Kelas Tafsir Tartibi ICC Jakarta pada Jumat, 10 Oktober 2025, menghadirkan Syaikh Mohammad Sharifani selaku penceramah dengan penerjemahan oleh Ustaz Zaki Amami. Pada kesempatan kali ini, pembahasan berfokus pada Surah Al-Baqarah ayat 29 hingga 30, yang menyingkap makna penciptaan alam semesta dan penetapan manusia sebagai khalifah di bumi.
Syaikh Mohammad Sharifani membuka kajian dengan membacakan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 29:
huwalladzî khalaqa lakum mâ fil-ardli jamî‘an tsummastawâ ilas-samâ’i fa sawwâhunna sab‘a samâwât, wa huwa bikulli syai’in ‘alîm
Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke (penciptaan) langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Beliau menjelaskan bahwa kata “ardl” dalam ayat ini tidak terbatas pada bumi secara fisik, melainkan mencakup seluruh alam semesta. Segala sesuatu di alam raya ini diciptakan untuk kepentingan manusia, sementara alam tidak membutuhkan manusia. Penciptaan alam semesta mendahului penciptaan manusia agar manusia dapat hidup dan mengambil manfaat darinya. Seluruh kenikmatan yang terdapat di alam semesta diperuntukkan bagi manusia dalam batas-batas yang diizinkan oleh Allah SWT. Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW disebutkan bahwa Allah berfirman: “Aku ciptakan segala sesuatu untuk manusia.” Hal ini menegaskan posisi manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang diberi hak untuk memanfaatkan bumi beserta isinya.
Beliau juga menjelaskan bahwa dari sisi penciptaan, Allah terlebih dahulu menciptakan langit sebelum bumi. Namun dari sisi manfaat dan penggunaan, manusia lebih dahulu mengambil manfaat dari bumi sebelum langit. Dengan demikian, bumi beserta segala isinya telah disempurnakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebagaimana contoh yang beliau berikan, seekor kambing mencapai kesempurnaannya ketika dimanfaatkan untuk kebaikan manusia, atau warna menjadi sempurna ketika dapat dinikmati oleh manusia. Adapun manusia sendiri mencapai kesempurnaannya ketika ia dapat berkhidmat kepada Allah SWT.
Selanjutnya, Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa Allah menciptakan tujuh lapis langit atau tujuh tingkatan keberadaan. Al-Qur’an hanya menjelaskan secara rinci mengenai langit pertama, yang dihiasi dengan bintang-bintang, sementara lapisan langit berikutnya tidak dijabarkan secara mendalam. Dalam beberapa ayat disebutkan bahwa langit merupakan tempat para malaikat, dan dari langit pula para malaikat itu turun untuk menjalankan perintah Allah.
Kajian kemudian berlanjut kepada Surah Al-Baqarah ayat 30:
wa idz qâla rabbuka lil-malâ’ikati innî jâ‘ilun fil-ardli khalîfah, qâlû a taj‘alu fîhâ may yufsidu fîhâ wa yasfikud-dimâ’, wa naḫnu nusabbiḥu biḫamdika wa nuqaddisu lak, qâla innî a‘lamu mâ lâ ta‘lamûn
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Beliau menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan tujuan penciptaan manusia, yaitu menjadi khalifah di bumi. Allah SWT memberikan kepada manusia karamah atau kemuliaan, yang terbagi menjadi dua jenis:
Kemuliaan lahiriah, berupa bentuk fisik yang seimbang dan sempurna, dan
Kemuliaan maknawiyah, yakni kehormatan spiritual karena ditetapkan sebagai khalifah di muka bumi.
Inilah bentuk penghormatan tertinggi Allah kepada manusia.
Namun, ketika Allah mengumumkan penetapan manusia sebagai khalifah, para malaikat menyampaikan keberatan dengan menyebutkan dua sifat buruk manusia, yaitu suka berbuat kerusakan dan menumpahkan darah. Malaikat juga mengemukakan keutamaan diri mereka yang selalu memuji dan menyucikan Allah. Allah menjawab dengan pernyataan bahwa Allah mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh para malaikat.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian menyoroti perbedaan antara memuji (tasbih) dan menyucikan (taqdis) Allah. Menurut beliau, memuji berarti mengaitkan Allah dengan sifat-sifat-Nya yang baik, sedangkan menyucikan berarti membersihkan nama Allah dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Semua makhluk dapat memuji Allah, tetapi menyucikan adalah bentuk ibadah yang khas bagi malaikat.
Selain itu, perbedaan lain antara memuji dan bertasbih terletak pada arah pengagungan: pujian mengafirmasi kesempurnaan sifat Allah, sedangkan tasbih menafikan segala kekurangan dari-Nya. Dalam kaitan ini, Syaikh Mohammad Sharifani mengutip Surah An-Nazi‘at ayat 5:
fal-mudabbirâti amrâ
Dan (malaikat) yang mengatur urusan (dunia).
Ayat ini menunjukkan bahwa malaikat berperan sebagai perantara antara Allah dan makhluk-Nya, mengatur urusan-urusan dunia dengan izin Allah SWT. Misalnya, turunnya hujan, kesembuhan dari penyakit, dan berbagai urusan alamiah lainnya terjadi melalui perantara malaikat, karena ketinggian wujud Allah yang tidak terjangkau oleh makhluk.
Kembali kepada dialog antara Allah dan para malaikat, Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa pertanyaan malaikat dapat dipahami dalam dua kemungkinan. Pertama, sebagai bentuk keingintahuan untuk memahami hikmah di balik penciptaan manusia. Kedua, sebagai bentuk keberatan berdasarkan pengetahuan mereka tentang sifat-sifat buruk manusia.
Muncul pertanyaan menarik: Bagaimana para malaikat mengetahui bahwa manusia akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?
Beliau menjelaskan dua pendapat utama di kalangan mufasir.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa sebelum penciptaan Adam AS, sudah ada makhluk serupa manusia yang berbuat kerusakan, sehingga malaikat mengambil kesimpulan dari hal itu. Namun pendapat ini dianggap lemah.
Pendapat kedua, yang lebih kuat, menyatakan bahwa malaikat — sebagai makhluk suci dan sederhana — memiliki daya pemahaman spiritual yang tajam dan mampu memahami hakikat makhluk yang lebih kompleks seperti manusia yang terdiri dari unsur material dan nonmaterial.