Oleh: Syekh Ja’far Subhani
Persatuan Islam adalah Cita-cita
Persatuan Islam adalah cita-cita yang didambakan oleh setiap individu yang tulus dan memiliki sedikit pun pemahaman tentang situasi yang melingkupi Islam dan kaum muslim. Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam sangat membutuhkan persatuan dan penyatuan langkah, karena di dalamnya terdapat kemuliaan Islam, penguatan martabat kaum muslim, dan pengukuhan tali persaudaraan di antara mereka. Sebaliknya, perpecahan berarti kemunduran Islam dan tercerai-berainya kaum muslim menjadi kelompok-kelompok dan sekte-sekte yang saling bermusuhan.
Allah Swt telah mendorong persatuan dalam firman-Nya, “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (agama) Allah seluruhnya, dan janganlah kamu bercerai berai. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati-hati kamu, sehingga dengan nikmat-Nya kamu menjadi bersaudara…”(1)
Dia juga berfirman, “Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah ia, dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.”(2)
Pada saat yang sama, Dia mencela dan mengecam perpecahan, dengan firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, sedikit pun engkau (Muhammad) tidak termasuk golongan mereka…”(3) Dan Dia Subhanahu berfirman, “… Dan janganlah kamu termasuk orang-orang musyrik. Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan (sekte) …”(4)
Dia Subhanahu menganggap perpecahan dan tercerai-berai sebagai salah satu jenis bencana dan cobaan yang dihadapi umat, dan berfirman, “Katakanlah (Muhammad), ‘Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.’ Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kebesaran Kami agar mereka memahami.”(5)
Karena itu, berdasarkan ilham dari ayat-ayat tersebut, setiap muslim yang sadar wajib menyerukan penyatuan kalimat (kesatuan tujuan) untuk mencegah perpecahan dan tercerai-berai.
Situasi umat Islam saat ini sangat mengkhawatirkan, dan kelanjutan dari situasi ini akan menjadikan mereka korban dari rencana-rencana penjajahan yang bertujuan untuk melumpuhkan kaum muslim dan mencabut akar mereka.
Namun, yang membangkitkan semangat dalam hati kita dan meningkatkan harapan kita akan masa depan yang cerah adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa masa depan adalah milik hamba-hamba-Nya yang saleh. Dia Subhanahu berfirman, “… Bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”(6) Dan Dia Subhanahu berfirman, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).”(7)
Ini adalah sunah Allah Tabaraka wa Ta’ala, namun ia terikat pada syarat-syarat dan kekhususan yang mampu mewujudkan janji tersebut.
Dia Swt menggambarkan kaum muslim sebagai satu umat dan berfirman, “Sungguh, (agama Tauhid) ini adalah agamamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”(8) Kata Ummah (umat) berasal dari kata amma (bermaksud/bertujuan), dan materi kata ini merujuk pada maksud, tujuan, kepemimpinan, dan kepeloporan. Berdasarkan hal itu, kaum muslim tidak akan menjadi Ummah (umat) kecuali jika mereka memiliki tujuan dan maksud yang tinggi, serta kepemimpinan dan kepeloporan yang bijaksana. Umat yang satu memiliki Tuhan yang satu, Kitab yang satu, syariat yang satu, serta kepemimpinan dan tujuan yang satu. Tujuannya adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Elemen-elemen Persatuan
Ada pertanyaan yang muncul: Apa elemen-elemen yang mampu mewujudkan persatuan? Karena mewujudkannya di tengah keberadaan perpecahan dan perselisihan adalah hal yang mustahil.
Elemen-elemen ini terletak pada kesatuan dalam akidah dan syariat, bukan pada negara, ras, warna kulit, bahasa, sekte, maupun nasionalisme. Islam telah menghapus gagasan-gagasan tersebut dengan garis tebal, tidak memberikannya perhatian yang berarti, bahkan memperingatkan kaum muslim untuk tidak bergabung di bawah panjinya dan tidak terseret bersamanya. Dia Swt berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”(9)
Dan Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Arab bukanlah bapak yang melahirkan, tetapi ia adalah lidah yang berbicara. Barang siapa yang amal perbuatannya tidak mencapai, maka nasabnya tidak akan membawanya.”(10)
Karena itu, kita harus menyoroti elemen-elemen yang terkandung di dalamnya persatuan dan yang menjadi dasar bagi tali persaudaraan.
