Pendahuluan
Indonesia memiliki kekayaan intelektual dan budaya yang lahir dari para pujangga, ulama, dan budayawan yang tidak hanya berkarya dalam bentuk sastra, tetapi juga meninggalkan pemikiran filosofis yang mendalam. Dari Jawa, kita mengenal Ki Ageng Suryomentaram (1892–1962), seorang pangeran Keraton Yogyakarta yang memilih hidup sederhana dan merumuskan filsafat kehidupan melalui Kawruh Jiwa, sebuah filsafat ilmu khas Nusantara. Dari Sunda, ada K.H. Raden Muhammad Mustopa (KPPH Mustopa, 1803–1871), seorang ulama sekaligus pujangga yang dikenal dengan karya-karya sufistiknya, antara lain Sajarah Mukadimah, Suluk Sujinah, dan Carita Waruga Guru.
Kedua tokoh ini lahir dari latar budaya berbeda, tetapi sama-sama mencoba menggali hakikat pengetahuan (epistemologi) melalui pengalaman batin, tradisi lokal, dan spiritualitas. Menariknya, baik Suryomentaram maupun Mustopa tidak sekadar menulis teori, tetapi menyusun “ilmu” yang membumi, beranjak dari keresahan insan, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Artikel ini akan membandingkan epistemologi keduanya, sekaligus menunjukkan bagaimana gagasan Ki Ageng Suryomentaram dan KPPH Mustopa dapat saling memperkaya dalam khazanah filsafat Nusantara.
Ki Ageng Suryomentaram dan Epistemologi Kawruh Jiwa
Suryomentaram adalah putra Sultan Hamengkubuwono VII yang menanggalkan status bangsawan demi menjadi rakyat biasa. Dari pengalamannya, ia merumuskan Kawruh Jiwa, sebuah sistem pengetahuan tentang jiwa manusia.
Beberapa gagasan epistemologis penting dari Suryomentaram:
- Rasa sebagai sumber pengetahuan
Menurutnya, manusia memahami dunia pertama-tama lewat rasa, bukan akal. Rasa di sini bukan sekadar emosi, tetapi kesadaran batin yang murni. - Pengalaman langsung lebih tinggi dari teori
Ia menolak dogmatisme. Pengetahuan sahih diperoleh melalui laku batin dan pengalaman pribadi yang jujur. - Manusia sebagai subjek pengetahuan
Pengetahuan yang benar harus mengantarkan manusia pada tentreming manah (ketenteraman hati), bukan sekadar menumpuk informasi (pengetahuan akumulatif).
Dengan demikian, epistemologi Suryomentaram menekankan rasionalitas rasa—perpaduan antara pengalaman subjektif, kesadaran diri, dan kejujuran batin.
KPPH Mustopa dan Epistemologi Sufistik Sunda
KPPH Mustopa adalah ulama, budayawan, dan penulis produktif dari Cianjur yang hidup pada abad ke-19. Ia menulis karya-karya berbahasa Sunda dengan aksara Pegon, banyak di antaranya bercorak tasawuf.
Pokok-pokok epistemologi dalam pemikiran Mustopa dapat diringkas sebagai berikut:
- Ilmu sebagai jalan menuju Allah
Baginya, pengetahuan bukan sekadar alat berpikir, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengetahuan yang tidak berbuah iman dianggap tidak berguna. - Kombinasi akal, rasa, dan wahyu
Mustopa memandang pengetahuan sahih lahir dari tiga sumber:- Akal untuk memahami realitas rasional.
- Rasa untuk menangkap dimensi batin dan intuitif.
- Wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi.
- Laku spiritual sebagai metode epistemologis
Dalam karya-karyanya, ia menekankan zikir, tapa, dan suluk sebagai metode memperoleh pengetahuan hakiki. Dengan ini, epistemologinya bercorak sufistik-eksperiensial.
Epistemologi Mustopa bisa disebut sebagai tasawuf epistemologis, yakni cara mengetahui melalui pembersihan jiwa dan keterhubungan dengan Yang Ilahi.
