaan Sejarah Syahid Shadr
  • Wacana Keempat: Fungsionalitas Ilmu Ushul Fikih
  • Wacana Kelima: Nalar Ushuli
    • Logika Intrinsik Pengetahuan – Teori Probabilitas
    • Ilmu Ushul Fikih dan Logika Probabilitas
  • Penutup

Kreativitas Ushuli

Terlepas dari perdebatan apakah Syahid Shadr adalah pendiri mazhab Ushuli atau permulaan era Ushuli baru(2)—yang didahului oleh perdebatan alami dan makro lainnya mengenai definisi mazhab Ushuli dan era Ushuli serta penentuan standarnya—hal yang disepakati oleh para pengkaji Shadr, baik dari kalangan Syiah maupun Sunni, adalah bahwa beliau adalah pemilik kreativitas dan hasil karya yang unik di bidang Ushuli.

Namun, pengakuan Syahid Shadr sebagai inovator Ushuli bergantung pada tingkat keparahan dan pentingnya perubahan serta sumbangan yang beliau berikan dalam ilmu Ushul Fikih. Sekadar mencapai suatu pendapat dalam suatu masalah dalam ilmu ini—bahkan jika tidak ada yang memperhatikannya—tidak secara konsisten menunjukkan ciri kreativitas dan pembaharuan, sebab penelitian adalah satu hal, sementara kreativitas adalah hal lain.(3) Sebaliknya, ciri ini bergantung pada sifat, posisi, dan sensitivitas perubahan yang telah dihasilkan dalam sistem ilmu ini.

Tercapainya hasil baru oleh seorang Ushuli terkait dengan Istishhab al-’Adam al-Azali (asumsi kontinuitas ketiadaan abadi) atau konsep Jumlat al-Washfiyyah (kalimat deskriptif), misalnya, tidak serta-merta mengungkapkan keunggulan yang memungkinkannya diklasifikasikan sebagai inovator dan pembaharu dalam ilmu ini. Namun, hasil-hasil unik dalam isu-isu seperti bahasa dan wacana Ushuli, metodologi Ushuli, nalar Ushuli, atau isu-isu seperti topik-topik krusial dalam ilmu ini seperti teori Tazahum (Konflik) atau penggabungan antara hukum zhahiri (hukum berdasarkan indikasi luar) dan hukum waqi’i (hukum hakiki), atau nalar praktis (‘Aql al-’Amali), atau hasil serupa, memungkinkan pemiliknya untuk menjadi inovator di bidang Ushuli karena dampak besar yang ditinggalkan oleh hal-hal tersebut dalam perjalanannya.

Misalnya, pendekatan ja’l al-thariqiyyah (penetapan jalan/instrumentalitas) yang diajukan oleh madrasah Mirza Na’ini tidak dapat dibandingkan dengan masalah indikasi perintah terhadap tindakan segera (Fawr) atau penundaan (Tarakhi). Pendekatan ini telah digunakan untuk memecahkan banyak kesulitan, dan banyak penerapannya telah dilakukan di bab-bab Ushul yang penting, seperti hubungan antara Amarat (indikasi) dan Ushul (prinsip), dalil-dalil keduanya, peran Amarat sebagai pengganti kepastian thariqi (instrumental) dan mawḍhu’i (tematik), dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan teori Ḥukumah (mengatur) Syekh Anṣhari.

Karena itu, pembacaan kreativitas Ushuli pada Syahid Shadr dapat dilakukan melalui dua jalur:

Jalur Pertama: Membaca tekstur umum dan peta menyeluruh yang disajikan oleh Shadr untuk Ushul Fikih, yang berkaitan dengan nalar, metodologi, bahasa, istilah, tatanan, klasifikasi, dan lainnya.

Jalur Kedua: Mengkaji topik-topik inti yang memiliki posisi struktural dan di mana penyesuaian mendasar telah dilakukan. Penyesuaian ini—jika kita mengikuti implikasi alaminya—berpotensi menghasilkan perubahan signifikan dalam ilmu ini, seperti pembahasan nalar praktis pada Syahid, atau teori Tazahum Ḥifẓi (konflik konservatif), atau dua jenis Ẓuhur (kemunculan/makna yang jelas) yaitu Dhati (intrinsik) dan Mawḍu’i (tematik), atau teori Qarn al-Akid (korelasi yang pasti), atau dua jenis Sirah (praktik/kebiasaan) yaitu ‘Uqala’iyyah (rasionalis) dan Mutasharri’iyyah (agamawan), dan lain-lain.

Meskipun demikian, karena keterbatasan ruang, kami hanya akan membatasi studi pada Jalur Pertama, yaitu kreativitas umum dan metodologis. Adapun Jalur Kedua memerlukan studi yang lebih luas.

Kreativitas Metodologis Syahid Shadr

Di sini, kita dapat memusatkan perhatian pada serangkaian wacana yang mungkin merupakan yang paling penting, yaitu:

 

Wacana Pertama: Bahasa Ushuli

Jika kita ingin mengkaji tahapan mendasar dalam perkembangan ilmu Ushul Fikih—tahapan yang dimulai sejak era Waḥid Bahbahani—kita akan mencatat bahwa tahapan ini ditandai dengan interaksi yang intens antara studi rasional/filosofis dan ilmu Ushul. Berdasarkan hal ini, Muḥaqqiq Iṣfahani dalam Nihayat al-Dirayah mungkin dapat dianggap sebagai puncak interaksi ini. Sejumlah besar kaidah dan persamaan rasional telah diimpor dari filsafat klasik. Mendaftar contoh yang ada saat ini untuk menegaskan ide ini membutuhkan studi khusus, dan hal ini secara umum dikuatkan oleh siapa pun yang mengkaji atau mempelajari kedua ilmu ini.(4)

Jenis impor (ke Ushul) dan ekspor (dari ilmu rasional) ini telah menyebabkan masuknya bahasa filosofis ke dalam ilmu Ushul. Cara susunan logis kalimat yang sama pun digunakan, seperti pola ittifaqiyyah (persetujuan) dan luzumiyah (kemestian), mani’at al-jam’ wa al-khulu (pencegah gabungan dan kekosongan), dan lainnya. Istilah-istilah filosofis dan logis yang sama juga dipekerjakan, seperti wujub (keniscayaan), imkan (kemungkinan), ḍarurah (keharusan), ‘illah (sebab), ma’lul (akibat), waḥdah (kesatuan), kathrah (kemajemukan), muqtaḍi (persyaratan), sharṭ (syarat), mani’ (pencegah), pertimbangan mahiyyah (esensi), jami’iyyah (kelengkapan), mani’iyyah (penghalang), ‘araḍ dhati (aksiden intrinsik), gharib (asing/ekstrinsik), ‘adam azali (ketiadaan abadi), sinkhiyyah (kesamaan jenis), quwah (potensi), fi’l (aktualisasi), dhati (hakiki), ‘araḍi (aksidental), kulli (universal), dan juz’i (parsial/partikular).

Fenomena ini dapat dianggap sebagai fenomena yang alami dan terantisipasi, mengingat sejarah pemikiran Islam yang memberikan otoritas intelektual pada pemikiran filsafat dan logika Aristoteles. Ini berarti bahwa, jika perubahan yang stabil dan mendalam diinginkan, pemisahan tidak akan berhasil kecuali dilakukan operasi penyesuaian atau perluasan otoritas logis dan rasional untuk mencakup sistem filosofis dan logis lainnya. Setelah itu, perubahan bahasa dan wacana akan terjadi secara otomatis. Jika tidak, penggantian bahasa Ushuli akan kurang stabil.

Karena itu, kita dapat membaca pengalaman Syahid Shadr dalam ranah reformasi bahasa Ushuli dan menghasilkan gaya baru yang hampir menjadi ciri khas tulisannya. Beliau mendahului tahapan modifikasi bahasa dengan memodifikasi struktur logis dan rasionalnya, suatu hal yang memungkinkannya untuk melakukan modifikasi yang stabil dan mengakar, yang akan kami tunjukkan nanti.

Bagaimanapun, hal yang paling menonjol dari bahasa Ushuli Syahid Shadr adalah:

  1. Transparansi dan Kejelasan

Sayid Shadr berupaya menjelaskan ide-ide dengan bahasa yang ilmiah dan relatif disederhanakan. Bahasanya juga dicirikan oleh transparansi, di mana beliau menjelaskan ide tersebut dengan memisahkan pilar-pilar dan postulatnya di satu sisi, dari struktur super-nya di sisi lain. Beliau juga sering berupaya menonjolkan perbedaan dan persamaan antara berbagai teori, sehingga menghilangkan area kosong dalam pemahaman. Keunggulan kejelasan dan transparansi ini tampak jelas dalam dua kitabnya, Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul (Pelajaran dalam Ilmu Ushul) dan al-Ma’alim al-Jadidah li al-Uṣhul (Tanda-Tanda Baru Ushul). Adapun catatan kuliah tingkat tinggi (Dirasat al-Kharij) beliau bervariasi dari satu catatan ke catatan lain, meskipun dicirikan oleh semacam kepadatan (kekukuhan) yang terkadang menuntut banyak upaya dari pembaca untuk mendapatkan idenya.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini:

Pertama: Melakukan dua perbandingan

  • Perbandingan antara apa yang didokumentasikan dari penelitiannya saat hidupnya dan apa yang didokumentasikan setelah itu. Akan terlihat bahwa apa yang didokumentasikan saat beliau hidup memiliki ungkapan yang lebih mudah, bahasa yang lebih sederhana, lebih transparan, dan kurang rumit daripada beberapa yang didokumentasikan setelah kesyahidannya, sebagaimana terlihat dalam penelitiannya tentang Ta’aruḍh (kontradiksi).(5) Hal ini menunjukkan, di satu sisi, keyakinan beliau bahwa dokumentasi Ushuli dari pemikirannya harus menggunakan bahasa yang lebih mudah daripada bahasa yang digunakan dalam Kifayat Akhund, Maqalat Iraqi, dan Dirayat Iṣfahani. Di sisi lain, hal ini menegaskan perbedaan antara penulisan dan gaya catatan kuliah yang berlaku di Hauzah Ilmiah, di mana meskipun maknanya dipertahankan, susunan dan tatanan ide mungkin mengalami pasang surut, betapapun akuratnya pencatat tersebut dalam merekam. Meskipun Syahid tidak menulis sendiri semua penelitian Ta’aruḍh, beliau mengawasinya dengan sangat ketat.
  • Perbandingan antara catatan-catatan kuliah itu sendiri dan perbedaan yang ada di antara mereka dalam hal gaya dan bahasa, suatu hal yang juga menegaskan apa yang telah disebutkan sebelumnya.

Kedua: Syahid Shadr secara eksplisit menyatakan(6) keyakinannya pada proyek perubahan bertahap dalam bahasa Ushuli

Sebuah proyek yang tampaknya beliau yakini dalam banyak kasus lain. Beliau menekankan bahwa bahasa yang beliau gunakan tidak sepenuhnya mencerminkan keyakinan penuh yang beliau miliki untuk bahasa Ushuli yang ideal. Sebaliknya, beliau berusaha untuk maju satu langkah tanpa melompat dan membakar tahapan, dengan tujuan untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya menuju bahasa Ushuli yang lebih modern, mengingat adanya sikap umum dan konservatif di Hauzah terhadap modifikasi bahasa secara umum.

Ketiga: Penilaian terhadap bahasa Ushuli Shadr juga harus dilakukan berdasarkan perbandingannya dengan realitas di sekitarnya, tidak hanya secara abstrak

Jelas bahwa bahasa yang beliau gunakan lebih jelas dan lebih terang penjelasannya daripada yang ada dalam studi lain, meskipun diyakini bahwa studi-studi tersebut bervariasi dalam tingkat kekaburan dan kerumitan. Sementara hasil karya Akhund, ‘Iraqi, Iṣfahani, Ḥakim, dan lainnya berada di sisi bahasa yang rumit, kabur, dan tertutup, sejumlah kontribusi Mirza Na’ini kurang rumit. Adapun Sayid Khu’i, mungkin beliau lebih jelas dalam penjelasannya daripada Sayid Shadr sendiri.

  1. Modernitas Istilah dan Ekspresi

Dalam hasil karya Ushuli Syahid Shadr, terlihat penggunaan serangkaian kosakata yang sebelumnya tidak umum digunakan dalam ilmu Ushul Fikih, atau penggunaannya jarang, sporadis, dan terbatas. Ditemukannya sejumlah besar kosakata, istilah, rumusan, dan ekspresi ini menegaskan bahwa beliau membawa bahasa Ushuli yang baru. Bahasa ini juga dicirikan karena mengikuti banyak ekspresi dan istilah yang digunakan dalam ilmu-ilmu kontemporer.

Sebagai contoh—dengan perbedaan dalam signifikansi antara istilah dan sekadar ekspresi—kita dapat menyebutkan kosakata: objektivitas (mawḍhu’iyyah) dan subjektivitas (dzatiyyah), elemen kuantitatif (kammi) dan kualitatif (kayfi), akumulasi probabilitas (tarakkum al-iḥtimalat), asosiasi (tada’i), sarana pembuktian intuitif (wijdani) dan ritualistik (ta’abbudi), elemen umum (mushtarak) dan khusus (khaṣṣ), proses (‘amaliyyah) dan operasi (‘amaliyyat), inferensi (istinṭaj), generasi (tawallud) dan reproduksi (tawalud), hak ketaatan (ḥaqq al-ṭa’ah), semangat Alquran umum (al-ruḥ Alquraniyyah al-’ammah), kecilnya probabilitas (ḍa’alat al-iḥtimal), tahapan (marḥalah) dan tingkat (martabah) yang lebih awal, konflik (ta’aruḍh) yang stabil dan tidak stabil, konflik konservatif (tazahum ḥifẓhi), definisi akademik (ta’rif madrasi), pendekatan (maslak) dan orientasi (ittijah), postulat (muṣadarat) (dalam arti modern), pembenaran (mubarrirat), kondisi (ẓhuruf), model (namudhaj) dan model-model, kepastian subjektif (yaqin dhati) dan objektif (mawḍhu’i), kualifikasi (takyif), deduksi teknis (takhrij fanni) dan industri (ṣhina’i), topik gabungan (al-mawḍu’at al-murakkabah), interaksi (tafa’ul), penyusutan (taqalluṣ), kecepatan dan kelambatan perolehan kepastian, kemunculan/makna yang jelas subjektif (ẓhuhur dzati) dan objektif (mawḍhu’i), perumusan (ṣiyaghah), keaslian stabilitas dalam bahasa (aṣhalat al-tsabat fi al-lughah), fenomena (ẓhahirah) dan fenomena-fenomena, persamaan (mu’adalat), keselarasan (insijam) dan harmoni (tanaghum), korelasi yang pasti (qarn al-akid), mazhab (madrasah), peneliti (baḥits), tujuan teknis (al-hadaf al-fanni), pondasi (irtikaz) dan pondasi-pondasi, angka kepastian (raqm al-yaqin), hukum (qanun) dan hukum-hukum, kontrol umum (al-ḍhabiṭ al-’amm) atau objektif, upaya (muḥawalah) dan upaya-upaya, teori (naẓhariyyah), hipotesis (farḍiyyah), hasil yang diperoleh (al-natijah al-mustaḥṣhalah), posisi praktis (al-mawqif al-’amali), sifat legislasi (ṭhabi’at al-tasyri’at), hak intrinsik (al-ḥaqq al-dzati), bukti historis (al-syawahid al-tarikhiyyah), fungsi praktis (al-waẓhifah al-’amaliyyah), pemikiran manusia (al-fikr al-bashari), induksi (istiqra’), watak rasional (al-ṭab’ al-’uqala’i), analisis (taḥlil), pelemah kuantitatif (al-muḍha’if al-kammi) dan kualitatif (al-kayfi), lingkaran (da’irah) dan lingkaran-lingkaran, otoritas (marji’iyyah) (dalam arti modern, bukan fikih), penanganan (al-mu’alajah) dan penanganan-penanganan, dan lain-lain yang sulit dihitung di sini.

