Oleh: Sayid Ja’far Murtadha Amili
Teks Syubhah (Kecurigaan/Kerancuan):
Kaum Syiah mengklaim kemaksuman para Imam mereka–sebagaimana diketahui–dan ini sangat menyulitkan mereka dalam menghadapi banyak riwayat yang menyebutkan bahwa para Imam, sama seperti manusia lainnya, bisa saja mengalami sahw (lupa/kekeliruan) dan khatha’ (kesalahan). Bahkan, ulama Syiah, Allamah Majlisi, mengakui bahwa, “Masalah ini sangat pelik; karena banyak riwayat dan ayat menunjukkan bahwa sahw bisa terjadi pada mereka.” (Bihar al-Anwar, juz 25, hal.351).
Jawaban:
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Segala puji bagi-Nya. Salawat dan salam atas Muhammad dan keluarganya yang suci
Assalamu ’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Kami menjawab sebagai berikut:
Pertama, sesungguhnya dalil-dalil dari Alquran, seperti Ayat Tathhir, dan dari hadis-hadis mutawatir dari Rasulullah saw mengenai bahwa bumi tidak akan pernah kosong dari seorang hujah (pemimpin/bukti Allah), yang disatukan dengan hadis, “Akan ada setelahku dua belas Khalifah,” yang disatukan dengan Hadis Tsaqalain yang mutawatir, yang semuanya menunjukkan bahwa para Imam adalah pasangan (tandingan) kitab (Alquran) dan mereka adalah hujah Allah sampai hari kiamat–semua ini menunjukkan kemaksuman seorang hujah bahkan dari sahw (lupa/kekeliruan), nisyān (kelupaan), khathā’ (kesalahan), dan ma’shiyyah (kemaksiatan/dosa), karena kekeliruan dalam satu hal berarti ketiadaan Hujjah dalam hal tersebut…
Kedua, penanya mengatakan, “Kaum Syiah mengklaim kemaksuman para Imam mereka. Dan ini sangat menyulitkan mereka dalam menghadapi riwayat-riwayat yang membolehkan sahw (lupa) dan khatha’ (keliru) atas mereka sebagaimana manusia lainnya…” Padahal, kesulitan yang diklaim menimpa kaum Syiah ini hanya terjadi pada satu orang di antara mereka, yaitu Allamah Majlisi ra menurut perkataan si penanya.
Padahal, Allamah Majlisi ra sendiri, di tempat yang sama ini, telah menyatakan bahwa kaum Syiah telah berijmak (bersepakat), kecuali yang menyimpang, atas kemaksuman mutlak para Imam, dan mereka tidak merasa bingung atau ragu dalam hal itu.
Ketiga, Allamah Majlisi ra menyatakan bahwa yang membuatnya sulit adalah riwayat-riwayat yang menunjukkan terjadinya sahw pada mereka dalam hal-hal selain kewajiban (wājibāt) dan yang diharamkan (muharramāt), seperti hal-hal yang dimakruhkan (makrūhāt) dan yang dibolehkan (mubāhāt)… Lalu, apa maksud dari si penanya yang menggeneralisasi ucapannya ke setiap sahw dan khatha’, bahkan sampai pada wājibāt dan muharramāt?
Keempat, ucapan Allamah Majlisi ra tidak hanya berlaku untuk para Imam, tetapi umum untuk mereka dan para nabi secara bersamaan.
Kelima, Allamah Majlisi ra mengakui adanya dalil dari sebagian ayat dan riwayat, serta dalil-dalil ilmu Kalam, atas kemaksuman mereka as, bahkan dari sahw (lupa) dalam makrūhāt (makruh) dan mubāhāt (mubah). Dan bahwa ada riwayat-riwayat lain yang menunjukkan kebolehan sahw atas mereka dalam makrūhāt (makruh) dan mubāhāt (mubah).
Ini berarti, beliau tidak berupaya menyelesaikan permasalahan yang timbul antara kelompok riwayat dan ayat yang satu ini dengan kelompok riwayat dan ayat yang lainnya.
Jelaslah bahwa permasalahan ini sama-sama menimpa Ahlussunnah dan Syiah; sebagaimana setiap Syiah, termasuk Allamah Majlisi, wajib menyelesaikan permasalahan ini. Demikian pula, setiap non-Syiah wajib menyelesaikan permasalahan ini. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa ayat-ayat tidak boleh bertentangan satu sama lain, demikian pula riwayat-riwayat, baik menurut Ahlussunnah maupun Syiah.
Keenam, mungkin cukup untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan mengatakan bahwa kemaksuman dari sahw dalam wājibāt (wajib) dan muharramāt (haram) hanya terwujud karena maksum (yang disucikan dari dosa) telah memperoleh malakah (kapasitas/kemampuan) yang kuat, yang dengannya kelupaan dan sahw mustahil menimpanya… Dan malakah adalah hal yang sederhana (basīth) dan tidak dapat dibagi-bagi. Jika ia ada, maka daya ingat tidak akan membedakan antara berbagai hal yang diingat.
Ditambah lagi, kesalahan dan kekeliruan dalam urusan duniawi akan melemahkan kepercayaan orang terhadap Nabi dan Imam dalam penguasaan mereka terhadap urusan lain yang diperintahkan, dan dalam penyampaiannya…
Ketujuh, jika kita kembali ke ayat-ayat yang mungkin disalahpahami sebagai isyarat terhadap sahw para nabi as, kita akan menemukan bahwa ayat-ayat itu tidak menunjukkan sahw
mereka, bahkan dalam mubāhāt dan makrūhāt.
Beirkut beberapa contohnya:
Contoh Pertama: Kami tunjukkan dua contoh: “…La tu’akhidznı bima nasıtu…” (Janganlah Engkau menghukumku karena apa yang aku lupakan…)
Pertama, firman Allah Ta’ala mengenai Musa as ketika dia berkata kepada hamba yang saleh (Khidir), “Fanthalaqa hatta idza rakiba fissafınati kharaqaha qala akharaqtaha litughriqa ahlaha laqad ji’ta syay’an imra.” (Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya menaiki perahu, dia melubanginya. Musa berkata, “Mengapa engkau melubanginya untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.”)(1)
Musa as menisbatkan kelupaan kepada dirinya sendiri, sebagaimana yang tampak pada pandangan pertama. Namun, kami katakan: Perenungan terhadap ayat-ayat tersebut memberikan pengertian:
- Musa as tidak bermaksud meniadakan kemaksuman dari dirinya sendiri dari sisi ini, karena dia tidak melanggar janji, sebab dia belum berjanji kepada Khidir as untuk diam terhadap apa yang dia lihat bertentangan dengan hukum syariat dan hakikat agama, bahkan merupakan kewajiban Ilahinya untuk memprotes dan bertanya, serta menunjukkan kepekaan yang tinggi demi komitmen terhadap hukum syariat. Seandainya dia as tidak memprotes Khidir, dia tidak akan layak menduduki maqam kenabian dan kerasulan.
- Ucapan Musa as, “…la tu’akhidznı bima nasıtu…” (Janganlah engkau menghukumku karena apa yang aku lupakan…)(2) Tidak berarti bahwa pembenaran atas protesnya kepada Khidhir adalah karena nisyān (kelupaan), dan dia meminta maaf karenanya. Karena dia tidak mengatakan: “Lā tu’ākhidznī bi-nisyānī) (Janganlah engkau menghukumku karena kelupaanku), melainkan dia berkata: “…bima nasıtu…” (Karena apa yang aku lupakan…), yakni, karena aku meninggalkan tindakan dalam hal di mana aku seharusnya mengabaikan janji tersebut, dan menghilangkannya dari ingatanku, agar aku dapat segera menghadapi apa yang aku anggap bertentangan dengan syariat dan wajib aku cegah. Jadi, yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah meminta maaf dengan kesibukan pada hal yang lebih penting daripada yang lain.
- Dan ketika Khidir as secara implisit meyakinkannya bahwa tindakannya tidak melanggar hukum syariat, dan bahwa Musa akan mengetahui hakikat masalahnya pada waktu yang tepat, Musa menerimanya. Maka, ketika hal yang secara lahiriah tampak melanggar itu terulang, protes pun harus diulang, sebagai pelaksanaan dari tugas Ilahi (kewajiban agama). Musa tidak tergesa-gesa dalam menghakimi, tidak melanggar janji, dan tidak pula bersikap usil. Dia juga tidak kurang disiplin dalam menjalankan perkataan yang bertanggung jawab, sebagaimana yang dikatakan sebagian orang.
- Adapun kali ketiga, itu bukanlah kelanjutan dari yang sebelumnya, melainkan hasil dari kesepakatan baru antara hamba yang saleh dan Musa as di mana mereka sepakat untuk terikat pada firman Allah Ta’ala: “Qala in sa’altuka ’an syay’in ba’daha fala tushahibni qad balaghta minladunnı ’udzra.” (Dia berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka janganlah engkau memperbolehkan aku menyertaimu lagi. Sesungguhnya engkau telah mencapai batas akhir kesabaran dariku.”)(3)
Di sini, Musa as sudah memiliki pilihan untuk memprotes hamba yang saleh jika dia mau, yang berarti perpisahan antara keduanya, atau dia bisa diam dan terus bersamanya.
Maka, Musa memilih untuk berpisah, bukan karena melupakan janji, melainkan karena tahu dan sadar akan janji tersebut.
Jadi, yang dimaksud dengan ‘nisyān’ (kelupaan) dalam ayat tersebut adalah ‘tark’ (meninggalkan) dan ‘ihmāl’ (mengabaikan), meskipun muncul dalam bentuk tindakan yang biasa disebut orang sebagai ‘nisyān’ padahal pada hakikatnya tidak demikian. Tindakan ini adalah: mengesampingkan janji tersebut dan segera melaksanakan tugas syariat yang hadir, yang lebih penting.
