Oleh: Dr. Akram Jalal
Allah, Yang Mahaagung keagungan-Nya dan tersucikanlah Nama-nama-Nya, adalah Yang Maha Mengumpulkan semua kesempurnaan dan Yang Mahasuci dari kekurangan dalam setiap keadaan.
Dia menampakkan segala yang mungkin agar hikmah-Nya diketahui, kekuasaan-Nya tampak, dan kedudukan-Nya dikenal. Karena Dia, Yang Mahasuci dan Mahatinggi, Mahamulia dan Abadi, maka Dia jauh dari berurusan langsung dengan alam semesta yang mungkin (alam materi) dengan Zat-Nya Yang Mahasuci. Dalam hal ini, Shadrul Muta’allihin (Mulla Shadra) berkata ketika menyangkal apa yang diyakini oleh kaum Asya’irah tentang menyandarkan perbuatan alami dan parsial kepada Allah secara langsung, dengan alasan tidak adanya keserupaan (keserasian) antara Yang Abstrak (Immaterial) dengan alam materi:
“Dan yang pertama (menyandarkan perbuatan juz’iyah/parsial kepada Dzat secara langsung) adalah mustahil berdasarkan argumen-argumen yang pasti dan dalil-dalil tekstual; karena Zat-Nya Yang Mahasuci terlalu agung untuk melakukan perbuatan parsial yang berubah, mustahil, baru, dan fana. Dan siapa pun yang menyandarkan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan ini kepada-Nya, maka dia termasuk orang-orang yang tidak mengetahui hakikat Rububiyah (ketuhanan) dan makna ilahiah (keilahian).”(1)
Karena itu, para ahli filsafat dan irfan (gnostisisme) berpandangan bahwa al-Bari’ (Sang Pencipta) menghendaki agar pengaturan-Nya dalam ciptaan melalui seorang khalifah (wakil) yang bertugas pada kedudukan wilayah (otoritas spiritual/perwalian), yang merupakan Insan Kamil (Manusia Sempurna) pemilik al-Wilayah al-Muthlaqah (Otoritas Spiritual Absolut), yang mengambil curahan (Ilahi) dari al-Haqq (Allah Swt) dan menjadi perantara antara Dia dan makhluk-Nya. Karena itu, Dia menampakkan Hakikat Muhammadiyah dari Cahaya-cahaya-Nya yang Abadi, agar permulaan itu berasal dari hadirat-Nya yang Ahad.
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak berhubungan dengan makhluk-Nya kecuali melalui Nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Setiap Nama dari Nama-nama ini memiliki manifestasi dan penampakan, dan Nama Allah Yang Mahaagung adalah yang mengumpulkan Nama-nama tersebut, menjadi penghubung antara al-Haqq dan Nama-nama-Nya, serta perantara antara setiap Nama dan manifestasinya. Ia adalah Nama yang bermanifestasi dalam semua Nama, sehingga menjadi yang paling agung di antara semuanya. Sumbernya dan semua manifestasinya berada pada tingkatan al-Ahadiyyah al-Dzatiyyah (Keunikan Zat).
Hakikat Muhammadiyah yang kami sebutkan pada tingkatan Manifestasi Keunikan Zat (al-Tajalli al-Ahadi al-Dzati) adalah al-Shadir al-Awwal (Emanasi Pertama), di mana para arif (gnostik) dan banyak ahli hikmah serta mutakallim (teolog) berpandangan bahwa ia adalah Nur al-Anwar (Cahaya dari segala Cahaya), dan eksistensi yang meluas yang dari curahan-curahan-Nya-lah semua tingkatan maujudat (makhluk) tampak.
Sayid Abul Qasim Khoei berkata, “Allah memulai kitab-Nya yang tertulis (Alquran) dengan menyebut nama-Nya, sebagaimana Dia memulai kitab-Nya yang tercipta (alam semesta) dengan nama-Nya yang Paling Sempurna, maka Dia menciptakan Hakikat Muhammadiyah dan Cahaya Nabi yang Paling Mulia sebelum makhluk-makhluk lainnya.”(2)
Hakikat Muhammadiyah dan Tingkatan Ahadiyah dan Wahidiyah
Al-Shadir al-Awwal atau Hakikat Muhammadiyah adalah Manifestasi Teragung dari Nama Allah Yang Mahaagung (Manifestasi Wahidiyah), yang Dia ciptakan murni dengan kehendak-Nya (Masyi’ah) dan kesempurnaan keinginan-Nya (Iradah) dari azali hingga abadi,
(وَ مَا أَمْرُنَا إِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ بِالْبَصَرِ).
“Dan tidaklah urusan Kami itu, melainkan hanya satu (kali perintah) seperti sekejap mata.”(3)
Dia adalah bayangan Allah yang terbentang di antara semua alam dan Curahan-Nya Yang Tersuci (al-Faydh al-Aqdas). Allah Ta’ala berfirman,
(أَلَمْ تَرَ إِلَىٰ رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ وَلَوْ شَاءَ لَجَعَلَهُ سَاكِنًا…).
“Tidakkah engkau memperhatikan Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan bayangan? Dan sekiranya Dia menghendaki, niscaya Dia menjadikannya tetap…”(4)
Dia adalah Nafas al-Rahman (Kasih Sayang Tuhan),
(مَا خَلْقُكُمْ وَ لاَ بَعْثُكُمْ إِلَّا كَنَفْسٍ وَاحِدَةٍ…).
“Tidaklah penciptaan dan kebangkitan kamu itu melainkan hanya seperti satu jiwa…”(5)
Dia adalah Akal Universal (al-’Aql al-Kulli), dan dia adalah kitab Allah yang tercipta (al-Kitab al-Takwini)—yang kalimat-kalimatnya tidak akan habis. Allah Ta’ala berfirman,
(قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا).
“Katakanlah, ‘Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.’”(6)
Dia terkadang diungkapkan sebagai Cahaya dari segala Cahaya (Nur al-Anwar). Dari Cahaya Zat Ahadiyah (Keunikan Zat), semua tingkatan kesempurnaannya mengambil curahan tanpa perantara. Dan dari cahaya-cahaya-Nya (Hakikat Muhammadiyah), semua A’yan (hakikat-hakikat) mengambil cahaya keberadaan. Oleh karena itu, dia adalah sumber hakikat keberadaan dan makhluk yang paling mulia dari segi ilmu dan penampakan (al-’Ilm wa al-’Ain).
Dia terkadang diungkapkan sebagai Akal, terkadang Ruh Teragung (al-Ruh al-A’zham), dan terkadang sebagai Kutub dari segala Kutub (Quthb al-Aqthab) dan Hakikat dari segala Hakikat (Haqiqah al-Haqaiq).
Kami telah menyinggung sebelumnya bagaimana al-Haqq Ta’ala bermanifestasi kepada Zat-Nya Sendiri (menjadi saksi bagi Zat-Nya) melalui gambaran-gambaran Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, artinya bermanifestasi dari Zat-Nya kepada Zat-Nya dan menyaksikan keindahan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya. Maka Zat Ilahi tampak dalam pakaian Nama-nama dan Sifat-sifat al-Haqq Ta’ala, bermanifestasi dan memiliki penyaksian ilmiah yang terperinci. Nama-nama dan Sifat-sifat bagaikan cermin. Maka al-Haqq Ta’ala menjadikan Hakikat Muhammadiyah bersaksi atas hakikat-hakikat ilmu pada tingkatan Manifestasi Ilmiah, dan atas alam al-Syuhud (penampakan) pada tingkatan al-’Ain (penampakan/realitas).
Sebab-Sebab Efektif (al-’Ilal al-Fa’iliyyah) dan Final (al-’Ilal al-Gha’iyyah) dalam Qaus Nuzuli dan Qaus Shu’udi
Allah, Yang Mahaagung keagungan-Nya, adalah Sang Pencipta, Pelaku atas apa yang Dia kehendaki. Tetapi karena Zat-Nya Yang Mahasuci lagi Mahatinggi dari berurusan langsung dengan alam al-Imkan (kemungkinan/materi), Dia menjadikan kehendak-Nya (Masyi’ah) yang bertindak sebagai Pelaku, bukan Zat-Nya Yang Mahasuci. Diriwayatkan dari Abu Abdullah as bahwa dia berkata, “Allah menciptakan Kehendak (al-masyi’ah) sebelum segala sesuatu, kemudian Dia menciptakan segala sesuatu dengan kehendak.”(7)
Kehendak (al-Masyi’ah) adalah salah satu sifat perbuatan, dan perbuatan berada di luar Zat-Nya Ta’ala, yang berarti bahwa perbuatan dilakukan melalui kehendak-Nya (Perbuatan Allah Ta’ala). Dan al-Mushthafa (Nabi Muhammad) dan Ahlulbaitnya as adalah tempat perwujudan Kehendak Allah (mahallu masyii’ah Allah). Dikatakan dalam Ziyarah Jami’ah, “Salam atas tempat-tempat makrifat Allah.”
Allah Ta’ala menjadikan mereka sebagai perantara antara Dia dan makhluk-makhluk-Nya, dan ini tidak mengecualikan bahkan ruang dan waktu. Setiap maujud dalam keberadaan ini memiliki dimensi, yaitu panjang, lebar, kedalaman, dan waktu. Semua maujudat bertasbih kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
(…وَ إِنْ مِنْ شَيْئٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَٰكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ…).
“… Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka…”(8)
Tasbih ini pasti membutuhkan seorang Imam yang mengajarkannya, menunjukkannya, membimbingnya, dan membawanya menuju jalan yang benar untuk mencapai tingkatan diterimanya tasbih. Allah Ta’ala berfirman,
(وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ).
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”(9)
Maka, ruang dan waktu, untuk semua maujudat, semuanya tunduk pada pemeliharaan Imam Hujah pada zaman itu. Imam Mahdi yang dinanti-nanti afs adalah Imam bagi zaman (Imam li al-zaman) dan bukan di dalam zaman (fi al-zaman). Dia adalah Pemilik zaman (Shahib li al-’Ashr) dan bukan pemilik di dalam zaman (Shahib fi al-’Ashr). Oleh karena itu, kurun waktu dan zaman, kepada mereka, atas makrifat mereka, dan atas kedudukan dan Imamah mereka, telah, sedang, dan akan terus berputar. Dengan demikian, kita menyadari hakikat Sebab Efektif (al-’Illah al-Fa’iliyyah) bagi mereka as, dan tidak mengherankan jika mereka memiliki pengaruh dalam alam penciptaan (‘alam al-takwin) dengan izin Allah Ta’ala, sebagaimana Dia, Yang Mahaagung keagungan-Nya, telah mengizinkan sebagian nabi-Nya, seperti Isa as, dalam firman-Nya Ta’ala,
(…وَ إِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَ تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَ الْأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَ إِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَىٰ بِإِذْنِي…).
“… Dan (ingatlah) ketika kamu membentuk dari tanah berupa seperti bentuk burung dengan seizin-Ku, lalu kamu meniupnya, maka ia menjadi burung dengan seizin-Ku, dan kamu menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit kusta dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati (dari kubur) dengan seizin-Ku…”(10)
Maka, apa yang benar dinisbahkan kepada para nabi dengan kesaksian Alquran, tidak mengherankan jika benar juga, berdasarkan apa yang telah dikemukakan, bagi siapa pun yang masih memiliki keraguan, hendaklah ia merenungkan hadis Amirul Mukminin as.
Dari Abul Husain bin Abil Thayyib bin Syu’aib, Ahmad bin Qasim Hasyimi mengabarkan kepada kami, Isa mengabarkan kepada kami, Farrukh bin Farwah menceritakan kepada kami, Mas’adah bin Shadaqah mengabarkan kepada kami, dari Shaleh bin Maitsam, dari ayahnya yang berkata, “Ketika aku sedang berada di pasar, Asbagh bin Nubatah mendatangiku dan berkata, ‘Celakalah engkau, wahai Maitsam! Sungguh, aku telah mendengar dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as sebuah hadis yang sulit dan berat, bagaimana mungkin itu terjadi?’ Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Dia berkata, ‘Aku mendengarnya as berkata, ‘Sesungguhnya hadis kami Ahlulbait itu sulit lagi sangat sulit, tidak ada yang dapat menanggungnya kecuali malaikat muqarrab (yang dekat) atau nabi mursal (yang diutus) atau hamba yang telah diuji oleh Allah hatinya untuk beriman.’ Maka aku segera bangkit, mendatangi Ali as dan berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin! Ada hadis yang dikabarkan oleh Asbagh bin Nubatah darimu yang membuatku sangat sesak.’ Dia bertanya, ‘Apa itu?’ Lalu aku memberitahunya. Dia tersenyum, lalu berkata, ‘Duduklah, wahai Maitsam. Apakah setiap ilmu dapat ditanggung oleh seorang yang berilmu? Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi,’ mereka (malaikat) berkata, ‘Apakah Engkau hendak menjadikan di sana orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan-Mu.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’ Apakah kamu melihat para malaikat menanggung ilmu itu?’ Aku berkata, ‘Demi Allah! Ini lebih agung dari itu.’ Dia berkata, ‘Dan yang lain, ‘Sesungguhnya Musa as diturunkan kepadanya Taurat oleh Allah Azza wa Jalla, lalu dia menyangka bahwa tidak ada yang lebih berilmu darinya. Maka Allah Azza wa Jalla memberitahunya bahwa di antara ciptaan-Ku ada yang lebih berilmu darimu, dan itu karena Dia mengkhawatirkan nabi-Nya itu terkena kesombongan. Dia berkata, ‘Lalu dia berdoa kepada Tuhannya agar menunjukkan kepadanya orang yang berilmu itu. Dia berkata, ‘Maka Allah mempertemukannya dengan Khidir, lalu Khidir melubangi perahu, dan Musa tidak dapat menanggungnya. Dia membunuh seorang anak muda, dan Musa tidak dapat menanggungnya. Dia menegakkan dinding, dan Musa tidak dapat menanggungnya. Adapun orang-orang mukmin, sesungguhnya Nabi kami saw memegang tanganku pada hari Ghadir Khumm dan bersabda, ‘Ya Allah! Barang siapa yang aku adalah maula-nya (pemimpin/pelindungnya), maka Ali adalah maula-nya.’ Apakah kamu melihat mereka dapat menanggung itu kecuali orang yang dipelihara (dimaksumkan) oleh Allah dari mereka? Maka bergembiralah, sungguh bergembiralah, karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengkhususkan kamu dengan sesuatu yang tidak Dia khususkan kepada para malaikat, para nabi, dan para rasul, dalam hal apa yang kamu tanggung dari urusan Rasulullah saw dan ilmunya.’”(11)
Maka, sistem eksistensial, sebagaimana yang diciptakan oleh Allah Ta’ala, hakikat, poros, dan pusatnya adalah Zat Ilahi Yang Absolut. Adapun segala sesuatu yang Dia ciptakan, Yang Mahaagung keagungan-Nya, hanyalah manifestasi yang berbeda-beda dan curahan dari Cahaya-Nya Yang Tersuci (al-Nur al-Aqdas). Allah menghendaki keberadaan bagi siapa yang Dia kehendaki, dengan berbagai tingkatan dan kedudukan yang telah Dia ketahui dan hitung dengan ilmu-Nya, Dia Maha Mengetahui yang gaib dan nyata, Yang Mahabesar lagi Mahatinggi.
Semua maujudat (makhluk), pada hakikatnya, adalah sebab (‘ilal) dan akibat (ma’lul), yang tunduk kepada Sebab dari segala akibat, yaitu Allah Ta’ala. Segala sesuatu dalam eksistensi ini, selain Wajibul Wujud (Yang Pasti Ada) dan Pencipta-Nya, sesungguhnya keberadaan mereka adalah keberadaan yang bergantung (wujudun taba’iyyun) dan keberadaan yang disebabkan (wujudun ‘illiyyun). Dan sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Sebab Pertama (al-’Illah al-Ula) bagi keberadaan alam semesta, yang seluruhnya merupakan Busur Penurunan (Qaus Nuzuli) dari curahan Sumber Yang Absolut.
Karena curahan-curahan-Nya, Yang Mahaagung Keagungan-Nya, adalah Absolut, Sempurna, dan Berkelanjutan tanpa terputus, maka tingkatan-tingkatan eksistensial yang memiliki kemampuan untuk menyempurnakan diri dan menempuh perjalanan (al-Sayr) akan mengambil manfaat dari curahan-curahan al-Bari’ yang memungkinkan mereka mencapai tingkatan kesempurnaan tertinggi dalam Busur Kenaikan (Qaus Shu’udi), masing-masing sesuai dengan tingkat dan kemampuannya dalam penyempurnaan diri.
Adapun Insan Kamil (Manusia Sempurna), ia adalah Tujuan dan Sebab Final (al-’Illah al-Gha’iyyah) dari penciptaan, yang telah mencapai tingkatan kedekatan Ilahi yang tertinggi. Dialah Nabi al-Mushthafa saw dan Para Imam yang maksum as, Sebab Final bagi alam penciptaan (‘alam al-takwin). Mereka telah mencapai martabat termulia dan kedudukan tertinggi dalam Pengabstrakan Diri (al-Tajarrud) dan Penyempurnaan Diri (al-Takammul), di mana Al-Mushthafa mencapai kedudukan Fana’ fi Allah (melebur dalam Allah Ta’ala). Allah Ta’ala berfirman,
(فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ أَدْنَىٰ).
“Maka jadilah ia dekat (dengan Allah) sejarak dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi.”(12) Maka, dialah Tujuan dan Maksud, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya Ta’ala,
(وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ).
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”(13)
Sesungguhnya Cahaya dari segala Cahaya (Nur al-Anwar) adalah Curahan yang Meluas (al-Faidh al-Munbasith) dan Eksistensi Sempurna Yang Absolut (al-Wujud al-Tamm al-Muthlaq). Dari-Nya-lah diciptakan Cahaya-cahaya Suci bagi Nabi dan Wasi (Penerus), dan dari-Nyalah terpancar semua hakikat dan alam semesta, baik yang naik maupun yang turun.
Dari-Nyalah diciptakan cahaya Nabi al-Mushthafa dan wasinya al-Murtadha (Ali), agar keduanya menjadi Cahaya Suci, satu Hakikat Muhammadiyah dan Alawiyah, akal yang abstrak (‘aqlun mujarrad) yang mendahului alam semesta. Kemudian Allah Ta’ala menghendaki keduanya untuk menampakkan diri, lalu Dia menciptakan ruang dan waktu (al-Kawn wa al-Makan), di mana tingkatan-tingkatan eksistensi berupa makhluk, tempat, lapisan, bumi, benda langit, dan segala sesuatu di alam fisik, memulai Busur Penurunan (Qaus Nuzuli).
Cahaya tersebut berpindah-pindah di alam semesta dan sulbi-sulbi, dari ‘Alam al-Jabarut (Alam Kekuasaan) ke ‘Alam al-Malakut (Alam Kerajaan, atas dan bawah), ke ‘Alam al-Nasut (Alam Kemanusiaan) hingga al-Hayula al-Ula (Materi Awal), untuk kemudian tampak dalam Insan (ringkasan dari alam semesta). Cahaya itu terus berpindah di antara mata-mata para nabi dan orang-orang pilihan, di antara sulbi orang-orang suci (al-Thahirin) dan rahim orang-orang suci (al-Thahirat), hingga Cahaya dan Tanah (al-Thinah) itu sampai pada sulbi Abdul Muththalib, lalu terpisah pada dua orang yang paling suci: Abdullah dan Abu Thalib as.
Adapun Penyempurnaan diri dari yang terendah menuju yang paling sempurna adalah dalam Busur Kenaikan (Qaus Shu’udi). Maka Nabi al-Mushthafa saw, Amirul Mukminin (Ali), al-Zahra’ (Fathimah), Hasan dan Husain, serta Sembilan Imam yang maksum dari keturunan Husain as, semuanya telah mencapai derajat kesempurnaan tertinggi, sehingga mereka menjadi Tujuan (al-Ghayah) dan Sebab Efektif Tertinggi (al-’Illah al-Fa’iliyyah al-Qushwa) bagi semua maujudat. Ini bukan berarti bahwa dari merekalah keberadaan berasal, tetapi berarti dengan merekalah keberadaan itu tegak, dan di sekitar merekalah pergerakan eksistensi berputar, baik naik maupun turun, sejak zaman dahulu.
Thariq bin Syihab meriwayatkan dari Amirul Mukminin dan Pemimpin Kaum Monoteis, Ali as, bahwa dia berkata, “Maka kemuliaan (al-’Izzah) adalah untuk Nabi saw dan al-Itrah (keluarganya yang suci), dan Nabi dan al-Itrah tidak akan berpisah dalam kemuliaan hingga akhir masa. Mereka adalah Kepala Lingkaran Keimanan (Ra’s Da’irah al-Iman), Kutub Eksistensi (Quthb al-Wujud), Langit Kemurahan Hati (Sama’ al-Jud), Kemuliaan Maujudat (Syaraf al-Maujud), Cahaya Matahari Kemuliaan (Dhaw’ Syams al-Syaraf) dan Cahaya Bulannya (Nur Qamarih), Asal Kemuliaan dan Keagungan (Ashl al-’Izz wa al-Majd), Permulaannya (Mabda’uh), Maknanya (Ma’nah), dan Bangunannya (Mabnah).”(14)
Referensi:
- Shadrul Muta’allihin, al-Asfar al-Arba’ah, jil.8, hal.118.
- Al-Bayan fi Tafsir Alquran, Al-Sayyid al-Khoei, hal.433-434.
- QS. al-Qamar [54]:50, hal.531.
- QS. al-Furqan [25]:45, hal.364.
- QS. Luqman [31]:28, hal.413.
- QS. al-Kahfi [18]:109, hal.304.
- Syekh Kulaini, al-Kafi, jil.2, hal.50.
- QS. al-Isra’ [17]:44, hal.286.
- QS. al-Anbiya’ [21]:107, hal.331.
- QS. al-Maidah [5]:110, hal.126.
- Diriwayatkan oleh Furat dalam Tafsir-nya, jil.6, dan darinya Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 37, hal.233. Awalnya diriwayatkan oleh Syekh Shaduq dalam al-Khishal, hal.208. Dan Syekh Shaduq, Ma’ani al-Akhbar, hal.189. Dan Muhammad bin Ali Thabari, Bisyarah al-Mushthafa, hal.236.
- QS. al-Najm [53]:9, hal.526.
- QS. al-Dzariyat [51]:56, hal.523.
- Allamah Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 25, hal.171; Mirjahani, Mishbah al-Balaghah (Mustadrak Nahj al-Balaghah), jil.1, hal.197; Hafiz Rajab Bursi, Masyariq Anwar al-Yaqin, hal.114.