Oleh: Syekh Shaleh Karbasi
Melakukan hubungan intim (jimak)(1) selama masa haid yang dialami perempuan adalah haram bagi suami istri. Keduanya tidak boleh memaksa satu sama lain untuk berjimak. Namun, mereka masih boleh saling menikmati secara seksual tanpa melakukan hubungan intim, selama masih dalam batasan-batasan syariat.
Alquran dan Hukum Jimak Saat Masa Haid
Alquran telah menyatakan dengan tegas bahwa berjimak saat haid adalah haram, dan memerintahkan untuk menjauh dari istri serta tidak melakukan hubungan intim selama masa haid. Allah Swt berfirman, “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Itu adalah suatu kotoran.’ Maka jauhilah wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”(2)
Kata “kotoran” di sini adalah alasan atas keharaman jimak, dan dalam bahasa Arab berarti sesuatu yang tidak disukai atau membahayakan. Adapun kata “maḥiḍh” berarti tempat keluarnya darah haid, bukan sekadar haid itu sendiri. Maka maksud ayat tersebut adalah jangan campuri mereka di tempat haid itu, yakni kemaluan, selama haid masih berlangsung.(3)
Sedangkan dalam ayat tersebut, frasa “janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci” ditafsirkan secara berbeda-beda oleh para ulama. Sebagian mengatakan bahwa “suci” di sini berarti berhentinya darah haid, sehingga boleh berjimak setelah darah berhenti walau belum mandi. Namun sebagian lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “suci” adalah mandi wajib setelah darah haid berhenti, dan dengan demikian, jimak tidak diperbolehkan kecuali setelah darah haid berhenti dan perempuan telah mandi besar.
Pendapat Para Ulama Syiah
Pendapat yang terkenal di kalangan ulama Syiah Imamiyah adalah bahwa larangan jimak berakhir saat darah haid berhenti, walaupun perempuan belum mandi. Karena, menurut mereka, yang dimaksud dengan “ṭhuhr” (suci) dalam ayat adalah berhentinya darah, sedangkan “taṭhahḥur” (menyucikan diri) adalah mandi besar, yang dilakukan setelah darah berhenti. Namun tetap disunnahkan agar perempuan mencuci kemaluannya terlebih dahulu sebelum berjimak, apabila ia belum mandi haid.
Bahaya Jimak Saat Masa Haid
Jelas bahwa Allah SWT tidak mengharamkan sesuatu kecuali karena ada hikmah atau bahaya di baliknya. Demikian juga larangan jimak saat haid tidak lepas dari alasan tersebut, meskipun kita mungkin tidak mengetahui sepenuhnya.
Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa menjimaki istrinya saat ia haid, lalu anak yang lahir mengidap kusta atau belang, maka janganlah ia mencela siapa pun selain dirinya sendiri.”(4)
Kafarah Jimak Saat Masa Haid
Jimak yang dilakukan secara sengaja saat masa haid adalah haram. Namun, jika jimak tersebut dilakukan karena lupa, tidak tahu, atau tidak menyadari bahwa sedang haid, atau tidak tahu hukum keharamannya, maka tidak ada dosa dan tidak ada kafarah atas keduanya.
Namun jika jimak dilakukan dengan pengetahuan bahwa sedang haid dan bahwa hal itu haram, maka keduanya telah berdosa besar karena secara langsung melanggar perintah Alquran. Perempuan juga tidak boleh menyembunyikan status haidnya dari suaminya, atau menyetujui ajakan suami untuk berjimak saat haid. Ia wajib memberitahu bahwa ia sedang haid, dan menolak untuk berjimak.
Jika hanya satu pihak yang tahu hukum dan tahu bahwa sedang haid (misalnya suami saja atau istri saja), maka yang tahu itulah yang menanggung dosa, sedangkan yang tidak tahu tidak menanggung dosa.
Bagaimanapun, jika sudah terjadi jimak saat haid, maka orang yang tahu bahwa itu haram wajib bertaubat dan memohon ampun kepada Allah Swt.
Berapa Besar Kafarah (Denda) Jimak Saat Haid?
Menurut banyak ulama, kafarah untuk jimak saat haid tidak wajib, melainkan disunnahkan. Oleh karena itu, setiap orang harus mengikuti pendapat marja’ (ulama rujukannya) dalam masalah ini.
Besar kafarah juga berbeda tergantung waktu jimak dilakukan:
- Jika dilakukan pada sepertiga pertama masa haid: kafarahnya adalah 1 dinar.
- Jika dilakukan pada sepertiga kedua: kafarahnya adalah setengah dinar.
- Jika dilakukan pada sepertiga terakhir: kafarahnya adalah seperempat dinar.
Nilai Satu Dinar
Nilai satu dinar adalah setara dengan sekitar 4,25 gram emas. Kafarah dapat dibayar langsung dengan emas, atau dibayar dalam bentuk uang sesuai nilai emas saat waktu pembayaran.
Penerima Kafarah Jimak Saat Haid
Kafarah diberikan kepada orang miskin. Dalam hadis disebutkan bahwa, “Orang miskin itu lebih parah keadaannya dibandingkan orang fakir.” Artinya, kafarah diberikan kepada orang yang paling membutuhkan, bahkan melebihi fakir miskin biasa.(5)
Catatan Kaki:
- Jimak dalam istilah fikih adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan dengan memasukkan bagian kepala zakar (hasyafah) ke dalam farji (kemaluan) perempuan. Hasyafah adalah bagian atas dari zakar, yaitu kepala penis hingga batas pemotongan saat khitan. Dengan masuknya bagian ini, maka jimak dianggap telah terjadi, dan atasnya berlaku banyak hukum-hukum syariat serta hudud (hukuman-hukuman) dalam syariat Islam. Jimak dalam bahasa para fuqaha ditentukan dengan istilah “bertemunya dua khitan”, yaitu bahwa jimak dianggap terjadi ketika tempat pemotongan khitan dari kedua belah pihak —laki-laki dan perempuan— saling bertemu.
- al-Baqarah [2]:222, hal.35.
- Lihat: Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, jil.10, hal.45.
- Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil.1, hal.96, karya Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Qummi, yang dikenal dengan nama Syekh Shaduq, lahir pada tahun 305 Hijriah di Qom, dan wafat pada tahun 381 Hijriah. Dicetak oleh Intisyarat Islami, yang merupakan bagian dari Jama‘at al-Mudarrisin, cetakan ketiga, tahun 1413 Hijriah, Qom/Iran.
Majma‘ al-Bahrain, jil.3, hal.33, karya Allamah Fakhruddin bin Muhammad Turaihi, lahir pada tahun 979 Hijriah di Najaf Asyraf, Irak, dan wafat pada tahun 1087 Hijriah di Ramahiyah, dimakamkan di Najaf Asyraf, Irak. Cetakan kedua tahun 1365 Syamsiyah, diterbitkan oleh Maktabah al-Murtadha, Tehran/Iran.