Oleh: Ustaz Haidar Habballah
Teks Syubhat (Keraguan/Pertanyaan):
Apa yang dimaksud dengan salawat kepada Nabi? Apakah itu benar-benar hanya mengatakan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad (Ya Allah! Berikanlah rahmat/salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad)? Saya sudah banyak meneliti masalah ini, namun saya belum menemukan jawaban yang meyakinkan mengenai makna dari doa salawat kepada Nabi (selain bahwa pahalanya besar). Padahal, doa salawat kepada Nabi (terlepas dari maknanya) seolah-olah tidak pada tempatnya setelah ayat Alquran memberitahu kita bahwa Allah memberikan salawat kepadanya. Kami sampaikan penghargaan dan penghormatan kami yang setinggi-tingginya.
Jawaban: Kami telah membahas topik ini dalam pelajaran tafsir mingguan, dan saya dapat merangkumnya sebagai berikut:
Tradisi Islam telah berbicara tentang kata salawat (الصلاة) dalam bahasa Arab, yang diartikan sebagai doa, dan hal ini menjadi sangat terkenal. Mereka mengatakan bahwa asal kata tersebut berarti doa, tetapi ketika Islam datang, maknanya berubah menjadi makna khusus, yaitu salat (sembahyang) yang kita lakukan setiap hari. Namun, pandangan yang rajih (paling kuat) menurut saya adalah jika kita mengambil kata salawat pada akar bahasanya, dia tidak berarti doa, melainkan doa adalah salah satu bentuk dari salawat. Saya akan menjelaskan hal ini sebentar lagi secara singkat.
Berdasarkan pemahaman madrasah (tradisional) bahwa salawat berarti doa, atau pemahaman alternatifnya, para ulama berbeda pendapat mengenai makna salawat kepada Nabi, yang disebutkan dalam Alquran mulia.(1) Ada beberapa upaya tafsir dan analisis yang menonjol:
Upaya Tafsir Pertama
Ini adalah upaya yang paling terkenal, yang berpendapat bahwa salawat berarti doa, sehingga salawat kita kepada Nabi berarti doa kita untuknya.
Upaya tafsir ini menghadapi masalah dengan awal ayat suci,
(إِنَّ اللهَ وَ مَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ…).
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat kepada Nabi…”(2)
Jika salawat kepada Nabi berarti doa, apa artinya bahwa Allah bersalawat kepada Nabi? Apakah Allah berdoa kepada selain-Nya seperti kita berdoa kepada-Nya dengan ucapan: Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ali Muhammad?
Karena itu, para pendukung upaya tafsir ini mengatakan bahwa penggunaan kata salawat yang disandarkan kepada Allah di awal ayat adalah penggunaan majaz (kiasan); yang dimaksudkan adalah rahmat, perhatian, ampunan, dan penyucian (tazkiyah) Allah Swt kepada Nabi saw. Tafsir ini juga disebutkan dalam beberapa riwayat. Jadi, maknanya menjadi: Sesungguhnya Allah merahmati Nabi, maka hadapkanlah diri kalian dengan doa kepada Allah agar Dia merahmati Nabi.
Upaya tafsir ini baik, hanya saja ia bermasalah dengan ketidakselarasan antara awal ayat dengan akhirnya. Anda berkata kepada seseorang, “Saya dan teman-teman saya berolahraga, maka berolahragalah Anda,” di sini jelas Anda mengajaknya untuk melakukan hal yang sama seperti yang Anda lakukan, bukan mengajak untuk melakukan perbuatan lain selain perbuatan Anda, tetapi menggunakan istilah yang sama. Ayat tersebut mengatakan bahwa Allah dan malaikat-Nya bersalawat kepada Nabi, maka datanglah kalian, wahai manusia, untuk bersalawat kepadanya juga, artinya melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan Allah dan para malaikat. Menganggap penggunaan kata (salawat) dalam satu ayat, sekali dalam makna hakiki yaitu doa, dan kali lain dalam makna majazi yaitu tindakan rahmat, ampunan, dan tazkiyah—dalam konteks seperti ini—tampaknya agak kontradiktif atau kurang jelas dan tidak selaras, dan inilah yang Anda rasakan juga sebagaimana terlihat dari pertanyaan Anda.
Apa yang mendukung hal ini—meskipun kami tidak mengklaimnya sebagai bukti kuat—dan menafikan kemungkinan doa, adalah bahwa jika salawat berarti doa, apa arti dari konstruksi “shalawat ‘alaihi (salawat kepadanya)” kecuali doa yang ditujukan kepadanya, padahal ini bertentangan dengan tafsir yang dimaksudkan dari kata tersebut, kecuali jika kita menafsirkan kata tersebut sebagai singkatan dari kalimat: Allahumma shalli ‘ala Muhammad (Ya Allah! Bersalawatlah kepada Muhammad), sehingga kata ‘alaihi (kepadanya) didatangkan hanya untuk mengisyaratkan susunan doa ini, tidak lebih.
Upaya Tafsir Kedua
Upaya ini berpendapat bahwa salawat dalam arti bahasanya menunjukkan apa yang mengungkapkan kecintaan pada kebaikan bagi orang lain, atau pengagungan terhadap orang lain. Maka, segala sesuatu yang mengungkapkan kecintaan pada kebaikan bagi orang lain atau pengagungannya, itu adalah salawat kepadanya. Oleh karena itu, doa adalah salah satu makna salawat yang paling terkenal; karena doa memberitahu kita tentang kecintaan Anda kepada orang yang Anda doakan. Asal salawat adalah dari pujian yang indah dan penampakan kebaikan bagi orang lain, oleh karena itu dalam bahasa ia mencakup ucapan salam. Jika Anda mengucapkan salam kepada seseorang, orang Arab akan mengatakan bahwa Anda telah shallaita ‘alaihi (bersalawat kepadanya). Jika Anda memuji seseorang, orang Arab akan mengatakan bahwa Anda telah shallaita ‘alaihi; karena Anda menyukai kebaikan baginya dan menunjukkannya kepadanya, atau karena Anda mengagungkannya.
Berdasarkan upaya tafsir ini, makna ayat menjadi seperti ini: Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya menampakkan kecintaan pada kebaikan bagi Nabi, maka datanglah kalian, wahai manusia, untuk menampakkan kecintaan kalian pada kebaikan dan keselamatannya bagi Nabi, dengan mengagungkannya, memuliakannya, mengirimkan doa kepadanya, dan lain-lain. Atau, sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya mengagungkan dan memuliakan Nabi ini, maka datanglah kalian untuk mengagungkan dan memuliakannya. Dengan demikian, doa menjadi salah satu bentuk penampakan kecintaan pada kebaikan bagi Nabi, atau pengagungannya, bukan berarti doa itu sendiri adalah makna dari Salawat kepada Nabi.
Upaya ini sangat baik, dan menghilangkan masalah yang dihadapi oleh upaya sebelumnya, tetapi ia memerlukan tambahan sederhana terkait dengan penafsiran akar kata (salawat), dan membedakannya dalam berbagai penggunaannya. Saya akan menyinggung beberapa hal yang dikemukakan dalam konteks ini sebentar lagi, insya Allah.
Upaya Tafsir Ketiga
Ini adalah apa yang disebutkan oleh beberapa mufasir, termasuk Allamah Thabathaba’i, di mana mereka mengatakan bahwa salawat dalam asal bahasa berarti al-in’ithaf (membelok/melentur/berpaling dengan perhatian). Kata: Shallaa ‘alaihi, artinya ia membelok/berpaling ke arahnya. Allah membelok ke arah hamba-hamba dan menghadapkan diri kepada mereka dengan rahmat, cinta, perhatian, dan kelembutan-Nya. Hamba-hamba juga membelok ke arah satu sama lain dengan salam, doa, pujian, sanjungan, rasa syukur, rahmat, pemberian bantuan, dan lain-lain. Dengan ini, makna ayat suci menjadi: Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya membelokkan pandangan mereka ke arah Rasulullah saw, maka belokkanlah (hadapkanlah) pandangan kalian ke arahnya.
Upaya ini, seperti yang sebelumnya, sangat baik, tetapi memerlukan pelengkap dalam analisis akar kata, jika tidak, ia akan tampak seperti klaim belaka.
Upaya Tafsir Keempat
Ini adalah apa yang dikemukakan sebagai kemungkinan analisis linguistik, dan sebelum saya menjelaskannya, saya harus menjelaskan bahwa peneliti bahasa bekerja untuk menganalisis akar dari mana penggunaan linguistik untuk perubahan bentuk kata dan konstruksinya berasal, bukan membayangkan bahwa kata memiliki lusinan makna karena dia menemukan orang Arab menggunakannya di lusinan tempat. Sebaliknya, ada satu akar, atau dua, atau tiga, dari mana perubahan bentuk yang didasarkan pada perumpamaan atau kedekatan, atau lainnya, muncul. Inilah yang dilakukan oleh Ibnu Faris, penulis kamus Muqayis al-Lughah, dan yang dilakukan oleh Sayid Mustafawi dalam kitabya al-Tahqiq yang terkenal. Siapa pun yang menemukan asal usul bahasa atau asal usul bahasa kata tersebut, maka dia akan memahami penggunaannya dengan cara yang lebih baik.
Di sini saya dapat mengatakan bahwa para ahli bahasa telah berbeda pendapat dan bingung mengenai akar kata salawat, antara yang mengatakan (ص ـ ل ـ ي) dan yang mengatakan (ص ـ ل ـ و). Berdasarkan perkiraan pertama, sebagian besar penggunaan kata dapat disatukan, berbeda jika berdasarkan perkiraan kedua. Kami tidak ingin membahas penelitian linguistik di sini dan mana dari kedua perkiraan itu yang lebih rajih (lebih kuat), tetapi jika kita memilih akar yang pertama, dan menganggapnya benar, maka itu mungkin menjelaskan kepada kita sebagian besar penggunaan kata ini dan sejenisnya dalam bahasa Arab. Akar ini berarti hubungan (ittishal) dua hal satu sama lain, keterikatan dan saling sentuh keduanya. Dari sinilah dikatakan dalam makna Salawat: bahwa asalnya berarti keterikatan (al-luzum), sebagaimana yang dikemukakan oleh Zajjaj. Dari sini, kuda kedua disebut al-mushalla, yaitu yang mengikuti kuda pertama dan terhubung dengannya tanpa ada kuda lain di antara keduanya. (Tentu saja ada diskusi mengenai akar Babel, Aram, atau Ibrani dari kata ini, dan bahwa dia berpindah ke bahasa Arab). Jadi, akarnya kembali kepada konsep sambungan (al-washl) dan keterhubungan (al-tashliyah). Dari sini kita katakan: tashlahu al-naar (dia terpanggang api), artinya dia menyentuhnya dan terhubung dengannya. Berdasarkan ini, dianggap bahwa mereka yang mengemukakan dua asal untuk kata ini, yaitu asal salawat dalam arti ibadah, dan asal salawat dalam arti al-tashliyah dan apa yang berhubungan dengan api, tidak berhasil; karena mereka membedakan antara akar ya’i dan wawi di sini. Jika kita memilih kesatuan akar dan bahwa itu adalah ya’i, maka akan lebih mungkin bahwa asalnya adalah satu, yaitu sambungan dan koneksi/hubungan (al-washl wal-ittishal), dan kepadanya dikenakan perubahan bentuk dan tambahan konstruksi, serta tasydid (penekanan) pada (shallaa) untuk menunjukkan pengikatan; seolah-olah dengan salawat dia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan membuatnya terhubung.
Dan jika kita menyatukan semua penggunaan (ص ـ ل ـ ي) dalam analisis linguistik dengan cara ini, maka kata salawat (الصلاة) dalam konotasi linguistik umumnya akan berarti terjadinya hubungan (ittishal) antara dua orang atau dua pihak. Di sini, kita menerapkan makna linguistik umum ini pada strukturnya, yang terkadang melalui perubahan bentuk kata kerja, atau terkadang melalui penambahan yang melekat pada kata kerja seperti: shallaa ilaa (bersalawat ke) dan shallaa ‘alaa (bersalawat atas/kepada), dan lain-lain.
Jika kita melihat ungkapan: (shallaa lahu) bersalawat baginya, artinya adalah dia melakukan tindakan menghubungkan dan menyambungkan, dan itu untuk kepentingan orang lain, sehingga orang lain itu adalah tujuan, pihak, dan sasaran dari tindakan tersebut.
Dan jika kita melihat ungkapan: (shallaa ‘alaihi) bersalawat atasnya/kepadanya, artinya adalah terhubung dengannya, tetapi hubungan itu turun kepada orang lain, karena penambahan kata ‘alaa (atas/kepada) mengisyaratkan pencurahan hubungan (shilah) tersebut kepada orang lain, sedangkan (shallaa lahu) mengisyaratkan kesetaraan kedua pihak atau bahwa pihak lain lebih tinggi dari pihak pertama, dan bahwa tujuan adalah pihak lain. Bedanya adalah bahwa dalam (shallaa lahu): yaitu menjadikan hubungan itu didahulukan untuknya dan dialah tujuannya, sama seperti Anda memberikan hadiah kepada seseorang, Anda menghubunginya atau mewujudkan hubungan dengannya dan untuknya. Sedangkan dalam (shallaa ‘alaihi) Anda menjadikan hubungan Anda turun kepadanya, seperti sedekah yang diberikan kepada orang miskin.
