Oleh: Syekh Hatim Ismail
Alquran mulia telah menggunakan berbagai jenis argumentasi yang membuktikan keberadaan Allah Ta’ala. Meskipun bentuk-bentuk argumentasi tersebut beragam untuk menyesuaikan dengan cara berpikir semua lapisan manusia, namun semuanya diarahkan untuk menjangkau akal manusia dalam berbagai tingkat pemahamannya: ada yang cocok untuk para filsuf, ada yang cocok untuk ilmuwan alam, ada yang cocok untuk para petani dan para pekerja, dan ada pula yang cocok untuk orang Badui, semua sesuai dengan pola pikir dan tingkat kesadaran mereka.
Namun, dasar utama yang dijadikan landasan oleh Alquran adalah sebuah hukum yang sudah menjadi pengetahuan intuitif yang dapat dipahami oleh seluruh manusia tanpa terkecuali, dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat. Tidak ada yang meragukannya kecuali orang yang keras kepala atau tidak berakal sehat, yaitu hukum kausalitas (sebab-akibat).
Alquran membangun argumentasinya atas keberadaan Allah Ta’ala berdasarkan dua metode utama yang berpijak pada hukum kausalitas:
- Burhan al-Limmi (argumentasi dari sebab ke akibat): yaitu berpindah dari sebab menuju akibat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Apakah tidak cukup bagi Tuhanmu bahwa Dia menyaksikan segala sesuatu?”(1)
Ayat ini menunjukkan bahwa karena Allah adalah Saksi atas segala sesuatu, maka itu menjadi bukti atas keberadaan dan keesaan-Nya.
- Burhan al-Inni (argumentasi dari akibat ke sebab), yang memiliki dua cara:
- Pertama, berargumen dengan berpindah dari akibat menuju sebab. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya adalah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.”(2)
Contoh-contoh seperti ini sangat banyak dalam Alquran, karena cara ini lebih dekat dengan akal manusia dibanding cara lainnya.
-
- Kedua, menggunakan hubungan-hubungan yang bersifat umum (malaazim) untuk berpindah dari hal yang melekat (milzūm) kepada hal yang terkait (lāzim), dan sebaliknya. Contohnya firman Allah Ta’ala, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?”(3)
Pertanyaan ini tentang bagaimana makhluk-makhluk tersebut diciptakan menunjukkan bahwa adanya keteraturan dan keselarasan dalam ciptaan itu adalah bukti akan keberadaan Allah Ta’ala.
Namun, jenis kedua dari Burhan al-Inni ini, karena memerlukan usaha berpikir yang lebih mendalam dan kontemplasi terhadap sifat-sifat keberadaan makhluk, tidak terlalu sering digunakan oleh Alquran secara intensif. Ini karena pendekatan tersebut agak jauh dari kemampuan nalar mayoritas orang. Meski demikian, bukan berarti pendekatan ini diabaikan sama sekali oleh Alquran.
Hal penting lainnya yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa Alquran tidak menampilkan argumentasi-argumentasi tentang keberadaan Allah dengan cara yang kaku dan teoritis murni, yang mungkin akan ditolak oleh sebagian akal dan jiwa. Namun, Alquran menyajikannya dalam bentuk yang praktis dan menyentuh langsung realitas hidup mereka serta perilaku keseharian mereka. Ini bertujuan untuk menyentuh hati nurani dan menancapkan keyakinan dalam hati mereka—tanpa mengurangi keutuhan argumentasi dari sisi logika dan teori. Inilah salah satu aspek mukjizat yang menonjol dari Alquran.
Karena itu, Alquran mampu menawan hati manusia, bahkan hati orang-orang musyrik dan mereka yang merasa dirugikan oleh dakwah Islam. Ia memikat akal mereka, dan sejarah telah mencatat banyak kisah bagaimana para pemuka musyrik mencuri-curi dengar bacaan Alquran, karena mereka tidak mampu menahan diri untuk tidak mendengarnya atau merasa tenteram dengan lantunannya. Maka para pemuka mereka pun akhirnya memerintahkan untuk tidak mendengarkan Alquran, dan menyibukkan diri dengan hal lain untuk mengacaukan bacaan tersebut, karena takut manusia akan terpengaruh dan keluar dari kekuasaan mereka.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengarkan Alquran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (pengaruhnya).’”(4)
Catatan Sumber Ayat:
- QS. Fushshilat [41]:53, hal.482.
- QS. al-Rum [30]:23, hal.406.
- QS. al-Ghasyiyah [88]:17-20, hal.592.
- QS. Fushshilat [41]:26, hal.479.