Dalam perjalanan spiritual manusia, setiap langkah menuju kesempurnaan tidak hanya ditandai oleh pengetahuan tentang agama, tetapi terutama oleh pengalaman batin yang mendalam: penyucian jiwa. Dalam Islam, konsep penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) bukanlah gagasan abstrak, melainkan jalan hidup yang konkret, sebagaimana diajarkan oleh para nabi, wali, dan para sufi. Salah satu ulama kontemporer yang menyoroti pentingnya pengarahan spiritual dalam tazkiyah adalah Ayatullah Mohammad Ali Shomali, seorang pemikir spiritual dan filsuf Islam dari Iran. Ia menekankan bahwa seorang guru spiritual memiliki dua cara dalam memberi bimbingan: dengan memandang semua murid sama, atau dengan memahami kondisi spiritual masing-masing individu.
Pendekatan ini sejalan dengan tradisi sufistik Nusantara, terutama ajaran Syekh Siti Jenar, tokoh kontroversial yang menekankan kesatuan antara Tuhan dan manusia. Namun, di balik kontroversi itu, terdapat pesan mendalam tentang akhlak dan penyucian diri yang sangat relevan dengan gagasan Shomali. Artikel ini mencoba menjembatani dua arus besar itu: spiritual guidance dalam Islam klasik sebagaimana dirumuskan Shomali, dan akhlak sufistik pembebasan ala Syekh Siti Jenar.
1. Hakikat Pengarahan Spiritual Menurut Mohammad Ali Shomali
Mohammad Ali Shomali dalam tulisannya Spiritual Guidance: An Islamic Perspective on Self-Purification menjelaskan bahwa tujuan utama pengarahan spiritual adalah menolong manusia mencapai keseimbangan antara dimensi rasional dan ruhaniah. Guru spiritual (mursyid) berperan sebagai cermin yang membantu murid mengenali kekurangan dirinya dan menumbuhkan kesadaran ilahi. Shomali mengutip prinsip Alquran: Sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Al-Syams: 9–10).
Menurut Shomali, setiap jiwa memiliki potensi kesucian. Namun, potensi itu sering tertutup oleh hawa nafsu, kesombongan, dan cinta dunia. Maka, pengarahan spiritual harus dilakukan dengan dua cara: (1) pendekatan umum (kolektif), di mana guru memberi nasihat moral dan petunjuk umum kepada semua murid, dan (2) pendekatan personal (individual), di mana guru memperhatikan kondisi spiritual masing-masing, seperti tabiat, kebiasaan, dan tingkat kesiapan ruhani mereka. Pendekatan kedua lebih efektif karena setiap jiwa memiliki warna dan jalan yang unik. Sebagaimana seorang dokter ruhani, sang guru tidak bisa memberikan resep yang sama untuk semua pasien spiritual.
2. Jalan Tazkiyatun Nafs dan Makna “Penyucian Jiwa”
Konsep tazkiyah (penyucian jiwa) berakar pada makna ganda: menyucikan dan menumbuhkan. Jiwa yang suci tidak hanya bersih dari dosa, tetapi juga subur oleh amal saleh dan cinta Ilahi. Shomali menekankan bahwa penyucian diri bukan sekadar menjauhi larangan, melainkan memurnikan niat, memperhalus batin, dan menumbuhkan akhlak mulia. Dalam bahasa tasawuf, penyucian jiwa adalah proses fana (peleburan ego) dan baqa (ketetapan dalam kehendak Tuhan).
Dalam konteks sufisme, tazkiyah merupakan suluk (perjalanan spiritual) yang menuntut mujahadah (perjuangan batin) dan muraqabah (kesadaran terus-menerus akan kehadiran Tuhan). Shomali menegaskan, tanpa guru spiritual yang benar dan bimbingan syariat, tazkiyah mudah tergelincir ke dalam ilusi ego. Hal ini menjadi titik temu dengan pandangan Syekh Siti Jenar yang menekankan pentingnya pembebasan dari nafsu duniawi sebagai jalan menuju kesatuan hakiki dengan Allah.
3. Akhlak Sufistik Syekh Siti Jenar: Dari Kesadaran ke Keesaan
Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya tentang manunggaling kawula Gusti, kesatuan antara hamba dan Tuhan. Banyak yang menafsirkan ajaran ini sebagai puncak kesadaran spiritual — bukan keserupaan hakiki, melainkan kesadaran fana, di mana ego manusia lenyap dan hanya realitas Ilahi yang tersisa. Namun di balik gagasan metafisis itu, terdapat ajaran akhlak yang sangat kuat. Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa kesatuan dengan Tuhan tidak mungkin dicapai tanpa mati sajroning urip — mematikan ego, hawa nafsu, dan cinta dunia. Inilah yang dalam bahasa Shomali disebut self-purification. Dalam kerangka ini, ajaran Siti Jenar dapat dibaca bukan sebagai penyimpangan teologis, melainkan sebagai panggilan untuk pembebasan batin dari belenggu diri.
