Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta kembali menyelenggarakan diskusi publik bertema geopolitik dan ketahanan ideologis pada Jumat, 27 Juni 2025. Kegiatan ini menghadirkan sejumlah tokoh pemikir dan pengamat isu-isu Timur Tengah dan dunia Islam. Sebagai keynote speaker, Direktur ICC Jakarta, Syaikh Dr. Mohammad Syarifani, menyampaikan bahwa respons militer Iran terhadap Israel merupakan bentuk pembelaan diri yang sah, baik menurut hukum internasional maupun syariat Islam.
Dalam paparannya, Syaikh Dr. Mohammad Syarifani menegaskan bahwa tindakan Iran merespons serangan Israel pada 13 Juni 2025 bukanlah bentuk agresi, melainkan kewajiban syar’i dan konstitusional sebagai negara yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam. Menurut beliau, Al-Qur’an dengan jelas memberi panduan tentang pembelaan diri dalam konteks keadilan dan proporsionalitas. Beliau merujuk pada prinsip yang terkandung dalam Surah Al-Baqarah ayat 190, yang memerintahkan umat Islam untuk memerangi pihak yang memerangi mereka, dengan syarat tidak melampaui batas.
Beliau menambahkan bahwa operasi militer Iran yang berhasil melumpuhkan lebih dari 70 persen infrastruktur pertahanan Israel merupakan bagian dari strategi pertahanan diri yang terukur. Bagi Iran, setiap kebijakan dan tindakan militer harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan syar’i. Hal ini sekaligus mencerminkan posisi Iran sebagai negara Islam yang merujuk pada Al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi.
Pernyataan tersebut mendapat dukungan dari Drs. Zulvan Lindan, politisi senior Indonesia, yang menekankan bahwa kekuatan Iran tidak hanya bersumber dari aspek militernya, tetapi juga dari akar ideologis dan spiritual yang kuat. Menurut beliau, Iran memiliki kapasitas perlawanan yang luar biasa karena fondasi teologis yang dipegang teguh oleh para pemimpinnya. Beliau menjelaskan bahwa mayoritas pemimpin Iran menjadikan ajaran Islam Mazhab Syiah sebagai dasar utama pengambilan kebijakan. Dua prinsip utama dalam tradisi Syiah—yakni Mahdawiyah (keyakinan terhadap kepemimpinan Imam Mahdi sebagai penyelamat akhir zaman) dan Husainiyah (keteladanan dari semangat kesyahidan Imam Husain di Karbala)—menjadi “dua sayap” yang membuat bangsa Iran mampu bangkit dan melawan secara konsisten di tengah tekanan Barat yang tidak pernah surut. Beliau juga menyebut bahwa kekuatan spiritual ini bahkan diakui oleh ilmuwan politik Barat seperti Francis Fukuyama.
Senada dengan itu, KH. Muhammad Rusli Malik, penulis dan muballigh, mengangkat dimensi strategis konflik. Beliau menyebut bahwa Israel memiliki agenda ekspansionis yang dikenal dengan istilah “Israel Raya”, yakni ambisi untuk mencaplok wilayah-wilayah di sekitar Palestina seperti Lebanon, Suriah, dan Yordania. Menurut beliau, hal ini menjadikan keberadaan Iran sebagai satu-satunya kekuatan regional yang konsisten menahan laju ekspansi Zionis. Beliau juga menyatakan bahwa Amerika Serikat telah lama berupaya menggulingkan pemerintahan Iran dan menghancurkan fasilitas nuklirnya, sebagaimana yang telah mereka lakukan terhadap Suriah. Namun, dua upaya tersebut dinilai gagal. Oleh karena itu, KH. Muhammad Rusli Malik menyimpulkan bahwa Iran telah meraih kemenangan dalam perang ini, baik secara militer maupun geopolitik. Dalam pandangan beliau, pernyataan Syaikh Dr. Mohammad Syarifani mencerminkan posisi yang benar dan konsisten dalam mempertahankan kedaulatan negara.
Diskusi ini juga menghadirkan pandangan berbeda dari seorang aktivis Islam yang tidak bersedia disebutkan namanya. Beliau menyampaikan keprihatinannya bahwa konflik Iran-Israel berisiko mengalihkan perhatian dunia Islam dari isu utama, yaitu kemerdekaan Palestina. Menurut beliau, ketegangan ini membuat agenda pembebasan Palestina menjadi kabur, padahal kemerdekaan Palestina dinilai sudah berada di ambang pintu. Namun saat ditanya mengenai alternatif solusi yang seharusnya diambil Iran setelah menerima serangan langsung dari Israel, yang bersangkutan tidak memberikan jawaban.
Sesi berikutnya menghadirkan Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D., akademisi Universitas Paramadina sekaligus Ketua Pusat Studi Etika di kampus tersebut. Beliau memberikan catatan kritis mengenai sistem keamanan dalam negeri Iran. Berdasarkan pengalamannya saat berkunjung ke Teheran tahun lalu, Dr. Pipip A. Rifai Hasan mengamati bahwa prosedur pemeriksaan keamanan di bandara masih tergolong longgar. Beliau menduga bahwa kelonggaran tersebut dapat membuka celah bagi infiltrasi unsur-unsur asing yang mengancam keamanan nasional. Meski demikian, beliau menggarisbawahi bahwa perbaikan sistem keamanan harus berjalan seiring dengan komitmen ideologis Iran dalam mempertahankan eksistensinya sebagai negara Islam.
Diskusi yang dipandu oleh Sabara Nuruddin ini berlangsung dalam suasana terbuka dan penuh semangat. Dihadiri oleh puluhan aktivis, akademisi, dan tokoh masyarakat, forum ini mempertegas peran ICC Jakarta sebagai ruang strategis untuk menyuarakan pemikiran Islam kontemporer, khususnya dalam menghadapi dinamika geopolitik yang melibatkan dunia Islam.