Oleh: Syekh Ja’far Subhani
Teks Syubhat (Kerancuan):
Kaum Syi’ah bergantung pada apa yang datang melalui Imam-imam Ahlulbait as—sebagaimana yang mereka yakini—dan diketahui bahwa tidak seorang pun dari mereka, selain Ali bin Abi Thalib as, sempat mendampingi Rasulullah saw dalam keadaan mumayyiz (berakal). Apakah Ali as akan mampu menyampaikan seluruh sunnah Rasulullah saw kepada generasi setelahnya? Bagaimana mungkin? Padahal Rasulullah saw terkadang menggantikannya (menjadi pemimpin di Madinah) atau mengutusnya (berdakwah), yang menunjukkan bahwa ia tidak menemani Rasulullah saw sepanjang waktu?
Juga, bagaimana Ali as dapat menyampaikan keadaan Rasulullah saw di rumah beliau yang khusus disampaikan oleh istri-istri beliau?!
Jadi, Ali sendiri tidak akan mampu menyampaikan seluruh sunah Rasulullah saw kepada kalian?
Jawaban:
Kami telah menulis sebelumnya tentang sumber-sumber ilmu para Imam as. Sumber ilmu mereka tidak terbatas pada mendengar dari Rasulullah saw saja. Mereka memiliki sumber berupa pengambilan hukum (istinbat) dari Kitabullah, dan ini adalah salah satu sumber mereka.
Adapun sunah Nabi saw, baik yang datang melalui Ali as maupun melalui orang-orang tsiqah (tepercaya), itu juga merupakan sumber istinbath bagi mereka.
Lebih dari itu, pengaju pertanyaan telah menyamakan para Imam Ahlulbait—yang merupakan sejajar dengan Kitabullah yang mulia—dengan para perawi hadis dan penyampai riwayat, lalu ia menyimpulkan apa yang ia simpulkan. Ia lalai bahwa para Imam memiliki sumber ilmu lain, yaitu ilmu karunia (pemberian) dari Allah Swt kepada mereka. Sebab, terkadang perhatian Allah Swt meliputi sebagian hamba-Nya yang saleh, menjadikan mereka ulama yang cerdas dari sisi-Nya, tanpa mereka harus belajar di tangan siapa pun. Ini bukanlah hal yang aneh dan ada analoginya:
- Allah Swt menggambarkan sahabat Musa as dengan firman-Nya, “Lalu mereka mendapati seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”(1) Dia Swt menyebutkan dua hal tentang Diri-Nya,
- “Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami.”
- “Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”(2)
Maka, dia mendapatkan rahmat dan perhatian Allah, lalu menjadi orang yang berilmu melalui pengajaran dari-Nya Swt, tanpa menjadi seorang nabi. Sebaliknya, dia adalah manusia ideal dan wali dari wali-wali Allah Swt yang mencapai kedudukan dalam ilmu dan makrifat yang membuat Musa as—seorang nabi yang diutus—memohon ilmu darinya, di mana Musa as berkata kepadanya, “… Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku sebagian dari ilmu yang telah diajarkan kepadamu yang memberi petunjuk?”(3)
- Allah Swt memberikan teman duduk Sulaiman as ilmu dari kitab, yang memberinya kemampuan untuk melakukan hal luar biasa (kharqul ‘adah), sebagaimana Dia Swt menggambarkannya, “Berkatalah orang yang mempunyai ilmu dari kitab, ‘Aku akan membawanya kepadamu sebelum matamu berkedip.’ Ketika Sulaiman melihatnya (singgasana itu) terletak di hadapannya, dia pun berkata, ‘Ini termasuk karunia Tuhanku…’”(4)
Teman duduk ini bukanlah seorang nabi, tetapi dia memiliki ilmu dari kitab. Dia tidak memperolehnya melalui jalur biasa yang dilalui anak-anak dan pemuda di sekolah dan universitas, melainkan ilmu Ilahi yang dilimpahkan kepadanya karena kejernihan hati dan ruhnya.