Jumlah istilah dan rumusan yang besar ini, yang menembus Ushul Shadr dan yang tidak digunakan di masa lalu—baik sama sekali atau sebagian besar di tingkat ilmu ini—merupakan bukti terbesar bahwa Syahid Shadr mewakili manifestasi kreativitas dan pembaharuan dalam ilmu Ushul Fikih. Sebab, munculnya bahasa baru merupakan konsekuensi dan produk dari perubahan besar dalam nalar dan pemikiran pada tahap lanjut, sebagaimana ditegaskan oleh studi modern. Ini berlaku bahkan jika ada istilah yang diimpor dari ilmu lain, seperti filsafat modern atau matematika, karena kemampuan untuk mempekerjakan istilah yang lahir dalam suatu ilmu di dalam kerangka ilmu lain dan kemudian mengadaptasikannya merupakan pencapaian besar dan pekerjaan yang sulit jika berhasil tanpa komplikasi negatif, dan merupakan lompatan signifikan melalui hukum interaksi ilmiah antar ilmu.

  1. Tatanan dan Susunan

Bahasa Ushuli Syahid Shadr dicirikan oleh gaya presentasi yang khas serta tatanan dan susunan yang unik. Terlepas dari klasifikasi umum Ushul Fikih, ketika beliau menyajikan suatu masalah, beliau akan menyebutkan berbagai orientasi di dalamnya setelah menjelaskan fokus penelitian. Beliau kemudian merinci setiap orientasi secara independen. Jika ada poin yang kabur di dalamnya, beliau akan menjelaskannya, mengajukan pendalaman lebih lanjut untuk orientasi tersebut, dan melakukan banyak upaya untuk mereformasinya dan merapikannya. Ini merupakan puncak objektivitas dan kejujuran. Jika beliau melihat bahwa suatu orientasi rentan terhadap keberatan, beliau akan menyajikannya dalam berbagai rumusan dan menjelaskan setiap rumusan secara terpisah. Kemudian, secara rinci, beliau akan menyebutkan aspek-aspek (pandangan) yang terdaftar atau yang mungkin terdaftar untuk membuktikan orientasi tersebut. Setelah itu, beliau akan mencatat diskusi dan sanggahan yang terpisah satu sama lain dan tidak tumpang tindih. Barulah setelah itu beliau tiba pada tahapan menyajikan pandangan khusus beliau sendiri.

Tatanan dan susunan mental serta perumusan seperti ini seringkali tidak kita temukan dalam penelitian Ushuli. Sebagian ulama menyebutkan posisi mereka dan kemudian berkata, “Dari sini tampak…” secara singkat, dan pembaca sendiri harus mencari tahu bagaimana apa yang belakangan muncul dari apa yang sebelumnya, dan kemudian dimulailah analisis. Atau, di akhir pembahasan, mereka berkata, “Ada sesuatu yang tersisa, atau beberapa hal,” dan menyebutkan hal-hal yang seringkali seharusnya terintegrasi ke dalam struktur penelitian itu sendiri. Atau, mereka mengajukan serangkaian pendahuluan—seperti penulis al-Kifayah—yang sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam pembahasan itu sendiri, dan sebagiannya yang dimasukkan ke dalam pembahasan dapat berfungsi sebagai pendahuluan. Atau, mereka memulai tuntutan yang tidak berlabel, yang sebagiannya bersifat sisipan (iṣṭiradi) di bawah judul “Kemudian itu…” dan membenarkan penyimpangan mereka dengan kesempatan sekecil apa pun. Atau, mereka menyajikan posisi lawan tanpa memperhatikannya atau melancarkan serangan keras terhadapnya, atau…

Semua masalah ini telah dihindari oleh Syahid Shadr—secara total atau hampir total—dalam metodenya membagi masalah menjadi serangkaian bab dan subjudul, dan kemudian menyajikan orientasi, perumusan, aspek, pendekatan terhadap aspek-aspek tersebut, diskusi, jawaban, dan cabang-cabang penerapannya sesuai perkiraan beliau… semua ini secara berurutan, terpisah, terdefinisi, dan juga berlabel.

  1. Menggabungkan Bahasa Ilmiah dan Ekspresif

Dalam ilmu seperti Ushul Fikih—yang menghabiskan sebagian besar usianya diberi asupan bahasa yang rumit hingga bahasa ini, berdasarkan korelasi yang pasti (qarn al-akid), menjadi seperti bagian yang tak terpisahkan dari entitas ilmu ini—upaya untuk memisahkan ilmu ini dari bahasanya menyebabkan serangkaian masalah dan kesenjangan. Yang paling menonjol dari ini adalah apa yang benar-benar terjadi dalam beberapa upaya yang berusaha mereformasi bahasa Ushuli secara dangkal, yang terjerumus ke dalam penyederhanaan yang mencapai batas kehilangan karakteristik presentasi ilmiah yang diperlukan, yaitu komprehensif, akurasi, keteraturan, dan spesialisasi, jauh dari bahasa sastra, pidato, dan bahasa serupa yang mendangkalkan hasil Ushuli. Oleh karena itu, muncul kebutuhan untuk menyeimbangkan dan mendamaikan antara bahasa ilmiah yang akurat dan bahasa ekspresif yang jelas dan transparan, sehingga keduanya tidak melanggar satu sama lain, yang menyebabkan kekaburan, kebuntuan, atau kekaburan dan bahasa retorika serta perdebatan sehari-hari.

Di sinilah kekuatan bahasa Ushuli Shadr muncul. Ia berhasil melampaui jarak penting dalam penjelasan dan ekspresi tanpa kehilangan keilmiahan yang unggul dan kemampuannya untuk komprehensif dan akurat, sebagaimana jelas bagi siapa pun yang mengkajinya dan menyusuri bagian-bagiannya.

  1. Bahasa Ilmiah, Edukatif dan Definisional

Kontribusi Ushuli Syahid Shadr dicirikan oleh elemen keragaman metodologis yang dihasilkan dari beragamnya audiens yang selalu beliau pertimbangkan. Hasil karyanya dapat dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan dasar ini:

  1. Hasil karya yang dicirikan oleh corak bahasa ilmiah yang terspesialisasi, seperti yang terjadi dalam studi tingkat tingginya (dirasat al-’ulya), dan sifat dari tulisan-tulisan ini, seperti kitabnya Ghayah al-Fikr atau hasil karya yang didokumentasikan sebagai catatan kuliahnya, membutuhkan penghilangan pendahuluan awal untuk pembahasan dan seringkali melampaui penjelasan istilah, menganggapnya sebagai sesuatu yang telah selesai (diketahui). Ini karena yang diharapkan dari pembaca adalah mencapai tingkat penelitian, verifikasi, dan studi yang relatif tinggi, yang membuat pemaparan pendahuluan dan istilah menjadi relatif sia-sia (laghwi), dan menyebabkan menurunnya tingkat penelitian dan verifikasi. Dari sini, kita menemukan bahwa jenis hasil karya Syahid Shadr ini dicirikan oleh kedalaman dan gaya ungkapan yang kokoh serta presentasi yang tidak repetitif tanpa mengarah pada kebuntuan dan kerumitan, sebagaimana telah disebutkan.
  2. Hasil karya yang mengambil corak penulisan dan bahasa edukatif-kurikuler, yaitu yang memperhatikan kekhususan gradasi dan hierarki pada audiens. Bahasa ini terlihat jelas dalam kitabnya Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul (al-Ḥalaqat). Keberadaan bahasa semacam ini di lingkungan Ushuli Hauzah pada saat itu jarang atau langka, kecuali apa yang disajikan oleh Syekh Muḥammad Riḍha Muẓhaffar dalam Uṣhul al-Fiqh dan kontribusi parsial lainnya. Namun, hal terpenting yang membedakan al-Ḥalaqat adalah dua unsur keunggulan, yang kami rangkum:
    • Pertama, bahwa Uṣhul al-Fiqh (Muẓaffar) datang hanya untuk mengisi kekosongan dalam bidang studi tertentu, seperti kekosongan yang ada antara al-Ma’alim dan kitab al-Rasail serta al-Kifayah. Dengan demikian, itu hanya mewakili jembatan yang berbeda sifatnya dari kedua sisi, sehingga tidak menyelesaikan masalah dari akarnya. Sementara al-Ḥalaqat adalah ekspresi lain dari proyek komprehensif yang berfungsi sebagai alternatif untuk al-Ma’alim, al-Fuṣhul, al-Qawanin, al-Rasail, dan al-Kifayah secara bersamaan.
      • Masalah bagi pelajar—sebagaimana dikatakan oleh Sayid Syahid sendiri—adalah bahwa setelah mempelajari Ushul Syekh Muẓhaffar, ia dipaksa untuk kembali selangkah ke belakang untuk membaca ide-ide yang secara historis lebih tua, kembali ke era Anṣhari dan Khurasani.(7)
    • Kedua, ini adalah salah satu karakteristik terpenting al-Ḥalaqat, dan mungkin berasal dari universalitas dalam proyek Sayid di sini, yaitu gradasi dalam penyajian, baik dari sisi bahasa—yang berbeda dalam Ḥalaqah kedua dari yang pertama, atau keduanya dengan yang ketiga, atau dalam yang ketiga itu sendiri dengan bagian pertama dan keduanya—atau dari sisi susunan ide-ide dari sisi upaya sejauh mungkin untuk menyajikan ide yang kurang rumit pada tahapan awal daripada ide yang lebih rumit, atau menjelaskan ide yang diubah dalam ide lain menjadi istilah atau data yang telah selesai (diketahui) sebelumnya. Demikian pula kekhususan keseimbangan kuantitatif dan kualitatif pada tingkat satu tahapan, sehingga tidak merinci pada satu dan meringkas pada yang lain, kecuali dalam perbedaan yang dituntut oleh sensitivitas topik. Dari sinilah al-Ḥalaqat berfokus pada pembahasan makro dalam Aṣl (prinsip) dan Amarah (indikasi).

Kami tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang keunggulan al-Ḥalaqat, tetapi kami ingin menunjukkan ketidaksetujuan terhadap pernyataan yang mengatakan bahwa kitab ini tidak lengkap, terutama dalam pembahasan lafaẓ. Pernyataan ini tidak memperhatikan sifat klasifikasi penelitian Syahid Syahid dan pemisahannya antara dalil rasional dari pembahasan lafaẓ di satu sisi, dan penggabungannya banyak pembahasan ‘Amm (umum) dan Khaṣhṣh (khusus), Muṭhlaq (mutlak) dan Muqayyad (terikat), dan Mafahim (konsep) di dalam pembahasan Ta’aruḍh (kontradiksi) di sisi lain. Adapun pengabaian Syahid Shadr terhadap pembahasan seperti Mushtaqq (derivatif), Ṣhaḥiḥ (sah) dan A’amm (lebih umum), dan Ḥaqiqah Syar’iyyah (realitas syariat) dari kitabnya, atau referensi singkat pada pembahasan seperti dalil al-Insidad (tertutupnya pintu ilmu), saya tidak berpikir itu karena kelalaian pena sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama kontemporer,(8) melainkan itu adalah hal yang disengaja—dengan kemungkinan kuat—meskipun Syahid sendiri tidak membenarkannya dalam pendahuluan panjang kitabnya, dan mungkin karena jarangnya manfaat atau karena posisi tertentu, yang insya Allah akan datang.

Tujuannya bukanlah untuk mencakup keunggulan atau kekurangan kurikulum studi yang ditetapkan oleh Syahid ini, karena ini membutuhkan penelitian independen tentang kitab-kitab studi Ushuli, yang bukan tempatnya di sini.

  1. Hasil karya yang mengambil bahasa pengenalan (ta’rif) terhadap ilmu Ushul Fikih, yang merupakan bahasa yang sangat penting yang mungkin kita tidak temukan bandingannya pada masa itu. Syahid mengungkapkannya dalam kitabnya al-Ma’alim al-Jadidah li al-Uṣhul, di mana beliau menyatakan dalam pendahuluannya bahwa beliau bahkan memasukkan para amatir yang ingin mengetahui tentang ilmu ini(9) tanpa bergabung dengan jalur Hauzah ke dalam pertimbangannya saat menyusunnya.

Dan kemungkinan besar, ini adalah lompatan penting dari Sayid Syahid untuk memecahkan kepungan terhadap ilmu Ushul Fikih dalam lingkup mekanisme berpikir di Hauzah Syiah Imamiyah. Oleh karena itu—terutama jika apa yang dinisbatkan kepadanya benar—beliau bermaksud melibatkan segmen terpelajar lainnya dalam kontribusi terhadap pengembangan ilmu ini, khususnya mereka yang spesialisasinya bertemu dengan penelitian Ushuli, seperti ilmu bahasa dan filsafatnya, serta beberapa cabang ilmu filsafat dan epistemologi. Ini adalah hal yang mengamankan jalan bagi Ushul Syiah untuk memasuki universitas dan pusat penelitian, mengikuti jejak ilmu Ushul dan Syariat Sunni.(9) Masuknya ilmu Ushul Syiah ke universitas memiliki dampak besar dalam memperkenalkan ilmu ini dan mematahkan monopoli Ushul di sana demi mazhab tertentu, serta memperkaya hasil dari ilmu ini sendiri dalam jangka panjang.

Langkah dari Sayid Syahid ini—jika didukung oleh langkah-langkah lain—juga dapat menciptakan kedekatan antara Ushuli Syiah dan Sunni, karena bahasa Ushul Syiah sama sekali tidak dikenal di kalangan Sunni, yang menjadi penghalang bagi interaksi yang dibutuhkan antara kedua Ushul tersebut. Interaksi ini pada akhirnya akan merasionalisasi seluruh ilmu Ushul di tingkat lingkaran Islam.

 

Masalah Praktis Bahasa Ushuli Shadr

Namun, ada masalah praktis yang dialami oleh kontribusi Sayid Syahid di lingkungan Hauzah. Beliau berupaya memperbarui bahasa Ushuli dalam sistem bertahap—seperti yang telah disebutkan. Pembaruan ini berangkat dari sifat pembaruan yang memengaruhi bahasa Arab di abad terakhir. Akibatnya, pembaruan Ushuli ini akan membuat ilmu Ushul Fikih menjadi asing di lingkungan Hauzah karena sebagian besar lapisan Hauzah tidak menggunakan bahasa Arab modern. Studi bahasa Arab di Hauzah sebagian besar adalah studi teoretis dan bukan praktis. Pada akhirnya, pelajar Hauzah non-Arab seringkali hanya mencapai kemampuan untuk memahami teks-teks keagamaan kuno atau yang memiliki bahasa khusus, tanpa melampaui itu ke tahap memahami teks-teks lain dalam ilmu lain atau bahkan percakapan dan dialog praktis. Kemungkinan besar, keterasingan hasil Ushuli Syahid di lingkungan Hauzah non-Arab kembali ke poin ini pada tingkat pertama, karena bahasanya sulit dari aspek ini.

Pengamatan ini tepat, dan jika ini mengindikasikan sesuatu, itu menunjukkan masalah dalam sistem pendidikan bahasa itu sendiri—seperti yang dilihat oleh Syahid sendiri—atau dalam kegagalan untuk segera menerjemahkan teks al-Ḥalaqat ke dalam bahasa lain sehingga dapat mencerminkan peran yang sama yang dimainkan oleh kitab ini.

