Oleh: Syekh Muhammad Taufiq Miqdad
Allah Swt dalam kitab-Nya yang mulia, “Hai manusia! Jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepadamu; dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan; dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya diketahuinya…”(1)
Ayat yang diberkahi ini mengisyaratkan tahap-tahap yang dilalui manusia sejak pembuahan di rahim ibunya hingga mencapai tahap kematian dan keluar dari dunia fana ini menuju dunia keabadian.
Urutan dalam menceritakan tahap-tahap pembentukan manusia ini menunjukkan mukjizat Ilahi yang agung yang mengubah setetes mani yang dipancarkan ke dalam rahim wanita menjadi makhluk yang lengkap dengan tubuh dan jiwa, yang lahir untuk menikmati dunia dan hidup di dalamnya sebagaimana yang telah direncanakan dan dikehendaki Allah.
Pertumbuhan nutfah ini terjadi pada wanita secara otomatis dan bukan atas kehendaknya, karena Allah Swt telah mempersiapkan wanita sejak penciptaannya agar memenuhi syarat untuk memainkan peran ini yang menjaga kelangsungan keturunan manusia di dunia ini. Meskipun pemancaran nutfah ke dalam rahim wanita adalah urusan sukarela yang dilakukan oleh pria dan wanita, sebagaimana mereka berhak untuk sepakat memancarkan nutfah di luar rahim agar tidak terjadi kehamilan, demikian pula pria berhak untuk memancarkan nutfah di dalam rahim sebagai awal dari tahap pembentukan manusia.
Semua ini, jika menunjukkan sesuatu, menunjukkan bahwa wanita secara syariat, moral, dan kemanusiaan adalah pemegang amanah atas nutfah yang dipancarkan ke dalam rahimnya, terutama jika nutfah tersebut telah dibuahi untuk berubah melalui berbagai tahap menjadi makhluk sempurna yang akan keluar ke dunia dan berhak untuk hidup di dalamnya seperti semua manusia lainnya.
Tujuan dari semua ini adalah untuk sampai pada kesimpulan, yaitu “keharaman aborsi”, yakni keharaman bagi wanita, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas kesepakatan dengan pria, untuk menyingkirkan nutfah yang telah dibuahi pada tahap apa pun, karena hal itu bertentangan dengan hak hidup manusia menurut perspektif Ilahi-Islam. Hak tersebut dimulai sejak pembuahan, karena itu adalah tahap dasar dalam pembentukan dan penciptaan. Jika menyingkirkan nutfah saja sudah haram, maka sudah pasti menyingkirkan kehamilan pada tahap selanjutnya lebih pasti haram, seperti jika kehamilan sudah menjadi alaqah (segumpal darah), mudghah (segumpal daging), atau setelah ruh masuk ke dalam tubuh janin di rahim wanita.
Namun, sangat disayangkan bahwa korupsi, kefasikan, dan kebejatan yang meluas di dunia Barat, terutama setelah diperkenalkannya konsep yang disebut “kebebasan pribadi”, telah menyebabkan tindakan kriminal, tidak etis, dan bertentangan dengan semua syariat samawi ini menjadi legal di banyak negara di dunia tanpa ada yang menentang tindakan keji tersebut dengan kuat.
Yang lebih menyedihkan lagi, tindakan yang bertentangan dengan hak hidup manusia ini bahkan telah menyebar ke negara-negara Islam kita, terkadang dengan dalih “pengendalian kelahiran”, terkadang dengan dalih “tekanan ekonomi”, dan terkadang dengan dalih “pekerjaan wanita dan ketidakmampuannya untuk membesarkan anak”. Padahal, semua dalih ini tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan hak hidup manusia yang suci, yang telah Allah jadikan sebagai karunia dan anugerah terbesar yang diberikan-Nya dan dengan itu Dia mengunggulkannya di atas banyak makhluk yang Dia ciptakan.
Meskipun demikian, dalih-dalih ini dan lainnya yang memungkinkan wanita di dunia Barat untuk melakukan aborsi dengan alasan bahwa mereka bebas untuk mempertahankan atau menggugurkan kehamilan, tidak menyebar luas di dunia Islam kita kecuali dalam batas-batas sempit. Hal ini karena syariat Islam yang lurus menganggap aborsi sebagai kejahatan dan menghukum pelakunya serta siapa pun yang membantunya. Meskipun masalah ini terkadang diangkat dari waktu ke waktu di bawah dalih yang kami sebutkan atau yang lainnya.
Dari sini, kita melihat bahwa tanggung jawab para penanggung jawab urusan agama umat Islam sangat besar di bidang ini. Mereka telah memikulnya dengan mengeluarkan fatwa keharaman aborsi kecuali dalam batas-batas kebutuhan yang sangat mendesak pada tahap sebelum masuknya ruh ke dalam janin. Contohnya, jika kelangsungan kehamilan yang belum dimasuki ruh menyebabkan kerusakan kesehatan yang parah atau bahaya bagi nyawa wanita saja. Hanya dalam kondisi ini, aborsi diperbolehkan. Namun, setelah masuknya ruh, aborsi tidak diperbolehkan secara mutlak, kecuali jika kelangsungan kehamilan dalam kondisi ini akan menyebabkan kematian ibu dan janinnya. Hanya pada saat itu, wanita diizinkan untuk menggugurkan janin yang telah dimasuki ruh.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.(2)
Catatan Kaki:
- al-Hajj [22]:5, hal.332.
- Dikutip dari situs Sabil al-Salam milik Syekh Muhammad al-Tawfiq al-Miqdad (semoga Allah melindunginya).