ICC Jakarta
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami
  • Login
ICC Jakarta
No Result
View All Result

PANDANGAN FIKIH MENGENAI PERDAMAIAN (NORMALISASI) DENGAN ZIONIS ISRAEL

by Syafrudin mbojo
October 10, 2025
in Dunia Islam, Fikih
0 0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Syekh Abdul Hadi Fadhli

Isu perdamaian antara negara-negara Arab dan (Israel) berada di garis depan politik saat ini, terutama karena Amerika Serikat, yang diwakili oleh Presiden Clinton, telah mengerahkan seluruh bobot politiknya untuk memaksakan perdamaian kepada Arab dan Muslim, tanpa memberi mereka pilihan untuk memilih apa yang mereka anggap sebagai kepentingan prinsip, umat, dan bangsa berdasarkan ajaran syariat Islam. Sikap Amerika terhadap Republik Islam Iran–karena menolak perdamaian di sini dengan alasan tidak sah secara Islam–adalah bukti terkuat dari perampasan pilihan yang disebutkan dari Arab dan Muslim.

Untuk mengetahui pandangan fikih Islam tentang masalah perdamaian dan normalisasi antara kaum muslim dan Yahudi di (negara Israel) yang diklaim, kita perlu mengawali dengan menjelaskan jenis kepemilikan tanah Palestina sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Hal ini karena hukum, baik secara negatif maupun positif, bergantung pada pemahaman sifat hubungan kaum muslim dengan tanah Palestina, karena ia adalah subjek hukum syariat yang coba kita temukan dalam pandangan fikih mengenai masalah ini. Begitu kita memahami hakikat subjeknya, realitas hukumnya akan menjadi jelas bagi kita.

Secara historis, tidak ada perselisihan bahwa sebelum Penaklukan Islam, Palestina berada di bawah kekuasaan Romawi.

Tidak ada perselisihan juga bahwa penaklukan Muslim atasnya terjadi secara paksa (‘anwatan)—sebagaimana diungkapkan secara fikih—yaitu, itu adalah penaklukan militer.

Dalam fikih Islam, tanah yang ditaklukkan secara paksa (al-ardh al-maftuhah ‘anwatan) didefinisikan sebagai tanah yang ditaklukkan oleh tentara Muslim setelah perang militer antara mereka dan pemiliknya.

Secara historis sudah pasti bahwa Palestina–seperti yang telah saya sebutkan–ditaklukkan melalui masuknya tentara Islam yang dipimpin oleh Amr bin Ash pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra dan setelah perang militer antara tentara Islam dan tentara Bizantium.

Hukum tanah ini dibahas secara fikih dalam subjek (Kepemilikan Tanah) dan subjek (kharaj/pajak tanah), dan mungkin dalam subjek lain.

Dalam kedua subjek ini, fukaha Muslim membagi tanah, berdasarkan pengenaan pajak kharaj dan sifat kepemilikan penduduknya, menjadi dua jenis:

  • Tanah yang ditaklukkan secara damai (al-ardh al-maftuhah ṣulḥan).
  • Tanah yang ditaklukkan secara paksa (al-ardh al-maftuhah ‘anwatan).

Karena di sini kita ingin mengetahui jenis kepemilikan tanah secara syar’i, saya akan merujuk hal ini, kemudian menyebutkan apa yang mendokumentasikannya dari sumber-sumber fikih yang terpercaya.

Mengenai tanah yang ditaklukkan secara damai, Islam mengakui pemiliknya atas kepemilikan mereka, dan mengakui hak mereka untuk mengelolanya sebagai pemilik atas milik mereka. Mereka berhak untuk menjualnya, menyewakannya, menghibahkannya, dan transaksi sah lainnya.

Pandangan Mazhab Sunni

Kesimpulannya adalah bahwa Imam memiliki pilihan antara membagikannya kepada para pejuang (ghanimin) atau mewakafkannya untuk kepentingan kaum muslim secara umum.

Jika Imam tidak membagikannya kepada para pejuang, maka hukum kedua, yaitu wakaf untuk kaum muslim, menjadi ketentuan yang pasti.

