Oleh: Syekh Shaleh Karbasi
Sesungguhnya kumpulan-kumpulan hadis di kalangan Syiah tidaklah sedikit, bahkan memuat puluhan ribu hadis. Berikut ini kami sebutkan beberapa di antaranya sebagai,
- Al-Kafi, karya Syekh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Kulaini Razi (semoga Allah menyucikan jiwanya), wafat pada tahun 328 H. Kitab ini disusun oleh pengarangnya dalam 34 kitab dan 326 bab. Jumlah hadisnya mencapai 16.199 hadis. Penulis membagi kitab ini menjadi tiga bagian: Ushul, Furu’, dan Raudhah. Pada bagian Ushul, beliau mengumpulkan hadis-hadis yang berkaitan dengan akidah; pada bagian Furu’, hadis-hadis fikih; dan pada bagian Raudhah, hadis-hadis akhlak dan sejenisnya. Penulis menghabiskan waktu dua puluh tahun untuk mengumpulkan hadis-hadis ini.
- Man La Yahdhuruhu al-Faqih, karya Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Musa bin Babawaih Qummi, wafat tahun 381 H. Kitab ini terdiri dari empat jilid, disusun dalam 666 bab, dan berisi 5.998 hadis.
- Tahdzib al-Ahkam, karya Abu Ja’far Muhammad bin Hasan Thusi, wafat tahun 460 H. Kitab ini terdiri dari 393 bab dan mengandung 13.590 hadis.
- Al-Istibshar fima Ikhtalafa min al-Akhbar, juga karya Abu Ja’far Muhammad bin Hasan Thusi, wafat tahun 460 H. Kitab ini terdiri dari tiga jilid, dua jilid membahas ibadah, dan jilid ketiga mencakup bab-bab fikih lainnya, dengan total 5.511 hadis.
- Al-Wafi, karya Syekh Muhammad bin Murtadha yang dikenal dengan sebutan Muhsin Kasyani (Faidh Kasyani), wafat tahun 1091 H. Kitab ini memuat 50.000 hadis.
- Tafshil Wasa’il al-Syi’ah ila Tahshil Masa’il al-Syari’ah, karya Syekh Muhammad bin Hasan Hurr Amili (semoga Allah menyucikan jiwanya), mengandung 35.850 hadis.
- Mustadrak al-Wasa’il wa Mustanbat al-Masa’il, karya Syekh Mirza Husain bin Muhammad Taqi Thabarsi Nuri, wafat tahun 1320 H. Dicetak secara batu di Iran pada tahun 1321 H dan dicetak ulang di Tehran tahun 1382 H. Kitab ini memuat sekitar 23.000 hadis yang ditambahkan oleh penulisnya sebagai pelengkap untuk kitab Wasa’il al-Syi’ah karya Hurr Amili.
- Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar, karya Allamah Syekh Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi Majlisi (semoga Allah menyucikan jiwanya), wafat tahun 1110 H. Dicetak secara batu di Iran pada tahun 1303–1315 H dalam 25 jilid sesuai pembagian pengarangnya, kemudian dicetak secara modern dalam 110 jilid.
- Jami’ Ahadits al-Syi’ah, dikarang oleh sekelompok ulama di bawah pengawasan Ayatullah Burujirdi (semoga Allah menyucikan jiwanya).
Namun, perlu ditegaskan satu hal penting, yaitu jika yang dimaksud oleh penanya adalah apakah terdapat kumpulan hadis di kalangan Syiah yang diyakini bahwa seluruh isi hadisnya adalah sahih dan tidak dapat diperdebatkan (sebagaimana Shahih Bukhari di kalangan Ahlusunnah, misalnya), maka kami harus menyatakan secara jujur bahwa kitab-kitab hadis kami tidak seperti itu. Kitab-kitab hadis Syiah mengandung hadis sahih, daif dan mursal, dan bukan berarti seluruh hadis dalam kitab-kitab tersebut dapat dijadikan hujah secara mutlak. Penetapan hukum berdasar hadis tergantung pada terpenuhinya syarat-syarat kesahihan yang telah dijelaskan oleh para ulama ilmu dirayah dan hadis.
Syiah sangat memperhatikan hadis suci (yang merupakan sunnah suci) karena dianggap sebagai sumber kedua dalam syariat Islam setelah Alquran, dalam semua bidang.