Karena itu, ketika kita mengaitkan kata salawat dengan fakta bahwa ia adalah suatu tindakan yang berasal dari kita terhadap Allah agar kita mendekatkan diri kepada pihak lain dan kita mendapat manfaat dari kedekatan ini, maknanya adalah (shallaa lahu wa ilaihi) bersalawat bagi-Nya dan kepada-Nya, yaitu saya mewujudkan hubungan untuk-Nya dan untuk tujuan-Nya. Dan ketika makna ini dikaitkan dengan urusan ibadah, maka ia akan menunjukkan segala bentuk ritual ibadah yang tujuannya adalah untuk berhubungan dengan Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kata Salawat dalam bahasa, ketika dikaitkan dengan Allah dari sisi hamba, tidak secara khusus berarti salat (sembahyang) Islam dan tidak berarti doa, melainkan berarti segala bentuk tindakan ritual simbolis ibadah yang bertujuan untuk berhubungan dengan Yang Mahatinggi, dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan kasih sayang-Nya, dan menganggap-Nya sebagai tujuan untuk itu, bukan dengan tujuan menurunkan kebaikan kepada-Nya. Dari sinilah Alquran menggunakan kata salawat baik dalam surat-surat Makkiyah maupun Madaniyah, tanpa kata tersebut berarti adanya perpindahan linguistik, melainkan menggunakannya dalam makna hakikinya dalam semua agama. Oleh karena itu, Anda mengatakan, “Orang Kristen bersalawat (berdoa/ibadah) di gereja,” dan Anda tidak bermaksud makna majazi (kiasan), tetapi itu adalah makna hakiki. Orang Arab menggunakan salawat sebelum Islam dalam makna ini untuk setiap tindakan ibadah ritual simbolis yang biasanya memiliki kinerja fisik, dan Alquran menggunakan kata tersebut dalam makna ini ketika mengucapkannya pada nabi-nabi sebelumnya.
Adapun (al-shalatu ‘alaa) salawat atas/kepada, itu adalah penurunan rahmat, kebaikan, dan keberkahan, atau penurunan penampakan keduanya, atau penurunan perhatian—ungkapkanlah sesuka Anda—kepada orang lain. Maka, ketika Allah bersalawat kepada Nabi, Dia menurunkan kebaikan-Nya kepadanya. Demikian pula ketika para malaikat bersalawat, mereka menurunkan kebaikan kepada Muhammad. Namun, ketika orang-orang beriman bersalawat kepada Nabi, para ulama merasa sulit untuk menganggap itu memiliki makna yang sama, oleh karena itu mereka menganggapnya sebagai doa agar Allah menurunkan kebaikan-Nya kepada Nabi, padahal tidak ada keharusan untuk itu. Sebaliknya, kita juga mengirimkan kebaikan kepadanya, sebagai ungkapan rasa syukur dan balasan paling minimal atas apa yang telah dia lakukan, sebagai pengakuan kita atas jasanya.
Setiap penyebutan namanya, penghidupan ajarannya, doa untuknya, pengangkatan nama dan penyebutan namanya dalam azan, iqamah, dan tasyahhud, penjelasan tentang keutamaan dan kebaikannya, penyebaran agama dan ajarannya, penyampaian salam kepadanya, perhatian kepadanya, akhlak yang baik dengannya—semua itu adalah salawat kepada Nabi, dan salawat yang dikenal hari ini hanyalah manifestasi yang menonjol dari manifestasi hubungan (shilah) kita dengan Nabi. Kita menghadapkan diri dengan doa kepada Allah agar Dia menurunkan kebaikan-Nya kepadanya, dan dengan doa kita ini kita memberikan hadiah kepada Nabi yang dia manfaatkan darinya. Maka, salawat orang-orang beriman kepada Nabi—seperti rasa syukur, penyebutan, pengangkatan namanya, doa untuknya, dan lain-lain—adalah pemberian dan kebaikan yang sampai kepada Nabi dan diberikan oleh orang-orang beriman kepadanya dan kepada namanya di dunia. Setiap salam kepada Nabi, setiap penyebutan namanya dengan kebaikan, setiap rasa syukur atas usahanya, setiap penyebaran kebaikan dan keutamaannya, setiap penampakan kecintaan kepadanya, setiap doa untuknya, setiap penjagaan kehormatannya pada keluarganya, dan lain-lain, adalah salawat dan pemberian yang kita berikan kepada Nabi sebagai ungkapan cinta, syukur, dan penghormatan kita kepadanya. Kita adalah pihak yang menjaga agar namanya tetap lestari di bumi atas perintah Allah, dan melalui orang-orang beriman, namanya tetap lestari dan kedudukannya tetap tinggi di antara manusia. Itu adalah hadiah yang kita berikan kepadanya.