Ini adalah pendapat yang dikenal, dan saya akan merujuk pada perselisihan dalam masalah ini di kemudian hari.

Pandangan Mazhab Syiah Imamiyah

Pandangan ini–dan tanpa perselisihan di antara fukaha mazhab–adalah bahwa tidak boleh membagikannya kepada para pejuang dan wajib diwakafkan untuk kepentingan kaum muslim.

Syekh Muntazeri mengatakan dalam kitabnya (Dirasat fi Wilayah al-Faqih wa Fiqh al-Dawlah al-Islamiyyah, jilid 3, halaman 182, cetakan ke-1, tahun 1412 H–1991 M), “Tanah yang ditaklukkan secara paksa dan paksaan, yang merupakan bagian dari harta rampasan perang, tidak ada keraguan di sisi kami bahwa tidak boleh dibagikan kepada para pejuang, melainkan wajib tetap menjadi wakaf untuk kepentingan kaum muslim, dan fatwa para ulama kami serta riwayat-riwayat mereka telah sepakat atas hal itu.”

Fikih Imamiyah bersandar pada pendapat ini pada hadis-hadis yang diriwayatkan dari para Imam Ahlulbait as, di antaranya:

  1. Riwayat Syekh Kulaini dari ayahnya, dari Hammad bin Isa, dari sejumlah sahabatnya, dari Abul Hasan al-Kazhim as, “Dan tanah-tanah yang diambil secara paksa dengan kuda dan laki-laki adalah diwakafkan, dibiarkan di tangan orang yang memakmurkan dan menghidupkannya serta mengurusnya sesuai dengan apa yang disepakati oleh wali (penguasa) dengan mereka sesuai dengan kemampuan mereka mengenai haq (hak/pajak): setengah, sepertiga, atau dua pertiga, dan sesuai dengan apa yang mendatangkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak merugikan mereka.”
  2. Riwayat Syekh Thusi dengan sanadnya dari Husain bin Sa’id dari Shafwan bin Yahya dari Ibnu Muskan dari Muhammad Halabi, yang berkata “Abu Abdullah al-Shadiq as ditanya tentang Ardh al-Sawad (Tanah Irak) apa kedudukannya?” Beliau menjawab, “Ia adalah milik seluruh kaum muslim, baik bagi yang ada hari ini, maupun bagi yang masuk Islam setelah hari ini, dan bagi yang belum diciptakan.”
  3. Riwayat Syekh Thusi–juga–dari Hasan bin Mahbub, dari Khalid bin Jarir, dari Abu Rabi’ Shami, dari Abu Abdillah al-Shadiq as, yang berkata, “Tidak boleh membeli sesuatu pun dari Tanah Hitam (Ardh al-Sawad) kecuali dari orang yang memiliki tanggungan (dzimmah), karena sesungguhnya ia adalah fai’ (harta rampasan) milik kaum muslim.”
  4. Riwayat Syekh Thusi dengan sanadnya dari Hasan bin Muhammad bin Sama’ah dari Abdullah bin Jabalah dari Ali bin Harits Bakkar bin Abi Bakr dari Muhammad bin Syuraih yang berkata: Saya bertanya kepada Abu Abdullah al-Shadiq as tentang membeli tanah kharaj, maka beliau memakruhkannya, dan berkata, “Sesungguhnya tanah kharaj adalah milik Muslim.” Maka mereka berkata kepadanya: Sesungguhnya seseorang membelinya dan ia memiliki kharja-nya. Beliau menjawab, “Tidak mengapa, kecuali jika ia merasa malu akan aib hal tersebut.”