Adapun hadis dalam pandangan Syiah adalah: perkataan yang meriwayatkan ucapan, perbuatan, atau ketetapan dari seorang maksum as. Oleh karena itu, hadis terbagi menjadi hadis sahih dan selainnya. Maka, sesuatu yang tidak berujung kepada maksum as bukanlah hadis. Sedangkan kalangan Ahlusunnah cukup dengan sanad yang sampai kepada sahabat atau tabi’in, sehingga untuk membedakan, mereka sering menyebut riwayat yang hanya sampai ke sahabat dan tabi’in itu dengan atsar.(1)
Syiah memandang ilmu hadis sebagai salah satu ilmu paling mulia dan paling bermanfaat. Oleh sebab itu, ulama Syiah telah mencurahkan upaya maksimal dalam penulisan ilmu hadis. Mereka menulis tentang gharibul hadits (lafaz-lafaz asing dalam hadis) dan keanehan-keanehannya, juga menulis tentang ilmu Rijal al-Hadits yang bertugas membedakan perawi terpercaya dari yang tidak, serta ilmu Dirayah, yang membahas tentang kondisi sanad dan matan, cara periwayatan,(2) dan adab periwayatan serta penyampaian hadis.(3)
Karena hadis awalnya ditransmisikan secara lisan, kemudian secara tertulis, dan kebanyakan hadis diriwayatkan melalui jalur khabar ahad (riwayat perseorangan), maka—sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Usul Fikih—khabar ahad tidak memberikan kepastian (yakin) tentang keshahihan riwayatnya dari maksum as. Oleh karena itu, para ulama menetapkan ilmu yang dikenal dengan ilmu Rijal dan ilmu Hadis untuk tujuan ini.(4)
Ilmu Rijal adalah ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan para perawi dari sisi identitas mereka dan sifat-sifat mereka yang menjadi syarat diterima atau ditolaknya sebuah riwayat.(5)
Para ulama juga menganggap bahwa mempelajari ilmu Rijal dan ilmu Hadis merupakan syarat mutlak untuk mencapai derajat ijtihad, dan sebagai dasar penting dalam keahlian fikih serta proses istinbat hukum (penarikan hukum syariat).
Evaluasi ketat terhadap perawi dalam ilmu rijal disebut dengan jarh wa ta’dil, yaitu hasil dari evaluasi terhadap keadaan perawi—apakah dia terpercaya atau tidak. Tsiqah (terpercaya) berarti ta’dil, sedangkan tidak terpercaya berarti jarh dalam istilah ilmu Rijal.(6)
Kelebihan Syiah dibandingkan mazhab lain adalah bahwa semua perawi, tanpa kecuali, harus melalui proses evaluasi ini untuk mengetahui status mereka, membedakan antara yang saleh dan yang rusak, serta antara mukmin dan munafik, sehingga hanya mengambil riwayat dari perawi yang saleh dan mukmin.
Sedangkan Ahlusunnah mengecualikan para sahabat dari evaluasi ini. Mereka beranggapan bahwa para sahabat tidak perlu melalui proses jarh wa ta’dil, karena dianggap berada di atas evaluasi tersebut. Oleh karena itu, mereka tidak pernah mengevaluasi sahabat.
Padahal, topik tentang keadilan sahabat adalah isu sensitif yang telah menjadi bahan perdebatan luas dalam kajian hadis dan rijal. Mayoritas Ahlusunnah berpendapat bahwa semua sahabat adalah adil, dan tidak boleh terkena evaluasi jarh wa ta’dil sebagaimana berlaku bagi kaum muslim lainnya.
Yang membuat heran adalah insistensi mereka terhadap kesucian para sahabat dan bahwa mereka berada di atas evaluasi, padahal mereka sendiri meriwayatkan puluhan hadis dalam kitab-kitab shahih mereka yang menyatakan bahwa para sahabat murtad dari agama, melanggar prinsip-prinsip dan hukum Islam, serta melakukan tindakan-tindakan tidak sah yang membuat tidak diragukan lagi bahwa mereka seperti manusia lainnya—ada yang saleh, ada yang rusak, ada yang munafik, ada yang mukmin—sebagaimana dijelaskan dalam ayat-ayat Alquran dan sunah Nabi saw. Ini sungguh sangat mengherankan.(7)
Sementara itu, para ulama Syiah menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kondisi para perawi, dan mereka menyatakan bahwa hadis hanya bisa dijadikan sebagai sumber hukum syariat setelah melalui tahapan-tahapan berikut:
- Evaluasi para perawi hadis secara teliti dan ketat tanpa toleransi dilakukan untuk mengidentifikasi dan menentukan identitas perawi secara menyeluruh. Evaluasi ini dilakukan berdasarkan prinsip ilmiah dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu khusus yang disebut Ilmu Rijal. Dengan bantuan ilmu ini, para ulama dapat mengetahui keadaan perawi, apakah ia terpercaya (tsiqah) atau tidak, sehingga mereka dapat memutuskan untuk menerima atau menolak riwayatnya.
- Evaluasi terhadap seluruh hadis yang diriwayatkan dari para maksum as dari segi matan (isi) dan sanad (rantai periwayatan) serta jalur-jalur periwayatannya, dilakukan untuk membedakan antara hadis yang sahih dan yang lemah. Evaluasi ini juga dilakukan berdasarkan prinsip ilmiah yang kokoh dan kaidah-kaidah yang dibukukan dalam ilmu khusus yang disebut Ilmu Dirayah.(8)
- Setelah itu, riwayat hadis diuji keabsahannya dalam Ilmu Usul Fikih, yaitu ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip dan metodologi pengambilan hukum.(9)
- Dan setelah semua tahap tersebut, hadis masuk ke dalam proses istinbath (pengambilan hukum) dalam ilmu Fikih. Jika riwayat tersebut telah terbukti valid (hujjah) dan layak untuk dijadikan sandaran, maka seorang fakih (ahli fikih) akan menjadikannya sebagai sumber hukum syariat untuk menetapkan suatu hukum.
Ya, inilah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh perawi dan riwayat yang dibawanya sebelum sebuah hadis bisa dijadikan dasar dalam penetapan hukum syariat. Berbeda dengan Ahlusunnah, mereka menganggap para sahabat berada di atas kritik dan penilaian. Mereka menetapkan keadilan sahabat sebagai prinsip dasar, baik yang diketahui keadaannya maupun yang tidak dikenal. Dalam pandangan mereka, sahabat tidak boleh dikritik atau dipertanyakan, karena mereka meyakini tidak ada keraguan dalam keadilan para sahabat.
Kriteria dan Syarat Seorang Perawi yang Diterima Riwayatnya
- Islam: Riwayat dari orang kafir tidak diterima secara mutlak. Adapun pengecualian atas kesaksian dzimmi (non-muslim) dalam perkara wasiat seorang muslim adalah berdasarkan dalil khusus, yaitu firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang dari kamu menghadapi kematian, sedang ia hendak berwasiat, maka hendaklah persaksian itu dilakukan oleh dua orang yang adil dari kalangan kamu, atau dua orang dari luar kamu jika kamu sedang bepergian di bumi…”(10)
Dalam beberapa riwayat, frasa “atau dua orang dari luar kamu” ditafsirkan sebagai dzimmi (non-muslim).(11)
- Akil (berakal sehat): Riwayat dari orang gila tidak diterima, dan ini adalah hal yang jelas dan logis.
- Balig: Riwayat dari anak-anak yang belum baligh dan belum bisa membedakan tidak diterima. Adapun anak yang sudah mumayyiz (bisa membedakan), maka pendapat yang masyhur menyatakan riwayatnya tetap tidak diterima.
- Iman: Yakni, perawi harus seorang muslim Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah (Syiah Dua Belas Imam).(12)
- Adil: Menurut pendapat yang masyhur, adil adalah suatu sifat batin (jiwa) yang mendorong seseorang untuk senantiasa bertakwa, menjauhi dosa besar, tidak terus-menerus melakukan dosa kecil, serta menjauhi perbuatan yang mencoreng martabat (muru’ah). Jika seseorang terbukti melakukan perbuatan yang menunjukkan kurangnya kepedulian terhadap agama, maka dia tidak dapat dipercaya untuk menghindari dosa, sehingga tidak diterima riwayatnya.(13)
Penutup
Mungkin ada yang bertanya, “Kalau begitu, mengapa kitab-kitab hadis Syiah tidak disusun berdasarkan kriteria-kriteria tersebut? Bukankah seharusnya hanya hadis sahih yang dikumpulkan dan yang lemah ditinggalkan, karena hadis yang tidak sahih tidak ada manfaatnya?”
Jawabannya: Evaluasi hadis sebagaimana telah dijelaskan adalah proses yang sangat teliti dan kompleks, dan hanya bisa dilakukan oleh ahli yang berpengalaman dalam bidang ini. Ini adalah urusan ijtihadiyah, dan harus selalu terbuka untuk diteliti ulang oleh para ulama kapan pun dan di zaman mana pun. Tidak dibenarkan untuk menetapkan keabsahan suatu riwayat hanya berdasarkan pendapat ulama terdahulu dan menutup pintu penelitian terhadap sanad dan matan hadis di masa depan.
Oleh karena itu, tidak mungkin disusun kitab hadis yang hanya memuat hadis sahih saja.
Catatan dan Rujukan:
- Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, halaman 19, karya Ayatullah Syekh Ja’far Subhani.
- Tahammul: Istilah dalam ilmu hadis yang berarti proses seorang perawi menerima hadis dari perawi lain dan menjaganya (baik hafalan atau tulisan).
- Ada’: Penyampaian kembali hadis oleh perawi kepada perawi lain.
- Ushul al-Hadits, halaman 14.
- Ushul ‘Ilm al-Rijal, halaman 11, karya Dr. Syekh Abdul Hadi Fadhli.
- Untuk mengenal istilah-istilah dalam jarh wa ta’dil, lihat: Ushul al-Hadits wa Ahkamuhu, halaman 153.
- Al-Hadits al-Nabawi bayna al-Riwayah wa al-Dirayah, halaman 51.
- Ilmu Dirayah: Ilmu yang membahas kondisi hadis dari segi sanad maupun matannya.
- Ilmu Ushul: Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk istinbath hukum syariat, seperti dalam Kifayah al-Ushul, juz 1, halaman 9.
- al-Maidah [5]:106.
- Al-Ri’ayah fi ‘Ilm al-Dirayah, halaman 181-182, karya Zainuddin Amili (Syahid Tsani).
- Lihat: ‘Uddat al-Ushul, halaman 379-381, karya Syekh Thusi.
Lihat: Al-Ma’alim, halaman 201, karya Hasan bin Zainuddin Amili.