Persamaan Epistemologi Suryomentaram dan Mustopa
Kendati lahir dari latar budaya berbeda, keduanya memiliki sejumlah kesamaan asasi:
- Rasa sebagai pusat pengetahuan
Suryomentaram menekankan rasa sebagai jalan memahami diri, Mustopa pun menganggap rasa (qalb) sebagai medium pengetahuan batin. - Pengetahuan bersifat praktis dan membumi
Keduanya menolak teori kering. Pengetahuan harus relevan dengan kehidupan sehari-hari, entah untuk mencapai ketenteraman (Suryomentaram) atau mendekatkan diri pada Allah (Mustopa). - Menolak dominasi rasionalisme Barat
Baik Suryomentaram maupun Mustopa melihat bahwa pengetahuan tidak bisa hanya diukur dengan logika rasional. Ada wilayah rasa dan spiritualitas yang lebih menentukan.
Perbedaan Epistemologi Suryomentaram dan Mustopa
Namun tentu saja, ada perbedaan mendasar yang menarik:
- Dasar Ontologis
- Suryomentaram: Berangkat dari humanisme Jawa. Ia mengkaji manusia apa adanya, tanpa selalu mengaitkannya dengan Tuhan.
- Mustopa: Berangkat dari teologi Islam-Sunda. Bagi Mustopa, hakikat pengetahuan tidak bisa dilepaskan dari Allah.
- Tujuan Pengetahuan
- Suryomentaram: Tujuannya adalah tentreming manah, kebahagiaan batin, dan harmoni sosial.
- Mustopa: Tujuannya adalah makrifatullah, pengenalan kepada Allah dan keselamatan akhirat.
- Metode Epistemologis
- Suryomentaram: Menekankan observasi batin melalui kejujuran terhadap pengalaman diri.
- Mustopa: Menekankan suluk sufistik, zikir, dan laku spiritual.
Dengan demikian, epistemologi Suryomentaram lebih bersifat sekuler-humanis, sedangkan epistemologi Mustopa lebih teosentris-religius.
Relevansi Bagi Filsafat Nusantara
Perbandingan ini memberi pelajaran penting. Pertama, bahwa tradisi filsafat Nusantara tidak kalah kaya dibandingkan dengan tradisi Barat. Kedua, pemikiran Suryomentaram dan Mustopa menunjukkan dua wajah epistemologi Nusantara:
- Epistemologi Rasa Humanis (Suryomentaram) → menekankan kebahagiaan manusia dalam kehidupan dunia.
- Epistemologi Rasa Sufistik (Mustopa) → menekankan keterhubungan manusia dengan Tuhan.
Keduanya saling melengkapi. Dalam konteks modern, gagasan Suryomentaram relevan untuk pendidikan karakter, psikologi, dan harmoni sosial. Sementara gagasan Mustopa penting untuk memperkuat spiritualitas, etika, dan keimanan masyarakat.
Penutup
Ki Ageng Suryomentaram dan KPPH Mustopa sama-sama mewariskan filsafat rasa yang khas Nusantara. Perbedaan latar budaya Jawa dan Sunda, serta corak sekuler dan sufistik, membuat keduanya unik sekaligus saling memperkaya. Dari mereka kita belajar bahwa epistemologi tidak hanya milik Barat, tetapi bisa tumbuh dari tanah sendiri—dari rasa, jiwa, dan pengalaman hidup yang membumi.
Bacaan Lebih Lanjut
- Suryomentaram, Ki Ageng. Kawruh Jiwa. Yogyakarta: Yayasan Kawruh Jiwa, 1950-an.
- Mustopa, K.H.R. Muhammad. Sajarah Mukadimah. Naskah Sunda Pegon, Abad ke-19.
- Mustopa, K.H.R. Muhammad. Suluk Sujinah. Naskah Sunda Pegon.
- Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1984.
- Ekadjati, Edi S. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2005.
- Rosidi, Ajip. Sastra dan Budaya Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama, 2003.
- Sumardjo, Jakob. Simbolisme dalam Budaya Sunda. Bandung: Kelir, 2006.
- Taufik Abdullah (ed.). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002.