 

Perselisihan Fikih Sunni

Sebagaimana yang saya janjikan, saya beralih untuk meninjau perselisihan fikih Sunni dalam masalah ini, dan saya akan membatasi pada dua sumber: (Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah/Ensiklopedia Fikih) Kuwait, dan kitab (al-Mughni) oleh Ibnu Qudamah Maqdisi, karena keduanya menyajikan pembahasan yang memadai tentang masalah ini:

Ensiklopedia menyebutkan pandangan-pandangan berikut:

  1. Pendapat Imam Malik, dan juga riwayat dari Ahmad bin Hambal, “Tanah tidak dibagi, melainkan menjadi wakaf untuk kaum muslim, yang kharaj-nya digunakan untuk kepentingan mereka, seperti gaji para pejuang, pembangunan jembatan, masjid, dan jalan kebaikan lainnya. Dan ini berlaku jika Imam pada suatu waktu tidak melihat bahwa kemaslahatan menuntut pembagian, maka ia boleh membaginya kepada para pejuang. Dalilnya adalah kesepakatan para Sahabat mengenai hal itu, ketika Umar menolak membagi Tanah Hitam (Ardh al-Sawad) ketika Bilal dan Salman memintanya.”
  1. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Tsauri, dan ini juga merupakan riwayat kedua dari Imam Ahmad bin Hanbal, yaitu, “Imam diberi pilihan antara membagikannya kepada Muslim yang berperang atau mengenakan kharaj (pajak tanah) kepada penduduknya dan membiarkannya di tangan mereka.” Ini karena kedua hal tersebut telah ditetapkan dari Rasulullah saw. Beliau menaklukkan Mekah secara paksa, dan di sana ada harta, tetapi beliau tidak membagikannya, dan beliau menaklukkan Quraidhah, Nadhir, dan lainnya, dan beliau tidak membagikan sedikit pun darinya. Beliau membagi setengah dari ghanimah Khaibar kepada kaum muslim dan mewakafkan setengahnya untuk kepentingan dan kebutuhan mendesak lainnya, sebagaimana dalam hadis Sahl bin Abi Hatsmah yang berkata, “Rasulullah saw membagi Khaibar menjadi dua: setengahnya untuk kepentingan dan kebutuhan mendesak beliau, dan setengahnya untuk kaum muslim, beliau membagikannya di antara mereka menjadi delapan belas bagian. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan beliau diam darinya.”
  2. Pendapat Imam Syafi’i, dan ini juga merupakan riwayat dari Imam Ahmad, “Tanah harus dibagi di antara para pejuang, sebagaimana harta yang tidak bergerak dibagi, kecuali jika mereka meninggalkan hak mereka darinya dengan kompensasi, seperti yang dilakukan Umar kepada Jarir Bajali ketika beliau menggantinya dengan bagiannya di Tanah Hitam (Ardh al-Sawad), atau tanpa kompensasi. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa pun yang kalian peroleh sebagai ghanimah (harta rampasan perang/keuntungan), maka sesungguhnya seperlimanya (khumus-nya) adalah untuk Allah…” (QS. al-Anfal:41), karena ayat ini bersifat umum untuk harta bergerak dan tanah.”

Adapun jika tanah tidak dibagi dan dibiarkan di tangan penduduknya sementara kaum muslim mendapat manfaat dari kharaj-nya, ada dua pendapat mengenai pengelolaannya yang disebutkan oleh Ensiklopedia, yaitu:

  1. Pendapat mayoritas sahabat dan fukaha, “Tanah itu adalah tanah wakaf, tidak boleh dijual, dibeli, dihibahkan, dan tidak diwariskan dari non-muslim yang menguasainya.” Ini berdasarkan riwayat Auza’i bahwa Umar dan para sahabat ra ketika menaklukkan Syam, mereka membiarkan penduduk desa di desa mereka atas tanah yang ada di tangan mereka. Mereka memakmurkannya dan membayar kharaj-nya kepada muslim, dan mereka berpendapat bahwa tidak sah bagi salah satu muslim untuk membeli tanah yang ada di tangan mereka, baik secara sukarela maupun paksa.
  2. Pendapat Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya Abu Yusuf dan Syaibani, “Tanah itu adalah milik mereka, mereka boleh mengelolanya dengan menjual, membeli, dan menghibahkan, dan diwariskan dari mereka kepada kerabat mereka. Ini berdasarkan riwayat Abdurrahman bin Zaid bahwa Ibnu Mas’ud membeli tanah dari seorang dihqan (tuan tanah) dengan syarat dihqan tersebut menanggung kharaj-nya.”

