Majelis Taklim Akhwat ICC Zainab Al-Kubro kembali mengadakan kegiatan rutin pada Rabu, 8 Oktober 2025 bersama Syaikh Mohammad Sharifani, Direktur ICC Jakarta. Dalam pertemuan kali ini, beliau melanjutkan kajian mengenai wasiat Luqman kepada putranya. Pembahasan difokuskan pada dua tema utama, yaitu faktor-faktor yang menghambat rezeki dan penjelasan tentang tauhid dalam hidayah.
Dalam kajian tersebut, Syaikh Mohammad Sharifani membuka penjelasan dengan topik mengenai rezeki. Beliau menyampaikan bahwa rezeki adalah perkara yang unik, karena terkadang seseorang bekerja keras namun memperoleh hasil yang terbatas, sementara orang lain mendapatkan kelapangan tanpa usaha yang berat. Fenomena ini, menurut beliau, menunjukkan bahwa rezeki sepenuhnya berada di tangan Allah SWT. Setelah sebelumnya membahas berbagai faktor yang dapat memperluas rezeki hingga empat belas sebab, kali ini beliau menyoroti hal-hal yang dapat menghambatnya.
Menurut Syaikh Mohammad Sharifani, faktor pertama yang menghambat rezeki adalah dosa. Dosa yang dilakukan seseorang dapat menghalangi datangnya rezeki. Beliau mengutip Surah Al-A‘raf ayat 96 yang menyebutkan bahwa jika penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, Allah akan membuka keberkahan dari langit dan bumi bagi mereka. Namun karena pendustaan terhadap rasul dan ayat-ayat-Nya, mereka justru disiksa atas perbuatan mereka sendiri. Ayat ini, jelas beliau, menegaskan bahwa takwa menjadi sebab terbukanya rezeki, sedangkan dosa menjadi penghambatnya.
Faktor berikutnya yang dijelaskan oleh Syaikh Mohammad Sharifani adalah kufur nikmat, yaitu ketika seseorang tidak mensyukuri nikmat yang Allah berikan dan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak baik. Setiap nikmat menuntut rasa syukur. Syukur akan menambah nikmat, sedangkan kufur mendatangkan siksa Allah. Faktor ketiga yang beliau sebutkan adalah dosa tertentu seperti durhaka kepada orang tua. Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa dosa semacam ini dapat mempersempit rezeki. Ada kalanya seseorang melakukan satu dosa, namun dosa itu menjadi sebab tertahannya rezeki.
Faktor keempat, lanjut beliau, adalah melakukan pekerjaan yang batil, yaitu pekerjaan yang dilarang oleh agama seperti menjual minuman keras atau mencari keuntungan melalui cara yang haram. Bahkan jika pekerjaan itu tampak halal namun dilakukan dengan cara yang tidak benar, seperti kecurangan dalam perdagangan, hal itu termasuk dalam kategori perbuatan yang dapat menghambat rezeki. Faktor kelima adalah tidak menunaikan hak orang lain, baik dalam pekerjaan, tanggung jawab sosial, maupun hubungan pribadi. Menurut beliau, mengabaikan hak sesama manusia dapat menjadi sebab terhalangnya keberkahan dalam rezeki.
Faktor keenam yang dijelaskan oleh Syaikh Mohammad Sharifani adalah memutus silaturahmi. Dalam banyak ayat dan riwayat disebutkan bahwa perbuatan ini tidak hanya menghalangi rezeki, tetapi juga menyebabkan seseorang terputus dari rahmat Allah. Al-Qur’an bahkan mencatat bahwa Allah melaknat orang yang memutus tali persaudaraan. Faktor ketujuh, tambah beliau, adalah kurang memperhatikan salat. Meskipun seseorang tetap menunaikan salat, namun jika dilakukan tanpa perhatian, sering terlambat, atau tidak dengan kesungguhan hati, hal itu dapat menjadi penghalang datangnya rezeki.
Setelah menjelaskan pembahasan tentang rezeki, kajian berlanjut pada tema tauhid dalam hidayah. Dalam bagian ini, Syaikh Mohammad Sharifani menerangkan bahwa dalam Surah Al-Fatihah, inti dari seluruh kandungan surat terdapat pada ayat keenam, yaitu ihdinaṣ-ṣirāṭal-mustaqīm (Bimbinglah kami ke jalan yang lurus), sedangkan ayat pertama hingga kelima merupakan pendahuluannya dan ayat ketujuh merupakan penjelasan dari ayat keenam tersebut. Jalan yang lurus atau ṣirāṭal-mustaqīm, jelas beliau, merupakan bentuk karunia terbesar dari Allah SWT kepada manusia.