Apa yang kami sebutkan adalah contoh-contoh bagi mereka yang diliputi oleh perhatian ilahi sehingga mereka menjadi ulama, fukaha, dan hukama dari sisi Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Maka, marilah kita alihkan perhatian kita kepada Dua Belas Imam. Karena kehormatan agama telah diamanahkan kepada mereka, sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw yang bersabda, “Islam akan senantiasa mulia dan perkasa hingga dipimpin oleh dua belas orang khalifah,” yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.(5)
Sebagaimana hidayah juga diamanahkan kepada mereka, sebagaimana dalam Hadis Tsaqalain di mana beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara berat: Kitabullah dan Itrati (keturunanku).”
Para Imam Ahlulbait as tidak kurang kedudukan dan martabatnya dibandingkan dengan sahabat Musa as atau teman duduk Sulaiman as. Lantas, penghalang apa yang ada bagi mereka untuk menguasai sunah Nabi saw dan ilmu Syariat dengan ilmu Karunia (mauhub), tanpa mereka harus menjadi nabi? Justru, melalui metode ini, mereka adalah wadah ilmu Rasul saw dan perawi sunah-sunah beliau.
Terkadang sebab-sebab ilmu karunia ini diungkapkan dengan istilah bahwa seseorang adalah “muhaddats”—dengan fath pada huruf Dal (مُحَدَّثٌ)—dan riwayat-riwayat telah tersebar luas mengenai adanya orang-orang muhaddats (yang diajak bicara oleh malaikat) dalam umat Islam yang diberi ilham dan dituangkan ke dalam hati mereka sebagian ilmu melalui jalan ilham dan ketersingkapan (mukasyafah) dari Sumber Tertinggi, atau ditanamkan dalam hati mereka hakikat-hakikat yang tersembunyi dari selain mereka.
Sumber-sumber hadis telah dipenuhi dengan banyak riwayat yang mendukung hakikat ini.(6)
Selain itu, sejarah adalah saksi yang paling jujur atas ilmu mereka di bidang akidah dan syariat. Umat Islam telah merujuk kepada mereka, dan yang terdepan adalah para ahli fikih di tiga abad pertama, yang memuji ketinggian ilmu dan fikih mereka, tanpa perbedaan antara empat Imam (mazhab) dan yang lainnya.
Adapun mengenai Amirul Mukminin Ali as, selama 23 tahun dia senantiasa menyertai Nabi saw dan tidak pernah berpisah dengannya, kecuali dalam dua peperangan atau ketika Nabi saw mengutusnya ke Yaman untuk berdakwah. Namun, sayangnya, enam kitab hadis kalian (Kutub al-Sittah) hanya meriwayatkan sekitar 500 hadis dari Ali as, sementara pada saat yang sama mereka meriwayatkan 5.000 hadis dari Abu Hurairah! Padahal, Abu Hurairah tidak menemani Rasulullah saw kecuali selama tiga tahun atau kurang. Manakah dari keduanya yang lebih mendekati kebenaran?!(7)
Catatan Kaki:
- QS. al-Kahfi [18]:65, hal.301.
- QS. al-Kahfi [18]:65, hal.301.
- QS. al-Kahfi [18]:66, hal.301.
- QS. al-Naml [27]:40, hal.380.
- Shahih Muslim, jil.6, hal.3, Kitab al-Imarah, hadis ke-4601-4603.
- Lihat: Shahih Bukhari, jil.4, hal.200, Bab Manaqib al-Muhajirin wa Fadhlihim; dan Irsyad al-Sari karya Qasthalani, jil.6, hal.99; dan jil.5, hal.431; dan Syarh Shahih Muslim karya Nawawi, jil.15, hal.166.
- Jawaban ini dipublikasikan di situs resmi YM. Ayatullah Uzhma Syekh Ja’far Subhani damat barakatuh, Pertanyaan Nomor 158.