Majelis Taklim Akhwat ICC – Zainab Al-Kubro kembali menggelar kajian rutin bertema Shirathal Mustaqim pada Rabu, 13 Agustus 2025, bertempat di Aula ICC Jakarta, dengan menghadirkan Syaikh Mohammad Sharifani sebagai pembicara. Dalam kesempatan ini, beliau membahas secara mendalam peran Al-Qur’an sebagai sarana utama yang mengantarkan manusia menuju jalan yang lurus. Mengutip surah Al-Ma’idah ayat 16, “Yahdî bihillâhu manittaba‘a ridlwânahû subulas-salâmi wa yukhrijuhum minadh-dhulumâti ilan-nûri bi’idznihî wa yahdîhim ilâ shirâthim mustaqîm”, dijelaskan bahwa dengan kitab suci, Allah menunjukkan jalan-jalan keselamatan kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dengan izin-Nya, dan membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Syaikh Sharifani menekankan bahwa semakin banyak seseorang memahami Al-Qur’an, semakin terbuka pula jalan menuju shirathal mustaqim. Al-Qur’an memiliki lebih dari 50 nama dan sifat, seperti Furqan, Bashair, Bayan, Syifa, Mau’izhah, Hudan, dan Nur, masing-masing menggambarkan karakter tertentu dari Al-Qur’an. Beliau mengumpamakan seseorang yang memiliki lima keahlian sebagai pribadi dengan lima karakter berbeda, sehingga satu orang dapat mewakili banyak peran atau bahkan sebuah bangsa. Penyebutan Millah Ibrahim misalnya, menunjuk pada kelompok atau bangsa tertentu; Ayatullah Behesyti pun disebut Imam Khomeini sebagai sebuah millah.
Mengutip surah Al-A’raf ayat 180, “Wa lillâhil-asmâ’ul-ḥusnâ”, dijelaskan bahwa nama-nama Allah mencerminkan sifat-sifat-Nya, dan sebagaimana Allah memiliki kesempurnaan yang mencakup semua sifat baik, Al-Qur’an pun menggambarkan kesempurnaannya melalui nama-namanya. Dari setiap nama, manusia dapat memperoleh sifat yang diwakili oleh nama tersebut, seperti dari nama Nur yang berarti cahaya, manusia akan memperoleh cahaya Al-Qur’an. Keagungan Al-Qur’an dapat dilihat dari dua sisi: dari nama-namanya yang menunjukkan keistimewaannya, dan dari kandungannya yang luar biasa.
Surah Ar-Ra’d ayat 31 menegaskan keagungan ini: “Walau anna qur’ânan suyyirat bihil-jibâlu au qutthi‘at bihil-ardlu au kullima bihil-mautâ…”, sekiranya ada kitab yang dapat menggeser gunung, membelah bumi, atau membuat orang mati berbicara, maka itulah Al-Qur’an. Demikian pula surah Al-Hasyr ayat 21, “Lau anzalnâ hâdzal-qur’âna ‘alâ jabalil lara’aitahû khâsyi‘am mutashaddi‘am min khasy-yatillâh…”, menggambarkan bahwa seandainya Al-Qur’an diturunkan ke gunung, gunung itu akan tunduk dan terpecah karena takut kepada Allah. Maka, jika gunung saja demikian, hati manusia—betapapun kerasnya—akan luluh jika disentuh oleh Al-Qur’an.
Rasulullah SAW bersabda bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat penjelasan segala sesuatu. Imam Ja’far Shadiq AS mengatakan, Allah telah bermanifestasi dalam firman-Nya, namun banyak manusia tidak memahaminya. Imam Ali AS pun menyampaikan bahwa manusia dapat dinilai dari ucapannya, sebagaimana firman Allah bahwa Al-Qur’an adalah kitab petunjuk. Untuk mendapatkan petunjuk itu, ada tiga hal yang terkait: penciptaan (Allâhulladzî khalaqakum, Ar-Rum: 40), pemberian rezeki (tsumma razaqakum), dan hidayah dari Allah (Alladzî khalaqa fa sawwâ, walladzî qaddara fa hadâ, Al-A’la: 2–3).
Syaikh Sharifani menjelaskan tiga level hidayah: petunjuk umum yang berlaku bagi semua, hidayah yang menenangkan hati, dan hidayah ar-rusyd—tingkat tertinggi yang memberi pengetahuan yang mengantarkan kepada kebenaran. Nabi Musa AS meminta kepada Nabi Khidir agar membawanya ke maqam ar-rusyd, yang melahirkan istilah rasyidin. Orang rasyid lebih mulia dari sekadar orang berilmu karena ia mengetahui baik dan buruk serta konsisten berada dalam kebaikan. Nabi Luth AS pernah bertanya kepada kaumnya yang melakukan perbuatan keji: “A laisa minkum rajulun rasyîd?” (Hud: 78), menunjukkan pentingnya sifat rusyd untuk terhindar dari perilaku buruk.
Mengutip surah Az-Zumar ayat 23, beliau memaparkan delapan hal yang menjelaskan proses hidayah: Allâhu (semua berasal dari Allah), Nazzala (penurunan Al-Qur’an secara bertahap dari Lauh Mahfudz melalui Nabi Muhammad SAW yang membangun keterhubungan langsung dengan umat), Kitâbam (keteraturan sempurna susunan ayat), Mutasyâbiham (konsistensi bobot dan kualitas dari awal hingga akhir), Matsâniya (pengulangan yang menguatkan tanpa menimbulkan kebosanan), taqsya‘irru min-hu julûdulladzîna yakhsyauna rabbahum (pengaruh Al-Qur’an yang menggugah tubuh dan jiwa), dan tsumma talînu julûduhum wa qulûbuhum ilâ dzikrillâh (ketenangan hakiki yang datang dari mengingat Allah).
Ketenangan ini dibedakan menjadi tiga jenis: ketenangan palsu yang bersifat sementara dan berdampak buruk, ketenangan materi yang juga bersifat sementara, dan ketenangan hakiki yang didapat dari mengingat Allah melalui Al-Qur’an. Semua ini, kata beliau, merupakan bagian dari hidayah Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.
Kajian ditutup dengan ajakan untuk terus memperkuat keterikatan dengan Al-Qur’an dan ajaran Ahlul Bait. Majelis Taklim Akhwat ICC – Zainab Al-Kubro yang berlangsung setiap Rabu pukul 10.00 WIB di Aula ICC Jakarta ini merupakan agenda rutin yang terus berjalan. Kajian berikutnya akan kembali diselenggarakan pada Rabu, 20 Agustus 2025.