Menurut Syaikh Mohammad Sharifani, tauhid dalam hidayah berarti mengesakan Allah sebagai satu-satunya pemberi petunjuk. Beliau menukil Surah Al-Hajj ayat 54, innallāha lahādi alladzīna āmanū ilā ṣirāṭim mustaqīm (Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemberi petunjuk kepada orang-orang yang beriman ke jalan yang lurus). Salah satu sifat Allah adalah Al-Hādī, yaitu Yang Maha Memberi Hidayah. Oleh karena itu, seluruh bentuk petunjuk sejatinya bersumber dari Allah. Al-Qur’an sendiri, kata beliau, merupakan manifestasi dari hidayah Allah sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Isra’ ayat 9, inna hādzal-qur’āna yahdī lillatī hiya aqwam (Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke jalan yang paling lurus), dan Surah Al-Baqarah ayat 2, dzālikal-kitābu lā raiba fīh, hudal lil-muttaqīn (Kitab ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa).
Beliau juga merujuk beberapa ayat lain seperti Surah Al-Jinn ayat 1–2 yang menceritakan sekelompok jin mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan beriman karena menganggapnya memberi petunjuk kepada kebenaran. Juga Surah An-Naml ayat 92 yang menyebut bahwa siapa pun yang mendapat petunjuk sejatinya mendapatkannya untuk kebaikan dirinya sendiri, serta Surah Al-Qashash ayat 56 yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak dapat memberi hidayah kepada siapa yang beliau kehendaki karena hidayah hanyalah milik Allah.
Lebih lanjut, Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa Al-Qur’an menegaskan tugas para nabi adalah menyampaikan dan memberi peringatan, bukan menentukan siapa yang mendapatkan hidayah. Hal ini disebutkan antara lain dalam Surah Al-Ghasyiyah ayat 21, innamā anta mudzakkir (Sesungguhnya engkau hanyalah pemberi peringatan), dan Surah Al-An‘am ayat 107, wa mā ja‘alnāka ‘alaihim ḥafīẓā, wa mā anta ‘alaihim biwakīl (Kami tidak menjadikan engkau pengawas mereka, dan engkau bukan penanggung jawab mereka).
Beliau kemudian menjelaskan bahwa hidayah dapat dibedakan menjadi dua tingkatan. Hidayah umum diberikan kepada seluruh manusia dalam bentuk akal dan fitrah, yang berfungsi sebagai petunjuk dasar untuk membedakan antara benar dan salah. Sementara itu, hidayah khusus diberikan hanya kepada orang-orang yang bertakwa, yang senantiasa menjaga hubungan dengan Allah melalui keimanan dan amal saleh.
Dalam penjelasannya, Syaikh Mohammad Sharifani menyebut bahwa untuk dapat berada dan bertahan di jalan yang lurus, terdapat beberapa syarat penting sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Syarat pertama adalah beriman kepada Allah, karena hidayah diberikan kepada mereka yang beriman. Syarat kedua adalah berpegang teguh kepada agama sebagaimana firman Allah dalam Surah Ali Imran ayat 103, wa‘tashimū biḥablillāhi jamī‘an (Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali Allah). Syarat berikutnya adalah takwa, karena takwa menjadi jalan utama untuk senantiasa berada dalam hidayah. Syarat keempat adalah Islam itu sendiri, baik dalam arti identitas keagamaan maupun penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, sebagaimana disebut dalam Surah An-Naml ayat 2, hudaw wa busyrā lil-mu’minīn (sebagai petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang mukmin).
Selain itu, beliau menekankan pentingnya istiqamah dalam kebaikan. Sebagai contoh, Syaikh Mohammad Sharifani menyinggung kisah pengikut Imam Husain AS yang pada awalnya berjumlah ratusan, namun hanya sedikit yang bertahan hingga akhir karena tidak mampu istiqamah. Al-Qur’an menyebutkan dalam Surah Fussilat ayat 30, qālū rabbunallāhu ṡummastaqāmū tatanazzalu ‘alaihimul-malā’ikah (orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap dalam pendiriannya, akan turun malaikat kepada mereka). Syarat terakhir yang beliau sampaikan adalah selalu bergantung kepada Allah dan memohon bimbingan kepada-Nya sebagaimana disebut dalam Surah Asy-Syura ayat 13, yahdī ilaihi may yunīb (memberi petunjuk kepada agama-Nya bagi orang yang kembali kepada-Nya).
Pada penutup kajian, Syaikh Mohammad Sharifani menegaskan bahwa hidayah adalah nikmat terbesar yang Allah berikan kepada manusia. Tidak ada nikmat yang lebih agung daripada bimbingan menuju jalan yang lurus, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Fath ayat 2, wa yutimma ni‘matahū ‘alaika wa yahdiyaka ṣirāṭam mustaqīmā (menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan menunjukimu ke jalan yang lurus). Orang yang memperoleh hidayah berarti memperoleh nikmat Allah yang sesungguhnya, sementara mereka yang tidak mendapatkannya termasuk golongan yang merugi.