 

Wacana Kedua: Klasifikasi Ilmu Ushul Fikih

Ilmu memperoleh keberadaannya ketika ia bertransformasi dari sekumpulan masalah yang terpisah-pisah menjadi sekumpulan pembahasan yang teratur dan tersusun. Susunan dan metode pemisahan topik dan penelitian menempati posisi penting dalam mendorong laju pertumbuhan ilmu ini atau sebaliknya. Suatu pola tabulasi tertentu dapat memengaruhi kelumpuhan pergerakannya secara keseluruhan atau sebagian, dan suatu klasifikasi tertentu dari masalahnya dapat menjauhkannya dari tujuannya atau sebaliknya, atau menyebabkan hambatan yang mengubahnya menjadi ilmu yang gelisah dan tidak teratur langkahnya. Oleh karena itu, menentukan di mana pembahasan ini atau itu harus ditempatkan adalah hal yang mutlak secara metodologis.

Dari sinilah muncul peran metodologisasi dan diversifikasi penelitian Ushuli sebagai prioritas utama bagi mereka yang berusaha melakukan perubahan struktural di dalamnya yang mendorongnya menuju produksi dan keberhasilan yang lebih besar.

  1. Klasifikasi Ilmu Ushul Fikih yang Populer

Ilmu Ushul Fikih secara akademik dibagi menjadi empat bagian yang terkenal, yaitu:

  1. Hal-hal yang berkaitan dengan apa yang mengarah pada hukum Syariat dengan ilmu intuitif (‘ilm wijdani), seperti pembahasan rasional (‘Aqliyyat).
  2. Hal-hal yang mengarah ke sana dengan ilmu ritualistik (‘ilm ta’abbudi) dan artifisial (ja’li), dan ini terbagi menjadi dua bagian:
  1. Penelitian minor (baḥth ṣughrawi), yang mencakup pembahasan lafaẓ dan yang terkait dengannya.
  2. Penelitian mayor (baḥth kubrawi), yang mencakup pembahasan Ḥujaj (otoritas) dan Amarat (indikasi).
  1. Hal-hal yang berkaitan dengan fungsi praktis Syariat (al-waẓifah al-’amaliyyah al-Syar’iyyah), dan mencakup pembahasan Prinsip Syariat (Uṣul Syar’iyyah).
  2. Hal-hal yang berkaitan dengan fungsi rasional (al-waẓhifah al-’aqliyyah), dan mencakup Prinsip Rasional (Uṣhul ‘Aqliyyah) seperti kaidah keburukan hukuman (qubḥ al-’iqab).(11)

Di hadapan diversifikasi pembahasan Ushuli ini, Syahid berupaya menciptakan celah tertentu di dalamnya melalui pengajuan pertanyaan berikut: Apa yang diinginkan di balik klasifikasi ilmu Ushul ini? Apakah kita bertujuan hanya untuk proses pengumpulan masalah dalam empat lingkaran besar atau lebih, ataukah di balik klasifikasi ini ada hipotesis dan postulat yang menjadikan klasifikasi ini didasarkan pada metode tertentu yang menuntut sifat kuadrupelnya di satu waktu, dan menuntut susunan tertentu untuk masalahnya dari sisi pendahuluan dan penundaan di waktu lain? Berdasarkan hal itu, Syahid mencatat kritiknya yang spesifik terhadap klasifikasi ini.(12)

Poin dari Sayid Syahid ini sangat penting dan signifikan, karena melakukan penyesuaian pada badan suatu ilmu tergantung pada perubahan struktural dalam ilmu tersebut, baik yang muncul darinya dari dalam sebagai akibat dari pertumbuhan akseleratif yang besar, atau dari luar sebagai akibat dari munculnya ilmu lain yang secara lebih terspesialisasi menangani sebagian dari apa yang ditangani oleh ilmu ini, atau menyusutnya ilmu lain yang menyebabkan mundurnya mereka dari arena pengetahuan—karena satu dan lain hal—yang mengharuskan ilmu yang tersisa untuk menangani warisannya. Penyesuaian dalam klasifikasi dan tabulasi tidak akan terjadi pada suatu ilmu kecuali jika para ilmuwan memperhatikan kekhususan tertentu dalam ilmu ini yang belum diperhatikan pada tingkat yang sama sebelumnya.

Demikian pula halnya dengan ilmu Ushul. Pembangunan teori-teori besar oleh Bahbahani dan para pengikutnya mengenai masalah Prinsip Praktis (Aṣhl ‘Amali), analisisnya, dan hubungan antara itu dan Amarah (indikasi), pada akhirnya menghasilkan munculnya pemisahan baru untuk ilmu ini di tangan Syekh Anṣhari, selaras dengan sifat dan tingkat topik yang mulai dituntut. Demikianlah. Di sini, dalam usulan Syahid, terlihat bahwa ia mencakup keunggulan teknis yang menanggapi realitas yang ada dalam ilmu Ushul ini, sebagaimana akan kita perhatikan, insya Allah.

  1. Klasifikasi yang Diusulkan

Dalam konteks penetapan rumusan yang paling sesuai, Syahid Shadr mengajukan dua usulan yang masing-masing memiliki keunggulannya.(13) Namun, beliau mencatat adanya dua celah pada kedua klasifikasi yang diusulkan, selaras dengan hasil Ushuli khusus beliau:

  • Di satu sisi, beliau berpendapat bahwa pembahasan Kepastian (Qaṭh’i) bukanlah pembahasan Ushuli, karena masalah-masalah Ushuli itu sendiri juga bergantung pada otentisitas Qaṭh’i, sehingga secara alami tidak dapat menjadi bagian darinya. Karena itu, beliau mengklasifikasikan otentisitas Qaṭh’i sebagai salah satu prinsip tematik (al-Uṣhul al-Mawḍhu’iyyah) untuk ilmu ini, dan oleh karenanya beliau mengecualikannya, menjadikannya sebagai bagian dari Pendahuluan atau Pengantar untuk ilmu Ushul Fikih.
  • Di sisi lain, beliau mencatat bahwa pergerakan Ushul—sesuai dengan definisinya—bertujuan untuk mengambil hukum syariat (istinbaṭh al-ḥukm al-syar’i). Ini berarti bahwa hukum Syariat diasumsikan sebagai tujuan dan arah untuk ilmu ini, dan oleh karena itu tidak termasuk dalam masalah-masalahnya. Ini berarti bahwa sangat penting untuk memasukkan pembahasan hukum syariat, definisi, klasifikasi, hakikat, dan ketentuan-ketentuannya di dalam Pendahuluan yang sama, daripada membiarkan konsepsi-konsepsi ini tersebar di sela-sela ilmu Ushul Fikih, terutama dalam pembahasan Istisḥab (asumsi kontinuitas).

Bagaimanapun, beliau menyebutkan dua rumusan, yang secara ringkas adalah:

Rumusan Pertama: Ilmu Ushul Fikih dibagi menjadi dua bagian: Pertama: Dalil-Dalil (al-Adillah), dan dipelajari dalam bentuk berikut:

  1. Dalil-Dalil Syariat (al-Adillah al-Syar’iyyah), dan dibaca di dalamnya pembahasan:
  1. Dalalat (Indikasi Makna).
  2. Ṣudur (Asal/Keluaran).
  3. Otoritas (al-Ḥujjiyyah).
  1. Dalil-Dalil Rasional (al-Adillah al-’Aqliyyah), dan dibaca di dalamnya:
  1. Isu-isu rasional dan penentuannya secara minor (ṣughrawi).
  2. Otoritas dalil rasional sebagai penelitian mayor (kubrawi).

Kedua: Prinsip-Prinsip Praktis (al-Uṣhul al-’Amaliyyah), dan dipelajari sebagai berikut:

  1. Pembahasan umum tentang Prinsip (Aṣhl), hakikatnya, jenis-jenisnya, hubungannya…
  2. Pembahasan yang berkaitan dengan Kerancuan Awal (al-Syubhah al-Badawiyyah) seperti Bara’ah (prinsip kepolosan) dan Istishab (asumsi kesinambungan).
  3. Pembahasan yang berkaitan dengan Kerancuan yang Disertai Pengetahuan (al-Syubhah al-Maqrunah bi al-’Ilm) seperti Ishtighal (prinsip kesibukan kewajiban) dan al-Aqall wa al-Akthar (yang lebih sedikit dan yang lebih banyak). Kemudian, di akhir, dibahas pembahasan Kontradiksi (al-Ta’aruḍh).

Rumusan Kedua: Ushul dibagi menjadi lima bagian sebagai berikut:

  1. Pembahasan Lafaẓ dan yang berkaitan dengan makna yang jelas (ẓhuhurat) lafaẓ, kontekstual, dan situasional.
  2. Pembahasan Keterikatan Rasional (al-Istilzam al-’Aqli) baik yang independen (mustaqillat) maupun yang tidak independen (ghayr mustaqillat).
  3. Pembahasan Dalil Induktif (al-Dalil al-Istiqra’i) dari Ijmak (konsensus), Syuhrah (kemasyhuran), Tawatur (mutawatir), dan Sirah (praktik/kebiasaan), didahului oleh pendahuluan tentang Induksi dan karakteristiknya.
  4. Pembahasan Otoritas (al-Ḥujaj), dan di dalamnya dibahas Amarat (indikasi) dan Uṣul (prinsip) dengan pendahuluan tentang hakikat, ketentuan, dan hubungan keduanya.
  5. Pembahasan Prinsip-Prinsip Praktis Rasional (al-Uṣhul al-’Aqliyyah al-’Amaliyyah).

Kemudian, penutup tentang Kontradiksi (al-Ta’aruḍh).

 

Mengenai Dua Rumusan yang Diusulkan dalam Klasifikasi Sayid Shadr

  1. Rumusan Pertama unggul dalam mempertimbangkan sifat pergerakan ahli fikih di lapangan, yaitu ia berinteraksi pertama dengan Dalil dan kedua dengan Prinsip (Aṣhl) jika tidak ada Dalil. Keunggulan ini adalah dasar dari klasifikasi ini menurut Syahid. Adapun Rumusan Kedua unggul dalam memisahkan setiap hal yang bertemu dalam satu metode penelitian seperti Lafaẓ, Akal, dan Induksi, yang merupakan pilar di mana klasifikasi ini diajukan.
  2. Kedua rumusan sepakat dalam sifat pendahuluan bagi pembahasan Kepastian (Qaṭh’i) dan Hukum Syariat, dan sifat penutup bagi pembahasan Kontradiksi (al-Ta’aruḍh).
  3. Rumusan Kedua menggabungkan Amarat (indikasi) dan Prinsip Syariat, sementara Rumusan Pertama memisahkannya dengan jelas. Dan yang sebaliknya adalah benar; karena Rumusan Pertama menggabungkan antara Dalil Rasional dan Induktif, sementara Rumusan Kedua memisahkannya. Pembedaan ini disebabkan oleh perhatian terhadap perkembangan Teori Probabilitas dalam Ushul pada Syahid Shadr, sebagaimana akan kita lihat nanti.
  4. Rumusan Pertama lebih dekat dengan metode lama dalam Ushul, dan didekati oleh Sayid Shadr dalam al-Ma’alim dan al-Ḥalaqat. Ini menunjukkan pada tingkat tertentu kecenderungan beliau untuk mendidik pelajar sesuai dengan rumusan praktis. Adapun Rumusan Kedua lebih dekat dengan metode modern dalam Ushul, yang diadopsi oleh Syahid dalam studi tingkat tingginya (dirasat al-’ulya).
  5. Rumusan Pertama berfokus pada pembukaan bagian khusus untuk mendefinisikan Prinsip Praktis (Aṣhl ‘Amali), hakikatnya, keunggulannya, dan ketentuannya, sejalan dengan perkembangan Ushuli pada jalur ini. Sementara Rumusan Kedua menjadikannya sebagai pendahuluan untuk bagian keempat di mana Amarat bertemu dengan Uṣhul.

Selain karakteristik umum atau parsial lainnya dalam kedua usulan ini.

Terlepas dari apa yang telah disebutkan, fakta bahwa beliau mengajukan dua usulan klasifikasi menunjukkan bahwa Syahid Shadr:

  • Entah beliau belum memutuskan posisinya mengenai masalah tersebut sebagai akibat dari keunggulan penting dari setiap klasifikasi yang tidak mungkin digabungkan dalam satu klasifikasi menurut pandangannya.
  • Atau beliau telah memutuskan posisi untuk mendukung satu klasifikasi atas yang lain, tetapi beliau menunggu kesempatan untuk penerapannya secara komprehensif di lapangan.

Penulis cenderung berpendapat—sebagai dugaan—bahwa kecenderungan Syahid lebih kepada Rumusan Pertama, sejalan dengan teori tahapan pada beliau, karena tidak mungkin Syahid mengadopsi rumusan yang sampai batas tertentu kembali ke tahap pra-Anṣhari untuk tahap studi awal, dan kemudian melompatkan pelajar ke pola yang berbeda dari ilmu ini pada tahap penelitian dan studi tingkat tinggi (Baḥts al-Kharij). Terutama karena Rumusan Pertama adalah yang paling jauh dari realitas ilmiah pada masanya. Ini berarti bahwa beliau menerapkan usulan yang paling beliau sukai pada tahap studi awal sebagai langkah awal yang relatif terukur, dan mungkin beliau berharap bahwa penerapannya akan dilakukan kemudian dan secara bertahap pada tahap yang lebih tinggi. Jika tidak, keragaman rumusan antara tingkat menengah (Suṭuḥ) dan tingkat tinggi (Kharij) pada Syahid, jika itu adalah rumusan akhirnya, akan dengan sendirinya menjadi masalah metodologis dan teknis.

 

Wacana Ketiga: Ilmu Sejarah Ushuli

Studi tentang sejarah ilmu-ilmu adalah salah satu cabang ilmu penting yang telah menjadi fokus perhatian yang mencolok dalam beberapa abad terakhir. Ketertarikan pada studi sejarah ilmiah telah melahirkan kecenderungan khusus yang membangun pilar-pilar filosofisnya sendiri, dan mulai membaca ide-ide serta teori-teori dengan pembacaan historis. Pembacaan ini berbeda dari pembacaan ide-ide yang dikenal dalam hal sifat, struktur, kaidah, dan postulatnya.

Pembacaan sejarah ilmiah memengaruhi pemahaman peneliti tentang teori dan ide ilmu ini, serta menentukan perjalanan dan tahapan perkembangan teori-teori ini, dan oleh karena itu, pengaruh intelektual yang melahirkan orientasi ini atau itu. Bersamaan dengan semua itu, ia mampu menjelaskan hubungan dan keterkaitan yang ada di antara berbagai ide di dalam ilmu ini di satu sisi, dan hubungan serta interaksi yang ada di antara ilmu ini sendiri dengan ilmu-ilmu lainnya di sisi lain.

Hal yang menarik adalah bahwa ilmu Ushul Syiah sebelum Shadr jarang atau bahkan tidak ada upaya serius untuk membacanya secara historis, terlepas dari sekadar menisbatkan perkataan ini kepada si fulan dan itu kepada yang lain, dan mengeksplorasi tahapan pertumbuhannya hingga mencapai keadaannya saat ini. Padahal, aspek kajian ilmu ini sangat penting, terutama yang berkaitan dengan studi komparatif dan perbandingan baik antara orientasi dan mazhab Ushuli Syiah seperti Anṣhari dan Bahbahani, atau tokoh-tokoh seperti Iraqi, Khu’i, Ṭhusi, Iṣfahani, Qummi, dan lainnya, atau bahkan antara Ushuliyah dan Akhbariyah, atau antara Ushul Syiah dan Sunni, terutama setelah era pemisahan dan independensi. Ini berpotensi melahirkan Ilmu Ushul Komparatif atau Prinsip-Prinsip Perbedaan (Uṣhul al-Khilaf) mirip dengan Fikih Komparatif.

