Oleh: Syekh Shaleh al-Karbasi:
Para ulama fikih Syiah Imamiyah telah sepakat atas keharaman memakan daging kelinci,(1) berdasarkan banyak riwayat yang berasal dari para Imam Ahlulbait as yang menunjukkan bahwa kelinci termasuk hewan yang telah diubah bentuknya (al-mamsukhāt).(2)
Dari satu sisi, adanya hadis-hadis yang menyatakan bahwa kelinci termasuk hewan yang dimasukkan ke dalam golongan hewan mamsukh (yang telah diubah bentuknya), dan dari sisi lain adanya hadis-hadis lain dari para Imam Ahlulbait as yang dengan tegas mengharamkan memakan hewan-hewan mamsukh, menjadi dasar ijmak (kesepakatan) para fukaha Syiah Imamiyah untuk mengatakan bahwa memakan daging kelinci adalah haram secara pasti.
Berikut ini Beberapa Hadis yang Dijadikan Dasar
- Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang hewan-hewan yang telah diubah bentuknya (al-masukh).”(3) Maka beliau bersabda, “Mereka ada 13 macam: gajah, beruang, babi, monyet, jenis ikan seperti ular (al-jirrits),(4) kadal gurun (al-dhab), kelelawar (al-wathwath),(5) serangga air (al-da‘mush),(6) kalajengking, laba-laba, dan kelinci…” — (hingga akhir hadis).(7)
- Dari Ali bin Ja’far, dari saudaranya Musa bin Ja’far as, “Hewan yang telah diubah bentuknya ada 13: gajah, beruang, kelinci, kalajengking, kadal gurun, laba-laba, serangga air, ikan jirri, kelelawar, monyet, babi…” — (hingga akhir hadis). “… Adapun kelinci, maka dulunya adalah seorang wanita yang kotor, tidak mandi dari haid maupun janabah atau najis lainnya…”(8)
- Imam Ja’far Shadiq as berkata dalam sebuah hadis Panjang, “… Allah Azza wa Jalla dan rasul-Nya saw telah mengharamkan semua hewan yang termasuk golongan al-masukh (yang telah diubah bentuknya).”(9)
- Imam Ali Ridha bin Musa as berkata, “Allah mengharamkan kelinci karena ia serupa dengan kucing liar dan memiliki cakar seperti cakar kucing liar dan hewan buas lainnya, maka dihukumi sebagaimana mereka, ditambah dengan najisnya diri kelinci dan apa yang keluar darinya berupa darah seperti wanita, karena ia termasuk hewan masukh (yang telah diubah bentuknya).”(10)
Mengenai Beberapa Hadis yang Menyebutkan Hanya Makruh, Bukan Haram
Memang ada beberapa hadis langka yang dinisbatkan kepada Ahlulbait as yang menyebutkan bahwa memakan daging kelinci hanya makruh, bukan haram. Namun, hadis-hadis ini dipahami dalam konteks taqiyah (menyembunyikan kebenaran karena kondisi berbahaya), sehingga tidak dijadikan pegangan hukum.(11)
Kesimpulan
Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut dan kesepakatan para ulama fikih Syiah Imamiyah, memakan daging kelinci adalah haram secara pasti.
Catatan Kaki:
- Syekh Muhammad Hasan Najafi (rahimahullah) dalam kitab Jawahir al-Kalam, “Tidak ada perselisihan bahkan terdapat ijmak (kesepakatan) secara mutlak bahwa kelinci, kadal gurun, dan seluruh serangga adalah haram dimakan.” (Jawahir al-Kalam, jilid 36, halaman 296); Syekh Mufid (rahimahullah), “Kelinci tidak boleh dimakan karena ia termasuk hewan yang telah diubah bentuknya dan najis.” (Al-Muqni’ah, halaman 578); Sayid Murtadha (rahimahullah), “Daging kelinci haram menurut Ahlulbait as, dan telah diriwayatkan banyak hadis tentang hal ini. Tidak ada perselisihan di kalangan Syiah Imamiyah tentangnya. Bahkan menurut mereka, kelinci itu najis dan bulunya pun tidak boleh digunakan.” (Rasa’il al-Murtadha, jilid 1, halaman 293); Ibnu Idris Hilli (rahimahullah), “… Tidak ada perbedaan antara serigala dan singa, serta antara kelinci dan rubah.” (Al-Sarair, halaman 222); Muhaqqiq Hilli (rahimahullah), “Diharamkan (memakan) kelinci dan kadal gurun (al-dhab).” (Syarā’i’ al-Islām, jilid 4, halaman 750).
- Al-Masukh adalah proses perubahan bentuk atau rupa makhluk menjadi lebih buruk. Dalam sejarah, Allah pernah mengubah bentuk sekelompok manusia menjadi binatang, sebagaimana disebutkan dalam Alquran, “… Maka Kami katakan kepada mereka: Jadilah kalian kera yang hina” (QS. al-Baqarah:65); “… Mereka yang dilaknat Allah dan dimurkai-Nya, dan dijadikan-Nya dari mereka kera dan babi…” (QS. al-Maidah:60). Para makhluk yang telah diubah bentuknya (al-masukhīn) itu tidak hidup lebih dari tiga hari dan tidak berkembang biak. Namun, binatang yang kini dikenal sebagai “hewan-hewan masukh” hanya dinamai demikian karena bentuknya menyerupai makhluk-makhluk yang telah dimasukh tersebut — dan hewan-hewan ini memiliki hukum khusus dalam syariat Islam.
- Al-Musukh (dengan pola seperti “duruus” dan “bukhur”) adalah bentuk jamak dari mamsukh (hewan yang diubah bentuknya).
- Al-Jirrits adalah sejenis ikan yang bentuknya menyerupai ular.
- Al-Wathwath adalah kelelawar atau hewan malam yang dikenal juga dengan sebutan khaththāf, bentuk jamaknya adalah wathāwith.
- Al-Da’mush adalah sejenis binatang kecil mirip kutu air, berwarna hitam, hidup di dalam air dan juga bisa ditemukan di tempat-tempat kotor. Sumber: Majma’ al-Bahrain, jil.4, hal.170, karya Allamah Fakhruddin bin Muhammad Thuraihi, lahir tahun 979 H di Najaf Asyraf, Irak, dan wafat tahun 1087 H di Ramahiyah, serta dimakamkan di Najaf. Cetakan kedua tahun 1365 H Syamsiyah, oleh Maktabah al-Murtadawi, Tehran, Iran.
- Wasail al-Syi’ah (Tafshil Wasail al-Syi’ah ila Tahshil Masail al-Syari’ah), jil.16, hal.317, karya Syekh Muhammad bin Hasan bin Ali, dikenal dengan Hurr Amili, lahir tahun 1033 H di Jabal Amil, Lebanon, dan wafat tahun 1104 H di kota Masyhad, serta dimakamkan di sana. Dicetak oleh Muassasah Āl al-Bait, tahun 1409 H, di Qom, Iran.
- Waail al-Syi’ah, jil.16, hal.317.
- Al-Kafi, jil.6, hal.247, karya Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq Kulaini, dijuluki Tsiqatul Islam, wafat tahun 329 H. Dicetak oleh Dar al-Kutub al-Islamiyyah, tahun 1365 H Syamsiyah, di Tehran, Iran. Dan Syahid Tsani (Zainuddin Juba’i Amili, 911–965 H) dalam kitabnya al-Raudhah al-Bahiyyah berkata, “Kelinci termasuk dari hewan-hewan yang mengalami perubahan bentuk (masukh), dan tidak ada seorang pun yang membedakannya dengan yang lain.” (Al-Raudhah al-Bahiyyah fi Syarh al-Lum’ah ad-Dimasyqiyyah, jil.7, hal.235, cetakan Universitas Najaf al-Asyraf)
- Wasail al-Syi’ah, jil.16, hal.316.
11. Syekh Muhammad Hasan Najafi (rahimahullah) juga berkata, “Adapun riwayat shahih dari Imam Abu Abdillah (Ja’far Shadiq as) yang mengatakan bahwa Rasulullah saw adalah seseorang yang menjauhi banyak hal dan tidak mengharamkannya, dan ketika beliau didatangkan kelinci beliau tidak memakannya, tetapi tidak mengharamkannya—maka hal ini ditakwil sebagai bentuk taqiyah (sikap kehati-hatian dalam menyampaikan hukum di tengah masyarakat yang tidak mendukung).” (Jawahir al-Kalam, jilid 36, halaman 296).