Kelas Tafsir Maudhu’i di ICC Jakarta pada Kamis, 9 Oktober 2025, kembali menghadirkan Syaikh Mohammad Sharifani sebagai penceramah dengan penerjemahan oleh Ustaz Hafidh Alkaf. Pada pertemuan kali ini, pembahasan difokuskan pada tema tadharru, yaitu ketundukan dan kerendahan hati seorang hamba di hadapan Allah SWT, serta bagaimana sifat ini menjadi jalan mendekatkan diri kepada-Nya.
Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa tadharru menggambarkan keadaan seseorang ketika menghadapi kesulitan dan menampakkan kelemahannya di hadapan Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah sering kali menciptakan kondisi tertentu agar manusia kembali tunduk kepada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-An‘am ayat 42–43:
Wa laqad arsalnā ilā umamin min qablika fa akhadznāhum bil-ba’sā’i wadl-dlarrā’i la‘allahum yatadlarra‘ūn
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami timpakan kepada mereka kemelaratan dan kesengsaraan agar mereka tunduk merendahkan diri (kepada Allah).”
Falau lā idz jā’ahum ba’sunā tadlarra‘ū wa lākin qasat qulūbuhum wa zayyana lahumusy-syaithānu mā kānū ya‘malūn
“Namun, mengapa mereka tidak juga tunduk ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjakan.”
Menurut beliau, sebelum Allah mengutus seorang nabi kepada suatu kaum, biasanya Allah terlebih dahulu menimpakan kesulitan agar mereka sadar akan ketergantungannya kepada Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam Surah Al-A‘raf ayat 94–95:
Wa mā arsalnā fī qaryatin min nabiyyin illā akhadznā ahlahā bil-ba’sā’i wadl-dlarrā’i la‘allahum yadldlarra‘ūn
“Kami tidak mengutus seorang nabi pun di suatu negeri melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan agar mereka merendahkan diri.”
Ṡumma baddalnā makāna as-sayyi’ati al-ḥasanata ḥattā ‘afaw wa qālū qad massa ābā’anā adl-dlarrā’u was-sarrā’u fa akhadznāhum baghtatan wa hum lā yasy‘urūn
“Kemudian Kami ganti penderitaan itu dengan kesenangan hingga mereka hidup makmur. Mereka berkata, ‘Sungguh, nenek moyang kami juga pernah merasakan penderitaan dan kesenangan.’ Maka Kami timpakan siksaan kepada mereka secara tiba-tiba tanpa mereka sadari.”
Syaikh Sharifani kemudian menegaskan bahwa ketundukan yang sejati harus ditunjukkan sebelum datangnya waktu yang terlambat, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Mu’minun ayat 64–66:
Ḫattā idzā akhadznā mutrafīhim bil-‘adzābi idzā hum yaj’arūn
“Ketika Kami timpakan azab kepada orang-orang yang hidup bermewah-mewah di antara mereka, seketika itu mereka berteriak meminta pertolongan.”
Lā taj’arul-yauma innakum minnā lā tunsharūn
“Janganlah kamu berteriak meminta tolong pada hari ini! Sesungguhnya kamu tidak akan mendapatkan pertolongan dari Kami.”
Qad kānat āyātī tutlā ‘alaikum fakuntum ‘alā a‘qābikum tankishūn
“Sungguh, ayat-ayat-Ku selalu dibacakan kepadamu, tetapi kamu selalu berpaling ke belakang.”
Beliau menekankan bahwa tadharru tidak akan berguna bila seseorang menolak ayat-ayat Allah. Dalam Surah An-Nahl ayat 53, Allah mengingatkan bahwa segala nikmat datang dari-Nya, dan kesulitan adalah sarana untuk kembali bersandar kepada-Nya:
Wa mā bikum min ni‘matin fa minallāhi tsumma idzā massakumudl-dlurru fa ilaihi taj’arūn
“Segala nikmat yang ada padamu berasal dari Allah, kemudian apabila kamu ditimpa kesulitan, kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.”
Ayat ini, jelas beliau, menunjukkan bahwa problem kehidupan sering kali dihadirkan oleh Allah untuk menumbuhkan tadharru dan memperdalam rasa penghambaan seorang mukmin.
Dalam lanjutan kajian, Syaikh Sharifani membawakan beberapa riwayat yang menjelaskan makna tadharru.
Riwayat pertama, dari Imam Ja‘far ash-Shadiq AS, menukil sabda Rasulullah SAW bahwa menggosok gigi dengan siwak tidak hanya membersihkan mulut, tetapi juga mendatangkan keridaan Allah SWT. Beliau menjelaskan bahwa sebagaimana seseorang membersihkan kotoran dari mulutnya, demikian pula seorang mukmin hendaknya membersihkan dosa-dosanya dengan tadharru, istighfar, ibadah, dan penyucian diri dari perbuatan dosa, baik zahir maupun batin.
Riwayat kedua adalah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW, bahwa Allah berfirman:
“Puasa adalah milik-Ku, dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya.”
Syaikh Sharifani menerangkan bahwa puasa mematikan hawa nafsu, menghidupkan hati, menyucikan tubuh dan jiwa, menumbuhkan rasa syukur, serta mendorong kepedulian terhadap kaum fakir. Puasa, kata beliau, juga menjadi sarana bagi seorang mukmin untuk bertadharru di hadapan Allah dan melemahkan dominasi hawa nafsu yang menghalangi kedekatan spiritual.
Riwayat ketiga, dari Imam Ja‘far ash-Shadiq AS, menyebutkan bahwa Allah telah menganugerahkan kepada para nabi akhlak-akhlak yang mulia. Seorang mukmin hendaknya memohon dengan tadharru agar diberi akhlak tersebut.
Akhlak itu antara lain: keyakinan, qana‘ah, kesabaran, syukur, ketabahan, akhlak mulia kepada sesama, kedermawanan, kepedulian terhadap agama, keberanian, dan kemanusiaan. Sebagian riwayat menambahkan dua sifat lain, yaitu kejujuran dan menunaikan amanah.
Menurut beliau, bila seseorang belum memiliki sifat-sifat tersebut, hendaknya ia berdoa dengan kerendahan hati agar Allah menganugerahkannya.
Syaikh Sharifani kemudian menjelaskan bahwa kesulitan hidup sering kali menjadi sebab seseorang mencapai derajat tadharru. Orang beriman yang diuji tidak seharusnya berputus asa, melainkan bersyukur karena diberi kesempatan untuk mendekat kepada Allah. Dalam Surah Al-Mu’minun ayat 76, Allah berfirman:
Wa laqad akhadznāhum bil-‘adzābi fa mastakānū lirabbihim wa mā yatadlarra‘ūn
“Sungguh, Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mau tunduk kepada Tuhannya dan tidak merendahkan diri.”
Menurut beliau, ayat ini menunjukkan bahwa salah satu tujuan ujian adalah agar manusia bertadharru; dan seandainya kaum yang diazab itu mau bertadharru, niscaya azab yang lebih berat tidak akan ditimpakan kepada mereka.
Selanjutnya, Syaikh Sharifani menguraikan manfaat-manfaat tadharru.
Pertama, tadharru mendatangkan pertolongan Allah, sebagaimana kisah Nabi Nuh AS dalam Surah Al-Anbiya’ ayat 76–77:
Wa nūḥan idz nādā ming qablu fastajabnā lahū fa najjaināhu wa ahlahū minal-karbil-‘azhīm
“Ingatlah Nuh ketika dia berdoa kepada Kami sebelumnya. Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya bersama pengikutnya dari bencana besar.”
Wa nasharnāhu minal-qaumilladzīna kadzdzabū bi āyātinā innahum kānū qauma saw’in fa aghraqnāhum ajma‘īn
“Kami menolongnya dari kaum yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat, maka Kami tenggelamkan mereka seluruhnya.”
Kedua, tadharru membawa keselamatan dari kesulitan, sebagaimana kisah Nabi Yunus AS dalam Surah Al-Anbiya’ ayat 87–88:
Wa dzan-nūni idz dzahaba mughādliban fa dhanna al lan naqdira ‘alaihi fa nādā fidh-dhulumāti an lā ilāha illā anta subḥānaka innī kuntu minadh-dhālimīn
“Ingatlah Zun Nun (Yunus) ketika ia pergi dalam keadaan marah dan menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka ia berdoa dalam kegelapan, ‘Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.’”
Fastajabnā lahū wa najjaināhu minal-ghamm, wa kadzālika nunjil-mu’minīn
“Maka Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari kedukaan. Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang mukmin.”
Ketiga, tadharru menjadikan seseorang tergolong dalam golongan orang saleh, sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-Qalam ayat 48–50:
Faṣbir liḥukmi rabbika wa lā takun kaṣāḥibil-ḥūt idz nādā wa huwa makdhūm
“Bersabarlah terhadap ketetapan Tuhanmu dan janganlah seperti orang yang berada dalam perut ikan (Yunus) ketika ia berdoa dalam keadaan sedih.”
Law lā an tadārakahū ni‘matum mir rabbihī lanubidzza bil-‘arā’i wa huwa madzmūm
“Seandainya dia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, niscaya dia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela.”
Fajtabāhu rabbuhū fa ja‘alahū minash-shāliḥīn
“Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.”
Menurut beliau, ayat-ayat ini menunjukkan bahwa tadharru tidak hanya menjadi sebab datangnya pertolongan Allah, tetapi juga jalan menuju kesalehan dan keselamatan dari azab.