Elemen-elemen Akidah adalah:
- Tauhid dan Tingkatannya
Tauhid–yang berarti keyakinan akan keberadaan satu Tuhan, tidak ada sekutu bagi-Nya, Dia memiliki Asmaul Husna dan Sifat-sifat Yang Mahatinggi, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Mahahidup dan tidak mati, serta sifat-sifat keindahan dan keagungan lainnya; dan tidak ada Pencipta, Pengatur, dan Sesembahan selain Dia dalam lembaran wujud–adalah salah satu elemen pembangun persatuan.
Mungkin muncul pembahasan teologis seputar sifat-sifat-Nya Tabaraka wa Ta’ala, tetapi pembahasan tersebut tidak ada hubungannya dengan esensi Islam.
Apakah sifat-sifat-Nya Swt adalah esensi-Nya ataukah tambahan darinya? Masing-masing dari kedua pandangan tersebut memiliki dalil dan logikanya. Namun, pembahasan-pembahasan ini–meskipun menghargai upaya para peneliti–tidak boleh menimbulkan keraguan terhadap tujuan yang kita sasar, yaitu Persatuan Islam yang besar.
Saya tidak lupa, dan Anda pun tidak lupa, bahwa masalah penciptaan Alquran (apakah ia baru atau kekal) telah menyita perhatian kaum muslim selama bertahun-tahun pada masa Kekhalifahan Abbasiyah. Itu telah memecah belah persatuan dan mencerai-beraikan mereka menjadi sekte-sekte, menumpahkan darah, dan merampas harta benda. Hal itu terjadi semata-mata karena sekelompok dari mereka mengatakan Alquran itu kekal (qadim), dan kelompok lainnya mengatakan Alquran itu baru (hadits), padahal itu adalah pembahasan teologis yang tidak ada hubungannya dengan esensi Islam. Diskusi ilmiah dan kepatuhan pada dalil adalah satu hal, dan menjadikan perbedaan ini membangkitkan permusuhan dan perpecahan tersembunyi, bahkan–naudzubillah–menjadi target panah celaan dan pengafiran adalah hal lain. Mari kita beri ruang untuk penelitian ilmiah tanpa harus menyentuh Persatuan Islam yang besar.
- Kenabian Umum dan Khusus
Salah satu elemen persatuan adalah iman bahwa Dia Swt telah mengutus para nabi dan rasul untuk meneguhkan Tauhid di antara manusia dan mengecam segala penyembahan selain-Nya.
Dia Swt berfirman, “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut’…”(11) Ini adalah akidah bersama di antara seluruh umat Islam. Sebagaimana keimanan pada penutup kenabian Rasulullah dan bahwa tidak ada nabi dan rasul setelahnya adalah bagian dari inti akidah Islam. Barang siapa yang mengingkari penutup kenabian dan mengklaim berlanjutnya wahyu setelah Nabi saw atau kemungkinan munculnya nabi baru dengan syariat baru, maka dia telah keluar dari ikatan Islam, karena hal itu bertentangan dengan akidah Islam. Dia Subhanahu berfirman, “Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara laki-laki dewasa di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(12)
- Keimanan pada Hari Kebangkitan (Ma’ad)
Keimanan pada hari kebangkitan (aa’ad), dan bahwa dunia ini adalah jembatan menuju akhirat, serta bahwa kematian tidak berarti punahnya manusia, adalah bagian dari akidah bersama di antara kaum muslim. Ini dianggap sebagai prinsip fundamental yang dibawa oleh semua Nabi, dan tanpa itu, tiang agama tidak akan berdiri. Oleh karena itu, kita mendapati Alquran menyandingkan keimanan pada hari kebangkitan dengan keimanan pada tauhid, dan berfirman, “… Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan beramal saleh, maka bagi mereka pahala mereka…”(13)
Dan dalam ayat lain, “… Jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih baik…”(14)
Tiga prinsip fundamental ini membentuk landasan utama bagi akidah Islam, dan di sekitarnya berputar urusan iman dan kekafiran. Nabi saw telah memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip ini dan menjadikannya sebagai batas pemisah antara keimanan dan kekafiran. Barang siapa yang beriman kepadanya, dia telah masuk dalam kelompok kaum muslim, dan barang siapa yang mengingkari salah satunya, dia telah keluar dari ikatan Islam. Berikut kami sesajikan beberapa riwayat dari Nabi saw dalam hal ini agar dari sana diketahui elemen-elemen yang mampu mewujudkan persaudaraan Islam.
Bukhari meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa Ali berteriak, “Wahai Rasulullah! Atas dasar apakah aku harus berperang?” Beliau saw menjawab, ”Perangilah mereka sampai mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Jika mereka melakukan itu, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka darimu, kecuali karena haknya, dan hisab (perhitungan) mereka ada pada Allah.”(15)
Imam Syafi’i meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Aku akan terus memerangi manusia sampai mereka mengucapkan ‘La ilaha illallah’. Jika mereka mengucapkannya, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka dariku, kecuali karena haknya, dan hisab mereka ada pada Allah.”(16)
Dan Imam Ali Ridha as, salah satu Imam Ahlulbait, meriwayatkan dari para leluhurnya, dari Ali as, bahwa Nabi saw bersabda, ”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘La ilaha illallah’. Jika mereka mengucapkannya, maka darah dan harta mereka haram atasku.”(17)
Kesatuan Syariat
Jika akidah dengan ketiga elemennya adalah pilar pertama persatuan, maka kesatuan syariat adalah faktor lain untuk menghimpun umat Islam dan menyatukan kalimat serta barisan mereka.
Secara umum, kaum muslim dalam bidang ibadah melaksanakan syiar-syiar agama mereka, seperti salat, puasa, zakat, haji, dan jihad. Anda tidak akan menemukan seorang muslim pun yang mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Memang, terdapat perbedaan dalam rincian masalah di antara mazhab-mazhab fikih, tetapi itu hanyalah masalah syarat dan adab yang tidak menyentuh esensi Islam. Seorang muslim adalah orang yang beriman pada syariat yang dibawa oleh Nabi saw dan melaksanakannya sesuai dengan fikih yang diikutinya. Perbedaan para ulama tidak merusak esensi syariat karena itu adalah perbedaan permukaan pada rincian dan kekhususannya.
Sebagaimana ibadah adalah bagian dari syariat, maka muamalat dalam arti khusus atau umumnya juga merupakan bagian dari syariat. Jual-beli (al-bai’u), sewa-menyewa (al-ijarah), perwakilan (al-wakalah), bagi hasil modal (al-mudharabah), bagi hasil tanaman (al-musaqat), dan bagi hasil lahan (al-muzara’ah) adalah muamalat dalam arti khusus. Demikian pula nikah, talak, wasiat, dan sejenisnya adalah muamalat dalam arti umum. Kaum muslim bersatu dalam ranah syariat ini; mereka menghalalkan apa yang dihalalkan syariat dan mengharamkan apa yang diharamkan syariat.
Berdasarkan hal itu, syariat adalah pilar kedua persatuan, dan perbedaan para fukaha (ahli fikih) di dalamnya tidak merusaknya.
Kesatuan Kepemimpinan
Kesatuan dalam kepemimpinan adalah pilar ketiga bagi persatuan umat. Semua beriman bahwa kepemimpinan adalah milik Allah Subhanahu, rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) yang diambil dari firman-Nya, “… Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu…”
Kepemimpinan Islam bukanlah kepemimpinan politik murni, tetapi kepemimpinan religius yang membawa masyarakat menuju kebahagiaan dan kesejahteraan di bawah naungan ajaran Islam. Karena ketaatan kepada Ulil Amri disebutkan langsung setelah ketaatan kepada Rasul dalam ayat tersebut, maka ketaatan kepada mereka haruslah mirip dengan ketaatan kepada Rasul dalam hal ilmu, kebijakan, dan ketakwaan mereka. Oleh karena itu, banyak syarat yang harus terpenuhi pada diri mereka untuk memberikan mereka kelayakan memimpin.