Dengan demikian, upaya tafsir ini menjadi pelengkap bagi upaya tafsir kedua dan ketiga sebelumnya, di mana penampakan cinta atau pengagungan disebut salawat karena itu adalah hubungan (shilah) yang kita berikan kepadanya dan pemberian yang kita tunjukkan di hadapannya, sebagai pengakuan atas jasanya. Dan in’ithaf (perhatian/membelok) disebut Salawat karena dengan membelok ke arah seseorang, Anda mencurahkan perhatian, salam, dan kepedulian Anda kepadanya. Jadi, tiga tafsir terakhir semuanya benar jika digabungkan untuk membentuk tafsir yang menentukan. Dengan ini, berbagai penggunaan linguistik dari kata salawat di kalangan orang Arab dapat ditafsirkan, kecuali yang menyimpang.
Makna ayat tersebut kemudian menjadi seperti ini: Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya memberikan perhatian, hubungan, pemberian, cinta, rahmat, dan pelayanan mereka kepada Nabi, maka datanglah kalian, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, agar kalian juga memberikan segala hubungan (shilah) kepada Nabi, pemberian, dan cinta. Maka sebutlah namanya, agungkan namanya, angkatlah dakwahnya, umumkanlah rasa syukur yang abadi kepadanya, hadapkanlah diri dengan doa kepada Allah untuk kepentingannya, muliakanlah dia di bumi, sanjunglah dia, dan janganlah kalian lalai dalam menunaikan hak-haknya kepadanya, dengan segala sesuatu yang dapat kalian berikan kepadanya, dan jagalah kehormatannya pada keluarganya dan lain-lain.
Mungkin salah satu pendukung hal ini adalah ayat berikutnya, di mana konteks ayat-ayat tersebut datang sebagai berikut,
(إِنَّ اللهَ وَ مَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا * إِنَّ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ لَعَنَهُمُ اللهُ فِيْ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ وَ أَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِيْنًا).
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam dengan penghormatan. Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan menyediakan bagi mereka azab yang menghinakan.”(3)
Salawat kepada Nabi dapat diilhami di sini bahwa ia berlawanan dengan tindakan menyakitinya.
Saya percaya bahwa makna ini—sebagai hasil dari analisis linguistik ini, dan didasarkan pada hipotesis akar ya’i untuk kata tersebut—sangat koheren dan umum, dan dikemukakan sebagai kemungkinan linguistik yang patut dipertimbangkan dan diunggulkan. Dengan demikian, Salawat yang dikenal kepada Nabi (Allahumma shalli ‘ala Muhammad) dengan berbagai formulanya, akan menjadi salah satu manifestasi dari salawat kepada Nabi, tetapi bukan manifestasi yang eksklusif. Seolah-olah itu telah menjadi simbol yang ditetapkan dalam syariat dari simbol-simbol tersebut. Jika tidak, segala bentuk doa untuk Nabi juga merupakan salawat kepadanya, Wallahu a’lam (dan Allah Maha Mengetahui).
Ini adalah kemungkinan-kemungkinan tafsir yang paling menonjol mengenai Salawat Allah dan orang-orang beriman kepada Nabi. Dan mungkin yang paling kuat—menurut pandangan saya yang terbatas—adalah tafsir gabungan dari tiga tafsir terakhir sebagaimana yang telah kami jelaskan. Namun, masalah ini memerlukan studi yang lebih cermat dalam analisis linguistik akar ya’i dan wawi dari kata tersebut sebelum diputuskan, karena penyelesaiannya tidak sederhana, dan kami meninggalkannya untuk kesempatan lain.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَ تَرَحِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَ تَحَنِّنْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ وَ بَارَكْتَ وَ تَرَحَّمْتَ وَ تَحَنَّنْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
“Ya Allah! Berikanlah salawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berikanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berikanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, dan berikanlah kasih sayang kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberikan salawat, keberkahan, rahmat, dan kasih sayang kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim di seluruh alam. Sesungguhnya Engkau Mahaterpuji lagi Mahamulia.”(4)
Catatan Kaki:
- QS. al-Ahzab [33]:56.
- QS. al-Ahzab [33]:56, hal.426.
- QS. al-Ahzab [33]:56 dan 57, hal.426.
- Jawaban ini dipublikasikan di situs resmi YM. Ustaz Haidar Habballah.