Oleh: Syekh Ja’far Subhani
Teks Syubhat (Kerancuan/Kecurigaan):
Penyusun pertanyaan ini mengajukan dua hal: Pertama, bahwa tujuan maksimal dari keberadaan Imam adalah menghilangkan perbedaan. Dengan adanya keyakinan kaum Syiah akan keberadaan Imam yang hidup, bagaimana perbedaan masih bisa dibenarkan? Kedua, telah disebutkan bahwa tiga puluh orang ulama Syiah telah bertemu dengan Imam. Allamah Majlisi menyebutkan bahwa Imam Gaib tidak dapat dilihat, dan barang siapa mengklaim melihat Imam Mahdi as, maka dia telah berdusta. Bagaimana hal ini dapat sejalan dengan klaim bahwa tiga puluh ulama telah melihat beliau as?
Jawaban:
Adapun mengenai masalah pertama, hal itu didasarkan pada anggapan bahwa keberadaan Hujah Ilahiah (Bukti Allah) akan menghilangkan perbedaan secara total, padahal ini tidak benar. Keberadaannya hanya mengurangi perbedaan, bukan menghilangkannya.
Buktinya adalah bahwa Isa bin Maryam as diutus kepada Bani Israil, dan salah satu tugasnya adalah menghilangkan perbedaan di antara mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmah, dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu perselisihkan…”(1)
Adapun mereka yang mencintai kebenaran dan hakikat, mereka mengikuti Isa as dan menerima kebenaran. Tetapi, bagi mereka yang mengikuti hawa nafsu mereka, mereka tetap terjerumus dalam perbedaan dan mengikuti jalan kesesatan.
Karena itu, keberadaan hujah dari Allah Ta’ala (baik itu Nabi atau Imam) tidak berarti hilangnya perbedaan secara mutlak.
Hal ini diperkuat oleh sabda Rasulullah saw, “Bintang-bintang adalah pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam, dan Ahlulbaitku adalah pengaman bagi umatku dari perbedaan. Jika ada satu kabilah Arab yang menentang mereka, niscaya mereka akan berselisih dan menjadi kelompok Iblis.”(2)
Dengan adanya hujah, kita melihat Nabi mengabarkan tentang adanya perbedaan. Ini adalah bukti paling jelas bahwa keberadaan Hujah Ilahiah tidak berarti menghilangkan perbedaan secara total, melainkan meringankannya. Barang siapa yang baik perilakunya akan mengikuti hujah, sedangkan barang siapa yang buruk akan menempuh jalan yang menyimpang.
Semua ini adalah mengenai kaidah umum. Adapun mengenai adanya perbedaan–meskipun diyakini adanya para Imam maksum setelah wafatnya Rasul saw dari masa ke masa–jawabannya adalah:
Pertama, bahwa tugas Imam adalah menjelaskan prinsip-prinsip (uṣūl) yang terkait dengan kehidupan akhirat. Adapun perbedaan dalam masalah-masalah kalam (teologi) yang umum diperbincangkan para ahli kalam (teolologi), menghilangkan perbedaan di dalamnya bukanlah tugas Imam as. Meskipun demikian, jika Imam ditanya, beliau mungkin menjelaskan kebenaran di dalamnya sebagai karunia (tafaḍḍulan), bukan sebagai kewajiban.
Riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab al-Kafi dan Tawḥid al-Ṣhaduq mengenai prinsip-prinsip dan akidah sudah cukup untuk menghilangkan perbedaan dalam masalah akidah yang mendasar. Kita bersyukur kepada Allah Swt bahwa kaum Syiah sepakat dalam prinsip-prinsip ini berkat riwayat-riwayat tersebut.
Adapun perbedaan dalam masalah akal (‘aqliyyah) seperti terpecahnya bagian dalam tubuh alami (tajazzu’ al-juz’) dan kemungkinan atau ketidakmungkinannya, atau al–ṭafrah (lompatan) dan ketiadaannya, hal ini tidak ada hubungannya dengan kedudukan Imamah.
Adapun hukum-hukum (aḥkām), perbedaan di dalamnya adalah hal yang wajar. Sebab, para Imam Ahlulbait berada di Madinah atau dibatasi di Irak dan Marwu (Merv), dan tidak selalu mungkin bagi para fukaha (ahli fikih) untuk selalu menghubungi mereka as. Oleh karena itu, mereka terpaksa melakukan ijtihad berdasarkan riwayat yang mereka miliki. Dengan demikian, perbedaan menjadi hal yang wajar, sebagaimana yang terjadi pada Ahlusunnah terkait riwayat yang mereka miliki dari Nabi saw.
Kemudian, orang-orang yang menerima ajaran dari Imam berbeda dalam kemampuan dan kapasitas intelektual serta ilmiah mereka. Dari situ, mereka berbeda dalam pemahaman mereka terhadap apa yang disampaikan kepada mereka. Dan dengan demikian, pendapat mereka dalam masalah dan hukum pun beragam.
Mengenai Imam Mahdi as
Adapun yang merujuk pada Imam Mahdi as, dan klaim bahwa perbedaan tetap ada meskipun beliau as ada, jawabannya ada dua sisi:
Pertama, bahwa klaim yang disebutkan tentang (30) ulama yang mendapat kehormatan bertemu beliau adalah hal yang tidak pasti, dan tidak disebutkan sumbernya. Seandainya pun ada yang menukilnya, itu adalah khabar wāḥid (riwayat tunggal) yang tidak dapat dijadikan sandaran dalam bidang akidah.
Kedua, bahwa pertemuan para tokoh Syiah dengan Imam zaman mereka mungkin terjadi dalam periode waktu yang singkat, di mana tidak dapat diharapkan darinya dapat menghilangkan perbedaan dalam masalah-masalah syariat yang jumlahnya tak terhingga.
Ditambah lagi,syariat menjadi hidup di bawah naungan penelitian dan diskusi, dan kebenaran adalah hasil dari penelitian (al-ḥaqīqatu bintu al-baḥts). Jika tujuan keberadaan Imam as adalah untuk menampakkan kebenaran dalam setiap masalah cabang yang terperinci, maka itu berarti menutup pintu penelitian dan ijtihad, yang merupakan simbol keaktifan dan kelangsungan syariat. Bukti dari hal ini adalah bahwa perbedaan telah lazim terjadi pada masa hidup para Imam as sebelumnya, sebagaimana telah dijelaskan.(3)
Catatan Kaki:
- QS. al-Zukhruf [43]:63, hal.494.
- Mustadrak al-Ḥakim, jil.9, hal.448; jil.3, hal.149 dan 457; Dzakhair al-Uqba, hal.17.
- Jawaban ini dipublikasikan di situs resmi YM. Ayatullah Uẓhma Syekh Ja’far Subḥani, Pertanyaan 109.