Oleh: Sayid Muhammad Ridha Jalali
Segala puji bagi Allah. Salawat atas nabi-Nya yang terpilih, atas keluarganya yang lurus, dan para sahabatnya yang mulia. Amma ba’du. Sesungguhnya sunah yang mulia adalah sumber Islam kedua, setelah Alquran mulia. Nilai pentingnya terletak pada kandungannya mengenai rincian syariat dan akidah, bahkan ia mencakup warisan umat Islam yang kokoh. Umat Islam seluruhnya telah bersepakat untuk menganggap dan menjadikannya sandaran. Tidak ada yang berbeda pendapat dalam berpegang teguh kepadanya, kecuali sekelompok kecil yang menyerukan di masa awal Islam dengan slogan, “Cukuplah bagi kami kitab Allah” dan melarang pendokumentasian dan penyebaran Sunnah, serta kelompok lain di masa kini yang menyerukan, “Islam adalah Alquran saja.”
Ulama Islam telah menghadapi kedua seruan tersebut, baik di masa lalu maupun masa kini, dalam segala bentuk, dan secara praktis telah mengumpulkan, mendokumentasikan, dan mengabadikan Sunnah yang mulia, sehingga ia tetap ada selama berabad-abad ini dengan segala kemuliaan dan keagungan di dalam kitab-kitab, walhamdulillah (segala puji bagi Allah).
Tidak diragukan lagi, rahasia kekuatan umat Islam terletak pada persatuan mereka dan kebersamaan mereka di sekitar teks-teks Alquran mulia, kitab ilahi yang abadi ini, yang terlindungi dari segala bentuk penyerangan dan penyelewengan, serta berbicara dengan kebenaran yang tidak didatangi keraguan dan kebatilan dari depan maupun dari belakang. Begitu pula, kekuatan terletak pada berpegang teguh pada Sunnah yang mulia, yang merupakan cahaya berkilauan dan nur yang menyala yang menuntun kepada kebenaran. Selama umat Islam berpegang teguh pada kedua sumber ini dan di bawah bimbingan para ulama, mereka akan aman dari penyimpangan dan kesesatan.
Karena itu, musuh-musuh Islam berusaha menjebak umat Islam dengan memisahkan mereka dari sumber Alquran dan sunah, dengan menisbatkan penyelewengan (tahrif) kepada yang pertama (Alquran), dan mencoba memalsukan yang kedua (Sunnah). Bahkan jika seseorang tidak mampu secara terang-terangan menisbatkan ini atau itu, ia akan mencoba menisbatkannya kepada mazhab lain bahwa mazhab tersebut mengatakan adanya tahrif (penyelewengan), padahal seluruh umat Islam di muka bumi, baik dari Syiah, Ahlusunnah, maupun Ibadhiyah, telah bersepakat bahwa Alquran yang beredar di kalangan Muslim adalah Kitab Allah yang diturunkan ke hati Rasul Muhammad saw, yang beliau bacakan kepada umat Islam dan mereka tulis, dan ia adalah yang disucikan dan menjadi rujukan kita hari ini?
Menisbatkan tahrif kepada salah satu kelompok muslim hari ini hanyalah kebohongan dan pelanggaran terhadap kehormatan Alquran, dan setiap upaya dalam bidang ini hanyalah tuduhan bagi yang mencobanya sebagai bentuk deklarasi penghinaan terhadap Kitab yang mulia ini, dan memicu apa yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam, dari kalangan Yahudi dan Nasrani?
Adapun sunah, sebagian pihak yang memiliki maksud buruk telah mencoba meragukannya dengan dalih bahwa mereka sedang melakukan penelitian, penyelidikan, dan studi, serta judul-judul menarik dan bergengsi serupa lainnya. Padahal, di dalam ungkapan-ungkapan mereka yang manis, mereka menyelipkan berbagai jenis racun. Dalam pembahasan ini, kami akan menanggapi satu model dari upaya-upaya tersebut yang dilakukan oleh seorang tokoh sekuler bernama Fauzi Ibrahim dalam sebuah buku berjudul (Tadwin al-Sunnah) (Pendokumentasian Sunah),(1) yang menargetkan sunah yang mulia dengan pemalsuan, kritik, dan keraguan. Kami telah berusaha dengan segala kenetralan dan metodologi ilmiah untuk mengungkap semua upaya pemalsuan, penipuan, dan kekeliruan yang ia gunakan dalam bukunya. Kami berharap telah memberikan sumbangsih kepada ilmu pengetahuan dan sunah Nabawiyah, dan telah mengungkap rahasia-rahasia upaya ini, agar umat Islam terhindar dari keburukannya. Dan Allah adalah Wali (Pelindung) yang memberikan taufik.
Penulis
Daftar Isi
Bab Pertama: Bersama Timbangan Penulisan
- Timbangan Penulisan
- Antara Tujuan yang Dinyatakan dan Niat yang Tersembunyi
- Judul-judul Buku sebagai Kunci Klasifikasi
- Antara Maksud Judul dan Indikator Tujuan
Bab Kedua: Bersama Maksud Judul
- Netralitas atau Keberpihakan?
- Hadis Pelarangan Tidak Dapat Dijadikan Hujah
- Implikasi yang Menyesatkan
- Indikasi Lain
- Kontradiksi!
- Klaim dan Sikap yang Menyendiri!
- Metodologi Dokumentasi
Bab Ketiga: Bersama Indikator Tujuan
- Mentalitas Pemalsuan!
- Penerapan Syariat: Kebangkitan Peradaban
- Syariat Barat, Prinsip, dan Nilai!?
- Permasalahan (Iskaliyat) Syariat Islam
- Sikap Sekularisme terhadap Sunah Nabawiyah
- Antara Alquran dan Sunah
- Sunah Perbuatan (Fi’liyah) dan Kehujahannya atas Sunah Ucapan (Qauliyah)
- Khabar Ahad (Hadis Ahad)
- Kritik Matan (Isi Hadis)
- Antara Ibadah dan Muamalah
- Sistem Pemerintahan dalam Islam
- Kekuasaan Legislatif dalam Islam
- Alternatif Budaya
- Kata Penutup
Pendahuluan
Negara-negara Islam dilanda gelombang kebangkitan, kesadaran, dan pergerakan, yang dibentuk oleh massa muslim, yang beriman pada agama mereka, mencintai tanah air mereka, dan yang telah terbangun dari tidur panjang mereka, setelah absen dan lupa akan komponen-komponen peradaban yang dimiliki Islam, dan setelah terbukti bagi mereka secara nyata, melalui pengalaman hidup, dan penderitaan panjang yang menyakitkan, bahwa semua sistem, undang-undang, dan gaya hidup non-Islam—baik dari Timur maupun Barat—gagal, dan kegagalan semua penyeru sekularisasi, halusinasi Barat, dan modernitas Eropa, dalam memberikan layanan apa pun yang dapat menyelamatkan umat atau mengurangi tragedi mereka.
Dan kembalinya massa kepada peradaban Islam adalah kepulangan yang baik dan mulia, yang mengandung kekuatan tekad, ketegasan, kesungguhan, kesadaran, dan pengetahuan yang utuh.
Penjajah terkejut dengan kepulangan ini, setelah mereka bekerja keras selama satu abad untuk menjauhkan umat Islam dari agama mereka, dan mengosongkan mereka dari segala sesuatu yang menghubungkannya, baik berupa budaya, pemikiran, manifestasi, timbangan, maupun norma-norma, serta menyebarkan semangat kesenangan, permainan, kebanggaan, dan kemalasan di kalangan generasi muda hingga mencapai tingkat terjerumus dalam dekadensi, kerusakan, dan kesia-siaan.
Kepulangan kepada Islam ini telah membangkitkan kemarahan para penjajah–baik Timur maupun Barat–sehingga mereka mengerahkan aparat mereka, baik yang terbuka maupun yang rahasia, dan menggunakan penindasan, tuduhan, serta tekanan politik dan ekonomi, melalui agen-agen mereka yang berkuasa di negara-negara kawasan, dan melalui aparat keamanan, intelijen, dan detektif di dalam dan luar negeri, untuk menghentikan gelombang Islam yang tampak, dan memadamkan cahaya kebangkitan Islam yang mulia.
Salah satu metode yang mereka laksanakan adalah (membangkitkan) sekelompok kecil anak-anak negeri Islam yang termasuk dalam bahasa mereka, dari generasi terpelajar di sekolah-sekolah Barat, atau yang mengikuti kurikulum mereka, dan yang dibesarkan dalam budaya materialistik Barat, yang otak mereka telah dicuci bersih oleh para orientalis, dan dikosongkan dari segala sesuatu yang berbau Islam, serta ditanamkan kecintaan pada Barat dan kekaguman pada segala isinya.
Maka, pada periode inilah mereka didorong untuk menjadi alat distorsi bagi pemikiran pemuda kontemporer di negara-negara Islam, untuk menghalangi mereka bergabung dengan kebangkitan ini, dan karena khawatir mereka menyadari kekuatan luar biasa dan agung yang dimiliki Islam dalam pemikiran, legislasi, moral, dan peradaban.
Maka, para agen baru itu mulai mencemarkan reputasi agama ini dan memalsukan apa pun yang terkait dengannya melalui tulisan-tulisan yang konyol dan palsu, yang penuh dengan kebohongan tentang Islam dan penganutnya, serta fitnah terhadap generasi yang bergerak untuk meninggikan kalimat-Nya. Hampir tidak ada halaman dalam tulisan mereka yang bebas dari tuduhan dan omong kosong terhadap hal-hal yang disucikan oleh umat, dan pelanggaran terhadap pokok-pokok dan cabang-cabangnya, warisan, dan sejarahnya, dengan mentalitas pemalsuan, dan dalam bentuk yang buruk.
Namun, karya-karya mereka menyandang judul-judul yang menipu seperti (Penelitian), (Penyelidikan), (Studi), (Kritik), dan judul-judul menarik serta memikat lainnya bagi pemuda yang mendambakan pengetahuan dan menyukai wawasan.
Pada periode inilah muncul tulisan-tulisan yang secara khusus menargetkan sunah yang mulia karena merupakan salah satu sumber pengetahuan dalam Islam, dengan pena yang bertujuan memalsukan Sunnah dan melumpuhkan peran pentingnya dalam memperkenalkan Islam dan menentukan isu-isu serta hukum-hukumnya.
Di antara yang terbit baru-baru ini adalah buku (Tadwin al-Sunnah) karya Ibrahim Fauzi. Karena judulnya yang provokatif, kandungan yang menyesatkan dan pemalsuan, serta tindakan penulisnya yang melampaui batas dan melanggar norma-norma keilmuan dan timbangan penulisan, maka kami menyajikan pengamatan kami tentangnya melalui bab-bab berikut:
- Bersama Timbangan Penulisan.
- Bersama Maksud Judul.
- Bersama Indikator Tujuan.[]
Bab Pertama: Bersama Timbangan Penulisan
- Timbangan Penulisan
Salah satu hal yang secara implisit disepakati dalam seni penulisan ilmiah adalah timbangan-timbangan yang telah ditetapkan, yang secara praktis dipegang teguh, dan yang diserukan meskipun dengan bibir yang terkatup, dan yang dianggap sebagai (norma) bagi para penulis. Ini diilhami oleh kebutuhan akan suatu sistem dalam apa yang dibaca, sebelum ditulis, meskipun penulis—di era penindasan terhadap timbangan—tidak merasa terikat pada segala sesuatu yang bersifat (konsensus) atau (norma), bahkan jika itu diumumkan. Apalagi jika para pemilik (kepentingan) tidak berusaha mengumumkannya atau mencatatnya?!
Namun, keharusan seperti (pengklasifikasian buku) di perpustakaan, agar buku tersebut menempati posisi yang sesuai, sehingga dapat diambil saat dibutuhkan dengan mudah dan cepat, adalah hal yang tidak dapat diabaikan, untuk tujuan apa pun. Karena hal ini—pada kenyataannya—adalah salah satu ketetapan yang tidak ada perselisihan di dalamnya, jika buku tersebut dimaksudkan untuk beredar secara ilmiah, terutama jika membahas suatu fenomena dengan studi dan analisis, di luar kerangka media massa dan retorika!
Dan jika penulis ingin menjadi peneliti yang metodologis, jauh dari jurang (terorisme intelektual) dan (kesia-siaan dalam berpikir) yang melanda arus sekuler khususnya di dunia Arab, di mana dia menguasai sebagian besar pembaca terpelajarnya, dengan tujuan memalsukan apa pun yang terkait dengan masyarakat berbahasa Arab, atau yang berpikir berdasarkan sumber-sumber budaya dan intelektual mereka, yang mayoritas besarnya adalah muslim!
Meskipun yang paling jelas membedakan buku yang membahas topik intelektual atau warisan, dan dimaksudkan untuk berada di luar kerangka (terorisme), adalah penggunaan gaya (dokumentasi referensial) dan komitmen terhadap objektivitas, sepanjang jalan, dari goresan pena pertama hingga akhir perjalanan.
- Antara Tujuan yang Dinyatakan dan Niat yang Tersembunyi
Kemudian, penentuan tujuan oleh penulis yang dia usahakan dalam menulis, tidak hanya termasuk dalam timbangan tersebut, tetapi juga merupakan keharusan untuk mempercepat interaksi pembaca dengan buku, dan pemahaman kata yang tertulis, dalam konteks posisinya dalam keseluruhan karya, dan dalam baris-baris halaman, serta halaman-halaman sampul buku, sebuah interaksi yang harus diinginkan oleh para penulis, sehingga mereka menyajikannya di depan buku-buku mereka.
Halaman-halaman buku yang membahas masalah ilmiah atau warisan yang meluas, bukanlah arena untuk akrobat, sehingga kecepatan—demikian juga serangan—di dalamnya diperlukan, kecuali dalam bentuknya yang umum dalam tulisan-tulisan kontemporer.
Penulis yang menyajikan (dengan segala kenetralan dan ketidakberpihakan) tidak takut pada pembacanya, sama seperti dokter terampil yang tidak takut tertular penyakit dari pasien yang ia tangani pengobatannya, dan mereka datang kepadanya untuk mencari kesembuhan di tangannya, apa pun jenis penyakitnya, dan betapa pun berbahayanya.
Dan jika seorang dokter merasa khawatir di dalam dirinya dari pasiennya, lebih baik baginya untuk menutup (klinik) dan tidak membebani dirinya dengan iklan-iklan yang muluk-muluk tentang keahliannya dalam pengobatan, terutama jika ia tidak memiliki pengalaman yang cukup, atau spesialisasi, bahkan tidak tahu cara (meraba denyut nadi), bahkan bodoh dalam prinsip-prinsip ilmu, terminologi dokter, dan nama obat-obatan!!
Namun, jika papan nama yang ia pasang di pintu (klinik medis) memuat judul yang besar, yang memikat pasien, padahal ia menangani spesialisasi lain, dan menyembunyikan tujuan non-medis dari pengumumannya yang palsu, maka dalam norma profesi ia dianggap sebagai (penipu), dan pekerjaannya hanyalah (pemerasan) dan (pengkhianatan)!
- Judul-judul Buku sebagai Kunci Klasifikasi
Sesungguhnya judul-judul buku—baik yang utama, maupun yang sekunder yang menjelaskan dimensi yang lebih luas—adalah pintu-pintu yang melaluinya pembaca memasuki kedalaman kota yang tersusun dari kata-kata, baris-baris, dan halaman-halaman, sehingga ia menentukan sikapnya dari buku tersebut melalui pandangannya.
Merupakan suatu (pemerasan) jika penulis mencoba menyiratkan melalui judul sesuatu yang berbeda dari isi buku, dan memikat pembaca untuk membelinya atau membacanya. Ini adalah metode yang buruk dan tercela, yang mengandung pemborosan kata yang membentuk judul, dan mengorbankan pemikiran, serta menimbulkan ketegangan pada pembaca, dan ini adalah jenis (penipuan intelektual dan budaya).
Jika judul (Tadwin al-Sunnah) yang diletakkan penulis Ibrahim Fauzi pada bukunya, dibandingkan dengan tujuan yang ia kejar dari (Pendahuluan) hingga halaman terakhir yang berjudul (Penutup), di mana ia menyatakan tujuannya dengan jelas, akan ditemukan bahwa judulnya (tidak mengungkapkan pentingnya) bagi sebagian orang. Meskipun hal ini dianggap (salah satu kebaikannya), namun itu melanggar timbangan penulisan ilmiah yang kami sebutkan, betapa pun baiknya prasangka kita terhadapnya!
Ilmu-ilmu Islam, dan pengetahuan yang berpusat di sekitarnya, telah membesar dan meluas selama periode yang memisahkan kita dari sumber-sumber dasar. Dan (sunah), karena dianggap oleh umat Islam sebagai salah satu sumber tersebut, bahkan yang paling luas, tidak keluar dari lingkaran kenyataan ini. Sebaliknya, upaya telah difokuskan di sekitarnya, dan untuk menangani isu-isu serta mengumpulkan kekhususannya, telah terbentuk banyak ilmu, yaitu, “Ilmu Hadis), (Ilmu Musthalah Hadis), dan (Ilmu Rijal Hadis), di samping apa yang bercabang dari setiap pembahasan dan spesialisasi, yang menyita upaya yang tersebar, dan yang lain tersebar secara istidradi (meluas) dalam ilmu-ilmu lain.
Salah satu pembahasan penting yang paling menentukan seputar (sunah) adalah pembahasan tentang kehujahannya, dan sejauh mana pengaruhnya dalam menetapkan pengetahuan agama. Sejak dahulu kala, telah terjadi perdebatan besar mengenai hal ini, karena konsekuensi ilmiah langsung yang ditimbulkannya dalam kehidupan umat Islam dan penentuan pengetahuan, baik akidah, syariat, maupun sejarah.
Dan jika ia (hujah), maka pembahasan lain akan mengikuti dalam budaya Islam, dan telah serta masih menyita upaya besar, seperti: Apa itu sunah? dan menentukan cakupannya? dan sejarahnya, untuk menentukan teksnya? Dan dalam aspek ini masuklah sejarah (Pendokumentasian Sunah).
Dari sini kita dapat melihat judul (Tadwin al-Sunnah) menonjol ketika (kehujahan sunah) adalah hal yang sudah selesai, jika tidak, maka pembahasan tentang pendokumentasian akan menjadi kemewahan intelektual, karena tidak ada konsekuensi ilmiah atau praktis yang ditimbulkannya, dan tidak menarik untuk diperhatikan dalam kemacetan budaya saat ini.
Ulama Islam memiliki ketelitian yang memadai ketika mereka memberi judul untuk kehujahan hadis dan sunah dalam bidang (Hujhah al-Syar’iyyah) dan sarana penetapan hukum syara’ dari pembahasan ilmu Ushul Fikih, dan mereka memberi judul untuk pembahasan (Tadwin al-Sunnah) dalam bidang sejarah hadis, dan dalam pembahasan ilmu Musthalah Hadis. Namun, luasnya pembahasannya, dan pentingnya, karena merupakan landasan yang kokoh bagi judul dan pembahasan yang dibangun di atasnya, telah mendorong para penulis untuk membahasnya secara mandiri sejak lama. Karya tertua yang tersedia tentang pendokumentasian sunah adalah kitab Khathib Baghdadi (w.463 H) yang berjudul (Taqyid al-Ilm) yang dicetak dengan tahqiq disertai pendahuluan yang luas dan memadai oleh Dr. Yusuf Ush, dari Suriah. Dan karya terbaru yang menyempurnakan teori-teori yang diajukan di meja penelitian adalah buku (Tadwin al-Sunnah al-Syarifah) yang terbit di Qom pada tahun 1413 H, yang ditulis oleh penulis baris-baris ini.
Adapun buku (Tadwin al-Sunnah) karya Ibrahim Fauzi, yang kami berikan bacaan tentangnya, adalah yang terbaru yang menyandang judul ini, meskipun tidak secara langsung merujuk padanya, kecuali secara parsial, yang menimbulkan kebingungan bagi pembaca.
Jika ucapan Abul Fath Busthi benar (Dan yang pertama dibaca dari kitab adalah judulnya), maka judul buku Fauzi menyiratkan bahwa ia hanya membahas topik tersebut, padahal misi utama yang diangkat buku tersebut adalah hal lain, yaitu: menolak ketergantungan pada sunah sebagai sumber legislasi, dan bahwa ketergantungan padanya menyebabkan—menurut keyakinan penulis—kekacauan dalam fikih Islam, yang mengarah pada keberadaan berbagai mazhab dan sekte yang terpisah-pisah.