Studi historis tidak terbatas pada yang mencakup seluruh pergerakan ilmu, tetapi juga mencakup pembacaan sejarah teori tertentu seperti teori Insidad (tertutupnya pintu ilmu), atau otentisitas Khabar al-Tsiqah (laporan orang tepercaya), atau Iqtiḍa’ (tuntutan) dan ‘Illiyyah (kausalitas) dalam al-’Ilm al-Ijmali (pengetahuan global), atau Ḥukumah (mengatur) dan Wurud (datang/muncul). Ini juga mencakup studi historis tentang interaksinya dengan ilmu-ilmu lain, terutama Filsafat, Bahasa, dan Kalam (Teologi). Banyak kata telah diucapkan tentang hal ini, tetapi—bahkan jika benar—kata-kata tersebut kekurangan studi dan angka rinci.

Kembali kepada Syahid Shadr, beliau dapat dianggap sebagai salah satu pendiri Ilmu Sejarah Ushuli pada tingkat yang besar di lingkungan Syiah. Beliau mempelajari seluruh ilmu Ushul secara historis dalam al-Ma’alim al-Jadidah, dan beliau juga membaca serangkaian tuntutan sensitif dalam ilmu ini dari aspek ini dalam penelitiannya yang lain, seperti studi beliau tentang fenomena Kontradiksi (al-Ta’aruḍh) dan sebab-sebab historisnya,(14) atau tentang gagasan Prinsip Praktis (al-Aṣhl al-’Amali), atau keburukan hukuman tanpa penjelasan (qubḥ al-’iqab bi la bayan),(15) atau tentang perkembangan gagasan Ijtihad yang beliau bahas dalam al-Ma’alim(16) dan al-Durus.(17)

Shadr diikuti oleh sekelompok peneliti—beberapa dari mereka adalah murid madrasahnya—yang melakukan serangkaian studi tentang sejarah ilmu Ushul dari berbagai aspek. Meskipun demikian, aspek ini masih relatif lemah di lingkungan ilmiah.

Di sini, kami akan mengambil tiga contoh saja—secara singkat—yang menjelaskan beberapa pencapaian Shadr dalam hal ini:

Contoh Pertama: Yaitu Studi Historis Komprehensif tentang ilmu Ushul Fikih yang disajikan oleh Syahid dalam al-Ma’alim.(18) Tidak ada ruang untuk menelusuri studi ini secara rinci di sini, tetapi kami meringkasnya—secara sangat singkat—di mana ia mencakup langkah-langkah berikut:

  1. Penentuan kelahiran ilmu Ushul, di mana Shadr mencatat pemisahan Ushul dari Fikih secara bertahap setelah munculnya elemen-elemen umum di hadapan para ahli fikih, dan pembedaannya dari serangkaian masalah fikih yang bergerak. Benih-benih Ushul menurut beliau kembali ke era para Imam as.
  2. Masuknya ilmu Ushul ke era penulisan pada masa Syekh Mufid, Sayid Murtaḍha, dan lainnya.
  3. Terjadinya lompatan besar di tangan Syekh Ṭhusi dalam hal produksi kuantitatif dan kualitatif, dan stagnasi relatif Ushul setelah wafatnya.
  4. Pemecahan stagnasi ini di tangan Ibnu Idris Ḥilli setelah berlalu satu abad.
  5. Munculnya gerakan Akhbariyyah dan orientasi yang menentang Akal.
  6. Kemenangan madrasah Ushuliyyah setelah itu di tangan Waḥid Bahbahani, yang dampaknya masih berlanjut hingga hari ini.

Keunggulan Pembacaan Sejarah Syahid Shadr

Studi historis ini dicirikan oleh serangkaian elemen, yang terpenting adalah:

  1. Kembalinya Syahid Shadr kepada sumber-sumber Rijal (biografi perawi) yang secara eksplisit menyebutkan karya-karya para sahabat Imam as untuk mengungkap sifat-sifat karya tulis yang beredar pada periode tersebut. Melalui ini, beliau menegaskan adanya ilmu Ushul—sebagai benih—pada masa itu. Ini adalah metode penting untuk mengungkap sifat kondisi, minat, dan isu-isu yang diangkat dalam suatu periode waktu tertentu.
  2. Melampaui tahapan dalil historis mengenai kemunculan ilmu Ushul ke dalil-dalil analitis yang memfilsafatkan pembentukan ini. Shadr menekankan faktor historis dalam menciptakan serangkaian dampak yang secara otomatis mengarah pada kemunculan ilmu ini. Jauh dari Era Teks (‘Aṣhr al-Naṣhṣh), pembaharuan kejadian, dan sulitnya mendapatkan jawaban langsung terhadap perkembangan yang terjadi, semuanya mengarah pada kelahiran ilmu ini. Jadi, ia adalah keniscayaan historis. Keniscayaan historis ini memiliki serangkaian konsekuensi yang sebagiannya diisyaratkan oleh Syahid sendiri di tengah-tengah penelitiannya. Secara umum, dalam studi historisnya, terlihat penekanan pada aspek analitis sejarah selain pada dokumen historis itu sendiri. Ini adalah keunggulan baru untuk membuka pintu bagi sejarah Ushuli yang terpelajari (madrus) dan tidak hanya terdokumentasi, yaitu untuk sejarah yang bersifat analitis dan deskriptif secara bersamaan.
  3. Membaca Stagnasi Ushuli setelah Syekh Ṭhusi dengan pembacaan psikologis-sosiologis di satu sisi, dan pembacaan kondisional eksternal di sisi lain. Syahid mengkaji sifat kepribadian Syekh Ṭhusi dan sejauh mana kehadirannya di lingkungan ilmiah untuk menguatkan bahwa kesucian yang dinikmati oleh kepribadian ini meninggalkan bekas psikologis pada generasi ilmiah berikutnya, yang menyebabkan stagnasi relatif setelah wafatnya.
    • Di jalur lain, hijrahnya Syekh Ṭhusi ke Najaf sekitar dua belas tahun sebelum wafatnya, dan konfirmasi dari penelaahan dokumen historis bahwa murid-muridnya tidak menyertainya, menunjukkan bahwa hal itu menyebabkan melemahnya Hauzah Baghdad karena kehilangan sosok Ṭusi, sementara Hauzah Najaf hingga wafatnya masih dalam tahap kanak-kanak. Hal ini menimbulkan kekurangan selama periode transisi ini yang terwujud dalam kemunduran relatif ilmu ini (dan ilmu-ilmu lainnya). Jenis pembacaan terhadap interaksi sekitar dalam memengaruhi suatu ilmu, dan keluarnya dari analisis ilmu ini secara internal saja seolah-olah ia bukan entitas yang tumbuh di lingkungannya, jenis ini sangat penting, dan mungkin tidak ada pendahulunya pada tingkat studi keagamaan dalam ilmu ini di lingkungan Hauzah.
  4. Melakukan perbandingan historis untuk menafsirkan ketidakserupaan beberapa fenomena yang berdekatan, yang diterapkan Syahid dalam kasus-kasus paling menonjol:
  1. Terkait dengan kelahiran Ushul Syiah dan Sunni. Syahid melemparkan elemen keniscayaan historis bagi kelahiran Ushul pada Ushul Syiah dan Sunni, dan beliau berhasil menafsirkan alasan alami keterlambatan kemunculan Ushul Syiah dari Sunni. Beliau menganggapnya sebagai terputusnya Era Teks lebih awal bagi Ahlus Sunnah, dan oleh karena itu ketika mereka mencapai paruh kedua abad ke-2 Hijriah, dorongan alami bagi kelahiran ilmu ini sudah matang pada mereka. Sementara itu, Syiah Imamiyah pada periode tersebut masih hidup dalam Era Teks yang meniadakan keniscayaan historis yang disebutkan sebelumnya.
  2. Terkait dengan alasan yang menghentikan proses stagnasi pada Syiah setelah satu abad wafatnya Syekh Ṭhusi, sementara stagnasi ini tidak terangkat dari Ushul Sunni selama berabad-abad. Shadr mengembalikannya pada dua sebab:(19)
      • Pertama, stagnasi Ushul Sunni terjadi setelah ia mencapai tahap ketuaan, sementara stagnasi Ushul Syiah adalah akibat dari persalinan sebuah permulaan, yang dapat menjelaskan perbedaan di antara keduanya.
      • Kedua, ini adalah sebab yang mengungkapkan kedalaman pada Sayid Syahid, karena beliau secara analitis menghubungkan intelektual dan ahli fikih Sunni dengan kekuasaan, dan menganggap bahwa keruntuhan negara Islam menyebabkan stagnasi jalur intelektual mengingat pola hubungan khusus dan keliru antara ahli fikih dan kekuasaan. Hal ini tidak terjadi pada Ushul Syiah mengingat sikap teologis yang hati-hati terhadap topik kekuasaan dalam pemikiran Syiah secara umum.
  1. Penekanan pada faktor psikologis dalam kemunculan gerakan Akhbariyah yang tidak ada ruang untuk merincinya di sini. Ini adalah perhatian penting, dan dengan menambahkannya ke dalam penggunaan faktor ini dalam penafsiran lain, ini menunjukkan bahwa Syahid Shadr meyakini pengaruh faktor psikologis dan sosial dalam kemunculan ide-ide, dan bahwa teori-teori tidak selalu lahir dari premis ilmiah murni, tanpa berarti menghilangkan kepercayaan pada teori-teori tersebut. Ini adalah persamaan mendasar dalam epistemologi dan filsafat kontemporer.
  2. Penyajian konsepsi segmental ilmu Ushul yang membaginya menjadi tiga tahapan sesuai dengan pandangan komprehensif:
    • Tahap Pertama: Era Pendahuluan (al-’Aṣhr al-Tamhidi) yang dimulai dari masa Ibn ‘Aqil dan Ibn Junayd hingga Syekh Ṭhusi.
    • Tahap Kedua: Era Ilmu (‘Aṣhr al-’Ilm), yaitu era pematangan, dan dimulai dari Syekh Ṭhusi hingga Waḥid Bahbahani.
    • Tahap Ketiga: Era Kesempurnaan Ilmiah (‘Aṣhr al-Kamal al-’Ilmi) yang dimulai dengan kemenangan madrasah Ushuliyah di tangan Waḥid dan masih berlanjut hingga hari ini.

Syahid membenarkan penetapan Syekh Ṭhusi sebagai titik awal era baru dengan kontribusi kuantitatif dan kualitatifnya dalam kitabnya al-’Uddah fi Uṣhul al-Fiqh. Demikian pula, alasan penetapan Waḥid sebagai titik awal era terakhir adalah pembangunannya teori-teori terbesar ilmu Ushul tentang Prinsip Praktis (al-Aṣhl al-’Amali), hakikatnya, dan penetapan batas pemisah antara itu dan Amarat (indikasi).(20)

Dan untuk membuka pintu bagi pembagian parsial dengan lingkup yang lebih sempit, Syahid tidak meniadakan kemungkinan melakukan pembagian lain untuk setiap era dari ketiga era tersebut. Beliau membagi era terakhir menjadi tiga generasi, dimulai dengan murid-murid Waḥid seperti Kasyiful Ghiṭa’, Baḥrul Ulum, dan Sayid Ṭhabaṭhaba’i, melalui murid-murid mereka seperti Syariful Ulama dan Maula Naraqi, hingga mencapai Syekh Anṣhari.

Contoh Kedua: Studi beliau tentang sejarah gagasan Prinsip Praktis (al-Aṣhl al-’Amali). Beliau mencatat bahwa Ushul Sunni lebih banyak berfokus pada pembahasan Dalil-Dalil Terverifikasi (al-Adillah al-Muḥrazah) dan jenis-jenisnya, sementara halnya tidak demikian pada Syiah. Namun, gagasan Prinsip dalam Ushul Syiah tidak begitu jelas pada ulama terdahulu. Bara’ah (kepolosan) dimasukkan ke dalam dalil Akal(21) pada masa Ibnu Idris dan Ibnu Zuhrah. Demikian pula dalil Istisḥab (asumsi kesinambungan) itu sendiri dimasukkan ke dalam Akal setelah itu, dan Bara’ah digabungkan dengan Istishab. Juga terlihat pada Muḥaqqiq Ḥilli dan Syahid Pertama penggunaan pola demonstratif untuk membuktikan Bara’ah seperti “tidak adanya dalil adalah dalil tidak adanya”. Di tengah kebingungan ini, muncul teks-teks dari Sayid Jamaluddin, pensyarah al-Wafiyah, yang mulai menggambarkan batas antara Aṣhl dan Amarah. Situasi berlanjut hingga masa Waḥid dan Syekh Muḥammad Taqi, penulis al-Ḥasyiyah, di mana mereka berhasil melakukan penggambaran yang penting untuk kedua istilah ini yang menyebabkan perubahan rumusan ilmu Ushul secara umum di tangan Syekh Anṣhari, dan Prinsip-Prinsip Praktis keluar dari dalil Akal untuk berhadapan dengan semua Amarat setelah itu.

Syahid Shadr menggunakan studi historis ini, serta studi beliau yang lain tentang Bara’ah Rasional, dalam mendukung apa yang beliau bangun dari pendekatan Hak Ketaatan (ḥaqq al-ṭha’ah). Melalui analisis historis ini, beliau berhasil—setidaknya dari sudut pandangnya—menghilangkan kesucian rasionalistik (‘uqala’iyyah) dari kaidah keburukan hukuman tanpa penjelasan ketika beliau menekankan bahwa pemahaman Ushuli tentang Bara’ah tidak sesuai dalam strukturnya dengan makna kaidah sebagaimana ditegaskan oleh penelaahan historis. Sebaliknya, Bara’ah adalah ekspresi lain dari dalil rasional independen atas hukum Syariat, bukan hukum yang mengasumsikan hilangnya dalil ini. Ini adalah pemanfaatan sejarah Ushuli yang penting dalam mendukung sudut pandang Ushuli internal, yang mungkin jika kita memperluas cakupan penggunaannya, akan terungkap kebenaran baru di hadapan kita.

Contoh Ketiga: Studi beliau tentang komponen historis, ilmiah, dan psikologis bagi kristalisasi gagasan Sirah (Praktik/Kebiasaan) dalam ilmu Ushul.(22) Beliau mencatat bahwa para ahli fikih, ketika terkadang berbenturan dengan dalil yang dapat menyebabkan mereka terikat pada hasil yang aneh, mereka berpegang teguh pada apa yang mereka sebut hal-hal yang pasti (musallamat) atau keharusan mendirikan fikih baru, dan ungkapan-ungkapan lainnya. Sebenarnya, dalil-dalil yang mereka gunakan untuk mengecualikan fatwa-fatwa tertentu ini berasal dari keadaan psikologis pada ahli fikih yang mencegahnya dari menghasilkan kesimpulan yang dianggap tercela di lingkungan fikih. Telah dilakukan teorisasi Ushuli untuk menutupi keadaan ini dengan serangkaian landasan Ushuli seperti landasan kemasyhuran fatwa (syuhrah al-fatwa’iyyah) dan konsensus (Ijmak) terutama yang diriwayatkan (manqul), dan menguatnya laporan lemah (khaabar ḍha’if) dengan praktik para sahabat atau melemahnya laporan sahih dengan penolakan mereka. Ahli fikih berlindung pada landasan-landasan seperti ini untuk menutup celah psikologis yang meresahkan ini.

Namun, kedatangan ulama belakangan—dan yang terpenting adalah Syekh Anṣhari—membalikkan persamaan. Sejumlah besar landasan ini digulingkan, terutama Ijmak Manqul, dan situasi berlanjut hingga datang Sayid Khu’i yang membantah teori Injibar (menguat) dan Wahn (melemah).

Akan tetapi, fikih pada awalnya tidak terpengaruh oleh penyesuaian Ushuli ini, sehingga muncul beberapa pertentangan antara perilaku ahli fikih sebagai ahli fikih dan perilakunya sebagai Ushuli. Ia menyangkal sesuatu dalam Ushul, tetapi ia menjadikannya ibadah (ta’abbud) dalam Fikih, dan itu tidak lain karena keadaan keengganan psikologis ini, yang dibenarkan oleh Syahid dengan serangkaian pembenaran khusus. Situasi meningkat hingga Sayid Khu’i berorientasi pada penghapusan dualitas ini sehingga beliau menerapkan banyak dari apa yang beliau yakini dalam Ushul ke dalam Fikih.

Meskipun demikian, mundurnya landasan-landasan ini tidak menghalangi keadaan psikologis ahli fikih untuk terus memberikan bobotnya. Maka, dari reruntuhan muncullah Teori Sirah (Praktik/Kebiasaan), di mana Syahid mencatat—dan ini adalah pengamatan yang patut diperhatikan—bahwa para ahli fikih tahap pra-Anṣhari tidak menggunakan konsep seperti konsep Sirah, sementara Sirah dalam situasi fikih pasca-Anṣhari menempati ruang mendasar dari sebagian besar penelitian fikih, terutama yang non-ibadah.

Dalam studinya ini, Syahid Syahid tidak bermaksud mengkritik para ahli fikih dalam perilaku ini, bahkan beliau memberikannya beberapa pembenaran khusus berdasarkan landasan epistemologisnya. Namun, beliau membaca ide-ide dengan pembacaan modern yang mungkin tidak memiliki mata dan jejak dalam bentuk ini dalam penelitian Ushuli.

 

Wacana Keempat: Fungsionalitas Ilmu Ushul Fikih

Setelah perpaduan yang dimulai sejak era Waḥid Bahbahani antara Filsafat dan Ushul, yang terakhir dipengaruhi oleh apa yang bisa disebut orientasi tujuan filosofis (al-hadafiyyah al-falsafiyyah). Ilmu filsafat klasik(23) adalah ilmu yang mandiri dan mapan dalam dirinya sendiri. Ia tidak diklasifikasikan sebagai bagian dari ilmu-ilmu yang bersifat instrumental (al-’ulum al-istiṭraqiyyah), kecuali dalam sifat hubungan antarilmu yang membuat sebagian ilmu mengonsumsi data ilmu lain sebagai prinsip verifikasi (mabadi’ taṣhdiqiyyah), prinsip tematik (uṣul mawḍu’ah), dan postulat a priori untuknya.

Filsafat tidak dapat menemukan perwujudan praktis bagi dirinya dalam realitas manusia kecuali melalui pemanfaatan ilmu-ilmu lain terhadap hasilnya. Oleh karena itu, Filsafat, secara esensial, tetap menjadi ilmu teoretis dan abstraktif yang tidak melihat dirinya bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah dalam realitas secara langsung atau tidak langsung, kecuali masalah mengungkap rahasia keberadaan umum. Inilah sebabnya mengapa topik filsafat adalah “Wujud sebagaimana ia Wujud” dan tujuannya hanyalah mengetahuinya demikian, bukan sebagai sesuatu yang memengaruhi, bertindak, dan menghasilkan. Sifat khusus ini memberikan corak soliter pada filsafat Islam dan seringkali menempatkan filsuf jauh dari tanggung jawab praktis apa pun di lapangan.

Mengingat bahwa hubungan antara Filsafat dan Ushul—terutama di awal interaksi—seringkali sepihak dan bukan dialektika interaktif, diperkirakan ia akan memberikan bobot, pola, metode, dan tujuannya pada Ushul. Hal ini meninggalkan jejak dalam pergeseran upaya Ushuli kadang-kadang dari upaya praktis (‘amalani) menjadi upaya teoretis. Maka, perhatian utama ulama Ushuli menjadi verifikasi kebenaran dalam masalah tertentu, dan tujuannya bukan lagi mengetahui sejauh mana dampak dari hasil ini, dan apa yang ingin dicapai pada tingkat fikih. Hal ini—yang juga memiliki sebab-sebab lain—menyebabkan reproduksi Ushul dari ilmu yang bersifat layanan (yang tujuannya hanya untuk mengoreksi jalur fikih dan menyelesaikan masalahnya) menjadi ilmu yang independen yang terkadang dituntut hanya untuk mengasah pikiran dan mengembangkan pengetahuan demi tujuannya semata.

Kemungkinan besar, ini adalah salah satu alasan munculnya masalah lain, yaitu masalah tidak adanya pembedaan alami ilmu ini dari kelompok ilmu lain—filsafat, teologi, fikih, dan lainnya. Mungkin di antaranya—dan contoh-contohnya dapat diperdebatkan—adalah masuknya masalah nalar praktis (al-’aql al-’amali), taḥsin wa taqbiḥ (kebaikan dan keburukan rasional), jabr wa ikhtiyar (determinisme dan kehendak bebas), dan beberapa tuntutan tajarri’ (keberanian untuk bermaksiat), yang semuanya merupakan pembahasan teologis-filosofis. Demikian pula kaidah “tidak ada bahaya (la ḍharar) dan tidak ada kesulitan (la ḥaraj)”, “yang mudah tidak gugur karena yang sulit (al-maysur la yasquṭhu bi al-ma’sur)”, kaidah faragh (selesai) dan tajawuz (melampaui), prinsip non-penyembelihan halal (aṣhalat ‘adam al-tazkiyah), undian (qur’ah), dan pembahasan ijtihad dan taklid yang sebagian besar bersifat fikih. Begitu juga masalah permintaan (ṭalab) dan kehendak (iradah), aksiden intrinsik (al-’araḍh al-dzati) dan ekstrinsik (al-gharib), topik ilmu (mawḍhu’ al-’ilm), dan pertimbangan esensi (i’tibarat al-mahiyyah) yang pada dasarnya bersifat filosofis-logis.

Mungkin kegagalan ulama Ushuli menempatkan tujuan Ushuli yang ditetapkan di depan matanya dapat menyebabkan terbukanya pintu bagi berbagai tuntutan ilmiah lain yang mungkin tidak penting baginya sebagai ulama Ushuli, tetapi memuaskan keinginannya untuk menganalisis dan mendalami. Mungkin juga mundurnya kehadiran ilmu-ilmu lain, terutama Filsafat dan Teologi, sebagai ilmu independen di lingkungan ilmiah fikih dalam empat abad terakhir, berperan dalam upaya ulama Ushuli untuk membahas sebagian tuntutan—yang termasuk di dalamnya—di dalam ilmu Ushul, karena tidak ada tempat lain yang tersedia.

Bagaimanapun, pertanyaan yang diajukan adalah: Apa yang dilakukan Syahid Shadr terhadap dua masalah Ushul, yaitu kepraktisan (‘amalaniyyah) dan kedisiplinan (inḍibaṭiyyah)? Dan apa posisinya?

Hasil karya Syahid Shadr mengisyaratkan bahwa beliau tidak mengajukan apa pun di bidang ini, dan ini adalah isyarat yang mungkin dibenarkan sampai batas tertentu. Namun, memperhatikan beberapa hal dapat mendorong kita untuk memiliki pandangan yang sedikit berbeda:

  1. Secara teoretis, beliau menetapkan bahwa ada tuntutan yang penting bagi ulama Ushuli dan yang tidak penting baginya. Sekadar memasukkan suatu pembahasan ke dalam Ushul tidak membenarkan kewajiban bagi ulama Ushuli untuk mempelajarinya kecuali kita memastikan ke-Ushuli-annya. Ini beliau nyatakan sendiri dalam diskusinya tentang definisi populer ilmu Ushul ketika mereka memasukkan deskripsi Pendahuluan (Tamhid) di dalamnya. Beliau mencatat bahwa deskripsi ini merupakan turunan dari ke-Ushuli-an masalah—yaitu, masalah tersebut adalah Ushuli,(24) dan oleh karena itu didokumentasikan dan dipersiapkan—bukan berarti sekadar pendokumentasiannya mewajibkan kita untuk menganggapnya Ushuli. Apa yang beliau sebutkan ini merupakan pilar fundamental secara teoretis untuk setiap perubahan tematik-substansial dalam ilmu Ushul Fikih.
  2. Rumusan Pertama yang telah disebutkan mengenai klasifikasi ilmu Ushul mengisyaratkan bahwa beliau meyakini adanya semacam pendekatan antara Ushul dan Fikih, di mana beliau ingin merumuskan Ushul dengan rumusan praktis (maydaniyyah) yang mengikuti pergerakan ahli fikih dalam kerja fikihnya. Hal ini mungkin diperkuat oleh pemilihan klasifikasi ini secara besar-besaran dalam kitab-kitab kurikulernya, suatu hal yang memiliki signifikansinya. Beliau juga terlihat menyoroti secara terpusat masalah interaksi fikih-Ushuli dalam al-Ma’alim dan al-Durus.(25) Selain itu, ada langkah yang menarik perhatian yang dilakukan oleh Syahid yang terlihat ketika membaca kitab al-Ḥalaqat, yaitu banyak masalah yang dihilangkan dari kitab ini yang mungkin mengisyaratkan, saat dipelajari, tidak adanya manfaat praktis atau jarangnya kegunaan atau kebingungan tematik di dalamnya. Ini adalah kebetulan yang menimbulkan pertanyaan. Misalnya, pembahasan tentang Ḥaqiqah Syar’iyyah (realitas syariah), Ṣhaḥiḥ wa A’amm (sahih dan lebih umum), Musytaqq (derivatif), La Ḍharar dan al-Maysur la Yasquṭhu bi al-Ma’sur, Aṣhalat ‘Adam al-Tazkiyah, pembahasan Jabr wa Ikhtiyar dan Ṭhalab wa Iradah, al-’Araḍh al-Dzati wa al-Gharib, dan analisis hakikat topik ilmu—selain pembahasan Ijtihad wa Taqlid, kaidah Faragh dan Tajawuz, Qur’ah (undian), dan lainnya yang juga beliau abaikan dalam Baḥth Kharij (studi tingkat tinggi). Juga terlihat pasang surut dalam minat beliau dalam kitab ini dan bahkan dalam catatan kuliahnya. Perhatikan betapa sedikitnya yang beliau bahas di dalamnya—yaitu al-Ḥalaqat—tentang Insidad (tertutupnya pintu ilmu).(26) Dan perhatikan minatnya yang berlebihan terhadap pembahasan Ḥujaj (otoritas) dan Uṣhul (prinsip), dan minatnya yang sangat besar terhadap penelitian Ta’aruḍh (kontradiksi). Ada bukti menarik lainnya yang semuanya mendukung kemungkinan bahwa Sayid Syahid melakukannya dengan sengaja karena alasan-alasan yang telah disebutkan.
  3. Komitmen beliau pada tingkat usulannya dalam klasifikasi ilmu Ushul terhadap pandangannya tentang dikecualikannya pembahasan Qaṭh’i (kepastian) dan Hukum Syariat dari ilmu ini. Karena tidak ada ruang yang terlihat untuk menghapusnya sama sekali, beliau mengajukan solusi kompromi yang menempatkan keduanya dalam Pengantar (Madkhal) atau Pendahuluan (Muqaddimah). Hal ini menunjukkan pada tingkat tertentu keyakinan beliau akan perlunya menghindari kebingungan tematik.
  4. Kita tidak dapat mendahului Syahid Shadr jika kita menentukan sendiri pengecualian masalah tertentu dari ilmu Ushul atau tidak adanya manfaatnya dan memaksakan hasil kita padanya. Ini berarti bahwa kita harus memperhatikan posisinya terhadapnya. Misalnya, pembahasan tentang makna harfiah (al-ma’na al-ḥarfi), yang terdapat perdebatan tentang nilai praktisnya, dirinci oleh Sayid Syahid. Namun, di akhir pembahasan ini, beliau menunjukkan kesalahan dalam menganggapnya sebagai tuntutan tanpa manfaat, dan memulai pembahasan terfokus tentang manfaat praktisnya,(27) yang benar berdasarkan landasan dan konsepsi beliau. Penyebutan hasil praktis dari setiap penelitian adalah ciri yang mewarnai studi Ushuli Bahkan, beliau menyatakan dalam pendahuluan al-Ḥalaqat tentang betapa pentingnya elemen praktis (maydani) bagi setiap masalah Ushuli dan perlunya mengungkap serta menjelaskannya,(28) dan oleh karena itu menjauhi abstraksi atau ketidakmungkinan memanfaatkan masalah Ushuli karena ketidaktahuan akan hal itu.
  5. Shadr mengisyaratkan poin penting dalam pendahuluan al-Ḥalaqat,(29) yaitu bahwa manfaat suatu masalah Ushuli terkadang tidak terhubung langsung dan secara langsung dengan Fikih itu sendiri, melainkan beberapa pembahasan menghasilkan buah di dalam pembahasan Ushuli lain untuk membentuk persamaan tertentu di dalamnya atau untuk menentukan istilah tertentu. Ini adalah hal yang membenarkan ulama Ushuli untuk memasukkan masalah ini ke dalam Ushul selama tidak dapat dimasukkan ke dalam ilmu lain, bahkan jika tidak memiliki hasil langsung dalam Fikih. Oleh karena itu, kita dapat menyebut ilmu Ushul sebagai ilmu teoretis-praktis secara bersamaan, sebagaimana diungkapkan oleh beberapa peneliti.(30)

 

Wacana Kelima: Nalar Ushuli

Dalam pandangan penulis—modifikasi logis yang dilakukan oleh Syahid Shadr dalam teori epistemologisnya yang digunakan dalam ilmu Ushul Fikih dapat dianggap sebagai pencapaian terpenting dan terbesar yang dipersembahkan Syahid bagi ilmu ini—dan juga ilmu-ilmu lain. Hal ini dikarenakan kembali ke belakang dan mengganti infrastruktur logis adalah mewujudkan perubahan yang serius dan otentik dalam nalar Ushuli.

Mengubah nalar Ushuli dan menempatkannya di meja bedah di bawah mikroskop kritik adalah tindakan yang sangat berisiko dan sensitif, serta sangat akurat dan sulit. Ini adalah proses menganalisis nalar, kemudian mengkritiknya, dan setelah itu menggantinya. Operasi ini adalah salah satu operasi intelektual yang sulit untuk dicatat dampaknya dalam periode pertama penyelesaiannya, melainkan membutuhkan waktu yang cukup untuk merumuskan kembali dasar-dasar dan kemudian memulai penerapan baru. Artinya, intinya adalah penggantian status quo dengan situasi baru.

Menancapkan pasak di akar logika Aristoteles—yang mendasari semua operasi rasional Ushuli—dan menggantinya dengan Logika Subjektif (al-manṭhiq al-dzati) yang didasarkan pada Teori Probabilitas, dapat—dan kita di sini relatif netral—membentuk kembali pola pemahaman dan konsepsi kita tentang semua Ushuliyyah atau banyak di antaranya. Meskipun Shadr menerapkan logikanya ini pada Ijmak (konsensus), Syuhrah (kemasyhuran), dan lain-lain, ini tidak berarti bahwa logika ini tidak dapat mencakup penerapan pada cabang-cabang Ushuli lainnya. Para pemilik teori dan proyek besar seringkali tidak menyadari sejauh mana teori mereka dapat mencapai, sehingga orang lain datang dan menentukannya.

Keunggulan inovatif dalam langkah Syahid ini adalah tidak adanya lingkungan atau akumulasi pengetahuan yang mendukung munculnya konsepsi atau gagasan semacam ini di lingkungan ilmiah pada saat itu, bahkan yang non-Hauzah menurut sebagian peneliti.(31) Ini berarti Syahid melakukan penyediaan alternatif untuk sesuatu yang tidak memiliki padanannya di lingkungan ilmiahnya, atau setidaknya menerapkan alternatif ini dalam ilmu-ilmu yang belum pernah mengenal aplikasi semacam ini sebelumnya. Ini menunjukkan kepada kita dengan jujur ​​tentang tingkat kreativitas dan kepercayaan diri yang beliau miliki.

Logika Subjektif Epistemologi: Teori Probabilitas

Syahid Shadr menganggap bahwa logika Aristoteles—seperti logika empiris—tidak dapat menafsirkan dan mengevaluasi fenomena pengetahuan manusia. Oleh karena itu, beliau mengajukan tesis alternatif dalam kitabnya al-Usus al-Manṭhiqiyyah li al-Istiqra’ (Dasar-Dasar Logis Induksi) yang beliau sebut: Logika Subjektif Epistemologi.

Logika ini didasarkan pada teori probabilitas matematika dan memandang bahwa pengetahuan manusia melewati dua tahap dalam proses pembentukannya:

  1. Tahap Generasi Objektif (al-Tawalud al-Mawḍhu’i): Terjadi sebagai akibat dari akumulasi probabilitas yang terpusat pada satu titik, yang menyebabkan—melalui operasi matematika—meningkatnya tingkat probabilitas hingga sangat tinggi.
  2. Tahap Generasi Subjektif (al-Tawalud al-Dzati): Terjadi berdasarkan struktur khusus nalar manusia sehingga dipersiapkan sedemikian rupa sehingga tidak mempertahankan probabilitas yang sangat kecil, suatu hal yang melahirkan keyakinan (yaqin) berdasarkan lompatan subjektif nalar ini.

Syahid menafsirkan kepastian-kepastian logis (al-yaqiniyyat al-manṭhiqiyyah) berdasarkan hukum probabilitas ini dan mengembalikannya kepadanya, mengecualikan asumsi-asumsi a priori rasional dari arena. Setelah semua itu, beliau keluar dengan konsepsi yang menghakimi logika ini dalam sebagian besar aspek kehidupan dan pengetahuan. Dalam proyek ini, beliau menanggalkan teori Intiza’ (ekstraksi) yang beliau anut dalam Falsafatuna (Filsafat Kami).(32)

Hal yang mendorong kita untuk menganggap gagasan filosofis-logis ini sebagai yang terpenting dalam proyek Ushuli Shadr [bahkan yang komprehensif juga] adalah bahwa beliau memulai proses modernisasi ilmu Ushul Fikih dari struktur dan akar, bukan dari atas dan permukaan. Beliau melakukan pengkajian ulang pola berpikir Ushuli dan mengubahnya dari pola Aristoteles menjadi pola induktif-probabilistik, dan terdapat perbedaan yang luas antara kedua pola tersebut yang bukan tempatnya di sini. Ini berarti bahwa beliau pertama-tama melakukan perubahan pada persediaan logis dan perangkat epistemologis, kemudian beliau datang ke ilmu Ushul Fikih untuk membacanya dari sudut pandang hasil logis yang baru. Ini adalah metode yang membuka ruang untuk membaca masalah dan peristiwa yang berada di balik isu dan persamaan yang terbaca dalam Ushul—yaitu saraf yang saling terkait dan mengontrol yang menjadi sandaran mekanisme Ushuli tanpa seringkali merasakannya, tetapi hanya menjalaninya.

Memperluas persediaan logis untuk mencakup perangkat dan struktur logis yang beragam selain logika Aristoteles, dan mematahkan monopoli logika ini terhadap cara berpikir—bahkan jika pada dirinya benar, terdapat perbedaan antara wajib dan cukup—adalah metode yang paling terjamin dalam pengembangan ilmu Ushul Fikih. Inilah yang menegaskan kebutuhan kita hari ini untuk berinteraksi dengan cara yang sama dengan yang dijalani Shadr dalam perubahan, yaitu menganalisis nalar itu sendiri, agar kita tidak mengejar manifestasi masalah tanpa merasakannya secara langsung, sehingga kita menghabiskan diri kita sendiri dengan hal itu.

 

Ilmu Ushul Fikih dan Logika Probabilitas

Syahid Shadr melakukan berbagai aplikasi dari logika induksi ini dalam ilmu Ushul Fikih, serta menerapkannya dalam ilmu Kalam (Teologi), Rijal (Biografi Perawi), Ḥadis, dan Fikih. Hal terpenting yang disajikan Syahid dalam kerangka Ushuli adalah sebagai berikut:

Syahid Shadr membagi apa yang beliau sebut Dalil Induktif (al-Dalil al-Istiqra’i) menjadi dua bagian:

Bagian Pertama: Dalil Induktif Langsung (al-Dalil al-Istiqra’i al-Mubashir). Ini adalah dalil yang beliau bahas secara ringkas dalam al-Ma’alim.(33) Sayangnya, dalil ini tetap tidak terlihat dalam ilmu Ushul Fikih sebagaimana biasanya tidak terlihat dalam ilmu Fikih. Bahkan, ini, seperti keseluruhan proyek Logika Subjektif Epistemologi, merupakan pencapaian yang paling terabaikan dan paling yatim dari Syahid Shadr.

Dalil ini didasarkan pada proses melakukan pengumpulan yang terfokus terhadap ketentuan [dan teks] yang bertemu pada satu wacana tertentu, sehingga pengumpulannya membentuk sejumlah besar petunjuk probabilistik pada pusat tempat ia bertemu. Hal ini kemudian—dan sebagai hasil dari generasi objektif dan subjektif—mengarah pada perolehan keyakinan terhadap makna pusat dan fokus ini.

Syahid Shadr menyajikan contoh untuk ini dari perkataan ulama hadis, Baḥrani, dalam penyimpulannya terhadap kaidah “Setiap orang bodoh dimaafkan (kull jahil ma’dzur)”. Beliau mengekstraknya dari serangkaian dalil yang memaafkan orang bodoh dalam berbagai dan beragam situasi seperti Ḥaji, pernikahan dalam masa ‘iddah, hukuman (ḥudud), salat musafir, dan teks-teks lainnya.(34)

Shadr juga menerapkan metodologi ini sendiri dalam kitabnya Iqtiṣaduna (Ekonomi Kami),(35) di mana beliau mencatat adanya berbagai dan beragam kasus dalam fikih yang menghukumi kausalitas kerja terhadap kepemilikan, seperti dalam kerja menghidupkan tanah, mineral, penguasaan air, berburu burung, dan lainnya. Hal ini membawanya untuk mengekstrak hukum “Kerja adalah dasar kepemilikan dalam Islam”.

Di hadapan gagasan ini, ada poin-poin penting yang menarik perhatian kita:

Pertama, pernyataan Syahid setelah mengajukan dalil ini bahwa ia tidak ada hubungannya dengan qiyas (analogi) Ḥanafi yang ditolak, karena qiyas Ḥanafi berpindah dari fenomena fikih ke fenomena lain yang serupa hanya karena kesamaan. Adapun Induksi Langsung di sini, ia mensyaratkan adanya banyak fenomena tekstual dan fikih yang serupa pada satu pusat untuk keluar dengan kaidah umum dalam kondisi tertentu. Jadi, apa yang dilakukan qiyas Ḥanafi hanyalah langkah yang tidak lengkap dari apa yang dilakukan oleh Induksi Langsung.(36)

Ini adalah poin penting, karena Syahid dengan demikian berusaha melampaui masalah prasangka (ẓhann) yang tidak otoritatif (la ḥujjah) untuk menegaskan kepastian (yaqiniyyah) jalan ini jika syarat-syaratnya terpenuhi dan elemen-elemennya lengkap, dengan cara kepastian induktif, bukan demonstratif (burhani).

Dengan dalil ini, beliau mengetikkan lompatan fikih yang dapat menjamin dua hal bagi Fikih:

  1. Memperluas struktur kaidah (al-biniyah al-qawa’idiyyah) melalui banyak pengumpulan yang mencakup seluruh fikih atau mengkhususkan dan membatasi pada lingkaran tertentu darinya seperti ibadah. Hal ini menyediakan jumlah kaidah fikih yang lebih besar dan oleh karena itu mengembangkan penetapan kaidah Fikih, suatu hal yang akan kita lihat betapa perlunya.
  2. Mengamankan infrastruktur bagi konsepsi Tujuan Syariat (Maqaṣhid al-Syari’ah). Metode ini dapat berfungsi sebagai alternatif mendasar dalam sebagian besar kasus untuk rumusan yang disiapkan oleh banyak ulama Maqaṣhid dalam teori Maqaṣhid. Ini karena ia mampu mendirikan dalil ilmiah atas kaidah-kaidah yang mewakili garis besar, garis merah, kontrol universal, atau tujuan umum dan menguasai bagi Pembuat syariat dan syariat. Di sini, kita tidak lagi mengaktifkan nalar abstrak untuk mengasaskan suatu tujuan Syariat, atau selera pribadi ahli fikih, atau perasaan naif yang diterima dari pengalaman fikihnya, atau pencarian teks umum yang mungkin sahih sanadnya dan mungkin tidak, apalagi sejauh mana kekuatan dan universalitas dalam petunjuknya. Sebaliknya, kita mengawasi kelompok besar teks untuk mencatat pertemuannya di satu titik—pada tingkat makna kesesuaian (muṭabaqi), ḍimni (inklusi), atau iltizami (implikasi)—dari mana kita mengambil kaidah umum. Kaidah ini di sini seringkali memiliki corak esensial dan struktural dalam sistem syariat secara keseluruhan atau sebagian, karena ia dihasilkan darinya atau bertemu dengannya, atau dipertimbangkan oleh sejumlah besar teks dan ketentuan. Ini menunjukkan bahwa metodologi penyimpulan ini biasanya dicirikan oleh kualitas hasil yang muncul darinya selain kuantitasnya.

Tentu saja, metodologi ini membutuhkan ketenangan yang besar dan penelusuran yang luas, terutama untuk petunjuk-petunjuk sebaliknya (al-qara’in al-’aksiyyah) yang melemahkan kekuatan probabilitas pada pusatnya. Ini adalah metodologi yang disertai risiko ketergesaan yang besar, terutama jika ahli fikih tidak pandai menggunakannya. Oleh karena itu, ia membutuhkan penetapan kaidah di lapangan (taq’id maydani), yaitu menjalani pengalaman untuk mencatat titik-titik kesamaan yang ada yang lebih dekat dengan realitas penyimpulan daripada sekadar rumusan umum metodologi ini. Hal ini dapat memandu kita pada serangkaian kontrol dan syarat rinci yang membatasi kesalahan atau ketergesaan yang mungkin melibatkan ahli fikih di sini.

Ketika kita merasakan pentingnya gagasan ini, itu hanya setelah kita selesai dengan perdebatan tentang dasar-dasar logis dan matematisnya. Jika tidak, jika ingin digunakan dalam kerangka logis lainnya—terutama yang berkaitan dengan definisi keyakinan (yaqin)—maka itu akan mengarah pada banyak kekacauan.

Kedua, tidak dapat disangkal bahwa dalam warisan fikih terdapat apa yang dapat menjadi ekspresi lapangan dari metodologi ini, tetapi itu tidak meniadakan bahwa Shadr adalah peletak teori utamanya. Menentukan siapa pemilik teori adalah hal yang tidak berkaitan dengan siapa yang menjalani isinya tanpa memahaminya secara intelektual dan ilmiah yang terintegrasi. Jika tidak, teori pembalikan gambar melalui cahaya di mata akan menjadi sangat tua, setua manusia bahkan hewan itu sendiri. Para ahli fikih terkadang mungkin mengilhami metodologi ini dalam interaksi mereka, tetapi mereka tidak meletakkannya sebagai teori (nazẓaru lah); artinya, mereka tidak menyajikannya sebagai teori dan tesis, melainkan melakukannya secara spontan. Buktinya adalah kegagalan memasukkannya ke dalam ilmu Ushul bahkan hingga masa Syahid. Jika telah diletakkan sebagai teori, sangat mungkin penelitian Ushuli akan menangkap dan menyerap teorisasi ini melalui pembacaan.

Ketiga, ada tiga teori Sayid Syahid yang dari analisis gabungan ketiganya, kita dapat menginspirasikan bahwa nalar Ushuli Syahid adalah nalar yang komprehensif-menyeluruh (shumuli isti’abi) di satu sisi, dan nalar yang intensif-memadatkan (takthifi) di sisi lain. Ketiga teori ini adalah: Teori Metodologi Induktif Langsung dalam Penyimpulan, Teori Roh Qurani dan Legislatif Umum, dan yang ketiga adalah Fikih Teori (Fiqh al-Naẓhariyyah).

Fikih Teoritis(37)—jika kita menganalisisnya secara singkat—didasarkan pada proses pembentukan gambar besar yang terpotong-potong menjadi segmen, dan dengan menggabungkan segmen-segmen ini satu sama lain, gambar ini terbentuk dengan jelas, dan entitas baru terungkap yang sebelumnya tidak kita perhatikan.

Mengumpulkan masalah, teks, dan ketentuan yang sangat banyak yang berkaitan dengan fikih politik, misalnya, dapat memberi kita gambaran yang terintegrasi atau semi-terintegrasi tentang sistem ini, daripada masalah-masalah yang tersebar yang mungkin tidak terlihat adanya kedekatan di antaranya. Jadi, Fikih Teori atau Fikih Sistem (Fiqh al-Nuẓum) adalah pendekatan yang bertujuan untuk membentuk konsepsi universal (kulliyyah) dan ketentuan umum (aḥkam ‘ammah).

Adapun Roh Qurani Umum (al-Ruḥ Alquraniyyah al-’Ammah), Syahid mengajukan konsepsi khusus(38) tentang laporan-laporan penolakan (akhbar al-ṭarḥ) yang terdapat dalam bab Kontradiksi (al-Ta’aruḍh). Ini karena beliau menolak semua solusi dan rumusan yang diajukan oleh ulama Ushuli, yang sebagian besar hampir bertemu dengan mekanisme geometris Aristoteles dalam menafsirkan makna pertentangan terhadap Kitab Suci. Rasio logis yang empat dimasukkan sebagai kerangka yang membatasi bagi solusi yang diharapkan, suatu hal yang ditolak oleh Sayid Syahid, menggantinya dengan apa yang beliau sebut Roh Qurani Umum.

Ini berarti bahwa ahli fikih dalam pengukuran pertentangan melakukan pengukuran spiritual-konseptual, bukan fisik-verbal, antara suatu konsep yang beliau ilhami dari riwayat, misalnya, dan darah Qurani yang mengalir di seluruh Alquran—jika ungkapan itu benar. Beliau kemudian menemukan bahwa sifat konsep ini tidak sesuai dengan roh Qurani itu, sehingga berdasarkan hal itu beliau menolak riwayat yang menunjukkannya. Teori ini—sebagaimana dikatakan oleh sebagian peneliti(39)—mengasumsikan—dan oleh karena itu menuntut—ahli fikih yang menguasai budaya Qurani dan meresapinya. Dengan demikian, ini dapat menambahkan batasan baru pada persyaratan ijtihad itu sendiri.

Di sini, kita tidak akan merinci penjelasan kedua teori ini, maupun tesis interpretatif Syahid tentang Interpretasi Tematik (al-Tafsir al-Mawḍhu’i) yang memberi kita indikasi di sini. Tetapi yang penting bagi kita adalah bahwa teori-teori ini hanyalah refleksi dari pola mentalitas Ushuli pada Shadr.

Hal yang paling menonjol yang membedakan mentalitas ini adalah:

Pertama, mengekspresikan nalar yang komprehensif-menyeluruh (syumuli isti’abi) dari dua aspek:

  • Aspek Pertama: Pola Penyimpulan (Ṭirz al-Istidlal). Fikih Teori dan lainnya menuntut visi yang menyeluruh tentang syariat, sumber-sumbernya, dan butir-butirnya. Pergerakan ahli fikih tidak lagi dimulai dari masalah Ṭhaharah (kesucian) dan definisinya untuk secara bertahap melewati seluruh fikih hingga Diyat (ganti rugi), melainkan—di samping metode pertama—ia dimulai dari titik yang tinggi dan mengawasi yang mengasumsikan seluruh fikih hadir di bawahnya dan membacanya secara keseluruhan atau sebagian besar. Ahli fikih di sini tersandung pada masalah dalam Salat, sebagaimana beliau berhadapan dalam posisi yang sama dengan masalah lain dalam Ḥudud (hukuman). Misalnya, beliau ingin meneliti tentang teori muslihat syariat (ḥiyal syar’iyyah) yang tidak dapat beliau baca fikihnya di dalam kerangka bab terbatas, melainkan terkadang beliau berbenturan dengan contoh-contoh dalam bab keraguan dalam Salat, di lain waktu dengan pembahasan Riba, dan yang ketiga dengan pembahasan Raḍha’ah (persusuan) dalam kitab Nikah, dan seterusnya. Jadi, beliau membutuhkan atau pekerjaannya mencakup proses penyerapan dan kehadiran penuh Fikih di hadapannya agar beliau dapat menyelesaikan pekerjaannya. Nalar yang menyeluruh-menyeluruh (al-’aql al-mustaw’ib al-syumuli) ini tidak lagi tenggelam dalam butir-butir Fikih satu per satu—tanpa menghilangkan peran jalur fikih penyimpulan ini juga—melainkan menggantikan itu dengan visi yang menyeluruh, mengawasi, dan mengintip itu.
  • Aspek Kedua: Tujuan Penyimpulan (Hadaf al-Istidlal). Nalar ini, ketika bergerak, bertujuan untuk mencapai hasil yang tidak dibingkai oleh batas-batas sempit. Ia ingin merasakan hasil-hasil umum yang, dengan menerapkannya, dapat mengidentifikasi sebagian besar realitas kehidupan manusia. Inilah yang kita temukan jelas dalam gagasan beliau tentang Fikih Teori. Beliau tidak lagi hanya ingin menentukan hukum syariat tertentu dalam tugas mukallaf ketika berburu burung dan ikan, misalnya, melainkan melampaui itu untuk menetapkan garis-garis umum dan strategis yang sifatnya mampu mencakup sebagian besar realitas kehidupan, yaitu hukum: Kerja adalah dasar kepemilikan. Jenis hasil ini dicirikan oleh kemampuannya untuk memberikan jawaban atas masalah-masalah baru yang tidak ada padanannya dalam teks-teks karena perbedaan waktu. Dengan demikian, meringankan beban pertanyaan-pertanyaan ini pada fikih Islam.

Kedua, menunjukkan nalar yang intensif (takthifi); karena cara berpikir Ushuli ini melarutkan partikel-partikel fikih dan tekstual kecil di dalam wadah massa yang lebih besar. Pelarutan ini memberikan nalar kemampuan yang lebih besar untuk melampaui butir dan partikel untuk mencapai hukum umum. Ketika kita menghadapi suatu teks dan ingin membandingkannya dengan kitab suci, kita tidak mengejar butir-butir ayat-ayat mulia untuk melakukan perbandingan antara mereka dan teks riwayat itu. Sebaliknya, kita menghadapi seluruh Alquran dan mengekstrak darinya suatu konsep yang kepadanya teks itu dibandingkan. Jadi, di sini kita melarutkan butir-butir ayat dalam konsep yang lebih luas, sehingga setiap ayat membentuk partikel kecil yang bergabung dengan yang lain di dalam entitas yang lebih besar. Demikian pula, ketika kita menggunakan Metodologi Induktif Langsung, kita melarutkan entitas-entitas kecil yang tersebar, mencairkannya, dan meniadakan pemisah kosong di antaranya, sehingga kita memperoleh massa yang lebih padat (syadd al-takaththuf) dan kurang terpisah antarbagiannya.

Dengan demikian, kita mencatat bahwa nalar Ushuli yang dibawa oleh Shadr dan diungkapkan melalui ketiga teori ini adalah nalar yang menyeluruh (syumuli) yang tidak menghabiskan dirinya dalam butir-butir, dan intensif (takthifi) yang melampaui perbedaan ke titik-titik pertemuan. Ini membimbing kita pada tingkat kecenderungan rasionalistik (al-naz’ah al-’aqlaniyyah) yang beliau miliki.

 

Bagian Kedua: Dalil Induktif Tidak Langsung (al-Dalil al-Istiqra’i Ghayr al-Mubasyir)

Ini adalah dalil yang tidak menghadapi teks dan ketentuan secara langsung dan melakukan induksi padanya, melainkan menghadapi fenomena yang melalui induksinya diperoleh penemuan hukum syariat tertentu. Contoh paling menonjol dari dalil ini menurut Syahid Shadr adalah laporan mutawatir, Ijmak (konsensus), Syuhrah (kemasyhuran), dan Sirah (praktik/kebiasaan) di kedua jenisnya.

Dalil ini—sebagaimana dijelaskan Syahid dalam penelitiannya yang diperluas tentangnya(40)—didasarkan pada penelusuran petunjuk probabilistik seperti fatwa ahli fikih dalam Ijmak dan Syuhrah, laporan perawi dalam Tawatur, dan perilaku penganut syariat (mutasyarri’) dalam Sirah al-Mutasyarri’ah. Dengan bertambahnya petunjuk-petunjuk yang bersepakat ini, probabilitas adanya hukum tertentu dalam kasus Ijmak dan Syuhrah yang memicunya menguat, sebagaimana menguatnya penerbitan riwayat yang dinukil oleh perawi pertama. Demikian pula, dasar syariat bagi perilaku penganut syariat ini menguat, dan dengan bertambahnya petunjuk secara signifikan dalam syarat-syarat tertentu, ahli fikih memperoleh keyakinan (qaṭh’i) terhadap isi dari apa yang disepakati (mujma’ ‘alayh), yang masyhur (masyhur), laporan mutawatir, dan keabsahan syariat dari perilaku penganut syariat serta penerbitannya dari Pembuat Syariat itu sendiri.

Dengan cara ini, keadaannya terbalik. Kita tidak lagi membutuhkan premis mayor a priori seperti yang dilakukan oleh ulama Ushuli di sini, melainkan kita berangkat dari butir-butir yang ada di tangan kita untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dengan demikian, Sayid Syahid menyajikan interpretasi—yang hampir pertama dari jenisnya dalam sejarah ilmu Ushul— untuk empat fenomena penting dalam pembuktian ini, dan merumuskannya kembali dalam mekanisme logis yang baru.

Meskipun tidak ada ruang untuk merinci terlalu banyak tentang dalil ini karena luasnya, bahkan menurut Sayid sendiri dan para pengkajinya, dimungkinkan untuk menunjuk pada karakteristiknya atau hal-hal yang ditimbulkannya, yang paling menonjol adalah:

Keunggulan Pertama: Faktor-Faktor Baru dalam Penilaian Teks

Menghubungkan kepastian (yaqiniyyah) laporan mutawatir dengan mekanisme logis ini membuka pintu bagi elemen-elemen baru yang masuk ke dalam proses penilaian teks. Syahid sendiri menunjukkan beberapa di antaranya, yang terpenting adalah:

  1. Melampaui faktor kuantitatif yang ada pada jumlah informan ke faktor kualitatif. Artinya, masalahnya bukan masalah angka tertentu atau tidak tertentu dari perawi yang meriwayatkan sehingga elemen ini menyelesaikan posisi sendirian demi kepastian laporan sebagaimana yang sering terjadi. Sebaliknya, masalah ini melampaui itu ke faktor kualitatif.
    • Kepribadian perawi dan sifat orientasi akidah dan politiknya serta perbandingannya dengan isi laporan.
    • Kepribadian ilmiahnya dan sejauh mana ia mengontrol teks dan isinya.
    • Kesepakatan para perawi pada satu orientasi budaya.(41)

Semua ini mengarahkan kita untuk tidak terpaku hanya pada elemen keotentikan (watsaqah) perawi atau jumlahnya, yang mungkin tidak dirasakan oleh ahli fikih selain itu memengaruhi pengukuran tingkat probabilitas laporan ini, baik mutawatir maupun tidak mutawatir.

  • Pencantuman laporan-laporan yang menolak otoritas makna harfiah Alquran yang semuanya memuat perawi dengan kecenderungan esoteris (baṭhiniyyah) dan absennya sahabat besar dari rantai sanad, menyebabkan Sayid Syahid mengabaikan semua riwayat tersebut dan menempatkan tanda tanya di sekitarnya.(42)
  • Beliau juga menunjukkan poin minor (ṣughrawiyyah) penting dalam penelitiannya tentang otoritas laporan terpercaya (ḥujjiyyah khabar al-tsiqah), yaitu adanya kepentingan bagi perawi dalam riwayat menghilangkan keyakinan padanya atau melemahkan kekuatan probabilitas. Beliau mencontohkannya dengan jika perawi adalah pedagang budak atau penukar uang dan meriwayatkan hukum dalam profesinya yang mendatangkan manfaat baginya. Riwayat ini membuat nilai probabilistik lemah.(43) Pintu yang dibuka Syahid ini adalah pintu yang luas dalam dunia penilaian sanad. Misalnya, jika kita mengumpulkan semua teks kelompok Ghulat (ekstremis) atau Waqifiyah atau Baṭiniyah, kita mungkin mencatat keunggulan dalam riwayat tokoh-tokoh setiap sekte yang membuat kita berhenti ketika kita tidak menemukan keunggulan ini tersedia pada sekte lain. Ini berarti membuka pintu lebar-lebar untuk pembacaan ulang matan hadis yang melampaui hadis itu sendiri ke kerangka umum yang menguasainya dan serangkaian hadis lain, mirip dengan apa yang dilakukan oleh beberapa ulama dalam studinya tentang kepribadian perawi, yaitu Abu Hurairah.(44)
  1. Melampaui perawi ke riwayat itu sendiri, seperti yang diajukan oleh Sayid Syahid.(45) Artinya, sifat isi dapat mempercepat atau meringankan keyakinan pada riwayat yang menyampaikannya. Keanehan riwayat, perbedaan bahasanya dari bahasa yang umum di kalangan para makṣum (para Imam) as, penerbitannya pada periode waktu tertentu. Semua ini adalah pengaruh yang masuk ke dalam penilaian laporan. Inilah yang sekarang dikenal sebagai kritik sanad melalui kritik matan.
  2. Melampaui perawi dan riwayat ke pendengar dan ahli fikih itu sendiri.(46) Ini adalah elemen penting di mana Sayid Syahid bertemu dengan teori-teori epistemologi terkini. Beliau membaca dan menganalisis pembaca teks itu sendiri dan merasionalisasikannya, kemudian beralih ke teks. Shadr menganggap bahwa keadaan emosional pendengar itu sendiri memainkan peran dalam menentukan ukuran probabilitas, dan juga dapat menjadi penghalang bagi keyakinan pada riwayat mutawatir. Demikian pula masalah keyakinan a priori yang dibawa ahli fikih saat teks itu datang kepadanya, hal itu memiliki pengaruh pada tingkat interaksi ilmiahnya dengan teks ini. Ini menuntut perbaikan pembaca itu sendiri sejauh mungkin agar menghindari subjektivitas menuju objektivitas.

Keunggulan Sayid Syahid dalam pembacaan laporan ini, meskipun banyak darinya disebutkan oleh sejumlah ulama hadis,(47) totalitasnya dalam bentuk ini belum diajukan oleh mereka.

Keunggulan Kedua: Membedakan Sirah Diniyah

Jenis analisis praktik penganut syariat (al-sirah al-mutasyarri’ah) ini membedakan antara dua jenisnya, sebuah pembedaan penting yang berdampak pada pembatasan adopsi orientasi yang bersifat Salafi. Menurut analisisnya, tidak semua praktik yang dijalani oleh penganut syariat harus bersifat keagamaan, karena motivasi dan sebab-sebab munculnya kebiasaan dan jalur sosial, bahkan rasional, tidak selalu bersifat keagamaan—yaitu, dihasilkan dari posisi a priori dari Pembuat Syariat itu sendiri.

Karena itu, tidak boleh tergesa-gesa dan menisbatkan fenomena yang ada dalam masyarakat pemeluk agama—bahkan yang terdahulu—ke agama itu sendiri. Sebaliknya, menurut sifat gagasan Syahid tentang Sirah ini,(48) harus diperoleh keyakinan dengan mengecualikan semua asal-usul lain yang mungkin dalam pembentukan fenomena sosial ini. Hal ini terkadang membutuhkan keahlian dalam studi psikologi dan sosiologi pada tingkat pertama, agar tidak menerima segala sesuatu secara primer dan tidak mendalam. Studi kedua ilmu ini telah mengungkapkan banyak sekali sebab untuk pembentukan fenomena, kebiasaan, tradisi, dan sunah sosial, dan inilah yang harus dikecualikan untuk menegaskan otoritas keagamaan Sirah al-Mutasyarri’ah dalam bidang tertentu.

Dari sinilah kami katakan bahwa isyarat Sayid Syahid pada masalah penolakan probabilitas lain dalam keilmiahan Sirah al-Mutasyarri’ah mencegah munculnya kecenderungan tradisional, lahiriah, atau Salafi dalam arti negatif kata tersebut, dan menggerakkan motivasi kita untuk membedakan antara fenomena yang mereka jalani yang bersumber dari Syariat itu sendiri dan fenomena yang mereka jalani yang dihasilkan oleh sifat-sifat mereka dan kondisi waktu khusus(49) yang mengatur pola hidup mereka.

Dasar dari pembedaan dan penggambaran ini sangat penting, dan salah satu masalah kontemporer yang paling kompleks yang diperdebatkan antara arus Salafi dan non-Salafi di kalangan muslim adalah masalah ini sendiri.

 

Keunggulan Ketiga: Reduksi Nilai Ijmak

Sayid Syahid mengisyaratkan suatu poin dalam pembedaan antara Tawatur (mutawatir) dan Ijmak (konsensus) di mana beliau menekankan bahwa salah satu perawi dalam Tawatur tidak berada di bawah pengaruh perawi lain. Ini berbeda dengan Ijmak, karena sangat mungkin bahwa perkataan salah satu yang bersepakat dipengaruhi oleh perkataan mujtahid lain. Hal ini menyebabkan lambatnya perolehan keyakinan dalam Ijmak karena lemahnya nilai probabilistik setiap ahli fikih dalam menunjukkan hukum yang disepakati akibat kekhususan ini.

Gagasan ini berpotensi menggambar ulang nilai Ijmak secara ilmiah, karena ia menekankan bahwa ada faktor pengulangan yang mendorong setiap ahli fikih pada tingkat tertentu untuk masuk dalam barisan yang bersepakat, yaitu pandangan fikih para ahli fikih itu sendiri. Ini berarti tidak boleh lalai terhadap pengaruh fikih dalam fatwa ahli fikih itu sendiri, dan akibatnya, harus dilakukan penelusuran di dalam jalur fikih untuk mencari generator fatwa ini.

Misalnya, mungkin pandangan Syekh Ṭhusi memiliki peran dalam menetapkan hukum syariat di kalangan ahli fikih untuk waktu yang lama tanpa berarti bahwa penyimpangan dari hukum ini merupakan penyimpangan dari kesepakatan yang mengungkapkan. Sebaliknya, itu pada hakikatnya adalah penyimpangan dari fatwa satu ahli fikih, sedangkan tingkat pengungkapan bagi yang mengikutinya lemah.

Dari sini, terlihat bahwa faktor kuantitatif pada yang bersepakat dapat direduksi dari dua puluh orang menjadi hanya dua orang, sama seperti kita mereduksi teks historis yang diriwayatkan oleh seribu sejarawan dari satu sejarawan yang hidup sezaman dengan peristiwa itu, dan dia adalah satu-satunya yang meriwayatkannya. Jumlah seribu satu akan direduksi menjadi hanya satu.

Gagasan ini dapat memperbaiki dan merasionalisasi penerapan di mana Ijmakat (konsensus) dan Shuhurat (kemasyhuran) dan yang serupa digunakan, mirip dengan perbaikan gagasan tentang madrakiyyah al-Ijmak (adanya dasar bagi Ijmak) untuk penyimpulan dengan Ijmak itu sendiri. Ini karena gagasan reduksi ini berbicara tentang dasar yang tersembunyi dan psikologis yang mungkin tidak kita perhatikan ketika kita meninjau dalil-dalil masalah yang dibahas secara fikih.

Penutup

Melampaui para tokoh besar tanpa memanfaatkan hasil karya mereka secara memadai, dan berpegang teguh pada tahapan mereka, adalah dua masalah yang menghambat pergerakan dan pertumbuhan pemikiran yang sehat.

Jika mempelajari seorang pemikir seperti Syahid Shadr adalah suatu keharusan—dan memang demikian adanya—dan jika terdapat kekurangan dalam membaca karyanya, terutama dari segi Ushuli dan Fikih, atau kekurangan dalam menyebarluaskan pemikirannya lebih lanjut dalam bidang ini, maka membentengi diri dalam kerangka yang diciptakan oleh tokoh besar ini adalah penyimpangan dari pemikirannya sendiri.

Apa yang dilakukan Syahid Shadr pada tingkat yang kita bicarakan tidak dapat kita lakukan jika kita hanya berpusat pada penafsiran, analisis, dan penerapannya. Para ahli fikih dan teoretikus yang kompeten harus bekerja untuk lebih mendalami, memperluas, menambah, dan menyajikan pemikiran ini. Jika tidak, kita akan kembali ke pola yang sama yang Syahid Shadr datang untuk mengatasi masalahnya dan melampauinya menuju cakrawala yang lebih luas.

Jika Syahid Shadr telah mengambil langkah demi langkah, beliau sendiri menyatakan bahwa beliau mengikuti sistem tahapan (niẓham al-maraḥil) dan belum mewujudkan semua yang beliau cita-citakan. Ini berarti bahwa para pengikut jalannya harus berusaha, dalam kondisi yang sesuai, untuk menyelesaikan apa yang belum dapat diselesaikan oleh Shadr.

Jika wacana-wacana kerja yang Syahid Shadr kerjakan adalah yang disajikan oleh halaman-halaman ini—dan lebih banyak lagi yang tidak disajikan—maka banyak wacana yang muncul dan baru yang harus diikuti dan kekosongan terkait dengannya harus diisi. Demikian pula, wacana-wacana yang ditangani oleh Shadr sendiri juga menuntut upaya dan tindak lanjut lebih lanjut, terutama dalam bidang Bahasa Ushuli (al-Lughah al-Uṣhuliyyah), Ilmu Sejarah Ushuli (‘Ilm Tarikh al-Uṣhuli), Ushul Komparatif (al-Uṣhul al-Muqaran), Tujuan Syariat (Maqaṣhid al-Syari’ah), Filsafat Fikih (Falsafah al-Fiqh), dan Historisitas Teks (Tarikhiyyat al-Naṣhṣh), dan lain-lain.

Jika Shadr mendalami filsafat dan budaya Barat serta Marxisme pada masanya dan memanfaatkan keahlian ini untuk melayani ilmu Ushul Fikih tanpa meniru kedua aliran ini, dan mengajukan teori-teori mendasar seperti Abad Tertentu (al-Qarn al-Akid) dan Metodologi Induktif (al-Manhaj al-Istiqra’i)—yang semuanya termasuk dalam kerangka ini—maka para pengikut jalur Ushuli Shadr menghadapi banyak tanggung jawab dalam hal ini.

Studi ilmu bahasa, hermeneutika, dan linguistik hari ini dapat memperkaya seluruh pergerakan Ushul. Studi epistemologi kontemporer, yang mencakup pengetahuan primer dan pengetahuan sekunder, juga dapat membekali nalar Ushuli dengan banyak data, dan lain-lain. Tentu saja, ini tidak berarti menerima studi-studi ini sebagai aksioma yang tidak dapat diperdebatkan dan kepastian yang menyerupai kepastian persamaan matematika dasar, sebagaimana dibayangkan oleh sebagian orang.

Akhirnya, jika halaman-halaman ini mengisyaratkan kebutuhan ini, itu hanyalah penyajian dari apa yang disadari oleh arus besar murid-murid madrasah ini, bukan pengarahan atau pengawasan terhadap mereka.(50)

Catatan Kaki:

  1. Majallah al-Minhaj, edisi 17: 151; Majallah Qaḍaya Islamiyyah Mu’aṣirah, edisi 11 & 12: 115, sebuah artikel oleh Dr. Ḥasan Ḥ
  2. Orang yang berpendapat bahwa Syahid Shadr adalah awal dari era Ushuli baru adalah Sayid Kaẓhim Ḥa’iri dalam Mabaḥits al-Uṣhul, jil.1, hal.57 dan 59. Lihat juga al-Ma’alim al-’Ammah li Madrasat al-Syahid al-Ṣhadr al-Uṣhuliyyah karya Syekh Muḥsin Araki, halaman 12. Lihat juga Majallah Qaḍhaya Islamiyyah, edisi 3, halaman 213 dan 241, karya Sayid Kamal Ḥ
  3. Syekh Muḥsin Araki, Ibid, hal.40.
  4. Di antara kitab-kitab yang menelusuri bidang ini adalah kitab al-Usus al-’Aqliyyah (Dasar-Dasar Rasional) oleh peneliti kontemporer, guru kami Sayid Ammar Abu Raghif.
  5. Sayid Maḥmud Hasyimi, Buḥuts fi ‘Ilm al-Uṣhul, jil.7.
  6. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, al-Ḥalaqah al-Ula (Halaqah Pertama), hal.26; Buḥuts fi Syarḥ al-’Urwah al-Wutsqa, jil.1, hal.1–2.
  7. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, hal.19.
  8. Syekh Baqir Irawani, al-Ḥalaqah al-Tsalitsah fi Uslubiha al-Tsani (Halaqah Ketiga dalam Metode Kedua), hal.209, dan perkataannya dikhususkan untuk Musytaqq (derivatif), al-Ḥaqiqah al-Syar’iyyah (Realitas Syariat), dan al-Ṣhaḥiḥ wa al-A’amm (Sahih Dan Lebih Umum).
  9. Al-Ma’alim al-Jadidah li al-Uṣhul (Tanda-Tanda Baru bagi Ushul), dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat al-Sayid Muḥammad Baqir al-Ṣhadr, jil.3, hal.7, cetakan Dar al-Ta’aruf li al-Maṭhbu’at.
  10. Ḥasan Ḥanafi, Majallah al-Minhaj, edisi 17, hal.153, dan artikel Ḥanafi ini adalah saksi sejauh mana ketidakmampuan bahkan pakar Sunni senior untuk memahami terminologi dan struktur Ushuli
  11. Buḥuts fi ‘Ilm al-Uṣhul, jil.1, hal.55; Tamhid fi Mabaḥits al-Dalil al-Lafẓhi (Pendahuluan dalam Pembahasan Dalil Verbal), Syekh Ḥasan Abdul Sattar, jil.1, hal.115–116.
  12. Buḥuts fi ‘Ilm al-Uṣhul, hal.56, 57.
  13. Mengenai klasifikasinya, lihat: Buḥuts fi ‘Ilm al-Uṣhul, jil.1, hal.55–62; Tamhid fi Mabaḥits al-Dalil al-Lafẓhi, jil.1, hal.115–125, dengan beberapa perbedaan antara kedua laporan tersebut, dan kami lebih mengandalkan yang pertama.
  14. Buḥuts fi ‘Ilm al-Uṣhul, jil.7, hal.28–41.
  15. Ibid,5, hal.25–26; al-Mabaḥits, jil.3, hal.64–71.
  16. Ibid,28–35.
  17. Ibid,249–255.
  18. Ibid,52–94.
  19. Dengan membuka peluang untuk sebab-sebab lain.
  20. Al-Buḥuts, jil.5, hal.9–11; Mabaḥits al-Uṣhul, jil.3, hal.19–23.
  21. Ibid,25–26; Mabaḥits al-Uṣhul, jil.3, hal.64–71.
  22. Mabaḥits al-Uṣhul, jil.2, hal.93–97 dan 131–134.
  23. Ketika kita berbicara di sini tentang hubungan ushul dengan filsafat, yang dimaksud adalah Filsafat Islam.
  24. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, al-Ḥalaqah al-Tsaniyah (Halaqah Kedua), hal.7–8; al-Buḥuts, jil.1, hal.20; Tamhid fi Mabaḥits al-Dalil al-Lafẓhi, jil.1, hal.21.
  25. Al-Ma’alim, hal.24; al-Durus, jil.2, hal.43–52.
  26. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, jil.2, hal.249–252.
  27. Al-Buḥuts, jil.1, hal.346–355.
  28. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, jil.1, al-Muqaddimah (Pendahuluan), hal.15.
  29. Ibid,14–15.
  30. Ḥasan Ḥanafi, hal.151.
  31. Zaki Milad, Majallah al-Kalimah, edisi 27, hal.19.
  32. Muḥammad Baqir Ṣhadr, Falsafatuna (Filsafat Kami), hal.61–62.
  33. Al-Ma’alim, hal.170–171, dan beliau mengisyaratkannya dalam penelitiannya tentang al-Tawatur al-Ma’nawi (mutawatir makna) dengan isyarat yang tidak bersifat mendasar, lihat al-Buḥuts, jil.5, hal.337.
  34. Syekh Yusuf Baḥrani, al-Ḥadaiq al-Naḍhirah, jil.1, hal.77–81.
  35. Iqtiṣaduna (Ekonomi Kami), hal.533–537.
  36. Al-Ma’alim, hal.171–172.
  37. Lihat perkataan Syahid di sini, kitab Iqtiṣaduna, hal.395 dan seterusnya.
  38. Lihat al-Buḥuts, jil.7, hal.333–335.
  39. Majallah Qaḍhaya Islamiyyah, hal.244.
  40. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, al-Ḥalaqah al-Tsaniyah, hal.166–184; al-Buḥuts, jil.4, hal.233–248 dan 305–338; al-Mabaḥits, jil.2, hal.93–131 dan 281–331.
  41. Al-Ḥalaqah al-Tsaniyah, hal.168.
  42. Mabaḥits al-Uṣhul, jil.2, hal.229–230; Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, jil.2, al-Ḥalaqah al-Tsaniyah, hal.219.
  43. Al-Buḥuts, jil.5, hal.423.
  44. Lihat apa yang ditulis oleh Sayid Abdul Ḥusain Syarafuddin dan Maḥmud Abu Rayyah tentangnya.
  45. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, al-Ḥalaqah al-Tsaniyah, jil.2, hal.169–170.
  46. Al-Buḥuts, jil.5, hal.332–334.
  47. Syahid Tsani, al-Dirayah, hal.13–14, cetakan Maṭhba’at al-Nu’man, Najaf.
  48. Durus fi ‘Ilm al-Uṣhul, al-Ḥalaqah al-Tsaniyah, hal.176.
  49. Al-Buḥuts, jil.5, hal.310–311; al-Mabaḥits, jil.2, hal.297–298.
  50. Artikel ini diterbitkan dalam Edisi Kedua Puluh dari Majallah Fiqh Ahl al-Bayt as pada tahun 2001 M, kemudian diterbitkan dalam Jilid Kedua dari kitab Dirasat fi al-Fiqh al-Islami al-Mu’aṣhir (Studi dalam Fikih Islam Kontemporer) oleh penulis pada tahun 2011 M.
Syafrudin mbojo

Syafrudin mbojo

Related Posts

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN
Fikih

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN

October 1, 2025

Oleh: Syekh Ja’far Subhani Sesungguhnya Fikih Syiah adalah pohon yang baik, yang akarnya kokoh, dan fondasinya terhubung dengan kenabian. Ia...

PENDAHULUAN ILMU USHUL FIKIH: SEBUAH PEMBACAAN KRITIS BERDASARKAN METODOLOGI ILMIAH MODERN
Fikih

PENDAHULUAN ILMU USHUL FIKIH: SEBUAH PEMBACAAN KRITIS BERDASARKAN METODOLOGI ILMIAH MODERN

October 1, 2025

Oleh: Syekh Abdulhadi Fadhli Daftar Isi Definisi Objek Bahasan Faedah (Manfaat) Hukum Mempelajarinya Hubungannya dengan Ilmu-Ilmu Lain Ilmu Bahasa Arab...

KEHARAMAN ABORSI DALAM ISLAM
Fikih

KEHARAMAN ABORSI DALAM ISLAM

September 24, 2025

Oleh: Syekh Muhammad Taufiq Miqdad Tidak diragukan lagi bahwa reproduksi adalah ketetapan ilahi yang dijadikan Allah sebagai jalan untuk kelangsungan...

HAK WALI AYAH DAN KAKEK DARI PIHAK AYAH DALAM PERNIKAHAN GADIS PERAWAN
Fikih

HAK WALI AYAH DAN KAKEK DARI PIHAK AYAH DALAM PERNIKAHAN GADIS PERAWAN

September 23, 2025

Oleh: Syekh Hasan Jawahiri Teks Syubhat (Keraguan): Islam telah memberikan kebebasan, kepribadian, dan kemandirian intelektual dan ekonomi kepada wanita. Islam...

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL
Fikih

HUKUM-HUKUM TERKAIT PEKERJAAN DAN PERPUTARAN MODAL

September 18, 2025

Oleh: Sayid Ali Sistani   Pendahuluan Pada prinsipnya, seorang muslim diperbolehkan untuk menjalankan berbagai aktivitas vital dan berbagai jenis pekerjaan...

APAKAH SYIAH ABAI DALAM MASALAH RIBA?!
Fikih

APAKAH SYIAH ABAI DALAM MASALAH RIBA?!

September 15, 2025

Oleh: Sayid Abdul Husain Syarafuddin   Teks Syubhat (Keraguan): Dia berkata, “Saya menyukai agama Syiah dalam hal pengharaman setiap minuman...

Next Post
KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN

Kaum Qadiyaniyah Telah Dihukumi Kafir Karena Mengklaim Kenabian Bagi Pemimpin Mereka. Jadi, Apa Bedanya Dengan Kaum Syiah Yang Mengklaim Karakteristik Para Nabi Bagi Para Imam Mereka?

Kaum Qadiyaniyah Telah Dihukumi Kafir Karena Mengklaim Kenabian Bagi Pemimpin Mereka. Jadi, Apa Bedanya Dengan Kaum Syiah Yang Mengklaim Karakteristik Para Nabi Bagi Para Imam Mereka?

ELEMEN-ELEMEN PESATUAN ISLAM DAN PENGHALANGNYA

ELEMEN-ELEMEN PESATUAN ISLAM DAN PENGHALANGNYA

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ICC Jakarta

Jl. Hj. Tutty Alawiyah No. 35, RT.1/RW.7, Pejaten Barat.
Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12510

Telepon: (021) 7996767
Email: iccjakarta59@gmail.com

Term & Condition

Agenda

[tribe_events_list]

HUBUNGI KAMI

Facebook
Telegram

Jadwal Salat Hari Ini

sumber : falak-abi.id
  • Lintang: -6.1756556° Bujur: 106.8405838°
    Elevasi: 10.22 mdpl
Senin, 26 Desember 2022
Fajr04:23:34   WIB
Sunrise05:38:32   WIB
Dhuhr11:53:01   WIB
Sunset18:07:31   WIB
Maghrib18:23:39   WIB
Midnight23:15:32   WIB
  • Menurut Imam Ali Khamenei, diharuskan berhati-hati dalam hal waktu salat Subuh (tidak berlaku untuk puasa) dengan menambah 6-7 menit setelah waktu diatas

© 2022 ICC - Jakarta

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami

© 2022 ICC - Jakarta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist