Oleh: Dr. Akram Jalal
(اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ و آلِ مُحَمَّدٍ)
“Ya Allah! Berikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad.”
Sesungguhnya, menyebut salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad adalah salah satu rahasia terbesar dan zikir yang paling utama. Allah Ta’ala telah mengkhususkan mereka–tidak seperti yang lain–untuk menerima salawat kepada mereka, ini dikarenakan kedudukan mereka yang agung, derajat mereka yang tinggi, dan kesempurnaan kemuliaan mereka. Allah Ta’ala menjadikan–salawat kepada mereka–wajib dalam salat harian, sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat mulia, sebagai pengagungan atas kedudukan mereka, pengenalan akan tempat mereka, dan sebagai pegangan pada tali (agama) mereka, serta mengambil (ilmu/petunjuk) dari mereka. Karena merekalah tali yang kuat (al-’urwah al-wutsqa), tali Allah yang kokoh, dan jalan-Nya yang lurus.
Orang yang merenungi dan mendalami ayat mulia ini akan mendapati bahwa Allah Ta’ala memulai dengan salawat terlebih dahulu, kemudian para malaikat-Nya, dan setelah itu Dia memerintahkan orang-orang mukmin untuk bersalawat kepada Nabi. Ini adalah isyarat yang jelas akan keagungan dan kekhususan ayat ini, yang akan kita jelaskan secara rinci kemudian.
Selanjutnya, menyelami uraian makna dan perenungan terhadap ayat yang menyebutkan salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad menuntut kita untuk berhenti sejenak: Pertama, pada tafsir linguistik dan makna-makna yang terkandung dalam penyebutan salawat; dan kedua, mengetahui sebab-sebab turunnya ayat mulia tersebut, dan kepada siapa ia diturunkan.
Makna Linguistik Salawat
Para ahli bahasa dan tafsir telah mengemukakan beberapa makna untuk kata “salawat” (الصلاة). Sebagian dari mereka mengatakan bahwa itu berarti ibadah dan doa. Ini seperti yang diisyaratkan oleh Ibnu Atsir dengan perkataannya, “Salawat dan salawat-salawat adalah ibadah yang khusus, dan asalnya dalam bahasa adalah doa, maka dinamakan dengan sebagian dari bagian-bagiannya.”(1) Dalam konteks yang sama, Ibnu Manzhur menyebutkan, “Salawat Adalah rukuk dan sujud. Salawat adalah doa dan istighfar(2) dan bisa juga bermakna doa, maka setiap orang yang berdoa adalah orang yang bersalawat.”(3)
Raghib Isfahani menyebutkan makna salawat sebagai, “Doa, pujian dan pemuliaan. Dikatakan: shallaitu ‘alaihi, yaitu aku mendoakannya dan memujinya.”(4) Sementara itu, Fairuzabadi dalam bukunya al-Shilah wa al-Busyar fi al-Shalah ‘ala Khair al-Basyar menyebutkan beberapa makna untuk salawat, seperti doa, rahmat, istigfar, dan pembacaan (al-qira’ah).(5) Meskipun ada perbedaan dalam menafsirkan makna salawat ini, semua merujuk pada satu makna, dan perbedaannya terletak pada sumber dan isi hadis di mana kata “salawat” disebutkan, sebagaimana akan kita jelaskan kemudian.
Makna Linguistik Salawat kepada Nabi saw
Para ulama bahasa dan tafsir berbeda pendapat dalam menjelaskan makna salawat kepada Nabi. Hal ini bisa jadi karena perbedaan mereka dalam menafsirkan makna salawat itu sendiri, atau karena beragamnya tafsir mereka akibat beragamnya bentuk salawat yang datang dalam beberapa rupa:
Salawat dari Allah (صَلاةُ الله)
Dalam Alquran mulia, terdapat banyak ayat yang mengisyaratkan salawat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin yang khusus. Allah Ta’ala berfirman,
(وَ بَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ * الَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيْبَةٌ قَالُوْا إِنَّا للهِ وَ إِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ * أُوْلَٰئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَ رَحْمَةٌ).
“… Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, * (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh salawat (ampunan dan rahmat) dari Tuhan mereka dan rahmat…”(6)
Dan dalam ayat lain,
(هُوَ الَّذِيْ يُصَلِّيْ عَلَيْكُمْ وَ مَلآئِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ).
“Dia-lah yang bersalawat (memberi rahmat) kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya…”(7)
Pemilik al-Mizan mengisyaratkan bahwa makna salawat yang disebutkan dalam surah al-Ahzab ayat 43 adalah rahmat dan karunia Ilahi yang mutlak, “Oleh karena itu, dikatakan, ‘Salawat dari Allah adalah rahmat, dari malaikat adalah istigfar, dan dari manusia adalah doa. Namun, yang dinisbatkan salawat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Alquran adalah salawat yang bermakna rahmat khusus bagi orang-orang mukmin, yang dengannya terwujud kebahagiaan akhirat dan kesuksesan abadi. Karena itu, Dia menjelaskan salawat-Nya kepada mereka dengan firman-Nya, ’…agar Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya…’”(8)
Syekh Shaduq–semoga Allah meninggikan kedudukannya–menegaskan bahwa salawat Allah kepada orang-orang mukmin adalah rahmat, salawat malaikat-Nya adalah penyucian (tazkiyah), dan salawat manusia adalah doa, ’Dia-lah yang bersalawat (memberi rahmat) kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu)…’ dan salawat dari Allah adalah rahmat, dari malaikat adalah pemurnian, dan dari manusia adalah doa.(9)
Syekh Fakhruddin Thuraihi memiliki penjelasan rinci dalam tafsirnya Gharib Alquran, di mana dia menyebutkan beberapa makna salawat, “Salawat memiliki empat wajah: salawat yang dikenal sebagaimana firman-Nya, ’… Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman…’(10) Memberi rahmat (al-tarahhum) sebagaimana firman-Nya, ’Mereka itulah yang memperoleh salawat (ampunan dan rahmat) dari Tuhan mereka dan rahmat…’(11) yaitu memberi rahmat. Doa sebagaimana firman-Nya, ’… Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka…’(12) yaitu doamu adalah ketenangan dan penegasan. Dan salawat malaikat kepada kaum muslim adalah istigfar (memohon ampunan) bagi mereka. Dan agama sebagaimana firman-Nya, ’… Apakah agamamu menyuruhmu…’(13) yaitu agamamu.(14)
Sayid Ali Khan Madani dalam bukunya Riyaḍh al-Salikin fi Syaraḥ Ṣhaḥifah Sayyid al-Sajidin as menyebutkan bahwa salawat dari Allah kepada Rasul saw adalah pengagungan atas kedudukannya, “Makna salawat kepada Rasulullah saw adalah mengagungkan beliau di dunia dengan meninggikan kalimatnya dan melanggengkan syariatnya, dan di akhirat dengan melipatgandakan pahalanya dan menambah ketinggian derajatnya.”15) Ibnu Atsir juga berpendapat demikian dalam kitabnya al-Nihayah fi Gharib al-Ḥadits, mengisyaratkan bahwa salawat berarti pengagungan, dengan mengatakan, “Adapun perkataan kita, ‘Allahumma ṣhalli ‘ala Muḥammad’ (Ya Allah! Berilah salawat kepada Muhammad,’ maknanya adalah agungkanlah beliau di dunia dengan meninggikan penyebutannya, menampakkan dakwahnya, dan melanggengkan syariatnya, dan di akhirat dengan memberi syafaat kepada umatnya, melipatgandakan ganjaran dan pahalanya.’ Dikatakan pula, ‘Maknanya, ketika Allah Swt memerintahkan untuk bersalawat kepada beliau, dan kita tidak mampu mencapai kadar kewajiban itu, kita menyerahkannya kepada Allah, dan kita berkata: ‘Allahumma ṣalli anta ‘ala Muḥammad’ (Ya Allah! Engkau-lah yang bersalawat kepada Muhammad), karena Engkau lebih mengetahui apa yang pantas baginya.’”(16)
Syekh Thabarsi dalam Majma’ al-Bayan menyebutkan makna salawat dari Allah kepada Nabi saw adalah penghormatan, pujian, dan pengagungan, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi…”(17) maknanya, “Sesungguhnya Allah bersalawat kepada Nabi saw, memuji beliau dengan pujian yang indah, dan menghormati beliau dengan penghormatan yang paling agung, dan para malaikat-Nya bersalawat kepada beliau (memuji beliau) dengan pujian yang terbaik, dan mendoakan beliau dengan doa yang paling suci.”(18)
Syekh Thusi dalam al-Tibyan menyebutkan bahwa salawat dari Allah datang untuk meninggikan derajat dan mengangkat kedudukan beliau, “Salawat Allah Ta’ala adalah apa yang telah Dia lakukan kepada beliau berupa kemuliaan-kemuliaan, pengutamaan, peninggian derajat, dan pengangkatan kedudukan beliau, pujian-Nya kepada beliau, dan jenis-jenis penghormatan lainnya.”(19)
Salawat dari Malaikat (صَلاةُ الملائكة)
Adapun salawat dari para malaikat, sebagian besar ulama terdahulu kita berpendapat bahwa maknanya terbatas pada tiga hal: istigfar, doa, dan penyucian (tazkiyah). Fakhral Muḥaqqiqin, Allamah Hilli, menyebutkan bahwa salawat malaikat adalah bertujuan untuk istighfar, dalam perkataannya, “Salawat dari Allah adalah rahmat, dan dari malaikat adalah istighfar.”(20) Dalam makna yang sama, Fakhruddin Razi mengisyaratkan dalam al-Tafsir al-Kabir, “Salawat dari Allah adalah rahmat, dan dari malaikat adalah istighfar.”(21)
Adapun salawat bermakna doa, Abu Hayyan Andalusi mengemukakannya dalam tafsirnya al-Baḥr al-Muḥiṭh dengan mengatakan, “Dia-lah yang bersalawat (memberi rahmat) kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu)…” bahwa taqdir-nya adalah: dan malaikat-Nya bersalawat, karena perbedaan makna kedua salawat tersebut; karena salawat dari Allah adalah rahmat, dan dari malaikat adalah doa.(22)
Salawat dari Manusia (صلاةُ الناس)
Para ahli bahasa, ahli hadis, dan ahli tafsir telah mengemukakan lebih dari satu makna untuk salawat manusia kepada Nabi saw. Makna yang pertama adalah doa. Syekh Shaduq berpendapat demikian dalam perkataannya, “Dia-lah yang bersalawat (memberi rahmat) kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu, dan salawat dari Allah adalah rahmat, dari malaikat adalah pemurnian, dan dari manusia adalah doa.”(23) Askari menegaskan hal ini dalam al-Furuq al-Lughawiyyah dengan perkataannya, “Dan salawat dari Allah adalah rahmat, dari malaikat adalah istighfar, dan dari manusia adalah doa.”(24) Baghawi juga berpendapat demikian dalam perkataannya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kalian untuk Nabi…” yaitu, “Doakanlah beliau dengan rahmat.”(25)
Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami’ Liaḥkam Alquran menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan salawat manusia dalam surah al-Ahzab ayat 56 adalah pengagungan atas Nabi saw, “Dan salawat kepada Nabi dari Allah adalah rahmat-Nya dan keridaan-Nya, dan dari malaikat adalah doa untuk beliau dan istighfar, dan dari umat adalah doa untuk beliau dan pengagungan terhadap urusan beliau.”(26)
Dalam Ma’alim al-Tanzil karya Baghawi, terdapat penegasan bahwa salawat manusia kepada Nabi saw berarti doa, “Dikatakan mengenai firman Allah Ta’ala, ‘Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi…’ bahwa salawat dari Allah dalam ayat ini adalah rahmat, dari malaikat adalah istigfar, dan dari orang-orang mukmin adalah doa.”(27)
Salawat Nabi atas Kaum Mukmin (صلاةُ النبيّ على المؤمنين)
Adapun ayat yang di dalamnya disebutkan salawat Nabi saw kepada orang-orang mukmin, dia terdapat dalam firman Allah Ta’ala,
(خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَ تُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ).
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka…”
Pemilik al-Mizan mengisyaratkan bahwa ayat ini adalah isyarat untuk doa bagi mereka, “Doa bagi mereka, dan konteksnya menunjukkan bahwa itu adalah doa kebaikan dan keberkahan bagi mereka dan harta mereka, dan inilah yang dijaga dari sunah Nabi ṣaw, di mana beliau mendoakan kebaikan dan keberkahan bagi pemberi zakat dan hartanya. Dan firman-Nya, ‘… Sesungguhnya doamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka…’ Kata al-Sakan (ketenteraman) adalah tempat yang menjadi tempat ketenangan sesuatu, dan yang dimaksud adalah bahwa jiwa-jiwa mereka menjadi tenteram dan yakin terhadap doamu. Ini adalah semacam bentuk syukur atas usaha mereka di jalan Allah, sebagaimana firman-Nya di akhir ayat, ‘… Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui’ adalah ketenangan yang menentramkan jiwa orang-orang mukalaf yang mendengar atau membaca ayat ini.”(28)
Riwayat-riwayat tentang Makna Salawat kepada Nabi saw
Sayid Ibnu Thawus meriwayatkan dari Abdurrahman bin Katsir, yang berkata, “Aku bertanya kepadanya (yaitu Imam Ja’far Shadiq) tentang firman Allah Tabaraka wa Ta’ala, ‘Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi…’ Beliau berkata, ‘Salawat Allah adalah pemurnian baginya di langit.’ Aku bertanya, ‘Apa makna penyucian Allah atasnya itu?’ Beliau berkata, ‘Dia menyucikannya, yaitu Dia membebaskannya dari setiap kekurangan dan penyakit yang melekat pada makhluk.’ Aku bertanya, ‘Lalu salawat dari kaum mukmin?’ Beliau bersabda, ‘Mereka membebaskannya dan mengenalkannya bahwa Allah telah membebaskannya dari setiap kekurangan yang ada pada makhluk berupa penyakit yang menimpa struktur penciptaan mereka. Maka barangsiapa yang mengenalkannya dan menyifatinya tidak seperti itu, maka dia tidak bersalawat kepadanya.’”(29)
Dari Abu Hamzah, yang berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah as tentang firman Allah Azza wa Jalla, ‘Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.’ Beliau berkata, ‘Salawat dari Allah Azza wa Jalla adalah rahmat, dari malaikat adalah pemurnian, dan dari manusia adalah doa. Adapun firman-Nya Azza wa Jalla, ‘…dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,’ maka itu berarti kepasrahan (taslim) kepada apa yang datang darinya.’”(30)
Dari Imam Ja’far Shadiq as, yang berkata, “Salawat kepada beliau dan kepasrahan kepada beliau dalam segala hal yang beliau bawa.”(31)
Dalam al-Iḥtijaj karya Thabarsi qs, (jilid 1, halaman 377), “Dan bagi ayat ini terdapat zahir (luar) dan batin (dalam). Yang zahir adalah firman-Nya, ‘ṣhallu ‘alayhi (bersalawatlah kalian kepadanya), dan yang batin adalah firman-Nya, ‘…dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,’ yaitu pasrahlah kepada orang yang diwasiatkan dan digantikan olehnya, dan yang diutamakan olehnya di atas kalian, serta apa yang diamanahkan kepadanya dengan kepasrahan.”(32)
Dari Nabi ṣaw, yang bersabda, “Ketika Allah menciptakan Arsy, Dia menciptakan tujuh puluh ribu malaikat, dan berfirman kepada mereka, ‘Berkelilinglah di sekitar Arsy-Ku yang bercahaya, sucikanlah Aku, dan pikullah Arsy-Ku.’ Mereka berkeliling dan menyucikan, dan mereka ingin memikul Arsy tetapi tidak mampu. Maka Allah Azza wa Jalla berfirman kepada mereka, ‘Berkelilinglah kalian di sekitar Arsy-Ku yang bercahaya, dan bersalawatlah kalian kepada cahaya keagungan-Ku, Muhammad kekasih-Ku, dan pikullah Arsy-Ku.’ Mereka berkeliling dan memikulnya, dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami! Engkau memerintahkan kami untuk menyucikan dan mengagungkan-Mu, dan Engkau memerintahkan kami untuk bersalawat kepada cahaya keagungan-Mu, Muhammad, apakah kami mengurangi dari tasbih kami?’ Maka Allah berfirman kepada mereka, ‘Wahai para malaikat-Ku! Jika kalian bersalawat kepada kekasih-Ku, Muhammad, maka sesungguhnya kalian telah menyucikan Aku, mengagungkan Aku, dan membaca tahlil untuk-Ku.’”(33)
Dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa salawat kepada Nabi mewajibkan ketinggian, kemuliaan, dan pahala. Karena sudah diketahui bahwa orang mukmin, dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala, mungkin diganggu oleh bisikan setan sehingga tersandung di sana-sini untuk masuk ke dalam kegelapan dosa. Maka salawat Allah baginya adalah keselamatan, rahmat, dan kasih sayang untuk mengeluarkannya dari kegelapan menuju cahaya. Dan ketika Rasulullah saw adalah cahaya, pelita, dan rahmat yang dihadiahkan oleh Allah kepada seluruh manusia, sesuai firman-Nya Ta’ala, “… Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan.”(34) Dan firman-Nya Jalla Jalaluhu, “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya, dan sebagai pelita yang bercahaya.”(35) Maka salawat Allah Jalla Jalaluhu kepada Cahaya ini adalah pengagungan atas kedudukan beliau, pengenalan akan kedekatan kedudukan beliau kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahatinggi, dan pembebasan beliau dari setiap aib atau kekurangan.
Penyebutan salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad telah diriwayatkan oleh banyak pemilik mazhab dan kitab al–Ṣhiḥaḥ (kitab hadis sahih), para ulama hadis dan tafsir, baik dari jalur Ahlussunnah maupun Syiah, dan dengan berbagai sumber dan sanad. Berikut adalah sebagian dari mereka yang meriwayatkannya:
- Ali bin Abi Thalib as
- Thalhah bin Ubaidillah
- Fathimah Zahra as
- Abu Umamah Bahili
- Imam Hasan as
- Abdurrahman bin Basyir bin Mas’ud
- Imam Husain as
- Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Anshari
- Ammar bin Yasir
- Fuḍhalah bin Ubaid
- Abu Dzar Ghifari
- Abdurrahman bin Auf
- Jabir bin Abdillah Anshari
- Barra’ bin Azib
- Abdullah bin Abbas
- Amir bin Rabi’ah
- Sahl bin Sa’ad Sa’idi
- Sa’id bin Umair Anshari dari ayahnya
- Ibrahim bin Yazid Nakha’i
- Jabir bin Samurah
- Abdullah bin Mas’ud
- Abu Burdah bin Dinar
- Abu Humaid Sa’idi
- Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif
- Abu Bakar bin Abi Quhafah
- Malik bin Huwairits
- Umar bin Khaththab
- Abdullah bin Juz’ Zubaidi
- Aisyah binti Abu Bakar
- Zaid bin Kharijah
- Anas bin Malik
- Watsilah bin Asqa’
- Abu Hurairah
- Hibban bin Munqidz
- Muhammad bin Munkadir
- Abdullah bin Amr bin Ash
- Abu Mas’ud Anshari
- Aus bin Aus
- Abu Rafi’ (maula Rasulullah ṣaw)
- Abdullah bin Aufa
- Buraidah bin Husaib Khuza’i
- Buraidah Khuza’i
- Abu Rafi’ bin Tsabit Anshari
- Ka’ab bin Ujrah
- Abu Thalhah Zaid bin Sahl Anshari
- Hasan Bashri
- Ruwaifi’ bin Tsabit Anshari
- Abdurrahman bin Bisyr bin Mas’ud
- Ubay bin Ka’ab
- Abu Sa’id Khudri.
Riwayat-riwayat dan hadis-hadis telah berbeda dalam menyebutkan cara bersalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ada yang datang secara panjang dan ada yang ringkas, namun semuanya mutawatir (diriwayatkan oleh banyak jalur), mustafiḍ (tersebar luas), dan pasti tetap di sisi setiap orang yang adil maupun yang tidak adil, tidak ada keraguan sedikit pun di dalamnya, dalam hal penyebutan dan pengaitan Keluarga (Al) Nabi dalam salawat kepada beliau saw.
Juga, al-Mushthafa (Nabi Muhammad) telah menekankan, dalam beberapa kasus, tentang kewajiban menyertakan Keluarga (Al) dalam salawat, jika tidak, maka itu adalah salawat yang terputus (batra’). Hadis-hadis sahih yang mutawatir datang menjelaskan cara dan bentuk yang diperintahkan, dan yang paling utama yang diriwayatkan adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Hamzah Tsumali, dari Ka’ab bin Ujrah, dia berkata, “Ketika ayat ini turun, kami berkata, ‘Wahai Rasulullah! Salam kepadamu ini telah kami ketahui, lalu bagaimana salawat kepadamu?’ Beliau bersabda, ‘Katakanlah: ‘Allahumma ṣalli ‘ala Muḥammad wa Ali Muḥammad kama ṣhallayta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim, innaka Ḥamidun Majid, wa barik ‘ala Muḥammad wa ali Muḥammad kama barakta ‘ala Ibrahim wa ali Ibrahim, innaka Ḥamidun Majid’ (Ya Allah! Berikanlah salawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan salawat kepada Ibrahim dan Keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia. Dan berikanlah berkah kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberikan berkah kepada Ibrahim dan Keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.’”(36)
Filosofi Bersalawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad
Perenungan, pemikiran, dan kontemplasi terhadap keagungan zikir ini, yang diisyaratkan dalam ayat,
(إِنَّ اللهَ وَ مَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا).
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Ini bertujuan untuk memahami hakikatnya dan menangkap esensi maknanya, dan akhirnya mencapai manfaat dan dampaknya dalam kehidupan spiritual kita, yang menarik seorang salik (penempuh jalan spiritual) menuju tangga tertinggi kedekatan Ilahi.
Salawat Allah Jalla Jalaluhu kepada Nabi saw dalam ayat mulia adalah isyarat yang fasih bahwa yang pertama bersalawat adalah Allah Ta’ala, dan ini diisyaratkan dengan penyebutan lafal Jalalah (Allah), yaitu Nama Terbesar (Ismul A’zham) yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan dan keindahan, dan merupakan nama bagi Zat Yang Mahasuci yang sempurna dan tersucikan dari setiap cela dan kekurangan. Tuhan Jalla wa ‘Ala mengkhususkan Nama ini untuk Diri-Nya. Ini adalah penanda yang menghimpun seluruh nama-nama Ilahi, dan bahwa semua maujudat (yang ada) adalah manifestasi dari sifat-sifat Zat Yang Mahasuci tersebut. Dari sini kita memahami keagungan firman “Sesungguhnya Allah” bersalawat, yaitu bahwa kedudukan Zat Yang Mahasuci bermanifestasi kepada kedudukan sifat-sifat.
Dan sebagaimana yang telah kami isyaratkan di awal penelitian dan yang ditunjukkan oleh sebagian besar riwayat, bahwa salawat Allah adalah perwujudan dari rahmat Ilahi, dan hakikat dari rahmat ini adalah kenabian mutlak, sesuai firman Allah Azza wa Jalla,
أَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيْشَتَهُمْ فِيْ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَ رَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَ رَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ).
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”(37)
Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa kenabian adalah rahmat Tuhanmu dan ia lebih baik daripada harta benda, dan bahwa Nabi saw adalah pemilik martabat kenabian mutlak, yaitu bahwa beliau adalah rahmat Allah mutlak bagi seluruh alam,
(وَ مَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَ نَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ).
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”(38)
Maka, salawat Allah kepada beliau datang sebagai pengungkap dan penunjuk atas Rahmat Mutlak tersebut yang terwujud dalam kenabian Muhammad al-Mushthafa saw.
Adapun salawat dari para malaikat dalam firman-Nya Ta’ala, “…dan malaikat-Nya bersalawat…” ini adalah isyarat bahwa salawat adalah perintah dan penugasan dari Allah Jalla Jalaluhu kepada para malaikat untuk menerapkan kedudukan manifestasi (tajalli). Salawat itu adalah pemurnian dan pengakuan akan kesempurnaan Nabi saw, keutamaan, dan kedudukannya, serta permohonan ampunan bagi umatnya. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,
(الَّذِيْنَ يَحْمِلُوْنَ الْعَرْشَ وَ مَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَ يَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْيٍ رَحْمَةً وَ عِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَ اتَّبَعُوا سَبِيلَكَ وَ قِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ * رَبَّنَا وَ أَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِيْ وَعَدْتَهُمْ وَ مَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَ أَزْوَاجِهِمْ وَ ذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ * وَ قِهِمُ السَّيِّئَاتِ وَ مَنْ تَقِ السَّيِّئَاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُ وَ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ).
“Malaikat-malaikat yang memikul Arsy dan (malaikat) yang berada di sekelilingnya, bertasbih dengan memuji Tuhannya, dan beriman kepada-Nya serta memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), ‘Ya Tuhan kami! Rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala! Ya Tuhan kami! Dan masukkanlah mereka ke dalam surga ‘dn yang telah Engkau janjikan kepada mereka, dan orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Sungguh, Engkau-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan barangsiapa yang Engkau pelihara dari (balasan) kejahatan pada hari itu, maka sungguh, Engkau telah melimpahkan rahmat kepadanya, dan itulah kemenangan yang agung.’”(39)
Salawat para malaikat di sini berada dalam kedudukan perbuatan dan manifestasi untuk mencurahkan karunia kepada setiap orang yang memiliki kesiapan untuk menerima curahan tersebut yang bersumber dari mata air kemurahan, sehingga ia memperoleh keutamaan dan kedekatan dari Yang Disembah. Oleh karena itu, salawat para malaikat adalah untuk mempersiapkan sebab-sebab bagi karunia Ilahi tersebut, “kepada Nabi saw”, yang merupakan Manifestasi Terbesar dari semua manifestasi tersebut. Nabi dan keluarganya yang suci adalah manifestasi dari Nama Allah Yang Terbesar (Ismul A’zham), dan mereka adalah cerminan dari Nama-nama Allah yang indah (Asmaul Husna), sebagaimana firman-Nya Ta’ala,
وَ للهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا).
“Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan (menyebut) nama-nama itu…”(40)
Adapun salawat orang-orang mukmin kepada Nabi dan salam penghormatan mereka dalam firman-Nya Ta’ala, “… Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” Ini adalah isyarat kepada manifestasi sifat-sifat Zat dalam kegaiban dan kesaksian, alam dan hati, akal dan jiwa, dengan segala tingkatan mereka, dan itu adalah penyerahan diri secara penuh (tamam al-taslim) kepada al-Mushthafa saw.
Lebih lanjut, al-Mushthafa saw hidup dan tidak jauh dari orang mukmin yang menjalankan risalah (ajaran Islam). Cahaya-cahaya Muhammad terus mengalir bersamanya, menerangi jalannya. Allah Ta’ala berfirman,
(وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَ أَنْتَ فِيهِمْ).
“Dan Allah tidak akan mengazab mereka, sedang engkau (Muhammad) berada di antara mereka…”(41)
Cahaya Muhammad dan keluarga Muhammad melimpah kepada para pengikut mereka dan mereka yang berjalan di jalur mereka. Beliau mengetahui amal perbuatan kita dan membalas salam kita. Bahkan, segala yang kita miliki adalah dari berkah al-Mushthafa dan keluarganya, dan apa yang kita berikan hanyalah sebagian kecil dari apa yang telah mereka limpahkan kepada kita. Salawat kita bertujuan untuk mendekatkan diri kepada mereka dan berusaha mengetahui kedudukan mereka. Dengan pengetahuan ini, salawat akan menyirami orang yang bersalawat dengan Rahmat Ilahi dari saluran curahan kasih sayang Tuhan, yaitu al-Mushthafa dan keluarganya, salawat Allah atasnya dan atas mereka semua. Dengan doa kita memohon rahmat bagi mereka, rahmat akan mengalir dan melimpah dari mereka as kepada orang lain yang mengenal mereka, mengikuti mereka, dan bersalawat kepada mereka. Dalam Ziarah Jami’ah terdapat penegasan makna ini, “Dan Engkau jadikan salawat kami kepada kalian dan apa yang Engkau khususkan bagi kami berupa wilayah (kecintaan/kepemimpinan) kalian, sebagai ṭhayyiban (kebaikan) bagi penciptaan kami, ṭhaharatan (kesucian) bagi jiwa kami, tazkiyyatan (penyucian) bagi kami, dan kaffaratan (penghapus) bagi dosa-dosa kami. Maka kami di sisi-Nya adalah orang-orang yang pasrah dengan keutamaan kalian, dan dikenal dengan pembenaran kami terhadap kalian.”
“Mengenai hal ini, diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau berkata, berbicara kepada Ali as, ‘Tahukah engkau apa yang aku dengar dari al-Mala’ al-A’la (golongan malaikat tertinggi) tentangmu pada malam aku diisrakan, wahai Ali?’ Aku mendengar mereka bersumpah demi Allah Ta’ala denganmu, memohon kepada-Nya kebutuhan mereka denganmu, dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kecintaanmu, dan mereka menjadikan salawat kepadaku dan kepadamu sebagai hal yang paling mulia untuk mereka beribadah kepada Allah. Aku mendengar khatib mereka di majelis terbesar mereka berkata, ‘Ali adalah Penghimpun segala jenis kebaikan, yang meliputi berbagai macam kemuliaan, yang padanya terkumpul kebaikan-kebaikan yang terpisah pada makhluk lainnya. Atasnya dari Allah Ta’ala salawat, keberkahan, dan penghormatan. Dan aku mendengar para malaikat di hadiratnya dan para malaikat di seluruh langit, hijab, Arsy, Kursi, Surga, dan Neraka berkata serempak ketika khatib selesai berkata, ‘Amin, Ya Allah, dan sucikanlah kami dengan salawat kepada beliau dan kepada keluarganya yang suci.’”(42)
Sesungguhnya, menyebut salawat kepada Nabi dan keluarganya adalah jalan untuk mengenal mereka, dan dengan mengenalnya, seorang mukmin akan mencapai kesamaan sifat (al-sunkhiyah) antara dirinya dan mereka. Pada tingkat ini, dia akan mampu menerima limpahan karunia Ilahi (al-fuyuḍhat al-ilahiyah). Oleh karena itu, zikir salawat adalah salah satu zikir terbesar yang mengantarkan kepada martabat ini, di mana orang yang berdoa siap untuk menerima curahan karunia tersebut. Dengan kata lain, ruh manusia tidak memiliki kemampuan untuk menerima Cahaya Rabbani, dan zikir salawat menaikkan ruh agar mencapai tingkatan yang memungkinkannya menerima Cahaya Ilahi tersebut. Cahaya itu kemudian memantul pada ruh mereka, dan hati menjadi terang, sehingga mukmin melihat jalannya dengan cahaya Allah.
Mengenai hal ini, diriwayatkan dari Imam Ali Ridha as bahwa beliau berkata, “Dalam hal yang ditanyakan oleh Khidir kepada Hasan bin Ali as, ‘Kabarkan padaku tentang seseorang, bagaimana dia berzikir dan bagaimana dia lupa?’ Beliau berkata, ‘Sesungguhnya hati seseorang berada dalam suatu wadah, dan di atas wadah itu ada penutup. Jika seseorang bersalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad dengan salawat yang sempurna, maka penutup itu akan tersingkap dari wadah itu, sehingga hati menjadi terang, dan seseorang mengingat apa yang telah dilupakannya. Dan jika dia tidak bersalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, atau mengurangi salawat atas mereka, maka penutup itu akan tertutup di atas wadah itu, sehingga hati menjadi gelap, dan seseorang melupakan apa yang telah diingatnya.’”(43)
Maka, salawat kita kepada Nabi dan keluarganya tidak menambah ketinggian atau kesempurnaan mereka, karena Allah Jalla wa ‘Ala telah melimpahkan kepada mereka derajat kesempurnaan tertinggi. Nabi adalah sempurna dengan cahaya keindahan (anwar al-jamal), dan merupakan manifestasi penghimpun dari semua manifestasi kesempurnaan, dan beliau adalah Qaba Qausain (sedekat dua busur panah) dalam alam terbesar. Dalam Ziarah Jami’ah terdapat pembenaran dan penegasan, di mana Imam berkata, “Maka Allah telah menyampaikan kalian ke tempat yang paling mulia dari orang-orang yang dimuliakan, dan ke kedudukan tertinggi dari orang-orang yang didekatkan, dan derajat tertinggi dari para rasul, di mana tidak ada yang dapat menyusul kalian, tidak ada yang dapat melampaui kalian, dan tidak ada yang dapat mendahului kalian, dan tidak ada orang yang berambisi yang berkeinginan mencapai kalian, hingga tidak tersisa satu pun malaikat yang didekatkan, tidak pula nabi yang diutus, tidak pula shiddiq (orang yang sangat membenarkan), tidak pula syuhada, tidak pula orang yang berilmu, tidak pula orang yang bodoh, tidak pula orang yang rendah, tidak pula orang yang utama, tidak pula mukmin yang saleh, tidak pula orang fajir yang celaka, tidak pula orang zalim yang keras kepala, tidak pula setan yang durhaka, dan tidak pula makhluk apapun di antara itu yang bersaksi, kecuali Dia telah mengenalkan kepada mereka keagungan urusan kalian, besarnya bahaya (kedudukan) kalian, kebesaran urusan kalian, kesempurnaan cahaya kalian, kebenaran tempat duduk kalian, keteguhan kedudukan kalian, kemuliaan tempat dan kedudukan kalian di sisi-Nya, kemuliaan kalian atas-Nya, kekhususan kalian di sisi-Nya, dan kedekatan kedudukan kalian dari-Nya.”
Dengan salawat ini, kita tidak memberikan manfaat atau meninggikan kedudukan mereka, karena kesempurnaan dan cahaya mereka seperti lautan, dan secangkir air di lautan tidak menambah besarnya lautan. Oleh karena itu, hakikat salawat ini adalah untuk menampakkan dan menjelaskan derajat mereka yang tinggi dan kedudukan mereka yang agung, dan dalam penampakan ini kita akan dibekali dengan Cahaya Muhammad yang menjadi sebab turunnya Rahmat Ilahi; karena beliau dan keluarganya yang suci adalah sumber, sebab, dan dampak dari curahan karunia Yang Maha Pengasih (al-Raḥmaniyah).
Dari Abu Abdillah as, yang berkata, “Dan aku bersaksi bahwa Engkau tidak memerintahkan salawat kepada beliau kecuali setelah Engkau dan malaikat-Mu bersalawat kepada beliau, maka Engkau turunkan dalam furqan-Mu yang bijaksana, ‘Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.’ Bukan karena Dia membutuhkan salawat dari seorang pun makhluk setelah salawat-Mu, dan bukan pula karena membutuhkan pemurnian setelah pemurnian-Mu, melainkan semua makhluk membutuhkan itu, karena Engkau telah menjadikan beliau pintu-Mu yang Engkau tidak menerima kecuali dari siapa yang datang melalui beliau, dan Engkau jadikan salawat kepada beliau sebagai pendekatan diri kepada-Mu, perantara kepada-Mu, dan kedekatan di sisi-Mu, dan Engkau menunjukkannya kepada kaum mukmin, dan memerintahkan mereka untuk bersalawat kepada beliau agar dengan itu mereka bertambah kemuliaannya di sisi-Mu.”(44)
Dalam menyebut salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad terdapat permintaan kepada Allah dengan rahmat untuk mereka, sebagaimana telah disebutkan. Dengan perbuatan ini, kita memberikan hadiah kepada Ahlul Karam (ahli kemuliaan) dan Ahlul Jud (ahli kedermawanan), dan mereka adalah orang-orang yang membalas keburukan dengan kebaikan, apalagi terhadap orang yang berbuat baik kepada mereka dan mendoakan rahmat bagi mereka. Meskipun doa itu tidak menambah ketinggian atau kemuliaan mereka, namun karena kebaikan dan kedermawanan mereka as, mereka akan membalas kebaikan dengan kebaikan, bahkan dengan kelipatannya, dan membalas dengan doa bagi orang yang bersalawat kepada mereka dan mendekatkan diri kepada mereka dengan mengenal hak dan kedudukan agung mereka.
Dari Ja’abi, dari Ibnu Uqdah, dari Ahmad bin Yahya, dari Usaid bin Zaid, dari Muhammad bin Marwan, dari Imam Jaf’ar Shadiq as, yang berkata, “Rasulullah ṣaw bersabda, ‘Salawat kalian kepadaku adalah pengabulan doa kalian dan pemurnian bagi amal-amal kalian.’”(45)
Kemudian, kita yang penuh kekurangan dan membutuhkan, jika kita memohon kepada Allah atau berdoa untuk diri kita sendiri, kita tidak tahu apakah doa kita akan dikabulkan atau ditolak karena keburukan perbuatan kita. Namun, ketika kita memulai dengan salawat kepada Nabi dan keluarganya, maka dengan bersalawat kepada mereka, kita mengetuk pintu-pintu perantara dan berusaha mencapai pengetahuan tentang mereka untuk menerima limpahan dan anugerah Ilahi. Dan karena mereka adalah perantara curahan Ilahi (wasa’iṭ al-fayḍh al-ilahi) bagi seluruh makhluk, maka dengan itu kita menjamin doa mereka bagi kita dan syafaat mereka kepada Allah agar Dia mengabulkan kita dan menurunkan curahan rahmat-Nya kepada kita.
Dalam hal ini, banyak hadis yang diriwayatkan tentang keutamaan memulai dengan salawat kepada Nabi termulia saw sebelum, selama, atau setelah doa, karena salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad adalah doa yang pasti dikabulkan, dan bukan termasuk kedermawanan Allah (padahal Dia adalah yang paling Dermawan dari semua yang dermawan) untuk mengabulkan doa salawat kepada Nabi tetapi menahan doa kita.
Dari Imam Ja’far Shadiq as, yang berkata, “Barang siapa bersalawat kepada Nabi dan keluarganya satu kali dengan niat dan keikhlasan dari hatinya, Allah akan memenuhi seratus hajatnya, tiga puluh untuk dunia, dan tujuh puluh untuk akhirat.”(46)
Ketika seorang mukmin menjalani zikir salawat kepada Muhammad dan keluarganya dengan pengetahuan dan kewaspadaan, dia akan mencapai keadaan spiritual dan kemampuan bertakwa (malakah taqwa’iyah) yang akan memantul pada perbuatannya, sehingga ia akan tenggelam dalam amal ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, dan tumbuhlah padanya rasa kasih sayang dan cinta yang menghubungkannya dengan Allah Ta’ala.
Dari Ibnu Masrur, dari Ibnu Amir, dari pamannya, dari Ibnu Abi Umair, dari Ibnu Sinan, dari Abu Abdillah as, yang berkata, “Rasulullah ṣaw berkata kepada Ali as pada suatu hari, ‘Maukah aku beri kabar gembira?’ Beliau berkata, ‘Ya, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu! Karena engkau senantiasa memberiku kabar gembira dengan segala kebaikan.’ Beliau bersabda, ‘Jibril baru saja memberiku kabar yang menakjubkan. Ali as bertanya kepadanya, ‘Apa yang dia kabarkan kepadamu, wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, ‘Dia mengabarkan kepadaku bahwa seorang laki-laki dari umatku, jika dia bersalawat kepadaku dan mengikutinya dengan salawat kepada keluargaku, maka pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya, dan para malaikat akan bersalawat kepadanya tujuh puluh kali, dan meskipun dia seorang pendosa yang keliru, dosa-dosanya akan berguguran darinya sebagaimana daun-daun berguguran dari pohon. Dan Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Labbayka ya ‘abdi wa sa’dayk’ (Aku penuhi panggilanmu, wahai hamba-Ku, dan Aku bahagiakan engkau). Dan Allah berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Wahai malaikat-malaikat-Ku! Kalian bersalawat kepadanya tujuh puluh kali, dan Aku bersalawat kepadanya tujuh ratus kali.’ Dan jika dia bersalawat kepadaku dan tidak mengikutinya dengan salawat kepada keluargaku, maka akan ada tujuh puluh hijab antara salawat itu dan langit, dan Dia Jalla Jalaluhu berfirman, ‘La labbayka wa la sa’dayk’ (Tidak Aku penuhi panggilanmu dan tidak Aku bahagiakan engkau). ‘Wahai Malaika-malaikat-Ku! Jangan kalian naikkan doanya kecuali dia menyertakan keturunanku bersama nabi-Ku,’ dmaka dia akan terus terhalang hingga dia menyertakan keluargaku bersamaku.’”(47)
Salawat Ilahi yang mengandung pengetahuan ini mewajibkan keluarnya wali-wali Allah dan kekasih-kekasih-Nya dari kegelapan jiwa untuk menembus tabir-tabir cahaya. Cahaya inilah yang dengannya wali-wali Allah melanjutkan jalan kesempurnaan menuju tangga-tangga kedekatan Ilahi. Perjalanan ini bersumber dari perantara curahan Ilahi yang mengantarkan kepada sumber keagungan (ma’din al-’aẓhamah).
Dalam Munajat Sya’baniyah terdapat perkataan yang diriwayatkan dari Imam Zainal Abidin as, “Ya Ilahi! Berikanlah kepadaku kesempurnaan keterputusan (dari selain-Mu) kepada-Mu, dan terangilah pandangan hati kami dengan cahaya pandangannya kepada-Mu, hingga pandangan hati menembus tabir-tabir cahaya, lalu sampai ke sumber keagungan, dan ruh kami bergantung pada kemuliaan kesucian-Mu.”
Kita tutup dengan riwayat dari Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad as, yang berkata, “Apabila Nabi ṣaw disebutkan, maka perbanyaklah salawat kepada beliau, karena sesungguhnya barangsiapa bersalawat kepada Nabi ṣaw satu kali salawat, maka Allah akan bersalawat kepadanya seribu kali salawat dalam seribu barisan malaikat, dan tidak ada sesuatu pun dari apa yang telah diciptakan oleh Allah kecuali akan bersalawat kepada hamba tersebut karena salawat Allah kepadanya dan salawat malaikat-Nya. Maka barangsiapa yang tidak menyukai hal ini, dia adalah orang yang bodoh lagi tertipu, yang telah berlepas diri darinya Allah, rasul-Nya, dan keluarga Ahlulbaitnya.”(48)
Referensi:
- Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Ḥadits, jil.3, hal.50.
- Ibnu Manzhur, Lisan al-’Arab, jil.14, hal.464.
- Ibnu Manzhur, Lisan al-’Arab, jil.14, hal.465.
- Al-Raghib fi Mufradatih, hal.285.
- Fairuzabadi, al-Ṣhilat wa al-Busyar, hal.16-20.
- al-Baqarah [2]:155-157, hal.24.
- QS. al-Aḥzab [33]:43, hal.423.
- Sayid Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, jil.16, hal.329.
- Syekh Shaduq, al-I’tiqadat fi Din al-Imamiyyah, hal.25.
- QS. al-Nisa [4]:103, hal.95.
- QS. al-Baqarah [2]:157, hal.24.
- QS. al-Taubah [9]:103, hal.203.
- QS. Hud [11]:87, hal.231.
- Fakhruddin Thuraihi, Tafsir Gharib Alquran, hal.43.
- Sayid Ali Khan Madani Syirazi, Riyaḍh al-Salikin fi Syarḥ Ṣhaḥifah Sayyid al-Sajidin as, jil.1, hal.421.
- Ibnu Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Ḥadits, jil.3, hal.50.
- QS. al-Aḥzab [33]:56, hal.426.
- Syekh Thabarsi, Tafsir Majma’ al-Bayan, jil.8, hal.179.
- Syekh Thusi, al-Tibyan, jil.8, hal.359.
- Fakhrul Muḥaqqiqin Ḥilli, Iḍhaḥ al-Fawaid fi Syarḥ Musykilat al-Qawaid, jil.1, hal.6.
- Fakhrurrazi, al-Tafsir al-Kabir, jil.25, hal.215.
- Abu Hayyan Andalusi, Tafsir al-Baḥr al-Muḥiṭh, jil.1, hal.560.
- Syekh Shaduq, al-I’tiqadat fi Din al-Imamiyyah, hal.25.
- Abu HilalAskari, Mu’jam al-Furuq al-Lughawiyyah, jil.1, hal.558.
- Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, surah al-Ahzab, hal.1051.
- Tafsir Qurṭhubi, hal.14-232.
- Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, jil.1, Ayat Salawat kepada Nabi, hal.20.
- Sayid Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, jil.9, hal.377.
- Sayid Ibnu Thawus, Jamal al-Usbu’, Bab 6, hal.234.
- Syekh Shaduq, Ma’ani al-Akhbar, hal.368.
- Allamah Majlisi, Biḥar al-Anwar, juz 2, hal.204.
- Syekh Thabarsi, al-Iḥtijaj, jil.1, hal.377.
- Syekh Bursi, Mashariq Anwar al-Yaqin, Mustadrak al-Wasail, Bab Istihbab al-Ikthar min al–Ṣhalat ‘ala Muḥammad wa Ali Muḥammad, hal.241.
- QS. al-Maidah [5]:15, hal.110.
- QS. al-Aḥzab [33]:45 dan 46, hal.424.
- Tafsir Abi Ḥamzah al-Tsumali, hal.269, hadis ke-240.
- QS. al-Zukhruf [43]:32, hal.491.
- QS. Saba’ [34]:28, hal.431.
- QS. Ghafir [40]:7-9, hal.467.
- QS. al-A’raf [7]:180, hal.174.
- QS. al-Anfal [8]:33, hal.180.
- Allamah Majlisi, Biḥar al-Anwar, juz 41, hal.21, hadis ke-12.
- Dinawari, Uyun al-Akhbar, jil.1, hal.66; Thabarsi, al-Iḥtijaj, hal. 142; Barqi, al-Maḥasin, hal.332; Nu’mani, al-Ghaybah, hal.27.
- Allamah Majlisi, Biḥar al-Anwar, juz 87, hal.82.
- Syekh Thusi, al-Amali, jil.1, hal.219.
- Rawandi, al-Da’awat, hal.33; Biḥar al-Anwar, jzu 94, hal.70, hadis ke-63.
- Syekh Shaduq, Tsawab al-A’mal, hal.167; Allamah Majlisi ,Biḥar al-Anwar.
- Syekh Kulaini, al-Kafi, jil.2, hal.492.