Meskipun kami yakin akan kebebasan penulis dalam menentukan tujuan tertentu untuk karyanya, tanpa ada yang berhak untuk membatasinya, namun penyamarannya dengan topeng (Tadwin al-Sunnah) untuk mencapai tujuan yang jauh dari judul ini, adalah hal yang tidak jauh dari keraguan dan provokasi, suka atau tidak suka penulis!
Dari segi peradaban, penerbitan yang menggunakan gaya ini mengarah pada hilangnya identitas budaya di kalangan komunitas ilmiah, karena itu adalah perendahan nilai judul, dan permainan dalam penggunaannya. Pada saat objektivitas penelitian yang dimaksudkan untuk menjadi terarah dan ilmiah menuntutnya untuk bebas dari (penipuan) dan jauh dari (kesia-siaan):
Yang dituntut adalah ketepatan penuh dalam memilih judul, dan penggunaannya, dengan indikasi yang jelas tentang isi, dan penyampaiannya kepada tujuan, dengan kejujuran dan amanah, jika tidak, maka itu adalah contoh (penyesatan budaya) yang dibenci.
Adapun dari segi etika, melewatkan kesempatan bagi pembaca dan perujuk, dan menarik mereka untuk membaca apa yang diinginkan penulis, dengan cara memikat melalui judul buku, adalah tindakan yang dianggap pelecehan terang-terangan.
Apa yang terkait dengan judul (Tadwin al-Sunnah) hanyalah bagian pertama dari buku tersebut, yang terdiri dari tiga bagian, sedangkan bagian kedua membahas (Ilmu Hadis) dan yang ketiga berfokus pada pembahasan hukum syara’ yang bersandar pada sunnah, dengan judul (Sunah Setelah Pendokumentasian).
Total halaman yang terkandung dalam bagian pertama adalah halaman 27 hingga 141, dan bab-babnya ada enam. Dan yang terkait dengan pendokumentasian adalah bab kedua, halaman 37-48, dengan judul (Pelarangan Pendokumentasian Sunah), dan yang ketiga, halaman 48-56, dengan judul (Para Sahabat Menahan Diri dari Pendokumentasian Sunah), dan yang keempat, halaman 57-64 dengan judul (Diperbolehkannya Pendokumentasian Sunah). Jumlah total halaman bab-bab ini hanya 27 halaman!!
Adapun bab pertama berjudul (Definisi Sunah), yang kelima berjudul (Kebohongan atas Nabi saw dan Sebab-sebabnya), dan yang keenam berjudul (Ijtihad dalam Fikih Islam). Keterkaitan bab-bab ini dengan Pendokumentasian Sunnah adalah melalui ikatan bagian pertama dengan bagian-bagian lain dari buku, yaitu kesatuan tujuan yang menyatukan bagian-bagian dan bab-babnya, yang telah kami singgung, dan akan kami bahas secara rinci.
Maka, pembahasan tentang (Tadwin al-Sunnah) yang hanya menghabiskan 27 halaman dari total 384 halaman buku, tidak mewakili isi buku secara keseluruhan sendirian, karena masih tersisa 357 halaman buku yang jauh dari judul!
Apakah pekerjaan seperti ini luput dari pertanggungjawaban?! Atau sesuai dengan norma penulisan ilmiah?! Atau melayani pembaca dengan jujur?! Dan apakah semangat (metode kritis) yang dipegang teguh oleh penulis membolehkan tindakan ini?!
- Antara Maksud Judul dan Indikator Tujuan
Tanggapan kami terhadap buku (Tadwin al-Sunnah) ini berpusat pada dua aspek: judul dan tujuan, yang kami bagi menjadi dua bab:
- Kami memisahkan catatan-catatan yang terkumpul seputar buku terkait dengan pembahasan (Pendokumentasian Sunah), termasuk metodologi dokumentasi penulis, penggunaan sumber, dan apa yang ia kemukakan di bidang ini. Kami mencantumkannya di bawah judul, “Bersama Maksud Judul).
- Kami mengumpulkan catatan-catatan seputar apa yang ia kemukakan terkait tujuan penulisannya dan isu-isu yang ia kejar mengenai otoritas sunah sebagai sumber hukum syariat, serta pemalsuan terhadap apa yang dijadikan sandaran berdasarkan sunah. Kami mencantumkannya di bawah judul (Bersama Indikator Tujuan).[]
Bab Kedua: Bersama Maksud Judul
- Netralitas atau Keberpihakan?
Penulis, meskipun mengklaim menyajikan penelitian dengan segala kenetralan dan ketidakberpihakan, ternyata tidak netral dalam penyajiannya yang berkaitan dengan masalah (Pendokumentasian Hadis) itu sendiri.
Sebagai contoh, kita melihat keberpihakannya jelas ketika ia menyajikan dalil-dalil kedua belah pihak mengenai (Pendokumentasian Sunah), baik yang membolehkan maupun yang melarang. Dia menyebutkan di halaman 42 beberapa dalil yang membolehkan pendokumentasian, dan mencoba di catatan kaki 14 dan 15 untuk melemahkan atau menggugurkan perawi-perawinya.
Namun, ketika ia menyebutkan dalil-dalil pelarangan—yang ia sebutkan lebih dulu—di awal Bab Kedua yang ia khususkan untuk membahas (Pendokumentasian), ia tidak menyinggung satu pun titik kelemahan dalam dalil-dalil pelarangan, maupun celaan pada perawi-perawinya!
Tindakannya yang sama pada judul Bab Kedua, yang seharusnya berisi kumpulan dalil kedua belah pihak, tetapi ia beri judul (Pelarangan Pendokumentasian Sunah), menunjukkan semangat keberpihakan dan ekstremisme pada pihak yang melarang. Demikian pula judul Bab Ketiga berikutnya, yaitu (Keengganan Para Sahabat untuk Mendokumentasikan Sunah).
Adapun Bab Keempat yang berjudul (Diperbolehkannya Pendokumentasian Sunah), dia menyinggung periode setelah abad pertama, padahal ia memulainya dengan mengatakan, “Abad pertama Hijriah telah berlalu dan tidak ada satu pun dari sunah yang didokumentasikan, sebagaimana Alquran dikumpulkan, dan tidak diketahui ada seorang pun dari para sahabat dan tabi’in yang mendokumentasikan lembaran atau menulis sebuah kitab yang berisi hadis-hadis Nabi saw dan sunah-sunahnya, kecuali apa yang diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa mereka menulis untuk diri mereka sendiri hadis-hadis dari Rasul untuk mereka hafal, lalu mereka merusaknya…).
Permulaan ini mengungkapkan dengan sangat jelas keberpihakan penulis pada apa yang ia sukai, yaitu menetapkan ketiadaan pendokumentasian.
- Hadis Pelarangan Tidak Dapat Dijadikan Hujah
Dalil utama yang digunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa Sunnah tidak didokumentasikan pada masa awal adalah hadis Abu Sa’id Khudri, yang disebutkan oleh Muslim dalam Shahih-nya—bukan Bukhari—dan yang digunakan oleh penulis untuk membuka Bab Kedua—halaman 37—dan citranya tetap melekat pada penanya hingga akhir pembahasan, sebagai sandaran yang terpercaya. Padahal, hadis tersebut adalah (mu’allal) (cacat) menurut istilah ulama hadis, sehingga tidak sah dijadikan hujah untuk menetapkan sesuatu.
Hadis tersebut teksnya berputar antara kemungkinan sebagai perkataan Nabi saw, yang disebut (marfu’), dan pada saat itu ia menjadi hujah, dan kemungkinan sebagai perkataan Abu Sa’id sendiri, yang disebut (mauquf), sehingga tidak menjadi hujah! Karena pada saat itu ia termasuk sebagai salah satu pihak dalam perselisihan antara Sahabat yang membolehkan dan yang melarang pendokumentasian, sehingga tidak menjadi hujah bagi pihak yang menentang pelarangan.
Pencacatan hadis—yang menggugurkannya dari kehujahan—karena berputar antara mauquf dan marfu’ disebutkan dalam Musthalah Hadis dan dalam kitab-kitab khusus tentang (Ilal al-Hadits) (Cacat Hadis).
Penulis Ibrahim Fauzi sendiri, mengetahui perbedaan antara istilah (marfu’) dan (mauquf). Ia bahkan mendukung penolakan pendapat bahwa (mauquf yang tidak ada ruang untuk akal di dalamnya memiliki hukum marfu’) dan bahwa itu bukanlah perkataan yang wajib untuk digubris, seperti yang ada di halaman 176 catatan kaki 6. Lantas, mengapa ia sendiri menggubris hadis ini, dan menipu para pembacanya, dengan berulang kali menjadikannya sandaran, dan tidak menyinggung cacat yang merusak kehujahannya ini, baik secara langsung maupun tidak langsung?!
Selain itu, sikapnya terhadap pendapat Ahlulbait as dan posisi mereka mengenai masalah pendokumentasian hadis tidak luput dari kelalaian, karena kita tidak menemukan dalam bukunya rujukan apa pun tentang itu, selain apa yang ia riwayatkan dari khutbah Imam Ali bin Abi Thalib as, bahwa beliau pernah berkhutbah dan bersabda, “Aku bersumpah atas setiap orang yang memiliki tulisan dari Rasulullah, hendaklah ia kembali dan menghapusnya, karena sesungguhnya manusia binasa ketika mereka mengikuti hadis-hadis ulama mereka dan meninggalkan kitab Rabb mereka.” Sumbernya: Sunan Darimi, jilid 1.
Ini disebutkan dalam Tadwin al-Sunnah, halaman 53-54, dan catatan kaki 16. Sebelum kita membahas sanad dan signifikansi hadis tersebut, kami tidak menemukan apa yang dia nukil dari Sunan Darimi, tetapi yang ada adalah dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jilid 9, halaman 52, dan diriwayatkan oleh Qurthubi dalam Jami’ Bayan al-Ilm, jilid 1, halaman 63 dan datang dengan teks berikut, “Aku bersumpah atas setiap orang yang memiliki kitab, hendaklah ia kembali dan menghapusnya…” hingga akhir hadis. Jadi, tidak ada (tulisan dari Rasulullah) di dalamnya. Apakah keberpihakan pada penulis telah melampaui batas hingga menjadi pengkhianatan?!
Dan yang dinukil dari Imam Ali as tidak terbatas pada hadis ini. Sebaliknya, sejumlah besar riwayat yang menunjukkan penekanan beliau pada penulisan dan dorongan beliau untuk melakukannya terkenal dan dinukil dalam semua sumber, dan semuanya menunjukkan bahwa beliau as adalah pelopor di antara yang membolehkan pendokumentasian hadis, dan tidak dinukil darinya yang bertentangan dengan itu selain hadis ini. Pengabaian penulis terhadap semua kumpulan riwayat tersebut, dan hanya menyebutkan hadis ini, menunjukkan apa?!
Adapun hadis ini, telah terbukti batil dan cacat, baik sanad maupun signifikansinya dari banyak aspek yang telah kami buktikan dalam studi kami tentang topik tersebut.(2)
- Implikasi yang Menyesatkan
Keberpihakan penulis pada pihak pelarangan pendokumentasian mengkristal dalam penekanan pada berbagai ungkapan yang mengimplikasikan bahwa pelarangan pendokumentasian adalah kebenaran yang pasti, dan bahwa pembolehan pendokumentasian datang belakangan.
Sebagai contoh, dia membuka Bab Ketiga yang berjudul (Keengganan Para Sahabat untuk Mendokumentasikan Sunah) dan mengatakan di halaman 49, “Para Sahabat setelah wafatnya Nabi saw berpegang teguh pada hadis beliau yang melarang penulisan sunah, sehingga mereka enggan mendokumentasikannya, dan mereka bersikap keras terhadap mereka yang menuliskannya, dan mereka merusak apa yang telah ditulis darinya, dan tidak pernah disebutkan melalui lisan salah seorang Sahabat bahwa Nabi saw telah membatalkan hadis pelarangan penulisannya)..
Kontradiksi yang jelas dalam perkataan ini kami ringkas sebagai berikut:
Pertama, mereka yang menulis sunah, dan “mereka menuliskannya”—menurut ungkapannya—jelas hanyalah dari kalangan Sahabat yang berhubungan langsung dengan Nabi. Mereka bukanlah orang asing yang tiba-tiba muncul di masyarakat sahabat! Dengan kenyataan yang tersirat dalam perkataannya ini, maka judul (Keengganan Para Sahabat untuk Mendokumentasikan Sunah) adalah rapuh dan tidak sesuai dengan kenyataan ini, setidaknya karena orang-orang ini tidak enggan untuk mendokumentasikan!
Apa ruginya bagi penulis jika ia memberi judul bab tersebut dengan (Keengganan Sebagian Sahabat untuk Mendokumentasikan Sunah)?! Tetapi, judul ini tidak memiliki dampak yang kuat seperti judul yang pertama, sesuai dengan cara yang telah dijelaskan oleh penulis!!
Kedua, ucapannya, “Para sahabat berpegang teguh pada hadis yang di dalamnya Nabi saw melarang pendokumentasian sunah) mengimplikasikan bahwa (hadis pelarangan) adalah pasti tanpa keraguan, padahal Anda telah mengetahui—baru-baru ini—bahwa hadis itu tidak pasti karena keraguannya antara bersifat mauquf (perkataan Abu Sa’id) dan bersifat marfu’ (perkataan Nabi saw). Jadi, bagaimana dia mengimplikasikan yang sebaliknya?!
Padahal, tidak ada satu pun kasus yang terbukti di mana (para sahabat berpegang teguh) pada hadis pelarangan yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Kami telah menelusuri semua yang datang dalam bab tersebut, dan kami tidak menemukan yang seperti itu terbukti dalam hadis shahih yang tidak ada cacat di dalamnya.
Para peneliti masalah pendokumentasian telah mengakui penolakan sandaran para Sahabat pada hadis pelarangan, bahkan mereka yang bersikap keras dari kalangan Sahabat dalam masalah pendokumentasian, tidak berani menisbatkan pelarangan kepada Nabi saw. Dan mungkin mereka tidak melakukan itu karena mereka tidak berpegang pada metodologi kritis yang didasarkan pada keberanian dan kegagahan yang tersedia dalam penulisan kontemporer, seperti yang ada dalam (Tadwin al-Sunnah) karya Ibrahim Fauzi.
Adapun penempatan nisbah berpegang teguh pada hadis pelarangan kepada para Sahabat—dengan lafaz keumuman—adalah hal yang bertentangan dengan yang dinukil dari sebagian besar mereka bahwa mereka berpendapat diperbolehkannya pendokumentasian, dan mereka juga menyarankan hal itu kepada Umar, tetapi penulis tidak menyinggung hal itu, bahkan yang tampak dari ungkapannya adalah kebalikannya secara total!
Ketiga, demikian pula, perkataannya, “Tidak ada yang diriwayatkan melalui lisan seorang pun sahabat bahwa Nabi saw telah membatalkan hadis pelarangan), memberikan kesan bahwa hadis pelarangan telah pasti datang dari Nabi saw secara qath’i (pasti), dan untuk mencabutnya harus ada nasikh (pembatal) yang diriwayatkan dari beliau saw. Karena tidak ada nukilan nasakh (pembatalan) dari para Sahabat, maka pelarangan dianggap berlanjut. Padahal, jelas bahwa nasakh adalah cabang dari kepastian adanya pelarangan. Dengan adanya keraguan tentang kepastian pelarangan, maka tidak perlu membuktikan adanya nasikh, karena keraguan tentang kepastian pelarangan sudah cukup untuk meniadakan pengetahuan tentang keberadaannya, selama tidak ada dalil qath’i (pasti) yang mendukungnya. Dan tidak ada gunanya membatalkan sesuatu yang belum pasti.
Dapat disandarkan pada tindakan mereka—bahwa mereka menulis sunah—sebagai deklarasi nasakh—jika pelarangan terbukti—karena tindakan memiliki signifikansi yang lebih kuat daripada sekadar nukilan dalam hal seperti ini, karena tindakan tidak dapat ditakwil (diinterpretasikan) dan tidak mengandung kemungkinan-kemungkinan yang muncul dalam perkataan yang dinukil.
Keempat, andaikan—demi perdebatan—diterima adanya pelarangan pendokumentasian, maka tidak ada pengaruhnya bagi tindakan sebagian Sahabat—yang melarang pendokumentasian—yang berpegang teguh pada hal tersebut. Sebab, dengan adanya pelarangan yang jelas dari Rasul Syariat, tindakan sebagian orang bukanlah dalil independen yang lain, melainkan hanyalah implementasi dari mereka berdasarkan sebatas apa yang mereka pahami dari makna pelarangan, dan mereka mungkin keliru dalam hal itu—karena mereka tidak ma’shum (terjaga dari kesalahan)—sebagaimana penulis sendiri mengakui bahwa tindakan mereka lebih ketat daripada yang dilakukan oleh Nabi saw sendiri, di mana dia mengatakan di halaman 55, “Sesungguhnya lembaran-lembaran yang ditulis pada masa Rasulullah menunjukkan bahwa sikap keras terhadap penulisan sunah jauh lebih ringan pada masa Rasulullah daripada keadaan yang terjadi pada masa sahabat).
Lalu, nilai apa yang tersisa dari tindakan sebagian sahabat dengan dalih (berpegang teguh pada pelarangan Nabi)?! Padahal, mayoritas sahabat tidak mempedulikan hadis pelarangan yang diklaim, bahkan mereka berpendapat diperbolehkannya pendokumentasian secara perkataan dan perbuatan.
- Indikasi Lain
Fenomena berbahaya dalam tindakan penulis, yang menegaskan jauhnya ia dari netralitas ilmiah, adalah perlakuan batilnya terhadap teks-teks yang dinukil, di mana ia menghapus bagian-bagian yang menunjukkan sebaliknya dari tujuannya, atau menambahinya dengan apa yang menguntungkannya!
Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Aswad, dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Alqamah datang membawa sebuah kitab, di dalamnya terdapat hadis-hadis dari Rasulullah, lalu kami menemui Abdullah bin Mas’ud, dan kami menyerahkan lembaran itu kepadanya, dia berkata, ‘Maka dia meminta baskom berisi air…’” hingga akhir hadis yang dia nukil di halaman 54, dan dia rujuk di catatan kaki 10 dari Taqyid al-Ilm, halaman 54, dan Jami’ Bayan al-Ilm.
Namun, yang ada di Taqyid al-Ilm, halaman 54, “Alqamah datang membawa sebuah kitab dari Mekkah atau Yaman, sebuah lembaran yang di dalamnya terdapat hadis-hadis tentang Ahlulbait, keluarga Nabi saw, lalu kami meminta izin kepada Abdullah, lalu kami masuk menemuinya, dia berkata, “Maka kami menyerahkan lembaran itu kepadanya, dia berkata, ‘Maka dia memanggil budak perempuan, lalu dia meminta baskom berisi air…’” hingga akhir hadis.
Diperhatikan bahwa dia menghapus setelah kata (hadis-hadis) kalimat (tentang Ahlulbait, keluarga Nabi saw) yang dengan jelas mengungkapkan isi (hadis-hadis lembaran) tetapi ia menambahkan setelah kata (hadis-hadis) kalimat (dari Rasulullah)!!
Apa yang ditunjukkan oleh penghapusan itu?! Dan apa makna penambahan ini?!
Tidak diragukan lagi bahwa penambahan mengarah pada pembalikan makna ke arah yang diinginkan penulis, yaitu pelarangan Hadis Nabawi tertulis. Tetapi apa nama tindakan ini dalam hukum (Amanah Ilmiah)?!
Jika isi lembaran tersebut adalah tentang Ahlulbait Nabi, dan datang dari Mekkah atau Yaman, dan bukan—secara spesifik—dari Madinah yang merupakan pusat dan sumber hadis, apakah bersandar pada riwayat ini memberikan signifikansi yang diinginkan oleh penulis?! Dan jika isi lembaran tersebut adalah hadis tentang Ahlulbait Nabi, dengan penegasan yang diyakini perawi hadis, lalu apa makna dari penghancuran lembaran tersebut oleh Ibnu Mas’ud dan perusakannya?! Dan apa makna dari penghapusan kalimat ini oleh Ibrahim Fauzi?!