Dalam (Mu’jam al-Mughni fi al-Fiqh al-Ḥanbali), cetakan ke-1, tahun 1405 H–1985 M, jilid 11, halaman 297–, “Hukum yang ditaklukkan secara paksa: Apa yang ditaklukkan oleh kaum muslim secara paksa memiliki tiga riwayat:

Pertama, bahwa Imam diberi pilihan antara membagikannya kepada para pejuang atau mewakafkannya untuk seluruh kaum muslim.

Kedua, bahwa ia menjadi wakaf dengan sendirinya setelah dikuasai, dan ini merupakan kesepakatan para Sahabat.

Ketiga, bahwa yang wajib adalah membaginya. Dan makna mewakafkannya adalah bahwa ia tetap menjadi milik seluruh muslim, kharaj-nya diambil dan digunakan untuk kepentingan mereka, dan tidak ada seorang pun yang berhak memiliki sedikit pun darinya.”

Penerapan Hukum Fikih pada Tanah Palestina

Ini adalah pada tingkat teori. Maksud saya, kita mengambil manfaat dari perbedaan pendapat fikih ini jika tentara Islam menaklukkan negara-negara non-Islam. Maka Wali Amr (pemegang kekuasaan) dapat bertindak berdasarkan teori-teori ini dalam masalah tersebut, baik dengan taqlid (mengikuti) atau ijtihad (berijtihad).

Adapun pada tingkat penerapan–saat ini–terkait tanah Palestina, karena ini adalah masalah sejarah yang penaklukannya telah terjadi dan masalahnya telah diputuskan pada masanya, maka perlu dilihat apa yang diterapkan oleh Imam di dalamnya dan dijadikan pedoman.

Karena itu, perlu diketahui sikap Khalifah Umar bin Khaththab terhadapnya setelah penaklukannya: Apakah beliau membagikannya kepada para pejuang ataukah beliau membiarkannya wakaf untuk muslim?

Dan terkait dengan masing-masing dari dua kondisi tersebut, bagaimana sikap kita, umat Islam–sekarang–dari sisi syariat?

Disebutkan dalam (al-Mughni, jili 2, halaman 307) teks berikut, “Kami tidak mengetahui ada sesuatu pun yang ditaklukkan secara paksa yang dibagi di antara muslim kecuali Khaibar, karena Rasulullah saw membagi setengahnya sehingga menjadi milik penduduknya, tanpa kharaj atasnya. Adapun selebihnya yang ditaklukkan secara paksa oleh Umar bin Khaththab ra dan setelahnya, seperti tanah Syam, Irak, Mesir, dan lainnya, tidak ada yang dibagi darinya.”

Abu Ubaid meriwayatkan dalam (al-Amwal), “Sesungguhnya Umar ra datang ke Jabiyah dan ingin membagi tanah di antara kaum muslim. Mu’adz berkata kepadanya, “Demi Allah! Jika demikian, pasti akan terjadi apa yang tidak kamu sukai. Jika kamu membaginya hari ini, pendapatan yang besar akan berada di tangan suatu kaum, kemudian mereka akan binasa sehingga itu akan menjadi milik satu orang atau wanita, kemudian datang setelah mereka kaum lain yang akan mengisi kekosongan dalam Islam, sementara mereka tidak mendapatkan apa-apa. Carilah sesuatu yang mencukupi bagi generasi awal dan akhir mereka.’ Maka Umar mengikuti pendapat Mu’adz.”

Untuk informasi lebih lanjut dan penegasan, lihat halaman 54, 55, 56 jilid 19 dari Ensiklopedia Fikih Kuwait (Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah).

Ini berarti–dan jelas–bahwa kata sepakat para fukaha Muslim adalah bahwa tanah Palestina adalah wakaf untuk muslim secara umum, baik yang ada saat Penaklukan Islam maupun yang akan ada sampai hari kiamat.

Dan bahwa pandangan fikih dalam masalah ini satu dan tidak ada perselisihan di dalamnya.

Apa Sikap Syar’i Muslim Terhadapnya Setelah Dirampas oleh Kaum Yahudi?

Inilah yang akan kita coba jelaskan selanjutnya.

Sebelum menjawab pertanyaan, perlu diberikan sorotan yang jelas tentang sifat dan identitas pendudukan Israel atas tanah Palestina, karena hal itu memiliki pengaruh langsung dalam menentukan jawaban.

Saya tidak akan membebani pembahasan–atau artikel ini–dengan terlalu banyak menyebutkan sumber yang membahas sifat dan identitas pendudukan Israel. Saya akan menyebutkan hasil-hasil penting yang dicapai oleh Prof. Rafiq Syakir Natsyah dalam studinya yang objektif dan terdokumentasi, yang dia beri nama: (Al-Isti’mar wa Filasṭhin–Israil Masyru’ Isti’mari/Kolonialisme dan Palestina–Israel Proyek Kolonial).

Dia berkata dalam (al-Tamhid/Pendahuluan)–halaman 11 dari cetakan ke-2 –, “Saya ingin menegaskan dalam penelitian ini dengan bukti-bukti yang dapat saya peroleh bahwa proyek ini pada dasarnya adalah proyek kolonial, dan bahwa ide-ide, organisasi, dan perencanaannya pada awalnya bukanlah Yahudi, karena non-Zionis telah mendahului Zionis Yahudi dalam mengemukakan dan mengerjakannya serta menerapkannya. Zionis Yahudi datang kemudian dalam peran mereka sebagai agen dan karyawan bagi negara-negara kolonial pemilik proyek ini.”

Negara-negara kolonial pemilik proyek yang ia maksud–sebagaimana dijelaskan secara rinci dalam beberapa bab buku–adalah: Prancis, Jerman, Italia, Inggris, dan Amerika.

“Dan ketika negara-negara kolonial berhasil, sebagai hasil dari upaya berkelanjutan yang dilakukan oleh Inggris dan Amerika, untuk mendirikan (negara Israel) sebagai buah dari proyek Zionis, adalah wajar jika negara ini menjadi pangkalan militer untuk kolonialisme Barat dan jembatan untuk menyeberang ke dunia Arab dan Islam; karena negara ini tidak lain hanyalah proyek komersial kolonial dari proyek-proyek kolonialisme di dunia ini.”–halaman 14.

Pemilihan Palestina secara khusus untuk menjadi tempat bagi negara proyek kolonial ini kembali kepada pentingnya lokasi Palestina dari segi strategis dan ekonomi; karena ia “berada di tengah-tengah benua Asia, Eropa, dan Afrika, dan terhubung melalui Laut Mediterania ke Eropa, serta terhubung dengan jalur darat ke Timur Jauh, dan melalui Teluk Aqabah terhubung ke Afrika.”–halaman 18.

“Dan pentingnya Timur Tengah bagi Dunia Bebas sangat besar, hingga tidak mentolerir dilebih-lebihkan, baik dari segi militer maupun ekonomi.”–halaman 19.

Jenderal Eisenhower telah mengungkapkan kesadarannya akan posisi unik kawasan tersebut ketika ia menyatakan, “Jika kita hanya melihat nilai regional, kita tidak akan menemukan kawasan di dunia yang melampaui Timur Tengah dalam hal pentingnya strategis.”–halaman 19.

“Dan Alfred Lilienthal, penulis Yahudi Amerika, mengatakan: Pada tahun 1838, hanya 25% dari kebutuhan minyak Eropa Barat untuk tujuan militer dan industri diimpor dari Timur Tengah.

Adapun hari ini, ladang-ladang minyak Arab memasok Eropa Barat dengan lebih dari 90% dari kebutuhan ini, dan jika pintu-pintu negara Arab ditutup di hadapan Barat, maka kawasan pertahanan Dunia Barat yang dikenal sebagai NATO atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara akan menjadi tidak berdaya hingga taraf yang menyedihkan.”–halaman 20.

“Oleh karena itu, negara-negara kolonial berusaha untuk mengikuti politik pemecahbelahan di kawasan tersebut, yaitu dengan mengeksploitasi nasionalisme, sekte, dan fanatisme demi memecah kesatuan Dunia Arab sehingga mereka dapat menguasainya dan kemudian menguasai Dunia Islam.”–halaman 21.

Jawaban Fikih tentang Normalisasi

Berdasarkan hal ini dan secara ringkas, jawabannya adalah:

Wajib bagi muslim untuk berusaha merebut kembali seluruh tanah Palestina, dan tidak boleh berinteraksi dengan negara ini yang mewakili pangkalan kolonial bagi negara-negara Barat.

Dan sikap Iran yang menolak perdamaian berasal dari legalitas ini, karena (Israel) adalah perampas tanah Islam yang merupakan milik muslim secara umum dan disepakati oleh seluruh fukaha Muslim.

Sangkalan Terhadap Dalil Ayat Perdamaian

Di sini, perlu diungkapkan sebuah kekeliruan penting yang dilakukan oleh beberapa pihak yang membenarkan masalah perdamaian dengan (Israel) secara syar’i, yaitu berdalil dengan ayat perdamaian, “Dan jika mereka cenderung kepada perdamaian, maka hendaklah engkau cenderung pula kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Anfal:61).

Berhujjah dengan ayat ini tidak berlaku dalam masalah kita ini–yaitu masalah Palestina–karena dua hal:

  1. Subjek masalah kita berbeda dengan contoh-contoh yang dicakup oleh ayat mulia ini; karena masalah Palestina adalah tanah Islam yang dirampas, sehingga hukum syar’i mewajibkan pengembaliannya kepada pemilik sahnya, yaitu kaum muslim. Apa yang dicakup oleh ayat mulia ini adalah orang-orang kafir yang memerangi yang berada di negeri dan tanah air mereka, bukan di negeri Muslim yang mereka rampas dari kaum muslim, dan konteks ayat dalam Alquran jelas sebagai indikasi hal itu.
  2. Hukum dalam ayat perdamaian bersifat tahapan (marḥali) yang berakhir dengan turunnya surah al-Bara’ah (al-Taubah). Hal ini telah dijelaskan oleh mendiang Sayid Quthb dalam tafsirnya (Fi Ẓhilal Alquran–Dar al-Syuruq, cetakan ke-9, tahun 1400 H–1980 M, jilid 3, juz 10, halaman 1546), dia berkata, “Bagaimanapun, kesimpulan yang kita peroleh adalah, bahwa firman Allah Ta’ala, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah pula kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” tidak mencakup hukum mutlak yang final dalam bab ini, dan bahwa hukum-hukum final turun setelahnya dalam surah al-Bara’ah. Sesungguhnya Allah hanya memerintahkan rasul-Nya untuk menerima perdamaian dan gencatan senjata dari kelompok yang menjauhinya dan tidak memeranginya, baik mereka telah mengadakan perjanjian atau belum hingga saat itu. Dan beliau terus menerima perdamaian dari orang-orang kafir dan Ahlulkitab sampai turunnya hukum-hukum surah al-Bara’ah, di mana beliau tidak lagi menerima selain Islam atau jizyah (upeti)–dan ini adalah kondisi damai yang diterima selama pemiliknya menepati janji mereka–atau perang selama muslim mampu, agar agama seluruhnya milik Allah.”

Kemudian dia berkata, “Saya sengaja memperpanjang sedikit dalam penjelasan ini, yaitu untuk menjernihkan kesalahpahaman yang timbul dari kekalahan spiritual dan intelektual yang diderita oleh banyak orang yang menulis tentang (jihad dalam Islam), sehingga tekanan realitas saat ini membebani jiwa dan pikiran mereka, dan mereka merasa terlalu berat bagi agama mereka–yang tidak mereka pahami hakikatnya–bahwa metode tetapnya adalah menghadapi seluruh umat manusia dengan salah satu dari tiga: Islam, jizyah, atau perang. Mereka melihat semua kekuatan jahiliyah memerangi dan menentang Islam, dan pemeluknya–yang mengakuinya tetapi tidak memahami hakikatnya dan tidak merasakannya dengan sungguh-sungguh–lemah di hadapan pasukan pengikut agama dan mazhab lain. Mereka juga melihat barisan terdepan dari kelompok Muslim yang sejati adalah sedikit, bahkan langka, dan tidak memiliki kekuasaan maupun kekuatan di bumi. Pada saat itu, para penulis tersebut berusaha untuk memutarbalikkan teks-teks untuk menafsirkannya agar sesuai dengan tekanan dan beban realitas, dan mereka merasa terlalu berat bagi agama mereka untuk memiliki metode dan rencana ini.

Mereka mengambil teks-teks tahapan (marḥaliyyah) dan menjadikannya nas-nas (teks-teks) final, dan mengambil teks-teks yang terikat pada kasus-kasus khusus dan menjadikannya teks-teks yang mutlak maknanya. Bahkan ketika mereka mencapai teks-teks final yang mutlak, mereka menafsirkannya sesuai dengan teks-teks yang terikat dan tahapan. Semua itu agar mereka mencapai kesimpulan bahwa jihad dalam Islam hanyalah operasi pertahanan terhadap individu Muslim, dan terhadap Darul Islam (Negara Islam) ketika diserang, dan bahwa Islam sangat mengharapkan setiap tawaran penyelesaian, dan penyelesaian itu berarti hanya penghentian serangan terhadap Darul Islam. Islam–dalam perasaan mereka–berkontraksi, atau harus berkontraksi di dalam batas-batasnya–sepanjang waktu–dan tidak berhak menuntut orang lain untuk memeluknya, atau tunduk pada metodologi Allah, kecuali hanya dengan kata-kata, buletin, atau pernyataan. Adapun kekuatan materi–yang diwakili dalam kekuasaan Jahiliah atas manusia–Islam tidak boleh menyerangnya kecuali jika dia menyerangnya, dan barulah ia bergerak untuk membela diri.”

Sesungguhnya mereka adalah para penasihat para penguasa (wu’aẓh al-salaṭhin), dan tanpa ragu mereka akan tersingkap dan kemudian dikalahkan di hadapan kesadaran umat Islam yang terus tumbuh.

“Dan sungguh Allah akan menolong siapa saja yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa” (QS. al-Hajj:40).

Catatan Kaki:

  1. Al-Kafi, jil.1, hal.541, karya Syekh Abu Ja’far Muḥammad bin Ya’qub bin Isḥaq al-Kulaini, yang berjuluk Tsiqatul Islam (Kepercayaan Islam), wafat tahun 329 Hijriah, cetakan Dar al-Kutub al-Islamiyyah, tahun 1365 Hijriah/Syamsiah (Masehi), Tehran-Iran.
  2. QS. al-Anfal [8]:41, hal.182.
  3. QS. al-Anfal [8]:61, hal.184.
  4. QS. al-Ḥajj [22]:40, hal.337.
Syafrudin mbojo

Syafrudin mbojo

Related Posts

HUKUM MENYUSUI (RADHA’AH), MENYAPIH (FITHAM) DAN HAK ASUH ANAK (HADHANAH)
Fikih

HUKUM MENYUSUI (RADHA’AH), MENYAPIH (FITHAM) DAN HAK ASUH ANAK (HADHANAH)

October 7, 2025

Oleh: Ustaz Sayid Sa’id Kazhim Udzari hafizhahullah Menyusui (Radha’ah) Air susu ibu (ASI) adalah makanan yang paling ideal untuk anak,...

UPAYA PERUSAKAN WARISAN ISLAM: ANTARA PERSEKONGKOLAN SEKULARISME DAN KEMUNAFIKAN ISLAMISASI
Dunia Islam

UPAYA PERUSAKAN WARISAN ISLAM: ANTARA PERSEKONGKOLAN SEKULARISME DAN KEMUNAFIKAN ISLAMISASI

October 3, 2025

Oleh: Sayid Muhammad Ridha Jalali   Di antara semua sumber pengetahuan Islam, tidak ada satu pun yang mengalami perusakan dan...

ELEMEN-ELEMEN PESATUAN ISLAM DAN PENGHALANGNYA
Dunia Islam

ELEMEN-ELEMEN PESATUAN ISLAM DAN PENGHALANGNYA

October 1, 2025

Oleh: Syekh Ja’far Subhani   Persatuan Islam adalah Cita-cita Persatuan Islam adalah cita-cita yang didambakan oleh setiap individu yang tulus...

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN
Fikih

KEISTIMEWAAN FIKIH SYIAH DARI SEGI KELUASAN, UNIVERSALITAS, KEDALAMAN DAN KEMAMPUAN MENGIKUTI TUNTUTAN KEHIDUPAN YANG TERBARUKAN

October 1, 2025

Oleh: Syekh Ja’far Subhani Sesungguhnya Fikih Syiah adalah pohon yang baik, yang akarnya kokoh, dan fondasinya terhubung dengan kenabian. Ia...

CIRI-CIRI KREATIVITAS FUNDAMENTALIS (USHULI) PADA DIRI SYAHID SAYID MUHAMMAD BAQIR SHADR
Fikih

CIRI-CIRI KREATIVITAS FUNDAMENTALIS (USHULI) PADA DIRI SYAHID SAYID MUHAMMAD BAQIR SHADR

October 1, 2025

Oleh: Ustaz Haidar Hubballah Pendahuluan Tidak mungkin membaca beberapa fenomena manusia dengan pemahaman yang komprehensif tanpa mempertimbangkan elemen ruang-waktu tempat...

PENDAHULUAN ILMU USHUL FIKIH: SEBUAH PEMBACAAN KRITIS BERDASARKAN METODOLOGI ILMIAH MODERN
Fikih

PENDAHULUAN ILMU USHUL FIKIH: SEBUAH PEMBACAAN KRITIS BERDASARKAN METODOLOGI ILMIAH MODERN

October 1, 2025

Oleh: Syekh Abdulhadi Fadhli Daftar Isi Definisi Objek Bahasan Faedah (Manfaat) Hukum Mempelajarinya Hubungannya dengan Ilmu-Ilmu Lain Ilmu Bahasa Arab...

Next Post
PEMERINTAHAN MUAWIYAH DAN PERANNYA DALAM MENDISTORSI AJARAN ISLAM

PEMERINTAHAN MUAWIYAH DAN PERANNYA DALAM MENDISTORSI AJARAN ISLAM

KEBUDAYAAN SEBAGAI TITIK TOLAK PERJALANAN PERADABAN

KEBUDAYAAN SEBAGAI TITIK TOLAK PERJALANAN PERADABAN

DAMPAK KEBERADAAN AHLULBAIT (ITRAH) AS DALAM KELANGSUNGAN ISLAM

DAMPAK KEBERADAAN AHLULBAIT (ITRAH) AS DALAM KELANGSUNGAN ISLAM

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ICC Jakarta

Jl. Hj. Tutty Alawiyah No. 35, RT.1/RW.7, Pejaten Barat.
Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12510

Telepon: (021) 7996767
Email: iccjakarta59@gmail.com

Term & Condition

Agenda

[tribe_events_list]

HUBUNGI KAMI

Facebook
Telegram

Jadwal Salat Hari Ini

sumber : falak-abi.id
  • Lintang: -6.1756556° Bujur: 106.8405838°
    Elevasi: 10.22 mdpl
Senin, 26 Desember 2022
Fajr04:23:34   WIB
Sunrise05:38:32   WIB
Dhuhr11:53:01   WIB
Sunset18:07:31   WIB
Maghrib18:23:39   WIB
Midnight23:15:32   WIB
  • Menurut Imam Ali Khamenei, diharuskan berhati-hati dalam hal waktu salat Subuh (tidak berlaku untuk puasa) dengan menambah 6-7 menit setelah waktu diatas

© 2022 ICC - Jakarta

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami

© 2022 ICC - Jakarta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist