Oleh: Syekh Sa’id Salathinah
Sebuah pertanyaan yang menyiratkan rasa sakit dan keprihatinan yang mendalam… Bagaimana mungkin Alquran, kitab kehidupan, kitab keabadian, dan kitab petunjuk, bisa ditinggalkan? Padahal, ia adalah sumber murni tempat para pencari jalan yang lurus memuaskan dahaganya?
Ya, itulah kenyataan pahitnya. Fenomena meninggalkan Alquran telah menyebar di masyarakat kontemporer kita, bahkan di sebagian besar institusi keagamaan dan sosial, sungguh disayangkan.
Memang benar, di bulan yang mulia ini, banyak orang membuka rumah mereka untuk membaca Alquran, dan banyak yang berjanji pada diri sendiri untuk mengkhatamkan Alquran setidaknya sekali di bulan Ramadan.
Namun, begitu bulan suci itu berlalu, sebagian besar orang telah mengucapkan selamat tinggal pada Alquran, bacaan, dan majelisnya. Jika Anda mendengar Alquran dibaca setelah Ramadan, hidung Anda akan mencium aroma kapur barus yang bercampur dengan pertanyaan, “Siapa yang meninggal?”
Alquran, yang seharusnya menjadi dasar untuk menghidupkan manusia, malah menjadi sarana dan tanda kematian!
Karena itu, Imam Khomeini (semoga jiwanya disucikan) mengatakan dalam wasiatnya yang abadi, “Wahai umat Islam! Selamatkan Alquran dari kuburan.”
Dan Rasulullah saw melihat kenyataan pahit ini ketika beliau berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat, dengan membawa Alquran di tangannya, seraya berkata, “Ya Rabb! Sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini sesuatu yang diabaikan.”(1)
Jika kita menyoroti realitas kontemporer, kita akan menemukan bahwa fenomena meninggalkan Alquran terwujud dalam lima bentuk.
Bentuk Pertama: Meninggalkan Membaca dan Melantunkan Mushaf yang Mulia
Padahal, perintah Alquran untuk membaca dan melantunkannya sudah jelas dan merupakan salah satu hal yang pasti bagi semua muslim. Allah berfirman, “Maka bacalah apa yang mudah dari Alquran…”(2). Dan Dia juga berfirman, “Dan bacalah Alquran itu dengan tartil.”(3)
Dan Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang membaca sepuluh ayat pada malam hari, dia tidak akan dicatat sebagai orang yang lalai. Barang siapa yang membaca lima puluh ayat, dia akan dicatat sebagai orang yang berzikir. Barang siapa yang membaca tiga ratus ayat, dia akan dicatat sebagai orang yang beruntung. Dan barang siapa yang membaca lima ratus ayat, dia akan dicatat sebagai orang yang bersungguh-sungguh.”
Melalui hadis ini, Rasulullah saw mendidik umat Islam untuk mengaitkan diri dengan Alquran sebagai cara hidup dan program harian, agar seorang muslim tidak hidup dalam kelalaian terhadap konstitusi hidupnya. Dan agar muslim tersebut menjadi orang yang berzikir kepada Allah. Jika dia ingin meraih keberuntungan dan kesungguhan, dia harus memperbanyak membaca Alquran.
Bentuk Kedua: Meninggalkan Mendengarkan Alquran
Sungguh aneh melihat seseorang yang bersemangat untuk mendengarkan segala sesuatu, tetapi begitu Alquran dibacakan kepadanya, dia berpaling dari mendengarkannya. Padahal, Allah memerintahkan kita untuk mendengarkan Alquran, “Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”(4)
Bahkan, sebagian orang tidak tahan mendengarkan Alquran dan menganggapnya membosankan. Akhir-akhir ini, di hari-hari mulia Alquran, muncul kebiasaan baru di masyarakat kita: seorang pembaca Alquran diberi ruangan terpisah dari ruang duduk orang-orang di rumah yang membaca Alquran, agar orang-orang bisa leluasa berbicara dan mengobrol. Sungguh fenomena yang menyakitkan, ketika Anda menemukan seorang pembaca Alquran membaca sendirian, tanpa ada seorang pun yang mendengarkan, menyemangati, membantu, atau mengoreksinya jika dia salah.
Bentuk Ketiga: Meninggalkan Menghafal Alquran
Sungguh menyakitkan ketika Anda menemukan banyak dari anak laki-laki dan perempuan kita menghafal banyak hal, bahkan yang rumit sekalipun. Tetapi ketika Anda meminta mereka untuk menghafal Alquran, Anda akan melihat mereka terbata-bata dalam menghafal satu ayat dari kitab Allah. Padahal, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya orang yang di dalam hatinya tidak ada sedikit pun dari Alquran adalah seperti rumah yang rusak.”
Bentuk Keempat: Meninggalkan Tadabbur (Perenungan)
Salah satu bentuk meninggalkan kitab Allah adalah meninggalkan tadabbur. Tadabbur adalah merenungkan ayat-ayat Allah dan memahami dimensi serta rahasianya. Sebagian orang mengira bahwa tadabbur Alquran hanya untuk para ahli tafsir, dan pendapat ini tidak benar karena bertentangan dengan firman Allah yang mutlak, “Maka apakah mereka tidak merenungkan Alquran ataukah hati mereka terkunci?”(5)
Jadi, tadabbur adalah hak semua orang, masing-masing sesuai dengan pemahaman dan budayanya, yang tidak bertentangan dengan tujuan luhur Alquran, “Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”(6)
Bentuk Kelima: Meninggalkan Mengamalkan Alquran
Alquran tidak diturunkan untuk menjadi budaya yang terpisah dari tindakan. Oleh karena itu, ketika kita berdiri di Malam Lailatul Qadar dan meletakkan Alquran di atas kepala kita, kita mengambil pelajaran penting, yaitu “Alquran adalah penguasa di pusat kepemimpinan manusia, yaitu kepala manusia. Jadi, Alquran adalah penguasa atas semua perkataan dan perbuatan kita, dan kita berdiri di Malam Lailatulqadar untuk berjanji kepada Allah akan hal itu.”
Dan apa yang terlintas di benak saya dalam hal ini adalah ketika Abdulmalik bin Marwan pergi haji, dia singgah di kota Rasulullah saw, lalu dia bertanya, “Apakah ada di antara para sahabat yang masih hidup?” Mereka menjawab, “Tidak.” Dia bertanya, “Apakah ada dari para tabiin?” Mereka menjawab, “Ya, ada Abu Hazim.” Dia memerintahkan untuk menghadirkannya, dan dia pun dihadirkan, dia adalah seorang Syekh yang sudah tua. Abdulmalik bertanya kepadanya, “Wahai Abu Hazim! Mengapa kita membenci kematian?” Abu Hazim berkata, “Karena kalian telah memakmurkan dunia dan merusak akhirat. Dan wajar jika manusia membenci berpindah dari tempat yang makmur ke tempat yang hancur.” Kemudian Abdul Malik berkata, “Bagaimana cara datang menghadap Allah?” Abu Hazim menjawab, “Adapun orang mukmin, ia seperti seorang yang pergi jauh lalu kembali ke keluarganya, mereka merasa senang dengannya dan dia pun merasa senang dengan mereka. Sedangkan orang yang durhaka dan fasik, dia seperti budak yang kabur dan dikembalikan kepada tuannya.” Lalu Abdulmalik bertanya, “Di mana posisi saya dalam kitab Allah?” Dan inilah inti dari kisah tersebut. Abu Hazim menjawab, “Hadapkanlah dirimu kepada Alquran dan lihatlah di mana posisimu dalam kitab Allah. Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kenikmatan. Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka yang menyala-nyala’.”(7)
Karena itu, ketika saya membaca Alquran, saya harus mencari tahu posisi saya dalam kitab Allah. Di mana posisi saya? Apakah bersama orang-orang zalim…atau bersama orang-orang fasik…atau bersama orang-orang kafir…atau bersama orang-orang munafik…atau bersama orang-orang mukmin?
Setelah menyebutkan beberapa manifestasi dari meninggalkan Alquran, mari kita bahas penyebabnya agar kita dapat menghindarinya dan selalu bersama Alquran, terutama di bulan Ramadan yang merupakan musim semi Alquran, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw, “Setiap sesuatu ada musim seminya, dan musim semi Alquran adalah bulan Ramadan.”
Ada tiga penyebab yang dapat kita tunjukkan:
Penyebab Pertama: (Alquran Tidak Cocok untuk Perkembangan Zaman)
Sebagian orang beranggapan bahwa Alquran adalah kitab yang tidak cocok untuk beradaptasi dengan tuntutan kehidupan kita saat ini. Mereka melihatnya sebagai kitab yang agung dan menjadi fondasi pembangunan generasi di masa Rasulullah saw, tetapi sekarang, di era kemajuan, kita cukup membacanya untuk sekadar mengambil berkah saja.
Ini adalah keraguan yang harus dibersihkan dari masyarakat. Alquran telah menjadi petunjuk bagi setiap orang di bidangnya masing-masing. Petunjuk menuju jalan yang lurus tidak bertentangan dengan kemajuan, bahkan menjadi penolong terbaik bagi kemajuan dan peradaban. Peradaban Islam adalah bukti terbaik untuk hal itu.
Penyebab Kedua: (Kesalahan dalam Menyikapi Keagungan Alquran)
Anda melihat sebagian orang berpegang pada teks-teks yang menyatakan bahwa siapa pun yang menafsirkan Alquran dengan pendapatnya sendiri, maka tempatnya adalah di neraka. Oleh karena itu, seseorang harus menjauhi penafsiran Alquran dengan pendapat pribadi karena ini adalah larangan yang jelas.
Sayangnya, pemahaman yang salah terhadap keagungan Alquran ini telah mendominasi, bahkan di kalangan sebagian mufasir, sehingga mereka hanya memahami makna literal dari ayat-ayat tersebut karena takut jatuh ke dalam larangan menafsirkan Alquran dengan pendapat pribadi.
Padahal, tadabbur, perenungan, dan mengambil pelajaran dari Alquran tidak ada hubungannya dengan tafsir dengan pendapat pribadi.
Seperti yang dikatakan oleh Imam Khomeini (semoga Allah menyucikan jiwanya), “Kemungkinan yang dimaksud dengan tafsir dengan pendapat pribadi yang tercela adalah pada ayat-ayat hukum, bukan pada ayat-ayat pengetahuan dan ilmu aqliyah (rasional) yang sesuai dengan timbangan burhaniyah (bukti-bukti).”
Penyebab Ketiga: (Absennya Materi Alquran dalam Institusi Keagamaan Kita)
Jika Anda melihat lembaga-lembaga keilmuan kita (hauzah ilmiah) yang dianggap sebagai tulang punggung para dai dan ulama, Anda akan menemukannya kosong dari pelajaran tafsir, hafalan Alquran, dan tajwid.
Terkadang, Anda akan menemukan beberapa hauzah yang, jika mereka menawarkan pelajaran tafsir atau tajwid, menjadikannya sebagai pelajaran tambahan dan bukan pelajaran utama hauzah. Ini adalah sebuah kesalahan, karena ilmu bahasa hanya dibuat untuk memahami Alquran, begitu juga ilmu aqliyah (rasional) hanya dibuat agar manusia dapat merasakan keindahan Alquran.
Karena itu, saya, sebagai seorang penuntut ilmu yang rendah hati, menyerukan kepada hauzah di Kerajaan untuk berupaya serius mengadakan konferensi untuk membahas fenomena berbahaya ini, pertama di tingkat hauzah dan kedua di tingkat masyarakat. Meskipun akhir-akhir ini beberapa pusat pengajaran dan hafalan Alquran di Bahrain telah muncul berkat sekelompok pemuda mukmin dan dengan restu ulama yang masih malu-malu. Saya katakan malu-malu karena kehadiran ulama di sana sangat lemah, hampir tidak dapat disebutkan. Semoga Allah memberkahi saudara-saudara kita atas apa yang telah mereka lakukan, meluruskan langkah-langkah mereka, dan memberikan hasil yang baik dari amal mereka.(8)
Sumber Rujukan:
- QS. al-Furqan [25]:30, hal.362.
- QS. al-Muzzammil [73]:20, hal.575.
- QS. al-Muzzammil [73]:4, hal.574.
- QS. al-A’raf [7]:204, hal.176.
- QS. Muhammad [47]:24, hal.509.
- QS. al-Baqarah [2]:2, hal.2.
- QS. al-Infithar (82]:13 dan 14, hal.587.
- Sumber: Syabkah al-Na’im al-Tsaqafiyyah.