Ini tanpa ragu menunjukkan bahwa Ibnu Mas’ud dan Fauzi bergerak dalam arus hawa nafsu yang sama, yaitu pelarangan pendokumentasian Sunnah, atas nama Ahlulbait!
Contoh lain dari indikasi yang diabaikan oleh penulis: Dalam hadis musyawarah Umar bin Khaththab dengan para sahabat tentang penulisan sunah, di dalamnya disebutkan, “Maka mereka menyarankan agar ia menuliskannya) sebagaimana yang dia nukil di halaman 40. Namun, penulis tidak antusias terhadap kalimat ini yang mengungkapkan pendapat umum para sahabat yang dimintai nasihat, yaitu diperbolehkannya pendokumentasian, dan tidak ada keberatan sama sekali, dan bukan (Pelarangan Pendokumentasian) sebagaimana penulis beri judul bab kedua ini secara spesifik. Demikian pula, kalimat ini menunjukkan kebalikan dari judul Bab Ketiga, “Keengganan Para Sahabat untuk Mendokumentasikan Sunah.”
Meskipun signifikansi kalimat ini terhadap sikap para sahabat—kecuali sebagian kecil—jelas, penulis mengabaikan signifikansi ini, sehingga kita tidak menemukan sedikit pun isyarat tentangnya di seluruh buku! Dan kami tidak berpikir bahwa tindakan ini menunjukkan netralitas dalam penelitian!
- Kontradiksi!
Kami menemukan dalam buku tersebut hasil-hasil yang penulis coba kuatkan dengan keras, padahal dia sendiri mengontradiksinya di bagian lain dari bukunya.
Misalnya, dia mengatakan di halaman 166-167, “Sesungguhnya hadis dari Rasulullah tidak didokumentasikan pada masa sahabat, maupun tabi’in, melainkan didokumentasikan pada masa belakangan berdasarkan hafalan dari lisan para hafiz.”
Makna dari perkataan ini adalah bahwa hadis—di masa ketiadaan pendokumentasian—penjagaannya bergantung pada elemen memori, yang pada gilirannya bergantung pada pengambilan dari lisan (huffazh) (para penghafal). Dan yang dimaksud dengan hafalan adalah menghafal teks hadis di memori, dan itu adalah cara primitif, alami, dan umum untuk teks-teks sebelum fase pendokumentasian. Jika pendokumentasian adalah nukilan dari cara ini, maka berarti dia bergantung pada memori dari penghafal—sesuai dengan yang ditetapkan penulis—.
Namun, dia mengatakan—satu baris setelahnya!—, “Dan sudah jelas—setelah waktu yang lama—bahwa Hadis didokumentasikan dengan makna, setelah kelupaan menyelimuti lafaz.”
Jadi, bagaimana di sana pendokumentasian adalah nukilan dari memori dari para hafiz?! Sedangkan di sini didokumentasikan setelah waktu yang lama, dan dengan makna, dan lafaz telah dilupakan?! Apa yang mengubah memori dari penghafal menjadi pelupa, dan mengubah lafaz menjadi makna?!
Dia mengatakan di halaman 190, “Penilaian Hadis dilakukan berdasarkan pertimbangan yang berkaitan dengan akhlak perawi, dan tidak dilakukan penilaian terhadap pemikiran dan akal para perawi sanad. Perawi mungkin memenuhi syarat yang mereka gambarkan… tetapi ia tidak memiliki tingkat intelektual dan akal yang memadai untuk menilai hadis dari segi makna.”
Dia berpendapat bahwa tingkat akal tidak dipertimbangkan pada perawi, padahal ia mengakui di halaman 191 bahwa mereka, “Mencukupkan bahwa dalam periwayatan Hadis tersedia syarat-syarat berikut: Pertama: Bahwa perawi berakal dan mumayyiz…”
Jika disyaratkan bahwa perawi harus berakal, lalu apa makna dari penerimaan riwayat dari orang yang tidak memiliki tingkat akal?!
- Klaim dan Sikap yang Menyendiri!
Meskipun penulis mencoba—atau diklaim—mengikuti (metodologi kritis pada tingkat keberanian dan kegagahan yang tinggi), namun keberadaan sejumlah klaim yang kosong dari setiap dalil, bahkan bersandar pada sekadar praduga dan perkiraan, tidak sesuai dengan klaim ini maupun upaya tersebut.
- Dia mengatakan di halaman 38 tentang fase Mekkah, “Penulisan apa yang dibicarakan [Nabi] pada fase ini bukanlah pemikiran seorang pun muslim yang jumlahnya sedikit dan sebagian besar dari mereka adalah kaum mustadafin (lemah) yang teraniaya yang tidak tahu membaca dan menulis. Pelarangan pendokumentasian sunah terjadi di Madinah setelah Hijrah, bukan di Mekkah.”
Dia memberikan kesan—di sini juga—bahwa ada pelarangan—yang pasti—yang telah terjadi, dan bahwa penelitian hanya tentang apakah itu terjadi di Mekkah atau Madinah! Dan dengan klaim bahwa umat Islam tidak tahu membaca dan menulis, ia meniadakan bahwa itu terjadi di Mekkah, padahal ia mendapati Alquran telah ditulis di Mekkah, dan oleh sekelompok kecil dari kaum mustadh’afin dan teraniaya itu?!
Dan dari mana penulis tahu bahwa kaum teraniaya pasti tidak tahu membaca dan menulis?! Padahal, pelarangan Quraisy terhadap Abdullah bin Amr untuk menulis segala sesuatu dari Nabi saw mengindikasikan bahwa itu terjadi di Mekkah, karena Quraisy tidak memiliki keberanian seperti itu untuk berbicara dengan perkataan seberat itu di Madinah, pusat kekuatan Nabi saw dan pemerintahannya!
- Dan di halaman 45, setelah menukil hadis dari Ahmad, teksnya, “Puasa yang paling utama adalah puasa saudaraku Dawud…” dia mengatakan, “Dan kami tidak menyangka kecuali dari buatan orang-orang saleh yang membuat hadis.”
Metodologi kritis apa yang membolehkannya berprasangka seperti ini?!
- Dan di halaman 44 tentang lembaran Abdullah bin Amr, dia mengatakan, “Ahmad bin Hambal tidak mengambilnya dalam Musnad-nya dari lembaran tertulis, karena para ulama hadis tidak membolehkan mengambil hadis dari lembaran tertulis kecuali jika diriwayatkan melalui cara mendengar (sama’) dari tsiqah (terpercaya) dari tsiqah dari orang-orang terpercaya hingga berakhir pada sahabat yang mendengarnya dari Nabi. Mereka menamakan hadis yang tertulis dalam lembaran dengan nama (wujadah), dan para fukaha (ahli fikih) telah berhujah atas ketidakbolehan mengambil darinya, meskipun penulisnya diketahui, kecuali jika diambil dengan cara sama’ dan riwayat.”
Meskipun perkataan ini terdiri dari banyak klaim dan kosong dari sumber atau rujukan apa pun, ia bertentangan dengan kenyataan di beberapa tempat:
Klaimnya (bahwa Ahmad tidak mengambil dari lembaran tertulis) tidak didukung oleh dalil. Kebutuhan akan sama’ (mendengar) tidak menafikan bahwa hadis itu tertulis, sehingga dia juga mendengarnya. Padahal, pembatasan jalur periwayatan hanya pada sama’ bertentangan dengan konsensus ulama bahwa jalur tahammul (penerimaan) dan ada’ (penyampaian) hadis ada banyak.
Selain itu, (wujadah) yang ditetapkan sebagai jalur terakhir dari delapan jalur tahammul dan ada’ hadis adalah ketika perawi bergantung pada keberadaan hadis dalam salinan tertulis, dengan syarat bahwa tulisan penulisnya diketahui, dan dipercayai dari segi dhabt (ketepatan) dan shihhah (kesahihan), tetapi perawi yang menemukan (wajid) tidak mendapatkan kitab itu melalui jalur sama’ dan qira’ah (membaca) atau jalur lain, selain wujadah ini.
Adapun penemuan kitab yang tidak diketahui pemiliknya maupun penulisnya dan tidak dipercayai kesahihan dan ketepatannya, itu tidak termasuk dalam pembahasan tentang (wujadah) yang menjadi istilah.
Dan wujadah—dengan syarat-syaratnya yang telah ditetapkan—dianggap oleh sebagian orang sebagai jalur terakhir bagi hadis untuk sampai kepada yang menemukan (wajid), sehingga ia dianggap sebagai penerima (mutahammil) Hadis karena telah sampai kepadanya, dan bahwa itu lebih baik daripada berpegang pada pendapat (ra’yi).
Jadi, tulisan yang ada dengan tulisan tangan yang dikenal, bukanlah hal yang diperselisihkan, melainkan diandalkan oleh mayoritas, dan dengan ini diketahui sisi perdebatan kosong dalam perkataannya, “Meskipun penulisnya diketahui.” Karena jika hal itu tidak memiliki pengaruh, apa yang mendorongnya untuk mengandaikannya?!
- Di halaman 47-48, dia mengatakan—setelah menukil hadis-hadis yang membolehkan pendokumentasian—, “Ini membuktikan bahwa beliau saw memberi izin untuk menulis hadis-hadisnya kepada sebagian sahabatnya, dari kalangan yang tahu membaca dan menulis. Dan perkataan ini—meskipun benar—tidak menjadi bukti yang menetapkan bahwa Nabi saw ingin menjadikan hadis-hadisnya sebagai kitab yang dibaca orang, seperti Alquran. Dan semua dalil mengisyaratkan bahwa beliau memberi izin kepada sebagian sahabatnya dari kalangan yang pandai membaca dan menulis, untuk menulis hadis-hadisnya demi menjaganya, dan orang-orang yang menuliskannya merusaknya jika sudah mereka hafal. Dan seandainya benar bahwa Nabi saw membolehkan penulisan sunah untuk menjadikannya kitab seperti kitab Allah yang dibaca orang, sebagaimana yang terjadi pada abad ke-3 Hijriah, niscaya tidak akan muncul dari pihak sahabat sikap keras dalam melarang penulisannya, yang mencapai derajat pengharaman. Dan sunah telah melewati kurang lebih satu abad dan kaum muslim mengharamkan penulisannya. Adapun lembaran-lembaran, tidak ada satu pun yang sampai kepada orang-orang yang mendokumentasikan hadis pada abad ke-3, dan tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa mereka bersandar dalam mengumpulkan sunah pada salah satu lembaran tersebut.”
- Penyitaan (musadharah)—sebagaimana dikatakan oleh ahli logika—jelas dalam klaim pertamanya dan dalilnya, dengan satu perbedaan, yaitu klaimnya bahwa izin itu diberikan kepada sebagian yang tahu membaca dan menulis, sedangkan dalilnya adalah bahwa izin itu diberikan kepada sebagian yang pandai (yuhsinun) dalam hal itu?! Apakah penulis ingin membedakan antara yang (tahu/mengetahui) dan yang (pandai/mahir)?!
- Adapun pembenarannya terhadap klaim tersebut, apakah ia merasa aman jika para penentangnya mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Nabi saw hanya melarang sebagian sahabat yang tidak tahu—atau tidak pandai—menulis dan membaca?!”
- Dan jika dalil-dalil pembolehan tidak menjadi bukti atas keizinan umum, mengapa dalil-dalil pelarangan menjadi bukti atas pelarangan mutlak dan umum?!
- Adapun klaimnya (bahwa orang-orang merusak apa yang mereka tulis), apakah ia menemukan sumber yang menunjukkan hal itu, yang terhubung dengan masa kenabian, sehingga hal itu dapat dinisbatkan kepada syariat?!
- Dan jika Nabi saw telah mengizinkan kepada sebagian orang—yang tahu atau pandai—mengapa ia tidak ingin itu menjadi kitab yang dibaca?! Bukankah sebuah kitab dicatat kecuali untuk dibaca?!
- Dan apakah merusak kitab—setelah menuliskannya—sesuai dengan logika dan akal yang sehat?! Mengapa penulis tidak mengkritik matan (isi) hadis-hadis yang menyampaikan hal itu—jika memang ada—padahal ia adalah penyeru kritik akal terhadap hadis?!
- Adapun sandarannya pada sikap keras yang muncul dari para sahabat dalam melarang penulisan, itu adalah penggunaan dalil berdasarkan ijtihad mereka yang bertentangan dengan teks Nabi saw dan perintahnya untuk menulis.
- Dan apakah tindakan para khalifah pada abad pertama merupakan bukti yang bertentangan dengan teks Nabi saw sehingga dijadikan sandaran, lalu dia mengklaim bahwa Sunnah telah melewati satu abad tanpa tertulis?!
Ya, hadis memang diperangi dan dilarang penulisannya sepanjang abad pertama, tetapi itu tidak menjadi bukti syar’i atas kebenaran yang mereka lakukan, selama hadis adalah hujah (bukti) berdasarkan teks Alquran, dan penekanan Rasul saw untuk menjaganya, menyebarkannya, dan menyampaikannya.
Padahal, mereka yang bersikap keras terhadap pendokumentasian sunah hanyalah segelintir kecil—dari para penguasa dan pendukung mereka—, sedangkan umumnya sahabat mendukung pendokumentasian, melaksanakannya, dan menekankannya, melalui karya, tulisan, perkataan, dan pernyataan mereka.
Adapun klaimnya terhadap para pengumpul hadis pada abad ketiga, itu kosong dari setiap dalil. Bahkan, sandaran mereka pada lembaran-lembaran, kitab-kitab, dan tulisan-tulisan adalah hal yang diketahui dan tidak perlu pernyataan, setelah semua kehati-hatian dan penekanan mereka pada pendokumentasian dan penulisan.
Penulis mengulangi beberapa klaim ini di halaman 57, dan dia mengatakan di halaman 145, “Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pendokumentasian sunah, di awal abad ke-2 Hijriah, tidak ada satu pun kitab, lembaran, atau dokumen yang berisi sesuatu dari hadis-hadis Nabi saw di tangan kaum muslim. Adapun apa yang dikatakan tentang sebagian lembaran yang ditulis pada masa Rasulullah saw, itu telah punah, dan tidak ada satu pun yang diketahui darinya. Oleh karena itu, para perawi hadis dalam mengumpulkannya bersandar pada riwayat dan memori dari mereka yang menghafalnya.”
- Apakah sandaran pada riwayat dan memori dari mereka yang menghafalnya mengharuskan kepunahan kitab-kitab sebelumnya?!
- Atau adakah indikasi dalam hal itu tentang tidak adanya kebutuhan akan penulisan?!
- Dan apakah penulisan bertentangan dengan hafalan di memori?! Bagaimana, padahal ia telah mengandaikan bahwa kitab-kitab itu ditulis agar terjaga, lalu jika sudah terjaga dirusak—sebagaimana ia klaim—?!
- Dari mana datangnya semua klaim panjang lebar ini, tentang sejarah dan peristiwanya, tentang Hadis, dan tentang para ahli Hadis?!
- Apakah (metodologi kritis) membolehkan klaim seperti ini tanpa dalil?! Padahal, penelitian ini tentang hal yang memerlukan nukilan dan riwayat untuk mengetahuinya, kecuali jika kita meninggalkan metodologi untuk berpegang pada keberanian, pelanggaran, dan melampaui batas terhadap warisan dan kekayaannya!
- Dan di halaman 168, dia mengatakan, “Setelah penulisan meluas dan semakin banyak yang menulis, dan muncul kitab-kitab yang di dalamnya terdapat hadis tertulis, maka diperbolehkan mengambilnya jika yang mengatakannya mengizinkannya, dan mereka menamainya (Ijazah). Dan fase yang dilewati hadis ini, yang dinamakan Fase Ijazah, datang setelah berlalu satu abad yang di dalamnya penulisan hadis diharamkan).
Jika benar ada hubungan antara keberadaan kitab-kitab dan apa yang dinamakan Ijazah, maka itu meruntuhkan klaimnya tentang pengharaman penulisan hadis di abad pertama dan ketidakwujudannya di dalamnya. Karena kami telah membuktikan dalam penelitian terperinci adanya (Ijazat) yang dikeluarkan di awal paruh kedua abad pertama.(3) Jadi, kitab-kitab telah beredar sejak saat itu, dan fase pendokumentasian lebih awal dari yang ia asumsikan.
Adapun perkataannya setelah itu di halaman 169, “Kemudian setelah fase ini menyusul fase baru, yaitu diperbolehkannya menukil hadis dan mendokumentasikannya dalam kitab tanpa Ijazah dari siapa pun). Ini menunjukkan kedangkalan pengetahuannya tentang sejarah warisan Islam, dan metodologi para tokohnya dalam menjaganya dan mengedarkannya. Karena merujuk pada kitab-kitab tanpa sama’ (mendengar) atau Ijazah, atau jalur tahammul lainnya selain keberadaan kitab, dinamakan (Wujadah). Namun, wujadah ini tidak dianggap sahih olehnya, sebagaimana dia sebutkan di halaman 44 bahwa para fukaha berhujah atas ketidakbolehan mengambil darinya.
Adapun (Ijazah) tetap menjadi keharusan dan beredar hingga masa yang belakangan, dan masih penting untuk melaksanakan dampak warisannya.
- Dan ia mengatakan di halaman 167, “Dalam kitab-kitab hadis terdapat hadis-hadis yang rapuh dalam susunan dan strukturnya, dan tidak dapat dibayangkan keluar dari Nabi saw padahal beliau adalah orang yang paling fasih di antara yang fasih, dan Alquran turun melalui lisannya, dan beliau berada pada puncak kefasihan.”
Ini adalah nada yang sebelumnya pernah dimainkan oleh Mahmud Abu Rayyah, dan itu adalah klaim kosong yang telah kami bantah dalam studi kami tentang (Tadwin al-Sunnah al-Syarifah).
- Dan dia mengatakan di halaman 145-146 tentang ilmu Hadis, “Itu adalah kumpulan pembahasan yang muncul pada abad kedua dan ke-3 Hijriah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari pendokumentasian sunah pada masa Islam awal.”
Meskipun keterlambatan munculnya ilmu Hadis tidak menunjukkan keterlambatan pendokumentasian hadis, perkataannya ini menunjukkan ketidaktahuannya tentang makna yang benar dari ilmu-ilmu ini, karena sebagian besar jenisnya hanya berkaitan dengan hadis itu sendiri terlepas dari apakah ia didokumentasikan atau tidak.
Padahal, munculnya ilmu dalam bentuk yang terorganisir dan didokumentasikan, tidak menafikan keberadaannya dalam realitas, meskipun belum didokumentasikan, dan ketidakdokumenannya tidak menunjukkan ketidakberadaannya. Yang terlambat adalah pengumpulan kaidah-kaidahnya, penemuan, pengorganisasian, dan penyusunannya dalam bentuk ilmu mandiri. Misalnya, ilmu Nahwu—meskipun pemunculan dan penampakannya sebagai ilmu mandiri dengan kaidah, prinsip, dan kitab-kitabnya—sudah ada dalam inti bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab dalam bahasa mereka, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya.
Jadi, bagaimana ia mengklaim bahwa masalah-masalah yang dihasilkan dari pendokumentasian adalah penyebab munculnya ilmu Hadis?!
- Metodologi Dokumentasi
Cara yang dikenal dalam pendokumentasian informasi adalah bersandar pada penukilan teks dengan merujuk pada sumber-sumber yang merupakan sumber kepercayaan dan keyakinan, dan tujuannya adalah memotong jalan bagi para penentang, memastikan isi, dan memberikan ketenangan terhadap hasilnya.
Diusahakan untuk menentukan teks secara akurat, dan dalam kerangka yang ditandai dengan tanda kurung, dengan isyarat yang jelas terhadap kata-kata yang hilang atau diganti, dan perujukan ke sumber-sumber yang ditentukan juga, serta penetapan posisi teks di dalamnya dengan jilid dan halaman pada umumnya, dan bab dan pasal kadang-kadang. Semua ini, untuk mencapai tujuan yang disebutkan dengan ketepatan yang memadai dan kecepatan yang lebih tinggi.
Cara ini menjadi lebih ditekankan jika studi tersebut membahas topik ilmiah atau warisan, di mana harus ada kesaksian berdasarkan nukilan dan tindak lanjutnya.
Inilah yang hilang dari buku yang membahas kisah dan riwayat, atau menyajikan ide untuk hiburan, atau menyebarkan informasi dan tidak dalam rangka diskusi dan penelitian.
Topik sejarah warisan seperti (Tadwin al-Sunnah) harus menggunakan metodologi dokumentasi yang berlaku di kalangan ulama dan peneliti, karena pada dasarnya bersandar pada teks dan riwayat yang membutuhkan dokumentasi dan ketelitian, serta sumber dan rujukan. Adapun memasuki topik ini, dan melanggar norma-norma cara yang umum, akan menyebabkan ketidakpercayaan terhadap karya tersebut, dan kegagalannya secara ilmiah.
Demikianlah penulis (Tadwin al-Sunnah), dengan keberanian yang besar, mengikuti metodologi yang kehilangan banyak unsur penelitian ilmiah yang kokoh, sehingga tidak ada sumber yang ditandai, tidak ada posisi yang ditentukan, dan tidak ada teks yang akurat.
Adapun penyebutan sumber tanpa menyebut penulisnya, terutama pada sumber-sumber yang tidak dikenal, serta penisbatan sebagian sumber kepada penulis lain, dan juga penyebutan penulis tanpa nama kitab, dan penyebutan nama kitab secara salah, adalah hal-hal yang membuat pembaca berputar-putar dalam ruang kosong dan labirin.
Di bawah ini kami sebutkan sejumlah kontradiksi yang kami catat, dan catatan kami terhadapnya:
- Dia mengatakan di halaman 272, “Diriwayatkan oleh Daraquthni dalam kitab Nashb al-Rayah.” Dicatat bahwa Nashb Ar-Rayah adalah karya Zaila’i, dan tidak diketahui Daraquthni memiliki kitab dengan nama ini.
- Di halaman 33, dia menukil dari, (Al-Manaqib: Al-Makki) dan di halaman 318 catatan kaki 27, “Al-Makki”{ saja, demikian pula halaman 243 catatan kaki 2 dan halaman 244 catatan kaki 6. Sementara di halaman 196 kita menemukan (Al-Makki): Muhammad bin Ali Makki wafat tahun 386 H) dan tidak menyebutkan kitabnya baik di teks maupun catatan kaki; dan al-Makki ini tidak disebutkan dalam daftar nama tokoh (indeks yang rapuh yang ia letakkan di akhir buku) sehingga semua referensi tentangnya dapat dikumpulkan dan disatukan!
- Di halaman 232 catatan kaki 83 ia menyebutkan sumber dengan nama (A’lam al-Nubala’) tanpa penulis, demikian pula di halaman 257 catatan kaki 48, namun di halaman yang sama catatan kaki 49 ia mengatakan, “Siyar A’lam al-Nubala’, karya Dzahabi)!
- Di halaman 272 catatan kaki 4, dia mengatakan (Jashshash, Thahawi) tanpa menyebutkan kitab-kitab mereka, dan di halaman 272 catatan kaki 4, (Suyuthi) tanpa menyebutkan kitabnya, padahal Suyuthi memiliki puluhan karya.
- Dia mengatakan di halaman 294 catatan kaki 55, (Mughni) tanpa menyebutkan penulisnya.
- Pengabaian penyebutan jilid, atau halaman, atau keduanya, adalah hal yang tidak luput dari setiap halaman buku.
- Penisbatan kitab kepada bukan penulisnya: di halaman 59 catatan kaki 2: Jami’ Bayan al-Ilm, karya Ibnu Abdullah, padahal penulisnya adalah Ibnu Abdil Barr. Dan di halaman 203 catatan kaki 8 terjadi kekeliruan yang aneh, di mana dia mencoba memberikan biografi untuk Ibnu Abdil Barr, penulis (al-Isti’ab), dia mengatakan, “Ibnu Abdil Barr, adalah Imam Abdullah bin Abdil Karim bin Farrukh wafat tahun 264 H yang dikatakan Ibnu Hambal tentangnya: bahwa dia hafal tujuh ratus ribu hadis dari Rasulullah.” Padahal, penulis (al-Isti’ab) adalah Yusuf Qurthubi, wafat 463 H. Di halaman 229 catatan kaki 72, dia mengatakan, “Terdapat dalam al-Ishabah karya Ibnu Abdil Barr.” Demikian pula catatan kaki 74. Padahal dia telah menukil dari (al-Ishabah karya Ibnu Hajar) berulang kali, dan Ibnu Abdil Barr tidak memiliki kitab bernama (al-Ishabah).
- Di halaman 203, dia mengatakan, “Pensyarah Muslim berkata: Al-Tsubut (bahwa…). Pemberian titik-titik menunjukkan bahwa dia tidak tahu bahwa sumbernya adalah syarah (syarh) (Musallam al-Tsubut) yang merupakan kitab ushul (prinsip fikih), yang terkenal dan umum beredar! Tetapi dari mana dan bagaimana penulis menukil teks ini, padahal ia tidak tahu nama sumbernya?!
- Di halaman 43, dia meriwayatkan dari Ibnul Atsir dalam (Usdu al-Ghabah), tetapi di catatan kaki 20, dia merujuknya dari (al-Mustadrak karya Hakim, Taqyid al-Ilm, dan Jami’ Bayan al-Ilm). Padahal, para penulis semua kitab ini hidup berabad-abad sebelum Ibnul Atsir!
Tindakan-tindakan seperti ini menimbulkan keraguan pada pembaca tentang kebenaran apa yang dinukil penulis. Meskipun dia menjadikannya sebagai metodologi khususnya karena ia memiliki keberanian yang besar, itu adalah pelecehan terhadap prinsip-prinsip dokumentasi ilmiah dalam penggunaan sumber. Hal itu bahkan dianggap penting oleh Barat dalam studi tentang topik penting seperti pendokumentasian sunah.
Tindakan-tindakan ini hanya menunjukkan jauhnya penulis dari sumber-sumber yang dia klaim menukil darinya, dan tidak ada kepercayaan yang tersisa pada pandangan-pandangan yang ia dasarkan pada tindakan dangkal yang gugur secara ilmiah seperti ini.
Dan ada tindakan-tindakan yang dianggap sebagai kejahatan dan pengkhianatan! Di antaranya:
- Dia mencoba menukil dari Mazhab Imamiyah Itsna Asy’ariyah di banyak tempat dalam bukunya, dan menggunakan fikih mereka sebagai bukti, dan tampak seolah-olah dia memahami warisan mereka dan terhubung dengan mereka. Namun, dia tidak merujuk dari sumber-sumber mereka kecuali 4 kitab: di halaman 34 kitab (Amali al-Murtadha) di mana dia menukil darinya di halaman 68 tentang urusan berita Jahiliah, padahal itu adalah kitab terkenal dalam sastra dan kuliah. Dan kitab (Muruj al-Dzahab, karya Mas’udi) yang merupakan kitab sejarah kuno yang tidak memiliki corak mazhab tertentu. Dia menyebutkan di halaman 160 catatan kaki 4, dan halaman 129-130 kitab (al-Kafi, karya Syekh Kulaini). Dan yang terakhir yang dia nukil darinya adalah kitab (Al-Washaya wa al-Mawarits, karya Karbasi).
Apakah sumber-sumber tentang mazhab Imamiyah terbatas pada ini?! Dan apakah ini sumber-sumber terpenting Fikih Imamiyah?! Padahal, sumber-sumber tersebut memenuhi perpustakaan dan mata karena banyaknya dan penyebarannya!
- Dia mengambil sikap yang sama terhadap Mazhab Zaidiyah. Meskipun dia menyebutkan kitab (al-Majmu’) karya Imam Zaid Syahid, dia tidak menggunakan sumber-sumber Zaidiyah dalam fikih sama sekali, meskipun banyak dan sebagian besarnya telah dicetak dan beredar!
Sikap penulis terhadap sumber dan penulis, serta cara penyebutannya, mengisyaratkan bahwa dia tidak merujuknya secara langsung, melainkan menukil melalui sumber-sumber lain. Oleh karena itu, dia jatuh ke dalam kumpulan kontradiksi yang salah ini. Lalu, bagaimana kepercayaan dapat dipertahankan terhadap apa yang ia nukil, bahkan terhadap teks-teks yang spesifik?!
Adapun kesalahan cetak, dia tidak dipertanggungjawabkan atasnya, karena itu adalah keharusan dalam percetakan Arab, seperti keharusan yang tidak perlu dalam sajak puisi. Namun, tidak ada salahnya menyebutkan apa yang telah kami catat, sebagai kontribusi untuk memperingatkannya, dan kami menempatkan koreksi dalam tanda kurung.
- Halaman 42: Rajih (Rafi’)
- Halaman 44: Umar (Amr)
- Halaman 53: Jabr (Jubair)
- Halaman 63: Mim (Nu’aim)
- Halaman 107: Yaswu’ (Yusya’)
- Halaman 129: Najran (Harran)
- Halaman 166, catatan kaki 56: Al-Fadhil (Al-Fashil)
Adapun kesalahan yang dia lakukan akibat jauhnya dia dari budaya Islam dan warisannya, kami mencatat di antaranya:
- Di halaman 88 dan 89 ketika menyebutkan (Asiyah) istri Firaun yang namanya disebut dalam kisah Musa, dia mencoba mencela hadis, dia mengatakan, “Bukankah ia yang Alquran katakan bahwa ia menggoda (Yusuf) dari dirinya sendiri dalam ayat 23 dan 24 dari surah Yusuf). Diperhatikan bahwa dia mencampuradukkan Firaun Musa dan Firaun Yusuf, dan penulis tidak peduli dengan jauhnya kedua masa—masa Musa dan masa Yusuf—selama dia menemukan dalam kesamaan nama celah yang membawanya untuk mencela hadis, jika tidak menargetkan Alquran juga!!
- Di halaman 104 ia mengatakan, “72 orang dari Bani Hasyim terbunuh bersama Husain, di antara mereka 17 orang dari anak-anak Fathimah). Dia mengulangi perkataan itu di halaman 75, dia mengatakan, “72 orang dari Bani Hasyim—keluarga Nabi saw—terbunuh di dalamnya, di antara mereka 16 orang dari anak-anak Fathimah.” Yang perlu dicatat, para syuhada di Karbala yang berjumlah 72 orang bukanlah semuanya dari Bani Hasyim, melainkan dari berbagai kabilah Arab lainnya, dan para mawla (budak yang dimerdekakan). Adapun yang dari Bani Hasyim adalah jumlah yang lain, yaitu 17, dan di antara mereka ada sejumlah anak-anak Fathimah as, bukan semuanya dari anak-anaknya![]
Bab Ketiga: Bersama Indikator Tujuan
- Mentalitas Pemalsuan!
Kaum sekuler (ilmaniyyun) berusaha untuk memalsukan (tazyif) (Peradaban Islam) dan segala yang terkait dengannya, baik berupa akidah, syariat, sumber, warisan, sejarah, masa lalu, dan masa kini, serta berusaha menggambarkan masa depan yang kelam dan suram baginya.
Mengapa semua ini?!
Para terpelajar di universitas-universitas (Barat)(4) menemukan diri mereka di hadapan peradaban yang penuh dengan godaan, penyebab kemakmuran dan hiburan, serta baru dalam pemikiran, imajinasi, dan tradisinya, bahkan dalam hal makanan dan pakaian.
Peradaban Barat, apa pun dasarnya, apakah dibangun di atas prinsip atau tanpa prinsip, dan apa pun tujuannya, apakah mulia atau jahat dan licik, serta apa pun cara pelaksanaannya, apakah benar atau salah, telah diikuti oleh orang Barat dan mereka tumbuh di dalamnya.
Orang-orang Timur—khususnya para pemuda yang berpendidikan di Barat dan dengan dasar serta metodenya—menemukan kenikmatan dalam hal baru ini, sebagaimana pada setiap hal baru. Mereka pun beranggapan bahwa peradaban ini adalah penyebab kemajuan ilmiah dan teknologi Barat, kemakmuran arsitektur dan ekonomi di Barat, dan rahasia kekuatan militer yang luar biasa yang telah mereka capai, dan di balik itu semua adalah semua tatanan administrasi, keamanan, dan sistem…
Orang-orang Timur kembali ke tanah Timur—terutama Timur Tengah yang sebagian besar dihuni oleh Muslim—untuk melihat semua manifestasi bertentangan dengan apa yang ada di tanah Barat, dan untuk menemukan keterbelakangan, keonaran, dan ketidaktersisteman dalam segala hal. Maka, mereka tidak ragu bahwa penyebab keterbelakangan ini terletak pada (Peradaban Islam) yang dianut oleh umat Islam dan agama yang mereka yakini.
Daripada memikirkan penyebab perbedaan ini antara Barat dan Timur, dengan membaca prinsip-prinsip perbedaan antara kedua peradaban (Timur dan Barat) dengan ketenangan para ilmuwan, netralitas para pemikir, dan keinginan tulus yang harus dimiliki oleh mereka yang menghakimi isu-isu penting yang menyentuh sejarah bangsa, mereka justru membaca segala sesuatu dengan kacamata buatan (Barat) dan dengan timbangan serta sudut pandang yang ditetapkan oleh universitas-universitas Barat tempat mereka belajar metodologi berpikir, studi, dan penyelidikan.
Dalam sebuah lompatan kualitatif, mereka mengabaikan materi-materi siap pakai untuk dipelajari tentang kondisi kemunduran yang parah di kalangan umat Arab secara khusus, yang disebabkan oleh apa yang terjadi hari ini dan di masa lalu yang dekat di negara-negara Islam di tangan orang Barat dan agen-agen mereka, berupa pelanggaran mencolok terhadap peradaban, pemikiran, warisan, dan terhadap (manusia) yang berpikir, atau terhadap inti dari setiap kemakmuran dan kemajuan di tanah Timur dan di kalangan penduduk Timur!
Materi yang kita jalani ini, dengan sumber-sumber, mata air, sebab-akibat, komponen, dan hasilnya, sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap peneliti dan pelajar untuk mencapai, dengan cara yang paling mudah dan tercepat, pengetahuan tentang penyebab kemunduran peradaban yang menimpa umat.
Alih-alih melakukan itu, kaum sekuler mengalihkan moncong studi dan senjata penyelidikan serta upaya kritis mereka ke (Islam), sejarahnya, warisannya, sumber pemikirannya, prinsip akidahnya, cabang hukum dan syariatnya, serta sistem administrasi, peradilan, dan pemerintahannya. Mereka mengklaim bahwa mereka mencari (rahasia keterlambatan umat) dalam (eksistensi Islam) dan warisannya, dan bahwa Islam adalah penyebab kemunduran peradaban ini di kalangan muslim, khususnya Arab, serta kemerosotan berbahaya dalam akal, pekerjaan, kehidupan, dan sejarah mereka. Mereka mengklaim bahwa alasan utama keterlambatan mereka dari kemajuan peradaban yang deras—yang terwujud dalam peradaban Barat kontemporer—adalah kepatuhan mereka pada agama ini, sumber-sumbernya, cara berpikirnya, dan syariatnya!
Dalam penelitian dan studi mereka, alih-alih memiliki nurani seorang ilmuwan yang menyelidiki dan kritikus yang netral, mereka mendasarkannya pada prasangka buruk terhadap segala sesuatu yang bersifat Timur atau terkait dengan agama ini. Mereka membalikkan semua kebaikan yang ada di dalamnya menjadi keburukan, atau menisbatkan kebaikannya kepada pihak lain. Bahkan, mereka berusaha menuduhnya dengan hal-hal buruk dan keji yang bersih darinya, untuk mencapai kesimpulan yang telah mereka rumuskan, tetapkan, dan sepakati sebelumnya untuk penelitian dan studi tersebut.
Dalam menjalankan kritik, dengan mentalitas pemalsuan terhadap segala sesuatu yang berbau Islam, mereka mengikuti jejak guru-guru mereka di universitas-universitas Barat, yaitu para orientalis yang memulai metodologi ini lebih dari setengah abad yang lalu, membawa mentalitas pemalsuan terhadap segala sesuatu yang Islami, mulai dari pemikiran dan syariat, hingga tradisi dan karakter.
Perbedaan antara lembaga-lembaga orientalis dan arus sekuler adalah bahwa yang pertama individu-individunya menulis dalam bahasa asing yang jauh dari jangkauan pemahaman dan tangan di tanah Islam, kecuali setelah murid-murid menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Adapun kaum sekuler ini, mereka bangga bahwa mereka adalah (berbahasa Arab) yang menulis dalam bahasa ibu bangsa mereka! Dan mereka menunaikan tugas dengan mudah, cepat, dan dengan segala keterusterangan, keberanian, dan kegagahan! Karena mereka menganggap bahwa mereka memiliki hak untuk berekspresi dan campur tangan dalam urusan yang menyentuh peradaban bangsa mereka, meskipun mereka bertindak sebagai (pengganti) para orientalis dan orang Barat, dan menjalankan metodologi mereka dalam memalsukan segala sesuatu yang terkait dengan peradaban dan tradisi bangsa ini.
Sementara umat memandang studi-studi yang dikeluarkan oleh orang Barat yang menyerang Islam dan warisannya dengan pandangan kecurigaan dan kritik, kaum sekuler berusaha menganggap setiap kritik yang ditujukan kepada mereka sebagai (terorisme) dan menuduh setiap pemikir yang menentang mereka dengan fundamentalisme dan memiliki (mentalitas takfiri).
Adapun keterjerumusan mereka dalam rawa (mentalitas pemalsuan), pemujaan mereka terhadap Barat, kekaguman mereka terhadap peradaban Barat, dan serangan mereka terhadap umat Islam, agama, peradaban, warisan, dan tradisinya, dengan metode yang dangkal dan cara pemalsuan yang rendahan, hal itu bagi mereka adalah (kebebasan berpikir), (metodologi kritis yang berani), (modernitas), dan (keterbukaan)!
Kami tidak bermaksud melarang mereka menjalankan cara berpikir tertentu, agar kami tidak dituduh merampas kebebasan berpikir atau memonopoli pengetahuan. Namun, kami bertanya-tanya: Apa alasan upaya mereka untuk memonopoli pengetahuan, dan pemalsuan mereka terhadap setiap pembacaan yang tidak sejalan dengan pandangan mereka, bahkan jika itu mewakili kebenaran pahit bagi selera mereka?!
Padahal, orang Barat sendiri telah merumuskan cara dan metodologi penelitian dalam dokumentasi dan penggunaan sumber, dan itu dianggap primer dan esensial untuk setiap studi yang diinginkan penerimaan dan popularitasnya, dan yang berusaha mencapai hasil yang benar. Oleh karena itu, harus sejalan dengan metode positif yang diakui dan norma-norma yang diterima. Bukanlah keberanian, dan bukan pula kebebasan yang menuntut seorang peneliti untuk melampaui cara dan metodologi ini, bahkan dengan dalih membaca Islam dan warisannya, dan itu bukanlah hal yang patut dibanggakan atau disombongkan, bahkan di mata tuan-tuan Barat!
Pengendalian semangat Barat dan dominasi mentalitas pemalsuan atas kaum sekuler menyebabkan mereka selalu berusaha untuk memaksakan kesimpulan tertentu—sebelumnya—pada (bukti-bukti) dan mengarahkan bukti-bukti ke kesimpulan yang telah digambarkan tersebut, dan bukan mengikuti bukti ke mana pun ia mengarah, dan menerima apa yang ditunjukkannya atau apa yang dicapainya.
Kepatuhan pada kesimpulan dengan mengorbankan bukti dan signifikansinya yang pasti, ditolak oleh setiap orang yang berpikir secara netral dan terlepas dari hawa nafsu.
Karya-karya yang dikeluarkan oleh arus sekuler tidak luput dari jatuh ke dalam jurang seperti ini, dan salah satu contoh modernnya adalah kitab (Tadwin al-Sunnah) karya Fauzi.
Tujuannya: Memalsukan Syariat!
Upaya serius dari studi sekuler adalah normalisasi Peradaban Islam agar sesuai dengan pola-pola peristiwa Barat, dan bukan sebaliknya. Inilah sebab penyimpangan dalam metodologi yang dijalankan oleh upaya sekuler Arab dengan kedok penelitian tentang Islam, membaca sumber-sumbernya, dan wacananya dalam cara modern.
Fauzi telah mengungkapkan tujuannya dalam pendahuluan: memalsukan seruan untuk menerapkan syariat Islam, dengan anggapan bahwa Syariat tidak layak diterapkan. Tujuan ini menyertainya sepanjang buku, di semua bagian dan babnya, hingga kesimpulan akhir.
Beberapa kritikus menganggapnya, “berani dan gagah) dan (kritikus metodologis) karena ia tidak berusaha menyajikan sesuatu yang membenarkan tujuan ini, atau menentukan sasarannya, tetapi karena ia (membawa pembaca langsung ke jantung masalah yang ia tangani).
Dia mengatakan di halaman pertama pendahuluannya, halaman 11, “Dunia Islam hidup dalam kehilangan dan kegelisahan intelektual, keterpecahan sosial, dan perpecahan di antara rakyat yang sama, sementara dunia Barat—yang menempuh jalan ilmu, peradaban, kebebasan berpikir, dan terbebas dari sisa-sisa masa lalu—menikmati stabilitas intelektual, kemakmuran ekonomi, dan kemajuan ilmiah, dalam semua bidang kehidupan.”
Kebanggaan kaum sekuler dengan kemajuan yang dicapai Barat, dan apa yang mereka sebut (nikmat) jika asumsi ini benar, adalah seperti kebanggaan orang impoten dengan alat vital ayahnya, atau orang mandul dengan anak madunya.
Di sini kita menemukan pencampuradukan yang disengaja antara (ilmu), (kebebasan berpikir), dan (kemajuan ilmiah).
Adapun perkataannya, “di semua bidang kehidupan,” apakah dia tahu bahwa orang Barat sendiri menolak klaim ini, dan menyatakan bahwa kemajuan ilmiah dan teknologi mereka justru mengorbankan kemanusiaan, etika, dan nilai-nilai!
Lalu, apa yang dimaksud dengan (Dunia Barat)?! Apakah itu kelompok elit yang berkuasa di negara-negara Barat—baik mereka yang memiliki kekuasaan, pemilik kartel, kepala modal, saham, bank, pabrik, dan perusahaan, yaitu mereka yang menikmati semua keistimewaan hidup mewah?! Atau umumnya rakyat yang bekerja keras, dan jutaan orang yang menganggur, atau lapisan yang kekurangan kebutuhan hidup paling dasar, seperti orang miskin?!
Keputusan mutlak tentang kehidupan di Dunia Barat sebagai kebebasan dan kemajuan hanyalah persiapan untuk apa yang dia inginkan, yaitu keputusan tentang Dunia Islam dengan memalsukan segala sesuatu!
Tanpa membedakan dalam keputusannya tentang Dunia Barat antara orang kaya dan miskin, dia justru membedakan di Dunia Islam—yang menganut Islam sebagai syariat—antara fundamentalis yang menyerukan penerapan syariat Islam, dan massa Islam, dia menganggap mereka (tidak memiliki konsep yang jelas dan gamblang tentang syariat Islam).
Apakah massa rakyat Barat memiliki konsep yang jelas tentang undang-undang Barat, atau data ilmiah yang menjadi dasarnya?!
Sementara dia mengisyaratkan bahwa undang-undang modern didasarkan pada (data ilmiah) dan pada (prinsip dan dasar), dia berusaha merusak citra dasar-dasar yang menjadi landasan syariat Islam, memalsukannya, menjadikannya terpecah-belah, dan jauh dari mata massa muslim! Apakah dasar-dasar dan prinsip-prinsip—yang diklaim menjadi landasan undang-undang Barat—dipajang di depan mata massa Barat?!
Sementara dia melepaskan kendali pujian dan pengabadian untuk undang-undang Barat, dia mengatakan, “Syariat Islam telah ditempatkan di luar cakupan historis masa kemunculannya, yaitu masa kesukuan (qabiliyy), dan sudah jelas bahwa dia membawa serta banyak ciri khas masa itu, agar hukum-hukumnya sesuai dengan kebutuhan manusia—yang sedikit dan primitif pada saat itu, serta dengan kemampuan intelektual dan etika mereka untuk menyerap dan mengamalkannya.”
Perkataan ini memberikan kesan bahwa syariat Barat abadi, tidak muncul pada masa tertentu, atau lingkungan khusus, dan tidak dimasukkan dalam cakupan historis masa penetapannya! Padahal, jika kita perhatikan kecepatan (kemajuan ilmiah) yang luar biasa di masa ini, kita akan melihat bahwa setiap hari yang berlalu bagi penduduknya setara dengan satu dekade (10 tahun) dari masa lalu.
Jadi, jika masalah syariat Islam adalah keterbatasannya pada cakupan historis tertentu, maka setiap undang-undang yang ditetapkan Barat juga terbatas pada cakupan waktunya, dan menjadi sejarah yang usang setelah periode singkat. Bahkan, kemajuan ilmiah yang cepat mengungkap kesalahan undang-undang, sebanding dengan tingkat kemajuan ilmu dan teknologi, dan dengan demikian kepercayaan terhadap undang-undang Barat tidak akan berkelanjutan! Mengapa ada seruan yang serius untuk mematuhi undang-undang Barat, dengan mengorbankan syariat Islam?!
Adapun jika patokan legislasi di Barat adalah (kemaslahatan dan kerusakan) manusia, maka itu harus stabil dan tidak tunduk pada hawa nafsu, dan tidak terombang-ambing oleh kehendak kekuasaan yang menetapkan apa yang ingin berubah. Karena kemaslahatan manusia adalah tetap dan stabil, dan bersifat umum untuk semua manusia, tidak membedakan antara unsur dan unsur, antara bangsa dan bangsa, antara waktu dan waktu, dan antara kelompok dan kelompok.
Inilah yang menjadi dasar syariat Islam, karena ia mengikuti kehendak Langit, setelah meyakini adanya (Allah) Yang Maha Mengetahui kemaslahatan hamba-Nya dan apa yang merusak eksistensi mereka. Oleh karena itu, syariat Islam adalah (Ilahi) sebelum menjadi (duniawi), dan (agama Allah tidak diukur dengan akal), dan (yang halal bagi Muhammad adalah halal hingga hari kiamat, dan yang haram baginya adalah haram hingga hari kiamat).
Demikianlah kaum muslim berpikir, dan mereka mematuhi syariat Islam, setelah mereka menemukan dalam agama ini jalan hidup yang saleh, dan syariat yang sesuai dengan akal, keadilan, dan nurani, serta jauh dari kezaliman dan agresi. Setelah massa rakyat—sepanjang abad yang lalu dan sebelumnya—telah mencoba berbagai sistem otoriter, kesukuan, monarki, dan republik Barat, dan merasakan kepahitan dari sistem-sistem yang mengklaim kebebasan dan mengikuti Barat, dan jelas bagi mereka kegagalan undang-undang dan konstitusi yang diilhami dari Barat, yang diterapkan secara harfiah di seluruh tanah Islam, dan rakyat tidak mendapatkan apa-apa darinya kecuali bencana dan keterbelakangan peradaban yang nyata. Rakyat telah menemukan seruan untuk menerapkan Islam yang mereka bedakan dengan seluruh keberadaan mereka kebaikan, kebajikan, dan keadilannya.
Jika penulis (Fauzi) mengakui bahwa seruan untuk menerapkan Syariat Islam di masa kita mendapat tanggapan dari lapisan rakyat Islam, karena seruan ini didasarkan pada eksploitasi (perasaan), halaman 25. Maka, apakah dia berpikir: Mengapa perasaan yang ditinggalkan sejak datangnya penjajahan ke tanah Islam ini kembali hidup, untuk dieksploitasi kembali?!
Dan mengapa kaum sekuler berusaha mengosongkan jutaan rakyat umat Islam dari (kehendak), (keinginan), dan (pemikiran) mereka dan menganggap mereka dieksploitasi oleh orang lain, dan fundamentalis—misalnya—?!
Dan mengapa hal yang sama tidak diasumsikan pada rakyat yang berjuang yang pikirannya dimanipulasi oleh sekelompok orang serakah yang korup dari kalangan Yahudi dan politisi?!
- Penerapan Syariat adalah Kebangkitan Peradaban
Jutaan rakyat yang memilih penerapan syariat Islam bukanlah hanya kaum fundamentalis—sebagaimana kaum sekuler suka menyebut mereka—, melainkan massa rakyat yang terhimpit di bawah kaki kubu yang menjadi agen Barat, bahkan prajurit Barat dan pengikut mereka yang membawa pena palsu, mencemarkan citra seluruh rakyat, dan memalsukan akal serta kehendak mereka.
Jika penulis mengakui di halaman 14 bahwa, “Peradaban Islam tegak ketika Syariat dekat dengan konsep dan pemahaman manusia, dan memadai untuk menampung pertumbuhan sosial), maka hari ini, di seluruh tanah Islam dan Arab, rakyat mendekat kepada Islam—setelah penjajahan memisahkan mereka darinya—dan kembali kepadanya, karena mereka menemukannya paling sesuai dengan pemahaman mereka dan menjamin kebutuhan sosial mereka. Mereka menuntut para penguasa boneka untuk menerapkan syariat Islam, setelah mereka merasakan kepahitan karena menjauh darinya, akibat undang-undang dan sistem yang ditetapkan di Barat, yang dipaksakan oleh negara-negara penjajah. Rakyat dan tanah Islam tidak menuai apa-apa darinya kecuali kegagalan, kehancuran, dan keterbelakangan di semua bidang kehidupan.
Ketika penjajahan memasuki tanah Islam, rombongan kelima yang tersembunyi adalah yang menyerukan penolakan Islam dan syariatnya, menuduhnya kuno dan beku, dan menyombongkan kemajuan Barat. Mereka berhasil melakukannya dengan kekuatan militer dan pemalsuan, yaitu memaksakan kehendak mereka dan agen-agen mereka pada pemerintahan di negara-negara Islam, serta mengucilkan Islam dan memalsukan keyakinan orang-orang terhadapnya.
Hari ini, setelah orang-orang mengetahui kepalsuan klaim Barat serta kepalsuan sistem dan undang-undangnya, datanglah rombongan kaum sekuler, untuk mengulangi serangan terhadap Islam dan syariatnya, dengan gaya (penelitian dan studi). Mereka lupa bahwa kali ini rakyat telah dipersenjatai dengan pengalaman pahit dari Barat dan undang-undangnya, dan mereka tidak akan tertipu oleh propaganda jahat ini, serta operasi pemalsuan dan pencemaran nama baik agama dan syariat.
Massa rakyat tahu bahwa Peradaban Islam tidak runtuh kecuali ketika syariat Islam ditinggalkan, dituduh kuno dan bersifat historis, dan para pembuat undang-undang Arab beralih ke Barat, mengambil dari undang-undangnya, untuk disisipkan dalam konstitusi negara-negara Islam dan Arab. Cukuplah dengan melihat undang-undang negara-negara Arab untuk menemukan jauhnya undang-undang tersebut dari syariat Islam dan ketergantungannya pada undang-undang Prancis, Inggris, dan Amerika! Mengapa negara-negara Arab tidak berhasil, jika dalam sistem dan undang-undang Barat terdapat kebaikan dan ilmu?!
Keterbelakangan dan kehancuran yang menimpa masyarakat Islam adalah akibat dari kepatuhan pada sistem yang menjadi agen Barat dan undang-undang positif Barat yang berlaku di negara-negara Islam dan Arab selama lebih dari satu abad. Umat tidak akan kembali kepada pengalaman pahit itu lagi (Sesungguhnya seorang mukmin tidak akan tersengat dari lubang yang sama dua kali).”
- Syariat Barat, Prinsip dan Nilai!?
Namun, semua ini, atau bahkan sebagian darinya, tidak menyenangkan bagi kaum sekuler. Penulis kitab (Tadwin al-Sunnah) juga berusaha menyajikan berbagai (masalah/kesulitan) pada Syariat Islam. Setelah apa yang kami nukil dari pendahuluannya, ia mengatakan dalam penutupnya di halaman 375, “Inilah Syariat Islam, kami jelaskan dengan segala netralitas dan objektivitas, maka apa yang layak darinya untuk diterapkan di masa kita?”
Kemudian dia menyeru kaum muslim yang bersemangat berpegang teguh pada prinsip-prinsip fundamental yang terdapat dalam Alquran untuk, “Mengesampingkan isu-isu yang menimbulkan masalah (kushaliyy) yang telah gugur oleh kemajuan manusia di zaman kita, dan mendekatkannya dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat hak asasi manusia, yang didasarkan pada kesetaraan hak antara wanita dan pria, yang semuanya bersumber dari nilai-nilai kemanusiaan dan etika, dan dalam kesetaraan ini tidak ada yang bertentangan dengan prinsip-prinsip fundamental syariat Islam.”
Penutup singkat ini (hanya satu halaman!) mengumpulkan (semua hasil buruan dalam perut burung unta), di mana ia mengungkapkan tujuannya dengan jelas, yang tidak pernah lepas darinya di setiap halaman buku, dan dapat disimpulkan sebagai, “Semua undang-undang modern Barat—mengandalkan nilai-nilai kemanusiaan dan etika, maka wajib menggugurkan undang-undang Islam yang bertentangan dengan undang-undang modern!”
Dia membedakan antara undang-undang Barat—yang menurutnya didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan dan etika—dan undang-undang Islam, ia mengatakan bahwa Islam dibatasi oleh cakupan historis masa penetapannya! Anda telah mengetahui kepalsuan perbedaan ini!
Adapun mengenai (nilai-nilai) yang diklaim, yang menurutnya menjadi sandaran undang-undang Barat: Apakah Barat—dan kaum sekuler—mengakui adanya sesuatu yang disebut (nilai-nilai)?!
Contohnya adalah apa yang disebutkan penulis di halaman 51, bahwa peradaban modern, “Menghapus perbudakan di dunia, dan menganggapnya sebagai kejahatan kemanusiaan, serta mendeklarasikan kesetaraan hak di antara manusia. Kesetaraan ini terwujud dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menghapus diskriminasi antar manusia, dan menyamakan hak antara wanita dan pria.”
Ya, itu adalah (Deklarasi), tetapi di mana tindakan dan penerapannya?!
- Jika peradaban Barat menghapus perbudakan dalam Deklarasi, apakah perbudakan benar-benar dihapus, ataukah orang bebas telah menjadi budak bagi kekuasaan dan kekayaan yang menumpuk, geng mafia, pedagang narkoba, dan dominasi badan intelijen global?!
- Jika mereka menganggap perbudakan sebagai kejahatan kemanusiaan yang mereka takuti, mengapa mereka tidak menghentikan kejahatan yang lebih besar darinya, yaitu kejahatan mengerikan terhadap manusia di dunia, bahkan terhadap entitas kosmik lainnya?!
- Dan jika (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)—hanya (Deklarasi) saja tentunya—telah menghapus diskriminasi antar manusia, mengapa ada diskriminasi rasial antara kulit hitam dan putih di seluruh dunia Barat, terutama Amerika?! Dan di markas PBB sendiri!!?
- Dan bagaimana sikap kaum sekuler, jika mereka tahu bahwa (manusia) dalam istilah orang-orang Deklarasi Universal, adalah hanya orang Eropa?!
- Dan bagaimana jika orang Barat mengatakan bahwa (hak asasi manusia) mencakup (hewan) Eropa, tetapi tidak termasuk orang Timur karena mereka adalah (monster)?!
- Adapun kesetaraan antara pria dan wanita, apakah itu menguntungkan pria?! Atau menguntungkan wanita?! Atau menguntungkan nafsu Eropa yang ingin menelanjangi (wanita) dari semua hak, bahkan pakaian dan jilbab?!
Seribu satu pertanyaan akan tetap tanpa jawaban, tentang hak-hak palsu itu!
Kaum sekuler mengabaikan semua kenyataan yang dialami manusia ini, yang mudah dijawab dengan jelas. Jawabannya ditemukan dalam kebrutalan, kemiskinan, dan kezaliman yang dialami manusia di bawah naungan (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang dieksploitasi Barat untuk kepentingannya, dan melawan siapa pun yang ingin melepaskan diri dari dominasi, kekuasaan, dan keangkuhannya.
Kaum sekuler buta terhadap apa yang terjadi di dunia—di masa ini—dan mereka berusaha mencari (masalah-masalah Syariat Islam) dengan tujuan memalsukannya di mata massa Islam, dan menyerukan mereka kepada (undang-undang Barat). Tetapi massa Muslim lebih paham tentang kehidupan daripada orang-orang yang terpesona oleh ajaran Barat ini.
Adapun klaim mereka tentang sandaran Syariat Barat pada nilai-nilai kemanusiaan dan etika, kami tidak ingin membahasnya secara rinci. Kepalsuannya tidak tersembunyi bagi siapa pun di dunia yang terbuka untuk semua ini. Melihat kehidupan yang sia-sia yang terjadi di pantai-pantai Eropa dan Amerika, ibu kota yang mengikuti peradaban Barat, di klub, bar, bahkan di taman umum, di depan mata semua orang, berupa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan terendah dan martabat manusia, serta melanggar dasar-dasar nilai-nilai etika, sudah cukup untuk membuktikannya.
Pengesahan Uskup Canterbury—di Inggris—terhadap undang-undang (sodomi) dan pernikahan sesama jenis, hingga menjadi undang-undang dan syariat di Barat pada tahun enam puluhan, dan masih dipromosikan dan diperluas penerapannya secara mengerikan dan menjijikkan di Barat yang beradab, adalah salah satu tragedi undang-undang Barat, yang didasarkan pada nilai-nilai! Dan ini tentu saja menguntungkan wanita!
Satelit-satelit telah menampilkan—hari-hari ini—gambar seorang pria kulit hitam Amerika yang diperintahkan oleh hakim di pengadilan Amerika untuk menutup mulutnya dengan lakban di pengadilan! Ini juga merupakan salah satu hak asasi manusia, dan kesetaraan antara kulit putih yang berkuasa dan kulit hitam yang diperintah, dan salah satu nilai yang menjadi dasar undang-undang Barat!
Adapun pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom, tragedi perang Vietnam, penghancuran Arab dalam perang minyak, dukungan terhadap Serbia Kristen di Bosnia melawan Muslim—meskipun mereka juga orang Eropa—dan perlindungan terhadap Israel yang menyerang Arab serta berdiam diri atas kejahatan keji mereka, adalah gambaran lain dari (nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip kemanusiaan Barat) dan penerapan hak asasi manusia serta kesetaraan antar manusia!
Massa Islam dan rakyat Timur lebih tahu tentang etika, tujuan, dan undang-undang Barat, yang telah membawa malapetaka bagi dunia. Mereka telah merasakan kepahitan dari Barat yang beradab ini, senjata, tentara, dan agen-agennya. Mereka lebih tahu daripada para penyewa ini yang membawa pena Barat, melihat segala sesuatu dengan kacamata Barat, dan mencoba menipu serta memperdaya umat, dengan judul (Studi Kontemporer) dan (Kritik Bebas) dan judul-judul palsu lainnya, yang penuh dengan penipuan.
Upaya sia-sia kaum sekuler hanya menipu mereka yang jauh dari jalanan, pasar, dan tempat berkumpulnya massa. Bahkan, mereka membatasi kehadiran mereka di klub hiburan, konferensi pengkhianatan, dan pertemuan politik umum dan khusus, yang dipisahkan dari massa oleh tombak, mata pisau, gaya rambut, pakaian, makanan, minuman, perilaku, dan etika mereka!
Selama mereka mengenakan kacamata yang dibuat untuk mereka oleh universitas-universitas Barat, tempat mereka belajar metode penelitian dan studi dengan metodologi Barat, yang menunjukkan massa dan rakyat kepada mereka dengan teleskop dan pemikiran Barat, mereka tidak mungkin hadir di lapangan pekerjaan massa ini. Dan selama mereka tidak hadir, mereka jauh dari setiap kenyataan dan realitas, sehingga studi, penelitian, dan kritik mereka tidak mendekati satu langkah pun darinya, karena itu bukanlah hal yang dapat dipahami kecuali dengan hadir di arena masyarakat. Dan mereka tidak membaca atau menulis kecuali produk yang didiktekan kepada mereka oleh guru-guru mereka berupa fantasi, ilusi, dan pemalsuan Barat, yang penuh dengan kebencian dan penipuan. Kaum sekuler menulis ulang hal-hal itu dalam bahasa Arab, sehingga mereka hanyalah corong buatan untuk panggilan Barat, berkoar dengan suara nyaring dan sebagai bagian dari upaya politiknya untuk menghalangi kebangkitan Islam yang tumbuh.
- Masalah-masalah Syariat Islam
Sementara orang Barat menyebutkan apa yang mereka anggap (masalah-masalah) dalam Islam—baik syariat, akidah, sumber, warisan, dan sejarah—dan tidak memutuskan apa-apa, bahkan sebagian dari mereka membela pandangan sebagian yang lain dalam labirin kontradiksi yang memalukan, para (pengganti) sekuler, yang mengklaim bahwa mereka adalah (Arab), telah menjadikan kemungkinan-kemungkinan dan hipotesis-hipotesis itu sebagai teori pasti yang mereka promosikan dan tegaskan.
Kami telah mengumpulkan di bawah ini apa yang datang darinya dalam kitab (Tadwin al-Sunnah), untuk menemukan kontradiksi dan catatan kami terhadapnya.
- Sikap Sekuler terhadap Sunah Nabawiyah
Penulis mengakui di halaman 24, “Bahwa Syariat ini mengambil sebagian besar hukumnya dari sunah.”
Namun, dia mengatakan, “Bahwa keadaan yang menimpanya pada masa Islam awal, dan perselisihan yang terjadi seputar pendokumentasiannya, dan seputar apa yang didokumentasikan darinya, telah melemahkan nilai legislatifnya, dan kemampuannya untuk menyatukan umat Islam pada satu syariat yang tidak diperselisihkan, ditambah dengan hal-hal negatif lain yang telah kami sebutkan, yang membuatnya lemah untuk memenuhi kebutuhan sosial di zaman kita.”
- Jika (sunah) diakui sebagai hujah (bukti) atas hukum-hukum, secara keseluruhan, maka perselisihan dalam rincian tidak akan menghilangkan kehujahannya secara mutlak, dan tidak akan menjadi upaya untuk menggugurkannya dan menghapus fungsi dasarnya.
- Sebaliknya, adanya perselisihan justru mendorong untuk mengambil alat pencegahan dengan akurasi yang lebih besar untuk menentukan apa yang harus tersedia demi memastikan (sunah). Jadi, adanya perselisihan tidak menyebabkan melemahnya nilai sunah; melainkan menyebabkan penetapan dan penegasan keberadaannya.
- Adapun penyatuan kata-kata umat Islam, itu terjadi bukan karena sunah melainkan karena tindakan kaum muslim yang meninggalkan syariat, menjauh dari sumber-sumber dan pemikiran Islam, serta faktor-faktor eksternal yang muncul dalam sejarah mereka, dan tindakan penjajahan yang keji dan Barat yang pendendam, dengan menyebarkan benih perpecahan dan perselisihan di antara mereka. Hal ini bukan disebabkan oleh sumber ini atau sumber itu sehingga kehujahannya diragukan.
- Dan Alquran ini—yang tidak ada keraguan di dalamnya—dan bahkan penulis pun tidak dapat meragukan kehujahannya dan nilai legislatifnya, apakah dapat dikatakan tentangnya bahwa ia tidak mampu menyatukan kata-kata umat Islam pada satu syariat? Kelemahan bukan pada sunah, sebagaimana bukan pada Alquran, tetapi pada umat Islam yang mengaku berafiliasi dengan agama ini.
- Keterlambatan suatu umat untuk mengamalkan undang-undang, atau kemalasan dalam menerapkannya, atau kekurangan dalam memahaminya, atau kelalaian dalam mengamalkannya, bukanlah cacat pada undang-undang itu sendiri, sebagaimana ketidaktahuan mengemudikan mobil yang lengkap bukanlah cacat pada mobil, melainkan kebodohan pengemudi.
Penyajian masalah-masalah seperti ini menunjukkan penyakit di hati penulis yang ingin ia sebarkan dengan cara apa pun!
- Antara Alquran dan Sunah
Penulis berusaha menjadi (Qurani) yang menjaga kepatuhan pada Alquran dalam undang-undangnya, tetapi ia menekankan untuk menyerang Sunnah dengan pedang Alquran. Upaya ini telah dimulai oleh Quraniyun yang pertama dengan ungkapan (Cukuplah bagi kami Kitabullah), dan terus berlanjut melalui kebijakan Kekhalifahan Bani Umayah, dan ditunjukkan secara menonjol dalam (Shiffin) dengan mengangkat mushaf di ujung tombak, serta dipromosikan oleh pelopor rombongan kelima penjajahan Barat, di India, Pakistan, dan di Mesir dengan seruan, “Islam hanyalah Alquran semata.”
Dia mengatakan di halaman 20 tentang hadis ahad, “Nabi saw tidak memerintahkan penulisannya seperti halnya Alquran ditulis oleh penulis wahyu, dan Nabi saw tidak mengumumkan bagian syariat ini kepada umum kaum muslim seperti halnya ayat-ayat Alquran diumumkan. Ketika ayat-ayat Alquran turun, Nabi saw membacanya di masjid atau di tempat umum di hadapan kaum muslim, sehingga para sahabat menerimanya, menuliskannya, menghafalnya, dan membacanya dalam salat mereka. Adapun sunah, ia tidak mendapatkan perhatian dan kepentingan seperti itu.”
- Tetapi apakah kaum sekuler akan rida terhadap (Ibrahim Fauzi) kecuali jika dia mengikuti agama mereka dalam meniadakan semua kesucian, baik Alquran maupun sunah?
- Dan apakah mereka akan puas jika dia hanya meniadakan sifat (wahyu) dari sunah saja dan membiarkan sifat itu untuk Alquran? Lalu bagaimana mereka akan bertindak dengan firman Alquran tentang Nabi saw, ”Dan dia tidak berbicara dari hawa nafsunya, itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”?!(5) Oleh karena itu, mereka tidak akan rida kecuali dengan meniadakan keberadaan (wahyu).
Upaya menghindari Sunnah, meskipun dengan senjata (Alquran), tidak akan pernah memuaskan (mentalitas pemalsuan) yang mendominasi arus sekuler.
Ini buktinya, Hamid Nashr Abu Zaid, meskipun dia menghargai kitab karangan Fauzi dan memujinya, dia menentang pengkultusannya terhadap undang-undang Alquran, dia mengatakan (Majalah al-Naqid, nomor 73, halaman 11), “Bagaimana dengan teks-teks legislatif dalam teks Alquran, apakah itu teks historis yang terbuka untuk pemahaman, ataukah teks yang qath’i al-dalalah (maknanya pasti) abadi yang tidak boleh menyimpang dari makna harfiahnya? Konsep terakhir ini sama sekali absen dalam analisis penulis, dan karenanya, masalah: isu-isu yang tersembunyi dalam teks-teks legislatif Alquran telah hilang darinya!”
- Sunah Fi’liyah (Perbuatan) dan Kehujahannya dengan Mengorbankan Qauliyah (Ucapan)
Istilah (sunah) dalam terminologi Islam diterapkan pada apa yang datang dari Nabi saw di luar teks Alquran. Setiap legislasi yang bersumber dari Rasul saw diungkapkan dengan sunah. Istilah ini diperluas untuk mencakup apa yang dikatakan Rasul (qaul), apa yang dia lakukan (fi’l), dan apa yang dia setujui pada orang lain dengan diamnya yang menunjukkan keridaan (taqrir).
Kaum muslim bersepakat bahwa apa yang dikatakan beliau saw adalah sunah, dan sebagian orang menentang bahwa apa yang dia lakukan juga demikian, dengan alasan bahwa beliau adalah manusia biasa yang melakukan tindakan rutin tanpa memiliki sifat legislasi!
Namun, hal itu tidak benar, karena selain nama (sunah) diterapkan pada cara yang ditetapkan untuk dicontoh dan diikuti, dan apa yang dilakukan Rasul saw berupa perbuatan pasti baik dan layak untuk itu, perbuatan dan tindakan memiliki makna yang lebih kuat tentang kehendak daripada sekadar ucapan. Jika beliau melakukan sesuatu, maka beliau menyukai hal itu untuk dirinya sendiri, dan penisbatannya kepada beliau lebih jelas daripada sekadar ucapan tanpa perbuatan. Jadi, sunah fi’liyah juga merupakan hujah, wajib diikuti dan dijadikan panutan.
Adapun penulis telah mengungkapkan pendapat yang aneh ketika dia menjadikan sunah fi’liyah sebagai hujah qath’iyah (pasti), dan meragukan yang qawliyah. Dia mengatakan di halaman 20, “Adapun ibadah, orang-orang mempelajarinya dari Nabi saw selama hidupnya dan menukilnya darinya secara tawatur (berantai) dari generasi ke generasi, dan mereka tidak mempelajarinya dari kitab-kitab, dan tidak ada kebutuhan untuk mendokumentasikannya di awal Islam. Praktik perbuatan (mumarasah fi’liyah) menggantikan penulisannya. Oleh karena itu, tidak ada kebohongan di dalamnya, dan tidak ada perselisihan tentang keabsahannya kecuali yang jarang.”
Dia menambahkan, “Adapun muamalat (transaksi), dia datang melalui lisan Nabi saw dalam bentuk hadis-hadis individu yang mereka sebut (ahadits al-ahad).”
Dengan demikian, Fauzi berusaha menekankan sunah fi’liyah dan kehujahannya dengan mengorbankan sunah qauliyah.
- Khabar Ahad
Penulis menekankan bahwa legislasi transaksi didasarkan pada hadis-hadis ahad dan bahwa hadis-hadis tersebut tidak layak untuk menetapkan legislasi dengannya. Dia mengatakan di halaman 23, “Hadis ahad… tidak membentuk, dari sudut pandang kaidah legislatif, legislasi umum untuk semua muslim, karena salah satu syarat paling sederhana dalam setiap legislasi—dulu dan sekarang—adalah pengumumannya kepada orang-orang agar mereka mematuhinya dan mengamalkan hukum-hukumnya. Dan merahasiakannya kepada satu atau dua orang secara terpisah tidak memberinya sifat legislasi umum yang mengikat semua orang. Oleh karena itu, hadis-hadis ahad, dan seputar kebolehan mengambilnya sejak masa Sahabat, telah menjadi perselisihan di kalangan fukaha, dan hadis ahad dianggap sebagai hadis zhanni (dugaan) oleh sebagian besar fukaha, dan tidak mencapai tingkat keyakinan akan keabsahannya).
- Pembahasan tentang kehujahan hadis-hadis ahad telah terjadi dalam ilmu Ushul Fikih—yang dipersiapkan untuk membahas sumber-sumber legislasi—secara luas dan mencakup semua aspeknya, dan tidak ada hal baru yang dia sampaikan.
- Syiah telah lama berpegangan pada ketidakhujahan khabar wahid (berita tunggal), dan bahwa itu tidak memberikan ilmu dan tidak mewajibkan amal. Para peneliti dari ulama Ushul Syiah hanya berpegangan pada berita mutawatir, kemudian yang didukung oleh syuhrah ‘amaliyyah (kepopuleran praktik) sesuai dengannya. Dengan ini, hadis-hadis ahad keluar ke tahap pengumuman umum yang penting dalam setiap legislasi.
- Adapun berita-berita yang datang seputar legislasi—baik dalam ibadah maupun transaksi—jarang keluar dari prinsip ini. Tidak didokumentasikan dalam sumber-sumber hadis kecuali apa yang menjadi amalan yang mendukung statusnya sebagai sumber legislasi, berkebalikan sepenuhnya dengan apa yang ingin digambarkan oleh penulis.
- Kritik Matan (Isi Hadis)
Di antara hal-hal negatif yang disebutkan penulis terhadap sunah adalah (kritik hadis dari sisi matan/isi). Di halaman 241, dia mengutip apa yang diangkat oleh Ahmad Amin Mishri dalam (Fajr al-Islam) tentang, “Bahwa para ulama lebih mementingkan kritik sanad daripada kritik matan, sehingga jarang [menurut ungkapannya] Anda menemukan kritik dari sisi apa yang dinisbatkan kepada Nabi saw. Kami tidak menemukan dari mereka dalam bab ini sepersepuluh dari perhatian mereka terhadap jarh (cela) dan ta’dil (pujian) para perawi.”
Meskipun Ahmad Amin mengisyaratkan adanya kritik matan di kalangan ulama hadis—walaupun dia meremehkannya—, penulis tidak berusaha mencari kaidah-kaidah hal tersebut. Sebaliknya, dia berfokus pada pencemaran citra sunah dengan alasan adanya kritik ini, dan menyajikan contoh-contoh kritik akal terhadap matan-matan hadis. Dia tidak sendirian dalam menyebutkan dan mengkritik hadis-hadis ini; bahkan para ulama telah mengkritik kelompok ini dan kelompok lain yang lebih besar ketika mereka membahas kritik matan.
Namun, kelompok hadis ini tidak membentuk hambatan di hadapan hadis, dan tidak menyebabkan melemahnya posisi sunah dalam kehujahan dan sumber legislasi, sebagaimana yang diisyaratkan penulis.
- Adapun kritik matan, para ulama telah membahasnya dalam berbagai ilmu dan di bawah beberapa judul, di antaranya:
- Ilmu Dirayah dan Mushthalahul Hadis dengan judul (Al-Hadits al-Mu’allal – Hadis yang Berillat/Cacat Tersembunyi).
- Dalam (Ilmu Hadis) dengan judul (Ikhtilaf al-Hadits – Perselisihan Hadis).
- Dalam Ilmu Ushul Fikih dengan judul (Ta’arudh al-Adillah – Kontradiksi Dalil-Dalil) dan (Al-Haditsain al-Muta’aridhain-Dua Hadis Yang Saling Bertentangan).
- Para fukaha mengerahkan upaya luas dalam menggabungkan berita-berita yang berbeda maknanya, untuk menghilangkan pertentangan di antara keduanya, atau mentarjih (menguatkan salah satunya) sesuai dengan metode yang ditetapkan dalam Ushul Fikih.
- Melalui penelitian-penelitian ini, kaidah-kaidah yang akurat untuk kritik matan dan dokumentasi internal hadis dapat disimpulkan, setelah menyelesaikan penelitian sanad.
Di mana posisi Ahmad Amin dan orang-orang sejenisnya dari kekayaan ilmiah ini, dan upaya keras yang dicurahkan untuk menjaga sunah dari apa yang mencemarinya?! Sehingga mereka bisa terjun ke dalam arusnya yang melimpah, dan mencoba mencelanya dengan studi-studi mereka yang dangkal?!!
- Antara Ibadah dan Muamalah
Di antara hal-hal negatif yang dia sebutkan pada syariat, dan dia ulangi dalam berbagai kesempatan, adalah perkataannya di halaman 16, “Para ahli fikih Islam menggabungkan antara ibadah dan muamalah, dan membentuknya menjadi satu syariat, yaitu syariat Islam, dan mencelupnya dengan corak keagamaan yang sempit, yang memiliki dimensi terbatas, tidak dapat diubah atau diganti sesuai dengan tuntutan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat.”
Dia menjadikan sebab perbedaan legislasi antara mazhab-mazhab adalah, “Bahwa sunah mencakup ibadah dan muamalah secara setara.”
Dia menambahkan, “Adapun ibadah, orang-orang mempelajarinya dari Nabi saw selama hidupnya, dan menukilnya darinya secara tawatur, generasi demi generasi, dan mereka tidak mempelajarinya dari kitab-kitab, dan tidak ada kebutuhan untuk mendokumentasikannya di awal Islam. Praktik perbuatan menggantikan penulisannya. Oleh karena itu, tidak ada kebohongan di dalamnya, dan tidak ada perselisihan tentang keabsahannya kecuali yang jarang.”
Dia menambahkan, “Adapun muamalah, dia datang melalui lisan Nabi saw dalam bentuk hadis-hadis individu yang mereka sebut hadis-hadis ahad (hadis tunggal), yaitu yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, yang mengatakan bahwa dia mendengarnya dari Nabi saw secara terpisah, dan hanya sedikit yang diriwayatkan melalui lisan sahabat lain, dan Nabi saw tidak memerintahkan penulisannya seperti halnya Alquran ditulis oleh penulis wahyu, dan Nabi saw tidak mengumumkan bagian syariat ini kepada umum kaum muslim seperti halnya ayat-ayat Alquran diumumkan.”
Dan dia mengatakan di halaman 21, “Hadis-hadis ini tidak disebarkan di antara manusia pada masa hidupnya, sebagian besar hukum muamalah diriwayatkan setelah wafatnya, dan sebagiannya diriwayatkan setelah wafatnya sahabat yang mendengarnya dari Nabi saw.”
Dan ia mengatakan di halaman 124, “Muamalah adalah hukum atau legislasi yang mengatur hubungan antar manusia, dan itu adalah hubungan yang berubah dan berganti tergantung pada perubahan masyarakat dan pergantian kepentingan.”
Meskipun kesalahannya sudah jelas dalam dasar klaimnya mengenai ibadah, ketidakberadaan perselisihan tentang keabsahan hukum-hukumnya, dan ketidakberadaan kebohongan dalam beritanya, adanya perselisihan dalam ibadah antara mazhab-mazhab, bahkan di dalam satu mazhab, adalah hal yang tidak dapat disangkal. (Basmalah) ini, telah terjadi perselisihan mengenai Quraniyahnya, dan bagiannya dari semua surah, atau hanya untuk al-Hamd saja, kebolehan atau kewajiban membacanya dalam salat, dan pengucapannya secara jahr (nyaring) atau ikhfat (pelan), meskipun jelas tertulis dalam mushaf dan umat Islam bersepakat atas pembacaannya.
Dan wudu ini, meskipun merupakan perbuatan yang dilakukan lebih dari sekali dalam sehari, mereka berselisih tentang tata caranya, dan tentang mengusap kaki atau mencucinya, serta ukuran usapan kepala, dan hadis-hadis yang berbeda dan dibuat-buat memiliki peran besar dalam terjadinya hal itu.
Secara keseluruhan, apa yang disebutkan penulis dalam membedakan antara ibadah dan muamalah, dan apa yang dia sebutkan tentang contoh-contoh hukum muamalah dan masalah-masalah yang ia bayangkan di dalamnya, menunjukkan bahwa ia sangat jauh dari sumber-sumber fikih Islam, terutama fikih Syiah.
- Tidak ada ahli fikih Muslim yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah. Syahid Awwal, salah satu ulama Syiah Itsna Asy’ariyah, membedakan keduanya bahwa tujuan ibadah adalah akhirat, sedangkan tujuan muamalah adalah dunia.
- Namun, syariat telah menetapkan untuk keduanya prinsip, kaidah, tatanan, dan syarat. Pengetahuan tentang semua itu tergantung pada pencapaian melalui cara syar’i yang terakreditasi yang ditetapkan sebagai dalil dalam Ushul Fikih.
- Tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah dalam hal ini, hanya saja hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah semuanya bersifat ta’abbudiyah (penyerahan mutlak), sedangkan yang berkaitan dengan muamalah, pembuat Syariat mengaitkannya dengan kemaslahatan dan kerusakan hamba, namun ia ikut campur dalam menentukan sebagian kemaslahatan dan kerusakan dengan ta’abbudiyah.
- Apa yang halal secara syar’i pasti memiliki kemaslahatan bagi makhluk, dan apa yang haram memiliki kerusakan, meskipun manusia tidak menyadarinya.
- Adapun selain itu, yang tidak ada hukum haram dari syariat yang mulia di dalamnya, maka ia berdasarkan prinsip kehalalan secara syar’i. Syaratnya tetap harus ada manfaat yang dimaksudkan oleh orang yang berakal dan sesuatu yang mereka keluarkan harta sebagai imbalannya. Jika tidak, maka memakan harta di antara manusia dengan cara yang menyimpang, baik dengan kontrak palsu, janji yang zalim, atau dengan memberikan sesuatu yang tidak bernilai atau tidak berharga, maka itu dilarang secara syar’i.
- Perpindahan dan peredaran kekayaan harus didasarkan pada dasar-dasar syar’i ini, dan ini tidak bertentangan dengan kemungkinan kemaslahatan dan kerusakan berubah, dan hukum mengikutinya. Ketika kedokteran belum maju, darah yang najis tidak memiliki manfaat yang terbayangkan, dan karena memakannya dan meminumnya haram, para fukaha mengharamkan penjualannya. Namun, di era modern, karena pemanfaatannya telah menjadi hal yang umum dan bahkan terkadang penting bagi kehidupan, menjualnya adalah halal dan membayar harganya tidak termasuk cara yang batil, meskipun memanfaatkannya untuk dimakan masih haram.
- Demikianlah (Al-Qashdu al-’Uqalai-Niat yang Beralasan) masuk dalam keabsahan muamalah dalam Islam.
Di mana posisi penulis dari kenyataan-kenyataan yang merupakan hal mendasar dalam fikih Islam ini, sehingga ia berteriak-teriak dan bermanuver dengan contoh-contoh yang telah diteliti dan digali secara mendalam oleh para fukaha Islam dalam kitab-kitab rinci dan ensiklopedia fikih mereka?!
Namun, ia mengikuti beberapa mazhab yang menyimpang dan pendapat yang langka dan mengumpulkan sekelompok kecil darinya, lalu berteriak-teriak dan meniup terompet, mengklaim bahwa dia telah mencapai sesuatu yang baru, padahal dia telah meninggalkan pendapat yang benar dan metodologi yang berharga dalam masalah yang sama yang dia sebutkan. Ini tidak lain adalah karena kekurangan dalam pemahamannya terhadap fikih, atau kesengajaan darinya untuk mencapai tujuannya dalam (pemalsuan Syariat)!
Karena itu, kami mengabaikan untuk menindaklanjuti apa yang terdapat dalam Bagian Ketiga dari bukunya, yang dia penuhi dengan omong kosong serupa tentang beberapa masalah fikih, padahal didasarkan pada sumber-sumber dasar. Padahal, sebagian besar masalah yang dia sebutkan bergantung pada pandangannya yang dia anggap sebagai kritik terhadap sunah, dan kami telah menjelaskan aspek-aspek kontradiksinya, sehingga tidak ada lagi kepentingan pada apa yang dia kemukakan yang membutuhkan upaya untuk membantahnya.
- Sistem Pemerintahan dalam Islam
Penulis menegaskan bahwa agama Islam kosong dari legislasi apa pun yang menetapkan sistem untuk mengatur negara dan memerintah rakyat, dan dia mencoba mengisyaratkan bahwa pemerintahan yang ada di negara-negara Islam selama berabad-abad adalah pemerintahan Islam.
Dia mengatakan di halaman 14, “Pemerintahan dalam Islam—sepanjang masa—didasarkan pada pemerintahan individu yang otoriter dan absolut, yang didasarkan pada pengelolaan satu individu, yaitu Khalifah, atau Imam, atau Sultan, yang tidak ada imam atau sultan yang lebih tinggi darinya, dan tidak ada badan atau kelompok yang memiliki status syar’i di sampingnya yang berbagi kekuasaan dengannya atau memberikan saran dan nasihat kepadanya dalam mengelola urusan negara, dan kaum muslim tidak mengenal pemerintahan rakyat. Syariat Islam kosong dari legislasi apa pun yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dalam Islam selain ayat Syura (Musyawarah), dan para ahli fikih Islam menghindari pembahasan tentang Syura ini, dan dalam setiap pembahasan yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dalam Islam, karena hal itu akan menyentuh kekuasaan absolut Khalifah.”
Masalah ini didasarkan pada tiga fondasi:
- Pencampuradukan antara pemerintahan dalam Islam sebagai agama dan syariat, dan pemerintahan dalam sejarah Muslim sebagai realitas.
- Mengabaikan adanya oposisi yang berkelanjutan terhadap sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara Islam, sejak wafatnya Rasul saw hingga zaman kita sekarang, sepanjang sejarah.
- Ketidaktahuan akan warisan Islam yang besar yang secara khusus membahas dan meneliti topik (sistem pemerintahan dan administrasi dalam Islam).
Adapun di sisi pertama, bergantung pada perjalanan sejarah Muslim, dan apa yang terjadi di abad-abad berikutnya, dan membebankan semua itu pada agama Islam dan syariatnya, ini adalah salah satu jenis distorsi yang disengaja yang paling buruk dalam studi yang ditulis oleh kaum sekuler, dan disebarkan oleh Barat, sedemikian rupa sehingga Islam menanggung semua tanggung jawab atas apa yang terjadi dalam periode-periode ini, dan kaum muslim yang taat dihakimi karenanya.
- Padahal, membedakan antara kekuasaan yang diwajibkan oleh syariat Islam dan kekuasaan yang mendominasi atas nama agama adalah hal yang jelas bagi setiap pelajar peradaban Islam, dan yang mengetahui sejarah Islam. Jika agama memiliki kekuasaan tertinggi yang harus dipatuhi muslim, itu adalah satu hal. Namun, bahwa kekuasaan ini berada di tangan para penguasa yang benar-benar memerintah negara-negara Islam, itu adalah hal lain.
- Sejarah yang ada hanya didasarkan pada pencatatan peristiwa dominasi sekelompok orang atas nama agama, sedangkan kekuasaan yang diwajibkan oleh agama, dan yang syariat telah menetapkan prinsip, cara, dan hukumnya, memiliki realitas lain selain yang telah terjadi.
- Kaum sekuler berusaha mengisyaratkan bahwa yang ada dan yang dibaca dari sejarah itulah yang mewakili hakikat kekuasaan agama. Setelah mereka mengosongkan agama dari sistem yang layak untuk administrasi dan pemerintahan, kekuasaan ini tetap berada di tangan mereka yang mengendalikan pemerintahan, merekalah satu-satunya yang diuntungkan dari semua hak kekuasaan agama. Sistem pemerintahan membalikkan urusan menjadi (agama dan legislasi) dan mengambil manfaat darinya, sebuah bid’ah untuk dipaksakan agar menjadi kebenaran yang mapan dalam syariat.
- Bahkan jika diasumsikan ada kekuasaan bagi agama, dalam kerangka ini tidak mungkin terwujud, bahkan akan kehilangan vitalitas dan kredibilitasnya untuk sistem yang benar, di mata massa.
- Isyarat ini secara sengaja menghilangkan kesadaran massa, dan memisahkannya dari agama dan pemahamannya, serta dari kekuasaan dan administrasi.
- Tetapi jika agama memiliki kekuasaan, meskipun hanya dalam buku-buku, dan realitas pengetahuan agama, dan selama kesadaran massa memadai untuk berdiri di hadapan segala cara pembingkaian agama dan eksploitasi kekuasaannya, dan memanfaatkan nama serta ide-idenya demi ambisi kekuasaan, ini adalah realitas dan bukti hidup tentang kemungkinan menghidupkan kembali kekuasaan agama?!
Mengapa kaum sekuler berusaha memejamkan mata dari realitas itu, dan mencoba mengingkari serta memalsukannya?! Mengapa mereka ingin mengosongkan massa dari setiap kesadaran, pengetahuan, dan pemahaman tentang Islam, dan memaksakan kepada mereka kepastian yang diatur di malam hari oleh Barat dan agen-agennya?! Mengapa mereka hari ini berpihak pada sistem politik yang ada, dalam menghadapi gelombang Islam, dan kebangkitan agama di kalangan massa yang menyerukan penerapan syariat Islam?! Dan menggambarkannya sebagai (fundamentalisme) sebagai tuduhan dan fitnah?!
Padahal, massa yang dituduh—oleh kaum sekuler—dengan kebodohan dan kekurangan dalam memahami konsep kekuasaan dalam Islam, mereka tahu bahwa sistem pemerintahan di negara-negara Islam tidak mengakui langkah fundamentalis apa pun, bahkan berada dalam perang berkelanjutan melawannya dengan segala bentuk penindasan dan terorisme, dengan dukungan dari peradaban Barat, dan bantuan dari sekulerisme serta pemalsuan dan penyimpangannya terhadap warisan, prinsip, dan sumber-sumbernya.
Adapun di sisi kedua, penulis mengabaikan oposisi yang muncul terhadap sistem pemerintahan dalam sejarah Islam sejak awal hingga hari ini. Oposisi politik terhadap setiap penguasa, khalifah, sultan, raja, presiden, atau amir, selalu menjadi bagian penting dari sejarah Muslim, dan memiliki pandangan, warisan, dan revolusinya, bahkan negara-negara yang mereka dirikan berdasarkan sistem pemerintahan mereka.
- Bagaimana penulis mengabaikan banyak revolusi Alawi (keturunan Ali), dan sudut pandang mereka yang mereka jelaskan kepada muslim pada masa mereka, yang masing-masing merupakan sistem yang lengkap untuk bentuk pemerintahan dalam Islam?!
- Apakah penulis mengabaikan (Piagam Imam Ali as kepada Malik Asytar) yang dianggap sebagai dokumen yang kaya dan berharga untuk jenis administrasi ini?! Teks ini ada di hadapan penulis Fauzi, karena dia merujuk pada (Nahj al-Balaghah) berulang kali dalam bukunya, itu adalah salah satu sumbernya?!
- Gerakan oposisi yang hidup sezaman dengan pemerintahan Islam, telah membuktikan adanya sistem Islam dalam pemerintahan dan administrasi, yang berbeda dari yang terjadi dan sedang terjadi di tanah Islam. Mereka telah mendeklarasikannya sebagai revolusi berdarah yang darahnya belum kering, dan menjelaskan proposisi mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka sebarkan dan tunjukkan kepada muslim.
- Meskipun pihak berwenang berhasil memadamkan dan menumpas revolusi mereka pada masanya dan mencekik suara mereka, serta memusnahkan warisan mereka, mereka tidak dapat menghapus jejak dan ingatan mereka. Sebaliknya, tetap ada petunjuk di halaman-halaman sejarah yang menunjukkan keagungan pekerjaan yang mereka lakukan dan teori yang mereka bangun di atasnya jihad mereka.
- Demikian pula sekulerisme hari ini, meskipun melupakan dan mengabaikan semua upaya itu, dia tidak dapat menghapus jejaknya dan mengabaikannya.
Adapun sikapnya terhadap warisan, cukuplah perkataannya sebelumnya untuk membuktikannya, di mana ia meniadakan keberadaan sesuatu yang menunjukkan bahwa Islam memiliki sistem dalam pemerintahan dan administrasi. Padahal, ratusan karya, penelitian, dan studi telah ditulis dan disusun tentang topik ini, dan telah memuat puluhan dalil syar’i yang khusus mengenainya. Materi ini juga mencakup banyak halaman dari kitab-kitab fikih Islam dulu dan sekarang.
- Sahabat kami, Profesor Syekh Abdul Jabbar Rifa’i, telah menyusun daftar untuk topik penting ini dalam ensiklopedia (Mashadir al-Nizham al-Islami-Sumber-Sumber Sistem Islam), yang telah dicetak dengan judul, “Mashadir al-Dirasah ‘an al-Dawlah wa al-Siyasah fi al-Islam-Sumber-Sumber Studi Tentang Negara Dan Politik Dalam Islam), yang berisi lebih dari 3000 judul penelitian, studi, dan buku tentang topik tersebut.
Apakah masuk akal jika penulis Fauzi tidak tahu semua ini?! Padahal dia berpura-pura tahu karena dia terlibat dalam pusaran penelitian (Tadwin al-Sunnah) yang sensitif?!
- Otoritas Legislatif dalam Islam
Penulis menegaskan, dalam menyajikan hal-hal negatif peradaban Islam, bahwa, “Masyarakat Islam—sepanjang masa—kosong dari otoritas legislatif yang diperlukan.” Dia mengulangi penegasannya di halaman 12 tentang, “Tidak adanya otoritas legislatif dalam masyarakat Islam.”
Meskipun dia menyadari adanya elemen legislatif penting dalam peradaban Islam, yaitu (ijtihad-penalaran hukum), dia berusaha menyimpangkan elemen ini dan mengatakan di halaman 15, “Ketiadaan otoritas legislatif dalam masyarakat Islam melahirkan ijtihad sebagai pengganti otoritas ini, untuk menggali hukum bagi masalah-masalah yang tidak diatur oleh syariat.”
Dia mencoba memalsukan ijtihad dengan klaimnya bahwa, “Para ahli fikih Islam tidak membatasi hak ijtihad pada individu atau kelompok, melainkan memberikan hak ijtihad kepada setiap muslim, tanpa ijtihad seseorang memiliki sifat mengikat bagi orang lain.”
Dia menjadikan ijtihad sebagai penyebab perbedaan dalam perkataannya, “Ijtihad menjadi berbeda-beda dan orang-orang terpecah belah karenanya karena sifat keagamaan yang diberikan padanya, dan dari perbedaannya itu muncul mazhab-mazhab fikih yang berubah menjadi mazhab-mazhab agama sektarian.”
Masalah ini didasarkan pada:
- Ketidakjelasan definisi (ijtihad). Jika ijtihad adalah (mengerahkan dan menguras usaha untuk mencapai hujah (bukti) tentang apa yang wajib dilakukan seorang muslim, melalui dalil dan penetapan syar’i), maka itu berarti (para mujtahid) membentuk badan pembuat undang-undang, yang menetapkan undang-undang yang dianggap sebagai legislasi dalam masyarakat Islam. Jadi, ijtihad hanyalah metode kerja otoritas legislatif, bukan muncul dari ketiadaan otoritas legislatif seperti yang ia isyaratkan. Bukankah otoritas legislatif di negara-negara Barat hanya terdiri dari sekelompok orang yang mengetahui undang-undang dan konstitusi, yang mendiskusikan urusan, dan menetapkan legislasi akhir yang harus diamalkan?!
- (Mentalitas pemalsuan) yang mendominasi (arus sekuler) menghalangi mereka untuk melihat kebenaran sebagaimana adanya, dan mendorong mereka untuk mencemarkan segala sesuatu yang terkait dengan Islam meskipun itu (baik).
- Ijtihad dalam peradaban Islam dianggap sebagai salah satu metodologi tertinggi yang diikuti dalam legislasi dan dibangun di atas dasar-dasar logika yang sehat yang paling kuat.
- Namun, penulis tidak mau menerima kecuali menjadikannya sebagai hal yang buruk. Dia berusaha menjadikan (tidak membatasi ijtihad pada individu atau beberapa individu) sebagai titik kelemahan, padahal itu adalah titik kekuatan terbesar dalam sistem legislatif Islam. Hal itu berarti setiap individu dalam masyarakat memiliki kemampuan untuk bercita-cita mencapai kedudukan ini, jika dia dapat mewujudkan kemampuan ijtihad pada dirinya sendiri dan mampu mencapai, melalui kesungguhan dan studi, tingkat keilmuan yang melayakkannya untuk itu. Ijtihad bukanlah (kurma) atau (sandwich) yang dimakan individu, melainkan membutuhkan tindak lanjut dan ketekunan hingga diperoleh kemampuan dalam akal dan jiwanya.
- Apakah undang-undang Barat melarang siapa pun untuk belajar hukum dan naik ke jenjang sekolah hukum, hingga ia mencalonkan diri ke badan legislatif dan menjadi pembuat undang-undang?! Atau apakah otoritas legislatif—seperti otoritas lainnya—terbatas di Barat pada individu-individu tertentu dari kelas tertentu yang tidak dapat dilampaui?!
- Ya, Islam tidak membatasi ijtihad pada seseorang atau kelompok, dan ini adalah kebanggaan dalam sistem Islam. Otoritas legislatifnya tidak dibentuk dari sekelompok partisan dalam kerangka positif tertentu, dan mereka tidak mengikuti hawa nafsu tertentu. Sebaliknya, dia menjadikan sifat (ijtihad) dan pengetahuan hukum dari dalil-dalilnya sebagai patokan kelayakan untuk masuk dalam otoritas legislatif. Apakah ini kekurangan sehingga penulis menyajikannya sebagai (hal negatif) pada peradaban Islam?!
- Adapun bahwa ijtihad tidak memiliki sifat mengikat, ini adalah ketidaktahuan tentang penelitian topik penting ini dalam ilmu legislasi Islam.
- Ijtihad yang dicapai mengikat bagi mujtahid itu sendiri tanpa perselisihan.
- Bagi mereka yang menganggap mujtahid itu lebih tahu daripada mujtahid lain.
- Untuk topik umum yang berkaitan dengan pengelolaan urusan pemerintahan, sifat mengikat adalah suatu kepastian jika mujtahid yang berkuasa sedang menjalankan perintah, setelah persetujuan ahli (Ahl al-Khibr) dari kalangan mujtahid—pemilik otoritas legislatif—dan penunjukannya sebagai (Wali al-Amr-Pemimpin Tertinggi), dan hukumnya berlaku, setelah terbuktinya ijtihadnya, kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan, dan tidak bertentangan dengan konstitusi dasar syariat. Tidak boleh ditolak bahkan oleh mujtahid lain.
Pengabaian penulis terhadap semua fakta ini, dan penyajiannya terhadap ijtihad seolah-olah seperti kurma yang dimakan, hanya didasarkan pada tujuannya untuk memalsukan dan meremehkannya.
- Adapun bahwa ijtihad berbeda-beda, dan orang-orang terpecah-belah, apakah parlemen di negara-negara Barat—yang memiliki satu peradaban—tidak berbeda, dan apakah rakyatnya tidak berbeda di setiap negara seputar parlemen mereka, dan apakah undang-undang mereka tidak berbeda sesuai dengan banyaknya parlemen mereka?! Dan apakah mereka memiliki (legislasi) yang tunggal?!
- Kemudian, perbedaan dalam mazhab fikih timbul dari perbedaan sudut pandang dan pemahaman terhadap sumber-sumber, dan itu mengikuti perbedaan metodologi mazhab dalam menentukan sumber-sumber tersebut dan sejauh mana kehujahannya, bukan sebaliknya seperti yang diinginkan penulis.
- Jika ada kesatuan kata dan kesamaan pandangan terhadap prinsip-prinsip agama dan prinsip-prinsip fikih, mazhab-mazhab fikih tidak akan berbilang sama sekali, kecuali dalam jumlah kecil.
- Jadi, ijtihad bukanlah penyebab keberadaan mazhab-mazhab sektarian, melainkan mazhab-mazhab sektarian dan pandangan intelektual yang beragam adalah penyebab perbedaan mazhab-mazhab fikih sesuai dengan sumber ijtihad di dalamnya.
- Alternatif Budaya
Tidak ada peradaban yang terbebas dari kesalahan dan hambatan yang menghalangi jalannya, tidak peduli seberapa kokoh dan kuat dasar serta teori yang dibangun di atasnya, bahkan yang diilhami dari sunnah dan syariat ilahi, karena jelasnya ketidakmaksuman orang-orang yang melakukan proses penerapannya, dan apa yang masuk di dalamnya berupa hawa nafsu dan keinginan, atau kesalahan dan perilaku yang didasarkan pada kelalaian.
Namun, menyerang suatu peradaban—apa pun itu—dan menyalahkannya secara keseluruhan dan mutlak, serta berfokus pada sisi negatifnya dan mengabaikan sisi positifnya, adalah bertentangan dengan kaidah keadilan dan hikmah yang paling mendasar, dan berlawanan dengan pandangan netral yang harus dimiliki oleh peneliti yang netral.
Namun, mereka yang menargetkan Islam di zaman kita tidak bersikap adil di sisi mana pun, baik di masa lalu maupun masa kini, baik akidah maupun syariatnya, baik sejarah, budaya, maupun warisannya. Sebaliknya, Anda melihat mereka melancarkan serangan demi serangan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
Ini adalah bukti yang jelas tentang (mentalitas pemalsuan) yang menguasai mereka, yang telah menutupi pendengaran dan penglihatan mereka, dan di dalam hati mereka ada penyakit yaitu keraguan terhadap segala sesuatu yang bersifat Islami!
Meskipun para sejarawan Barat bersaksi bahwa Islam datang pada masa kezaliman dan kegelapan Jahiliyah, untuk memberikan keadilan dan cahaya bagi bumi, dan menyelamatkan umat manusia dari jerat kebuasan, kebodohan, dan keburukan, lalu memberikan rahmat, ilmu, dan keutamaan, hingga umat Islam membawa obor petunjuk, kebaikan, dan ilmu selama berabad-abad, meskipun demikian, kaum sekuler baru melampaui kebenaran ini, dengan segala keberanian dan kekurangajaran.
Mereka berfokus pada hal-hal negatif yang menimpa umat Islam di tangan sekelompok kecil orang yang masuk ke dalam sejarah melalui pemalsuan, yang tidak merepresentasikan Islam dalam aspek positifnya apa pun. Tetapi sekulerisme berfokus pada contoh-contoh yang terdistorsi ini untuk mencemarkan citra Islam dan umat Islam, dan diam tentang contoh-contoh luar biasa yang melimpah dalam peradaban Islam di bidang pemerintahan, ilmu, dan akhlak.
Salah satu bentuk pemalsuan mereka adalah membandingkan (kemajuan teknologi) dengan (budaya Islam), padahal keduanya adalah dua kategori yang tidak dapat dibandingkan.
- Budaya Islam harus diukur dengan budaya Barat kontemporer, agar terlihat perbedaannya.
- Adapun kemajuan ilmiah dan teknologi bukanlah bukti keunggulan budaya dan pemikiran, melainkan bukti ketekunan dalam bekerja dan pemanfaatan kondisi dan potensi.
Sementara itu, umat Islam, karena tindakan penjajah Barat dan agen-agen mereka yang menjadi penguasa di kawasan tersebut, tetap jauh dari segala potensi kerja keras. Bahkan, pintu inovasi dan penemuan ditutup bagi masyarakat Muslim, dan para inovator dihadapi dengan pelecehan, bahkan penghinaan, pembunuhan, dan pengusiran, yang memaksa otak-otak Timur untuk bermigrasi ke Barat karena adanya potensi di sana, dan penghargaan mereka terhadap setiap akal yang tekun dan kreatif, serta merangkulnya hingga memutus kesetiaannya dari keluarga, tanah air, dan afiliasinya dengan rakyat dan agamanya!
Adapun setelah kebebasan relatif yang diperoleh negara-negara Islam, kemajuan ilmiah dan teknologi tercapai dengan kecepatan tinggi di tangan putra-putri Muslim, dan inovasi mereka berkembang, serta industri mereka maju dengan luar biasa. Namun, apakah negara-negara penjajah mengizinkan hal itu? Tidak! Mereka berusaha dengan berbagai cara dan tuduhan untuk menghalangi dan menghentikan setiap upaya semacam itu, bahkan dengan melancarkan perang, dan mengebom pabrik dan industri dengan berton-ton bom, seperti yang terjadi pada Irak, atau berupaya memaksakan blokade ekonomi atau isolasi politik untuk memutus jalan bagi negara-negara Islam mencapai tujuan ini, seperti yang mereka lakukan terhadap Republik Islam Iran.
Upaya penulis pada dasarnya didasarkan pada pendangkalan budaya Islam dan peremehannya, serta pencemaran citra sejarah Islam, sebagai pendahuluan untuk mencela Sunnah, yang merupakan pilar legislasi Islam.
Dia menyajikan serangkaian apa yang dia bayangkan sebagai (hal negatif) dan (masalah/kesulitan), tetapi itu dangkal, tidak didasarkan pada logika yang sehat, riwayat yang benar, atau kesimpulan yang tepat. Meskipun demikian, dia memuat dalam bukunya—sesuai atau tidak sesuai—isu-isu dan peristiwa-peristiwa sejarah, dan membicarakannya dengan cara yang tampak (benar).
Adanya kesenjangan yang dalam dalam sejarah Islam, yang mencoreng warisan Islam yang berharga, dan hal negatifnya menyeret reputasi agama, akidah, dan syariat, adalah hal yang tidak dapat disangkal. Namun, apa yang ditunjukkan oleh hal itu?! Bagaimana cara mengatasinya?! Bagaimana cara menyajikannya?! Dan mengapa menyajikannya?!
- Kaum muslim—umumnya—meyakini agama Islam dan prinsip-prinsip dasarnya, yaitu tauhid, kenabian, dan hari kiamat, berdasarkan inspirasi dari Alquran dan Nabi saw.
- Mereka memiliki kesamaan yang menyatukan mereka, yaitu Ka’bah, puasa Ramadan, salat harian, dan zakat. Tidak ada dua muslim pun yang berbeda dalam hal (ketetapan) yang diterima ini.
- Mereka berbeda dalam mengetahui hal-hal lain dari Islam dan ajarannya yang merupakan cabang-cabang praktis, dan itu muncul dari perbedaan mereka dalam metode pembuktian—secara kuantitas dan kualitas—yang sama sekali tidak menjadi penghalang dalam persatuan dan afiliasi agama mereka, maupun dalam persaudaraan Islam mereka.
- Satu kelompok besar muslim berpegang teguh pada Ahlulbait Nabi saw sebagai penunjuk jalan mereka, dan Imam yang mengajarkan hukum agama kepada mereka, dan mereka mengambil petunjuk dari bimbingan mereka dalam perilaku, akhlak, dan perbuatan, karena mereka adalah penerus Rasul yang beliau tunjuk sebagai Imam bagi umat, dan memerintahkan untuk berpegang teguh kepada mereka untuk menyelamatkan diri dari kesesatan, dan melepaskan diri dari penyimpangan dari Islam.
- Kelompok lain berpegang teguh pada sunah sahabat, karena mereka menganggap sahabat sebagai pembimbing yang terpercaya atas agama ini. Kelompok ini adalah yang paling banyak jumlahnya dan paling kuat tangannya. Kekuasaan sepanjang sejarah berada di tangan mereka dan di tangan mereka yang mendukung mereka di jalan ini.
Meskipun tidak ada yang mengatakan tentang sahabat bahwa mereka maksum (terjaga) dari kesalahan dan penyimpangan, baik secara akidah, pemikiran, maupun praktis, mereka menjadi jalan menuju agama di mata kelompok yang berpegang teguh pada mereka. Melalui mereka, hukum-hukumnya sampai, ayat-ayatnya ditafsirkan, dan perilakunya diketahui. Oleh karena itu, mereka harus dipercaya dan pandangan mereka harus diikuti—siapa pun mereka dan apa pun perbuatan mereka. Karena mereka merepresentasikan muslim pertama yang menegakkan urusan Islam, maka kita harus terikat pada mereka.
- Keraguan terhadap mereka berarti keraguan terhadap Islam itu sendiri dan ketetapan-ketetapannya.
- Penolakan terhadap sahabat, keberanian untuk mencela mereka, dan keberatan terhadap perilaku salah satu dari mereka sama dengan penolakan terhadap seluruh agama, dan kekafiran terhadap Islam dari akarnya, serta mencampuri semua keyakinan dasar yang mapan.
Apa pun penyebab, motif, dan asal mula ide ini di mata kelompok ini, dan mengapa mereka menyamakan antara sahabat dan Islam, hasilnya sudah jelas. Para penguasa yang memerintah sejarah Islam telah memanfaatkan ide ini untuk membenarkan setiap pelanggaran yang mereka lakukan, dan membentengi diri mereka terhadap setiap penentang atau pengkritik, dan terhadap setiap pertanggungjawaban atau penyelidikan. Oleh karena itu, kelas penguasa tetap aman dan tenteram dari pemberontakan muslim pada umumnya terhadap mereka.
- Adapun Syiah, yang tidak terikat pada ide ini, dan tidak terikat pada hal-hal yang mereka cabangkan darinya, mereka terikat pada prinsip-prinsip Islam yang mapan, dan mengandalkan Ahlulbait Nabi saw sebagai jalan untuk mengetahui hukum Islam.
- Mereka tidak diam terhadap perilaku yang dilakukan oleh para penguasa, amir, dan gubernur yang melampaui hukum-hukum yang mapan dalam agama. Mereka tidak mengakui hak mereka untuk melanggar hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
- Di barisan terdepan mereka adalah Imam Ahlulbait itu sendiri yang mengurus urusan agama, yaitu: Fathimah Zahra, Ali Amirul Mukminin, Hasan dan Husain cucu Rasulullah, dan para Imam lainnya, serta kaum Alawi yang mendedikasikan diri mereka untuk menentang pelanggaran dan penyimpangan dari hukum agama.
Sementara orang awam dari kelompok lain menjaga keyakinan dasar mereka pada Islam, mereka menemukan dalam kepatuhan pada sunah sahabat sebagai jalan untuk penjagaan itu. Mereka menganggap perilaku para khalifah—yang merepresentasikan pemerintahan Islam—sebagai urusan temporal, dan perilaku khusus yang akan hilang dan musnah, dan hanya Islam yang tersisa dengan prinsip-prinsip, keagungan, dan kebesarannya.
- Para teoretikus yang mengikuti kekuasaan telah lama berupaya untuk membenarkan perilaku-perilaku itu dengan menanamkan gagasan yang menyimpang seperti, Murjiah dan Jabariyah, dan berlindung di balik ijtihad dan pendapat, serta gagasan-gagasan menyimpang lainnya yang meyakinkan orang dan mencegah mereka bergerak untuk reformasi.
- Yang paling berbahaya yang mereka sebarkan adalah: kekafiran oposisi, dan keluarnya mereka dari agama, serta kewajiban untuk melawan mereka atas nama Islam.
Pada saat yang sama, orang-orang yang beriman pada Islam dalam prinsip-prinsipnya yang mapan dan ketetapan-ketetapan dasarnya menentang semua perilaku dan membantah gagasan yang membenarkannya. Namun, mereka menyajikan alternatif yang benar, kokoh, dan jujur, yaitu Imam Ahlulbait dan bimbingan mereka yang visioner dan fikih mereka yang cemerlang dan adil, serta perilaku mereka yang mulia. Dengan demikian, upaya para penyesat untuk mengafirkan oposisi menjadi sia-sia. Bagaimana mungkin suatu kelompok yang dipimpin oleh Imam Ahlulbait Nabi saw dikafirkan?! Dan diarahkan oleh baufan berharga mereka yang adil?!
- Ketika Syiah menentang apa yang tidak sesuai dengan kebenaran dari perilaku yang mencurigakan dan di luar batas syariat dan ketetapannya, dan perilaku rusak yang dilakukan oleh orang-orang atas nama kekhalifahan dan pemerintahan Islam, mereka hanya memalsukan perbuatan orang-orang ini.
- Penentangan mereka adalah demi menjaga Islam dan prinsip-prinsipnya, dan mereka datang dengan alternatif yang lebih terpercaya dan bertakwa, yaitu Ahlulbait as.
Jika mereka menyajikan masalah-masalah sejarah Islam, dan pelanggaran para khalifah dan amir, itu hanya bertujuan untuk mengarahkan orang awam kepada kebenaran yang benar dari apa yang dibawa Islam dalam hukum, cabang, perilaku, dan legislasinya, dan mengingatkan mereka bahwa kedekatan dengan Nabi saw hanyalah keutamaan—betapa agungnya—jika tidak disertai dengan penentangan terhadap apa yang beliau bawa dari prinsip, cabang, dan perilaku. Dan bahwa sahabat yang baik yang tidak menentang Nabi saw dalam hal itu dan tetap berada di jalannya hingga akhir banyak jumlahnya. Tetapi siapa pun yang keluar dari perilaku Islami dan kenabian tidak lagi memiliki kehormatan, dan ia tidak memiliki kehormatan di sisi Allah, rasul-Nya, dan orang-orang beriman.
Tidak seorang pun diizinkan menyerang salah satu dari mereka selama tidak terbukti dia melanggar Islam. Yang penting bagi setiap muslim adalah menjaga Islam, prinsip, dan bimbingannya, dan tidak ada yang berhak mengorbankan kehormatan Islam, siapa pun dia, baik Khalifah, Sahabat, Sultan, atau Amir.
- Adapun kaum sekuler—termasuk penulis—mereka memanfaatkan hal-hal negatif yang terjadi dalam sejarah Islam di tangan orang-orang dari kalangan Sahabat dan lainnya, untuk menyerang akar Islam, mencemarkan citranya, dan memalsukan legislasinya, sebagai sarana untuk menyerang sunah yang merupakan sumbernya.
- Penggunaan mereka terhadap ini hanyalah seperti (kalimat kebenaran yang dimaksudkan untuk kebatilan). Terjadinya pelanggaran itu adalah hal yang mapan, tetapi yang bertanggung jawab atasnya adalah pelakunya, bukan Islam, sunah, atau legislasi yang diandalkannya.
- Pelanggaran bukanlah alasan untuk menyerang agama, melainkan sarana untuk mengarahkan muslim pada umumnya dan memperbaiki jalan mereka, serta membimbing mereka kepada Islam yang benar dan sejati.
Upaya untuk menyerang agama dengan perilaku para sultan adalah tujuan yang diinginkan oleh para sultan yang korup itu sendiri, seperti Muawiyah, Hajjaj, para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, dan keluarga Usman, serta para pemimpin, raja, dan presiden negara-negara Islam yang mengikuti mereka di masa ini.
Kemudian, sekulerisme yang menargetkan penyerangan Islam dengan menyajikan isu-isu ini, pada dasarnya mengosongkan arena dunia Islam dari budaya atau peradaban apa pun, untuk menyerukan penggantiannya dengan peradaban Barat modern.
Jika syariat Islam dipalsukan, maka syariat Barat harus diadopsi. Dengan demikian, tujuan para agen Barat tercapai dalam mendangkalkan peradaban Islam, dan mengagungkan peradaban materialistik Barat di tempatnya.
Pada saat yang sama, sekulerisme—dengan tindakan keji ini—telah menjatuhkan kartu sejarah dari tangan para peneliti yang menyajikan tragedi sejarah Islam, untuk menyeru orang-orang kepada Islam. Tindakan mereka—yang mereka coba memalsukan Islam dengannya—menjadikan mereka di mata orang awam sebagai penentang Islam.
Mereka menyeret serta setiap orang yang mencoba memahami sejarah dengan benar ke dalam sangkar tuduhan menentang Islam dan memalsukan syariatnya! Dan ini sendiri merupakan keuntungan bagi sekulerisme, untuk membuyarkan upaya reformasi di dunia Islam, jika tidak mencapai tujuan utamanya setidaknya.
Namun, jika sekulerisme gagal dalam metode-metodenya untuk memalsukan syariat, maka dalam paya ini, ia lebih-lebih gagal lagi.
Penutup
Mengenai kitab (Tadwin al-Sunnah) karya Ibrahim Fauzi—baik dalam (judul) dan isinya, maupun dalam (tujuan) dan indikatornya—kami telah menjelaskan catatan-catatan kami terhadapnya. Penulis tidak konsisten menggunakan judulnya dengan benar, dan tidak memenuhi hak judul secara ilmiah, netral, dan objektif. Sebaliknya, dia menyajikannya secara bias dan tidak objektif, yang menimbulkan pertanyaan tentang keabsahan kesimpulan yang dia capai. Selain itu, dia tidak mengikuti metode dokumentasi yang diakui secara ilmiah, sehingga perlakuan terhadap sumber-sumbernya bersifat mengganggu, menimbulkan keraguan terhadap keabsahan dan kelengkapan kutipannya.
Adapun tujuannya, dia diringkas dalam (pemalsuan syariat Islam) dan upaya mengisyaratkan ketidakmungkinan penerapannya. Semangat pemalsuan ini telah menguasai akal dan pena penulis di setiap halaman buku. Ia terus-menerus mengikuti isu-isu seputar sunah, yang menjadi sandaran syariat Islam. Meskipun dia menemukan beberapa isu ini berlaku secara umum pada sunah, dia secara khusus menargetkan bagian muamalah (transaksi) dari syariat, menjadikannya pusat masalah. Di situlah terwujud kesimpulan yang dia cari dari seluruh bukunya, yaitu memalsukan syariat dan menjauhkannya dari ranah penerapan, sambil menyerukan penggantiannya dengan syariat Barat modern. Dia terus memuji dan membanggakan Syariat Barat karena konon sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai etika.
Di bagian lain dari pembacaan kami ini, kami telah menanggapi masalah-masalahnya terhadap sunah, membantahnya, dan membuktikan ketidakabsahan dan ketidakakuratannya, serta ketidaksesuaiannya dengan realitas dalam apa yang dia bayangkan tentang Sunnah yang dijadikan sandaran dalam fikih. Kami juga menunjukkan bahwa dia mencampuradukkan serangan terhadap Islam antara prinsip dan hukumnya dengan apa yang dicapai dan dijadikan Islam oleh orang-orang atau yang mereka bayangkan sebagai prinsip atau hukum. Perbedaan yang dia baca dan hitung hanya berlaku pada sejarah Muslim dan tidak menyentuh Islam sama sekali. Itu hanyalah gambaran yang salah dalam benak orang-orang itu, sebagaimana halnya dalam benak penulis dan orang-orang sekuler sejenisnya.
Kemudian, alternatif budaya yang diusulkan penulis tidak mungkin menjadi syariat yang berlaku dalam peradaban Barat kontemporer, karena kosongnya dan pertentangannya dengan prinsip dan nilai kemanusiaan yang paling mendasar, kegagalannya, dan penyimpangannya dari kaidah logika dan keadilan yang paling sederhana.
Pura-pura Barat dengan klaim hak asasi manusia, kebebasan, dan kesetaraan antara manusia, antara wanita dan pria, hanyalah (deklarasi) yang mereka gunakan melawan agama-agama dan rakyat Timur, untuk mendangkalkan budaya mereka, dan mengosongkan mereka dari syariat dan dasar peradaban mereka yang dibangun di atas tradisi dan norma khusus mereka, serta mendorong mereka kepada ketergantungan peradaban kepada Barat yang mengabaikan nilai dan prinsip, serta hak asasi manusia, pria, dan wanita, dan yang bergantung pada kekuatan, pemaksaan, perampasan, dan penindasan.
Kaum sekuler—dengan apa yang dilakukan penulis—hanyalah corong palsu yang disewa untuk propaganda Barat, dan tangan agen peradaban Barat dalam memalsukan Islam, akidah, dan syariatnya. Mereka melakukan apa yang dilakukan oleh para orientalis sebelumnya atas nama studi ilmiah dan akademis, dan apa yang dilakukan oleh rombongan kelima (agen rahasia) berupa tindakan sabotase terhadap rakyat lain, tetapi dengan lidah Arab, dan dengan pena Arab, dengan dalih hubungan mereka dengan Islam melalui studi sumber, warisan, pemikiran, dan syariatnya. Padahal, mereka hanyalah orang asing yang jauh dari rakyat ini, agama ini, dan warisan ini.
Pembacaan kami ini telah membuktikan kepalsuan semua klaim batil ini, dengan netralitas dan objektivitas, serta pengetahuan tentang warisan Islam, yang mereka klaim bertujuan untuk memalsukan, mengkritik, dan mempelajarinya!
Dan setelah ini, bagaimana mungkin Hadiah Pameran Buku Internasional di kota Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, diberikan kepada buku ini yang mengandung tujuan-tujuan ini dan secara terang-terangan menyerang dan memalsukan Sunah Nabawiyah dengan metode-metode ini? Apakah para pengawas Pameran Buku Internasional di Abu Dhabi, serta mereka yang memilih buku ini untuk memenangkan hadiahnya, tidak membaca buku ini? Atau apakah mereka tidak mengetahui tujuan-tujuannya? Atau apakah mereka mengetahui semua itu tetapi mereka bermaksud untuk menyerang Sunah Nabawiyah yang merupakan dasar Islam?
Terbitnya buku semacam ini di kalangan muslim, dan tindakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mempromosikan, menerbitkan, dan mendukung penulisnya dengan cara ini, menegaskan perlunya kaum muslim berpegang teguh pada sunah yang mulia dan mapan serta menggigitnya dengan gigi geraham. Dan hendaknya mereka mengetahui bahwa apa yang menjadi target orang-orang kafir dan agen-agen sekuler mereka, serta para penguasa yang mengikuti Barat—apapun yang mereka serang dari warisan, akidah, amal, sejarah, atau pendapat, atau siapapun yang mereka serang dari tokoh, ilmu, jejak, atau kebiasaan—mereka menyerangnya karena itu adalah kebenaran dan kejujuran. Dan tujuan mereka meniadakannya hanyalah untuk menghalangi kita dari kebaikan, keutamaan, dan keberkahannya, sebagaimana mereka menyerang Alquran, sunah, Rasul, Imam, ulama, dan para pejuang kita. Maka kita harus berhati-hati terhadap klaim mereka.
“Hanya kepada Allah-lah kami memohon pertolongan terhadap apa yang kamu katakan itu” (QS. Yusuf [12]:18).(6)
Catatan Kaki:
- Kitab (Tadwin al-Sunnah) karya (Ibrahim Fauzi) diterbitkan oleh Riyadh al-Rayyis li al-Kutub wa al-Nasyr–Cetakan Pertama–Januari/Januari 1994–London.
- Tadwin al-Sunnah al-Syarifah, hal.190–195.
- Dalam kitab kami (Ijazah al-Hadits) yang sedang kami persiapkan untuk diterbitkan dengan pertolongan Allah Ta’ala.
- Kami tidak mengkhususkan perkataan ini hanya pada institusi di dunia Barat, tetapi juga mencakup universitas di negara-negara Islam, dan Arab khususnya—secara keseluruhan—karena kurikulum studi dan silabus bab-babnya sesuai dengan Barat, meskipun berbeda dalam sarana dan alat, seperti bahasa—misalnya.
- QS. al-Najm [53]t:3 dan 4, hal.526.
- QS. Yusuf [12]:18, hal.237.