Kesatuan Tujuan
Tanggung jawab khusus terletak di pundak umat Islam, yaitu mengarahkan masyarakat menuju ideal-ideal moral dan kemuliaan insani. Dia Swt berfirman, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah…”(18)
Secara keseluruhan, semua golongan Islam memiliki visi bersama dalam tujuan yang dibawa dan diserukan oleh Islam.
Tujuannya adalah dominasi agama di muka bumi, agar kekuasaan hanya milik Allah semata, dan agar agama tampak unggul di atas semua agama lain. Dia Subhanahu berfirman, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas semua agama, meskipun orang-orang musyrik tidak menyukai.”(19)
Empat kesatuan ini, yaitu: Kesatuan Akidah, Kesatuan Syariat, Kesatuan Kepemimpinan, dan Kesatuan Tujuan, jika kaum muslim berpegang teguh padanya, maka kebahagiaan yang hilang dan kemuliaan yang dicita-citakan akan kembali kepada mereka. Rasulullah saw bersabda, ”Perumpamaan kaum muslim adalah seperti satu tubuh; jika salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan sakit (dengan demam dan tidak bisa tidur).”(20)
Pengafiran Ahlul Qiblah (Orang yang Menghadap Kiblat)
Pengafiran Ahlul Qiblah, selama tidak ada dari mereka yang mengingkari salah satu dari tiga prinsip fundamental tersebut, adalah hal yang tidak dibenarkan oleh seorang pun dari para Imam kaum muslim.
Ibnu Hazm mengutip dari Abu Hanifah, Syafi’i, dan Sufyan Tsauri, ”Tidak boleh mengafirkan atau memfasikkan seorang muslim.”(21)
Sarkhasi berkata, “Ketika Syekh Abul Hasan Asy’ari menjelang wafat di rumahku di Baghdad, dia memerintahkanku untuk mengumpulkan para sahabatnya, lalu aku mengumpulkan mereka untuknya. Dia berkata, ‘Saksikanlah atasku bahwa aku tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Qiblah karena dosa, sebab aku melihat mereka semua menunjuk kepada satu Sesembahan dan Islam meliputi serta mencakup mereka semua.’”(22)
Imam Asy’ari sungguh tepat ketika menamai kitabnya Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushallin, dengan memberikan sebutan “al-Islamiyyin” (kaum muslim) kepada semua golongan dan menjadikan perbedaan mereka sebagai perbedaan orang-orang yang menghadap kiblat (Ahlul Qiblah), sebagaimana tersirat dari ucapannya Ikhtilaful Mushallin (Perbedaan Orang-orang yang Salat).
Qadhi Iji berkata, “Mayoritas ahli kalam dan fuqaha berpendapat bahwa tidak seorang pun dari Ahlul Qiblah boleh dikafirkan.” Dia berdalil dengan pilihannya ini dengan mengatakan, ”Sesungguhnya masalah-masalah yang diperselisihkan oleh Ahlul Qiblah, seperti apakah Allah Ta’ala Maha Mengetahui dengan ilmu ataukah Dia menciptakan perbuatan hamba, ataukah Dia tidak bertempat dan tidak di suatu arah, dan sejenisnya, Nabi saw tidak pernah menanyakan keyakinan orang yang Beliau hukumi keislamannya mengenai hal itu, begitu pula para sahabat dan tabi’in. Maka, diketahui bahwa kekeliruan dalam hal itu tidak merusak hakikat Islam.”(23)
Dan masih banyak lagi perkataan ulama-ulama mulia kita yang sejalan dengan sunah Nabi yang menolak pengafiran muslim.
Penghalang Persatuan
Anda telah mengetahui elemen-elemen persatuan dan apa yang dapat menyatukan umat Islam. Namun demikian, ada faktor-faktor lain yang menghalangi langkah persatuan. Maka, menjadi tugas mereka yang peduli terhadap persatuan muslim untuk mempelajari faktor-faktor perpecahan agar dapat mengatasinya, sehingga faktor-faktor itu tidak menjadi penghalang bagi cita-cita tersebut. Berikut adalah kajian tentang faktor-faktor ini:
- Mazhab-mazhab Kalam dan Fikih
Kaum muslim terbagi dalam mazhab-mazhab kalam menjadi berbagai golongan, seperti Asy’ariyah, Muktazilah, Maturidiyah, dan Syiah.
Syiah sendiri terbagi menjadi Zaidiyah, Ismailiyah, dan Itsna Asyariyah. Lalu, bagaimana mungkin menyatukan kalimat di tengah dominasi pendekatan-pendekatan kalam ini atas mereka?!
Kebenarannya adalah bahwa mazhab-mazhab ini, pada pandangan pertama, tampak seperti penghalang kuat di hadapan persatuan. Namun, dengan melihat tali persatuan, mazhab-mazhab ini terlihat sebagai penghalang yang lemah yang tidak menghalangi kaum muslim untuk berpegang teguh pada tali persatuan di semua tingkatan.
Adapun pendekatan-pendekatan kalam, inti perbedaannya kembali pada masalah-masalah kalam (teologis), bukan akidah. Misalnya, Asy’ariyah dan Muktazilah berbeda dalam masalah-masalah berikut:
- Apakah sifat-sifat-Nya adalah esensi-Nya ataukah tambahan darinya?
- Apakah Alquran itu qadim (kekal) atau hadits (baru)?
- Apakah perbuatan hamba diciptakan oleh Allah ataukah oleh hamba?
- Apakah Allah dapat dilihat di akhirat, ataukah hal itu mustahil?
Dan masalah-masalah serupa lainnya. Dengan menghargai upaya kedua belah pihak, perbedaan dalam hal ini adalah perbedaan dalam masalah-masalah rasional yang tidak terkait dengan status Islam atau kekafiran. Yang dituntut dari seorang muslim adalah keyakinan bahwa Allah Swt Maha Mengetahui dan Mahakuasa. Adapun bagaimana pengetahuan dan kekuasaan itu (apakah melalui tambahan atau identik dengan esensi), hal itu bukanlah bagian inti dari Islam. Setiap mujtahid memiliki dalil dan mazhabnya. Demikian juga, Alquran adalah mukjizat Nabi saw dan kitab-Nya Swt, sehingga status baru (huduts) atau kekalnya (qidam) bukanlah bagian inti akidah. Terapkanlah hal ini pada masalah-masalah lain yang telah kami sebutkan. Bahkan masalah melihat Allah di akhirat (ru’yatullah), meskipun telah menjadi keyakinan yang dianggap daruri (niscaya) bagi sebagian mazhab karena riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari, dia adalah kebutuhan niscaya mazhab kalam tertentu, bukan kebutuhan niscaya Islam secara keseluruhan. Ada perbedaan antara dharuriyyat (hal-hal niscaya) Mazhab Asy’ari dan dharuriyyat Islam. Setiap pengikut Asy’ari mengatakan adanya ru’yah (melihat) karena mengikuti imamnya, dan sang imam mengikuti dalil yang dia yakini, namun tidak semua muslim mengatakannya.
Terapkanlah hal ini pada semua aspek perpecahan lainnya yang pada akhirnya kembali kepada perbedaan-perbedaan kalam.
Adapun pendekatan-pendekatan fikih, yang terkenal adalah empat mazhab (Sunni) ditambah Zaidiyah dan Ja’fariyah. Keenam mazhab ini adalah mazhab fikih, dan perbedaannya kembali kepada perbedaan dalam memahami ayat dan riwayat. Jika mereka berbeda, perbedaan itu hanya dalam memahami kitab dan sunah. Jika ini menunjukkan sesuatu, itu menunjukkan perhatian mereka terhadap keduanya dan ketelitian mereka dalam memahaminya, dan perbedaan adalah hal yang wajar, terutama setelah 14 abad berlalu dari masa awal Islam.
Namun, perbedaan mereka dalam pendekatan fikih tidak merusak inti fikih Islam. Apakah ada yang berpendapat salat Subuh tiga rakaat atau berpendapat salat Zuhur dan Asar selain empat rakaat?
Perbedaan ini juga bukan lahir hari ini, melainkan telah dimulai setelah wafatnya Rasulullah saw dalam masalah fikih yang paling sederhana, seperti jumlah takbir pada jenazah, hingga yang paling mendalam. Jadi, perbedaan yang diwarisi itu hanyalah perbedaan dalam memahami teks, bukan dalam menolak atau membuang teks.
Tidak diragukan bahwa Syiah memandang bolehnya menggabungkan dua salat (jama’ baina al-shalatain) meskipun memisahkan lebih utama, sementara Sunni membatasi kebolehan menggabung dalam kondisi safar dan situasi khusus. Masing-masing memiliki dalilnya. Telah diriwayatkan dalam kitab-kitab Shahih dan Musnad sekitar dua puluh riwayat bahwa Rasulullah saw menggabungkan dua salat tanpa safar, hujan, maupun sakit untuk memberikan kelapangan bagi umat.
Terapkanlah hal ini pada perbedaan fikih lainnya, bahkan perbedaan dalam nikah mut’ah. Mayoritas Sunni berpendapat mansukh (dihapus), sementara Syiah berpendapat tetap diperbolehkan. Perbedaan dalam hal ini sama seperti perbedaan dalam masalah-masalah lain yang timbul dari perbedaan pendapat tentang naskh (penghapusan) atau tidak adanya naskh.
- Perbedaan Kebangsaan
Kaum muslim terdiri dari berbagai kebangsaan—Arab, non-Arab (Ajam), Turki, Berber, dan suku-suku serta kabilah-kabilah lainnya. Namun, perbedaan ini adalah perbedaan takwini (penciptaan) yang tidak pantas menjadi penghalang kesatuan kalimat. Allah Swt telah membahas jenis perbedaan ini dan berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…”
Perbedaan warna kulit, bahasa, darah, dan negara, meskipun merupakan faktor yang menyatukan kelompok besar, adalah faktor eksternal (‘ardhiyyah) yang tidak ada hubungannya dengan esensi manusia. Adapun keimanan pada tiga prinsip fundamental (Tauhid, Nubuwwah, Ma’ad) adalah faktor batin yang inheren yang lebih kuat dari semua elemen yang disebutkan sebelumnya.
Seorang muslim dari Timur, jika berinteraksi dengan muslim dari Barat, meskipun ada jurang pemisah yang dalam di antara mereka, mereka akan bersaudara karena adanya kesatuan dalam asal usul (Tuhan), Hari Kebangkitan, Kepemimpinan, dan Tujuan. Sebaliknya, saudara sekandung (dari satu ibu dan ayah), jika salah satunya berjiwa ilahiah (agamis) dan yang lain materialistis, mereka akan saling memusuhi.
Saya kira kedua penghalang ini bukanlah penghalang persatuan dan Islam telah mengatasinya dengan jelas. Sebaliknya, ada faktor-faktor nyata yang menghambat laju persatuan yang memerlukan kajian dan perhatian yang mendalam.
- Ketidaktahuan akan Keyakinan Golongan Lain
Faktanya, ketidaktahuan setiap golongan akan keyakinan golongan lain merupakan salah satu penghalang terpenting yang membentuk tembok yang kokoh terhadap persatuan. Ini bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh. Berikut adalah contohnya:
Saya punya seorang teman di Mekkah Mukarramah. Saya mengunjunginya ketika saya mendapat kehormatan mengunjungi Baitullahil Haram, dan dia berprofesi sebagai penjual kain. Suatu hari dia bertanya kepada saya, “Apa yang kalian, kaum Syiah, katakan setelah salat, setelah mengangkat tangan ke telinga?” Saya menjawab, “Mereka mengatakan: Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.” Dia kemudian meminta maaf dan berkata, “Saya kira kalian mengatakan: Khana al-Amin, Khana al-Amin, Khana al-Amin (Sang terpercaya telah berkhianat. Sang terpercaya telah berkhianat. Sang terpercaya telah berkhianat)!”
Jika pengetahuan seorang muslim tentang akidah saudara Syiahnya di bawah kubah Islam hanya seperti itu, lalu bagaimana pendapat Anda tentang muslim yang terpisah ribuan kilometer?
Seorang ulama Mekkah yang menjabat sebagai kadi (hakim) Mekkah Mukarramah dan pengajar di Haram pernah bertanya kepada saya ketika saya menginap di rumahnya sebagai tamu bersama teman-teman saya, dia berkata, “Syekh Subhani! Apakah Syiah memiliki karya tulis?” Saya berkata, “Subhanallah! Syiah bukanlah sekte yang tidak memiliki sejarah dan akar. Mereka adalah golongan Islam sejak zaman Nabi hingga hari ini, yang telah berpartisipasi dengan kaum muslim dalam mendirikan peradaban Islam yang kokoh.”
Kami berikan contoh ketiga: Syiah Imamiyah, mengikuti Nabi dan para Imam Ahlulbait as, tidak sujud dalam salat kecuali di atas tanah atau apa yang tumbuh darinya, dengan syarat tidak dapat dimakan atau dipakai sebagai pakaian. Karena sujud di atas tanah di rumah-rumah bahkan masjid-masjid yang berkarpet sulit dilakukan, mereka menggunakan lempengan tanah (turbah) untuk bersujud di atasnya. Dalam hal ini, kita melihat sebagian saudara kita dari Sunni menuduh Syiah bersujud kepada batu dan tanah, seperti sujudnya penyembah berhala kepadanya, padahal mereka tidak membedakan antara tempat sujud (masjud ‘alaihi) dan zat yang disujudi (masjud lahu). Tanah hanyalah tempat sujud, sedangkan yang disujudi adalah Allah Swt.
Karena itu, jika para ahli fikih mazhab mengetahui apa yang dimiliki golongan lain dalam hal fikih, ushul fikih, penalaran, dan ijtihad, tidak seorang pun dari mereka akan mencela yang lain. Perselisihan hanyalah dalam cara berdalil dan hakikat pembuktian, bukan dalam mengambil bukti. Jika kita ingin memberikan contoh di sini, pembicaraan kita akan menjadi panjang.
Ada satu poin yang ingin saya sebutkan: Kebanyakan dari mereka yang menulis tentang Syiah mengambil sumber dari penulis yang bukan Syiah, seperti Ibnu Khaldun, atau dari orientalis yang penuh kebencian terhadap Islam secara umum dan Syiah secara khusus, seperti Goldziher.
Karena itu, siapa pun yang ingin mengaitkan sesuatu kepada golongan mana pun harus merujuk kepada sumber-sumber asli yang ditulis oleh ulama-ulama mereka.
- Ketidaktahuan akan Istilah-istilah
Setiap golongan memiliki istilah-istilah khusus dalam akidah dan syariat yang maknanya harus diambil dari kitab-kitab mereka, dan kita tidak boleh menafsirkannya dari pihak kita. Berikut adalah dua contoh:
- Al-Bada’
Al-Bada’ adalah akidah Islam yang ditunjukkan oleh kitab dan sunah. Ini tidak berarti lain kecuali berubahnya nasib manusia karena amal saleh atau amal buruk. Karena manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, dia memiliki kemampuan untuk mengubah nasibnya; dia dapat menjadikan dirinya bahagia atau sengsara. Hal ini ditunjukkan oleh kitab dan sunah. Inilah al-Bada’ menurut Syiah. Kaum Yunus mengubah nasib buruk mereka menjadi baik melalui amal saleh dan pertobatan. Allah Swt berfirman, “Maka mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya, selain kaum Yunus? Ketika mereka beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu tertentu.”(24)
Saat itu dikatakan, “Bada’ lillah fi qawmi Yunus” (Tampak bagi Allah dalam kaum Yunus), yang berarti tampak bagi kaum tersebut apa yang tersembunyi dari mereka, bukan tampak bagi-Nya–naudzubillah–setelah tersembunyi dari-Nya. Jenis penggunaan majazi (kiasan) ini lazim diucapkan oleh Nabi saw, bahkan terdapat dalam Shahih Bukhari dalam kisah orang yang berpenyakit kusta, orang buta, dan orang botak.(25) Namun, ini ditafsirkan oleh orang yang tidak mengetahui akidah Syiah sebagai berubahnya kehendak Allah Swt dan tampaknya sesuatu bagi-Nya setelah tersembunyi. Jelas bahwa yang pertama adalah akidah Islam, sedangkan yang kedua adalah akidah ateistik yang tidak diucapkan oleh seorang muslim pun.
- Taqiyah
Taqiyah (menyembunyikan keyakinan karena takut) adalah salah satu konsep Islam, dan ia adalah senjata orang yang lemah di hadapan yang kuat. Jika seorang Muslim mengkhawatirkan harta, kehormatan, dan darahnya dari siapa pun—baik kafir maupun Muslim—dan ada orang kuat yang ingin merampas kebebasannya, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali menyembunyikan akidahnya.
Allah Swt telah memerintahkan hal ini dan berfirman, “… Kecuali orang yang dipaksa (mengingkari), padahal hatinya tetap tenang dalam keimanan…”(26)
Ayat ini turun berkenaan dengan Ammar bin Yasir ketika dia menampakkan kekufuran dan menyembunyikan keimanan. Dia datang kepada Nabi saw dalam keadaan menangis, lalu Nabi saw bersabda, “Tidak ada dosa atasmu.” Kemudian ayat tersebut turun.
Namun, Taqiyah ditafsirkan oleh sebagian penentang sebagai kemunafikan (nifaq), padahal terdapat perbedaan yang sangat jauh antara Taqiyyah dan Nifaq. Taqiyah adalah menampakkan kekufuran dan menyembunyikan keimanan, sedangkan Nifaq adalah sebaliknya, yaitu menampakkan Islam dan menyembunyikan kekufuran.
Inilah beberapa penghalang yang nyata di hadapan persatuan kaum muslim. Ada faktor-faktor lain yang tidak ada ruang untuk dibahas dalam kesempatan yang singkat ini.
Kami memohon kepada-Nya Swt untuk menganugerahkan kaum muslim kesatuan kalimat (tauhidul kalimah) sebagaimana Dia telah menganugerahkan mereka kalimat Tauhid.
Catatan Kaki:
- QS. Ali Imran [3]:103, hal.63.
- QS. al-An’am [6]:153, hal.149.
- QS. al-An’am [6]:159, hal.150.
- QS. al-Rum [30]:31 dan 32, hal.407.
- QS. al-An’am [6]:65, hal.135.
- QS. al-Anbiya [21]:105, hal.331.
- QS. al-Qashash [28]:5, hal.385.
- QS. al-Anbiya [21]:92, hal.330.
- QS. al-Hujurat [49]:13, hal.517.
- Al-Kafi, jil.8, hal.246, hadis ke-342.
- QS. al-Nahl [16]:36, hal.271.
- QS. al-Ahzab [33]:40, hal.423.
- QS. al-Baqarah [2]:62, hal.10.
- QS. al-Nisa [4]:59, hal.87.
- Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, jil.1, hal.10, Kitab al-Iman.
- Syafi’i, al-Umm, jil.6, hal.157.
- Allamah Majlisi, Bihar al-Anwaar, juz 68, hal.242.
- QS. Ali Imran [3]:110, hal.64.
- QS. al-Taubah [9]:33, hal.192.
- Musnad Ahmad bin Hambal, jil.4, hal.278.
- Ibnu Hazm, al-Fashl, jil.3, hal.247.
- Sya’rani, al-Yawaqit wa al-Jawahir, hal.58.
- Iji, al-Mawaqif, hal.392.
- QS. Yunus [10]:98, hal.220.
- Shahih Bukhari, jil.4, hal.171, di mana disebutkan: Bada’ lillah an yabtalihum fa ba’atsa ilaihim malakan… (Tampak bagi Allah untuk menguji mereka, maka Dia mengutus malaikat kepada mereka…) dan seterusnya.
- QS. al-Nahl [16]:106, hal.279.