Ajaran Siti Jenar menuntun manusia untuk hidup dengan jujur, rendah hati, dan penuh kasih. Ia menolak bentuk keberagamaan yang kaku dan formalistik, karena menurutnya ibadah sejati adalah hadirnya Allah dalam setiap laku. Maka, tazkiyah bukan hanya soal ritual, tetapi tentang bagaimana seseorang menjadi saksi hidup atas kehadiran Ilahi dalam dunia.
4. Pertemuan Dua Arus Spiritual: Rasionalitas dan Pencerahan Batin
Baik Shomali maupun Siti Jenar sama-sama menolak ekstremitas dalam spiritualitas. Shomali mengingatkan bahwa kesucian tanpa pengetahuan bisa menjerumuskan pada khayalan mistik; sementara pengetahuan tanpa penyucian hati akan melahirkan kesombongan intelektual. Siti Jenar pun berpendapat bahwa orang alim yang tidak mengenal dirinya hanyalah “penyimpan kata-kata Tuhan tanpa makna.”
Keduanya berpijak pada prinsip keseimbangan. Shomali menekankan spiritual rationalism — keseimbangan antara akal dan zikir, ilmu dan cinta. Siti Jenar menawarkan spiritual experientialism, yaitu pengalaman langsung terhadap Tuhan melalui pembersihan diri. Bila keduanya disatukan, lahirlah jalan spiritual yang utuh: akal menerangi langkah, hati menuntun arah.
5. Peran Guru Spiritual dan Murid dalam Proses Tazkiyah
Dalam kerangka Shomali, guru spiritual sejati bukanlah figur otoriter, tetapi sahabat ruhani yang memfasilitasi kebangkitan kesadaran. Ia menulis bahwa seorang guru sejati tidak menarik murid pada dirinya, melainkan mengantarkannya kepada Allah. Murid tidak boleh menggantungkan diri sepenuhnya, melainkan harus aktif dalam introspeksi, zikir, dan amal kebajikan. Hal ini mirip dengan ajaran tarekat Jawa yang diwariskan Siti Jenar, di mana hubungan murid dan guru bukan sekadar formalitas, tetapi laku batin yang saling memantulkan cahaya. Guru hanyalah lentera; jalan harus ditempuh sendiri dengan kesadaran penuh.
6. Dimensi Etis dari Penyucian Jiwa
Baik Shomali maupun Siti Jenar menegaskan bahwa kebersihan hati harus tercermin dalam akhlak sosial. Orang yang telah melalui penyucian diri tidak hanya beribadah dengan khusyuk, tetapi juga memperlakukan sesama dengan kasih sayang. Inilah buah tazkiyah: ihsan — berbuat baik seolah-olah melihat Allah. Siti Jenar menolak klaim spiritual yang tidak berbuah pada kasih. Ia berkata bahwa “manunggal” bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menghadirkan Tuhan dalam setiap tindakan, termasuk bekerja, menolong, dan mendidik. Bagi Shomali, inilah wujud nyata dari spiritual intelligence: kemampuan menghadirkan nilai-nilai Ilahi dalam keseharian.
7. Tazkiyah di Era Modern: Relevansi untuk Generasi Kini
Di tengah kehidupan modern yang serba-cepat dan materialistik, ajaran Shomali dan Siti Jenar menawarkan keseimbangan. Keduanya mengingatkan bahwa tanpa dimensi spiritual, manusia kehilangan arah dan makna. Dalam konteks ini, tazkiyatun nafs menjadi terapi ruhani terhadap stres, kecemasan, dan kekosongan batin. Guru spiritual modern, seperti yang digambarkan Shomali, dapat berwujud siapa pun yang menuntun kita kepada kebaikan — entah ulama, teman, atau bahkan pengalaman hidup yang menegur hati. Sedangkan semangat Siti Jenar mengajarkan keberanian untuk mencari Tuhan di luar formalitas, dengan tetap menjaga akhlak dan kesadaran syariat.
8. Jalan Tengah antara Ilmu dan Cinta
Penyucian jiwa adalah proyek hidup yang tak pernah selesai. Mohammad Ali Shomali menekankan pentingnya bimbingan, ilmu, dan disiplin ruhani. Syekh Siti Jenar mengajarkan penyerahan total dan kasih universal. Ketika dua pandangan ini dipadukan, kita menemukan kunci keseimbangan spiritual Islam yang mendalam: pengetahuan yang lahir dari cinta, dan cinta yang berakar pada pengetahuan.
Akhirnya, pengarahan spiritual bukan sekadar teori, melainkan praktik hidup. Ia memerlukan kesungguhan, kejujuran, dan kebersamaan dengan Tuhan. Dalam kata-kata Siti Jenar: “Sapa sing weruh marang sejatining urip, iku sing wus manunggal karo urip iku dhewe.” Barang siapa mengenal hakikat kehidupan, ia telah menyatu dengan kehidupan itu sendiri — yakni dengan Allah, Sang Sumber Kehidupan.