Penggunaan ungkapan nisyān tidak dimaksudkan untuk mengabarkan bahwa itu benar-benar terjadi, melainkan untuk mengabarkan tentang tindakan yang dilihat orang seperti itu, meskipun pada kenyataannya tidaklah demikian.
- Dan boleh jadi keberhasilan gemilang Musa as dalam ujian ini yang menunjukkan kelayakannya untuk maqam kenabian dan kerasulan, dan mengenalkan kita pada rahasia dipilihnya dia oleh Allah di antara kaumnya untuk menjadi nabi dari Ulul Azmi.
- Selain itu, ayat ini tidak berhubungan dengan topik pengetahuan para nabi dan Imam. Ini hanyalah terkait dengan topik terlaksananya kewajiban (tanjuz al-taklīf) sehubungan dengan pembenaran (al-ma’dzariyyah) di hadapan Allah Subhanahu, agar tindakan tersebut didasarkan pada hujah (bukti) yang jelas sehingga tidak menjadi alasan bagi para penguasa yang zalim dan tiran.
“…Wa lam najid lahu ’azma” (Dan tidak Kami dapati padanya tekad yang kuat).
Contoh Kedua: Firman Allah Ta’ala: “Wa laqad ’ahidna ila Adama min qablu fanasıya wa lam najid lahu ’azma.” (Dan sungguh, Kami telah berjanji kepada Adam dahulu, tetapi dia lupa, dan tidak Kami dapati padanya ‘azm (tekad/kemauan) yang kuat.)(4)
Ayat ini secara eksplisit menisbatkan kelupaan (nisyān) kepada Nabi Allah Adam as.
Namun, kami katakana, “Diriwayatkan dari (salah satu dari keduanya) Imam Ja’far Shadiq atau Imam Muhammad Baqir as mengenai Adam as, ‘Sesungguhnya dia tidak lupa. Bagaimana mungkin dia lupa padahal dia mengingatnya, dan Iblis berkata kepadanya, ‘… ma nahakuma rabbukuma ’an hadizishshajarati illa an takuna malakayni aw takuna minal khalidın’ (Tuhan kamu tidak melarang kamu mendekati pohon ini melainkan agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal [dalam surga]).’”(5&6)
Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ‘nisyān’ (kelupaan) dalam firman Allah Ta’ala, “Wa laqad ’ahidna ila Adama min qablu fanasıya wa lam najid lahu ’azma”–jika ayat tersebut membicarakan apa yang terjadi antara Adam dan Iblis–adalah bahwa dia telah melakukan tindakan orang yang lupa, yaitu dengan meninggalkan perintah dan berpaling darinya, seperti halnya orang yang lupa meninggalkan perintah yang diminta darinya.
Riwayat yang disebutkan di atas, yang secara jelas menyatakan bahwa Adam as tidak melupakan larangan Allah tentang pohon tersebut, mungkin mengacu pada apa yang telah kami katakan… Namun, diriwayatkan juga dari Imam Ja’far Shadiq as apa yang menunjukkan bahwa kelupaan janji (nisyān al-’ahd) dalam ayat ini tidak terkait dengan larangan tentang pohon, melainkan terkait dengan apa yang diambil darinya dalam perjanjian (mītsāq)… Dan pandangan tentangnya tidak berbeda dengan pandangan tentang yang sebelumnya. Pembahasan tentang ini memiliki tempat tersendiri.
Dan salawat serta salam atas hamba-hamba-Nya yang telah Dia pilih, Muhammad dan keluarganya.(7)
Catatan Kaki:
- QS. al-Kahfi [18]:71, hal.301.
- QS. al-Kahfi [18]:73, hal.301.
- QS. al-Kahfi [18]:76, hal.302.
- QS. Thaha [20]:115, hal.320.
- QS. al-A’raf [7]:20, hal.152.
- Tafsir al-’Ayyasyi, juz 2, hal. 9 dan 10; Bihar al-Anwar, juz 11, hal.187 darinya; Tafsir al-Burhan, juz 2, hal.6; Tafsir Nur al-Tsaqalayn, juz 2, hal.14; juz 3, hal.402; Tafsir al-Ashfa, juz 2, hal.772; Tafsir al-Shafi, juz 3, hal.323; Tafsir al-Mizan, juz 1, hal.145; juz 14, hal.227.
- Mizan al-Ḥaqq… (Syubahāt… wa Rudūd) (Timbangan Kebenaran… [Kerancuan dan Jawaban]), karya Sayid Ja’far Murtadha Amili, Al-Markaz al-Islāmī Li al-Dirāsāt (Pusat Studi Islam), Cetakan Pertama, 1431 H/2010 M, Bagian Keempat, Pertanyaan No. (146).