Gaza kini terjebak bukan hanya dalam kobaran perang, tetapi juga dalam kelaparan yang semakin mematikan. Kementerian Kesehatan Gaza pada Rabu (27/8/2025) melaporkan 10 kematian baru akibat kelaparan dan malnutrisi dalam 24 jam terakhir, termasuk dua anak-anak. Total korban tewas akibat kelaparan sejak awal krisis kini mencapai 313 orang, di antaranya 119 anak.
Kantor Media Pemerintah Gaza menyatakan situasi kian memburuk karena blokade makanan dan bantuan medis yang terus diberlakukan. Mereka menegaskan Israel tengah melakukan “kejahatan kelaparan sistematis terhadap penduduk Jalur Gaza.”
Pada Jumat (22/8/2025), Badan Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC)—otoritas global soal krisis pangan—secara resmi mendeklarasikan terjadinya kelaparan di Gaza City dan sekitarnya. IPC memperingatkan bencana akan segera meluas ke Deir al-Balah di Gaza tengah dan Khan Younis di selatan, sehingga seluruh populasi 2,4 juta jiwa di Jalur Gaza terancam kondisi yang mengancam nyawa.
Data yang dikumpulkan IPC pada periode 1 Juli–15 Agustus 2025 menunjukkan tiga indikator utama kelaparan sudah terlampaui: tingkat kerawanan pangan ekstrem, lonjakan malnutrisi akut, dan meningkatnya angka kematian akibat kelaparan.
Sejak Maret 2025, Jalur Gaza mengalami tiga bulan berturut-turut tanpa masuknya pangan maupun obat-obatan. Ribuan truk bantuan milik Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menunggu di perbatasan, tetapi tetap tidak diizinkan masuk oleh otoritas Israel.
Laporan PBB menyebut ribuan warga Gaza setiap hari berusaha mendekati titik distribusi bantuan dengan risiko besar. “Sejak 27 Mei hingga 13 Agustus, sedikitnya 1.760 warga Palestina tewas saat mencari bantuan dan lebih dari 7.200 lainnya terluka,” kata badan dunia itu. PBB juga menegaskan bahwa mayoritas korban luka bukan akibat tembakan silang, melainkan tembakan langsung dari pasukan Israel. Kerumunan kacau—termasuk perempuan dan anak-anak—yang diserang saat berebut makanan kini menjadi pemandangan harian di Gaza.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengecam kelaparan ini sebagai “bencana buatan manusia” dan “kegagalan kemanusiaan.” Ia menegaskan Israel, sebagai kekuatan pendudukan di bawah hukum internasional, berkewajiban menjamin akses warga sipil terhadap makanan dan layanan kesehatan. Namun peringatan itu terus diabaikan.
Koordinator Darurat PBB, Tom Fletcher, menyatakan ribuan truk bantuan kini hanya terparkir dalam jarak pandang warga yang kelaparan. “Ini adalah kelaparan yang secara terbuka dipromosikan oleh sejumlah pemimpin Israel sebagai senjata perang,” ujarnya.
Thameen Al-Kheetan, juru bicara kantor hak asasi manusia PBB di Jenewa, menambahkan, “Ada kebutuhan mendesak akan keadilan. Israel kerap mengumumkan penyelidikan, tapi hingga kini kami belum melihat hasil atau langkah akuntabilitas.”
Sejumlah organisasi internasional seperti Human Rights Watch, Amnesty International, Doctors Without Borders, Greenpeace, hingga Lembaga Hak Asasi Manusia IBA sepakat menyatakan bahwa Israel menggunakan kelaparan sebagai senjata perang—sebuah pelanggaran berat hukum internasional. Greenpeace mendesak agar praktik kelaparan yang disengaja ini segera dihentikan.
Sementara kelaparan merenggut nyawa, serangan Israel pada Senin (25/8/2025) menambah penderitaan. Rumah Sakit Nasser di Khan Younis—satu-satunya rumah sakit umum yang masih berfungsi di Gaza selatan—menjadi sasaran dua kali serangan udara. Serangan kedua menghantam tepat saat tim penyelamat dan jurnalis tiba untuk mengevakuasi korban dari serangan pertama. Lebih dari 20 orang tewas, termasuk lima jurnalis dan sejumlah tim medis penyelamat.
Korban jurnalis berasal dari kantor berita internasional seperti Reuters, Associated Press, Al Jazeera, serta beberapa wartawan independen. Serangan “double tap” ini langsung menuai kecaman luas. Persatuan wartawan global menuntut penyelidikan, sementara Reporters Without Borders menilai Israel berusaha membungkam liputan dari Gaza. “Sampai sejauh mana militer Israel akan menghapus informasi dari Gaza?” tanya Direktur Jenderal RSF, Thibaut Bruttin, sambil mendesak Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat.
PBB mencatat sedikitnya 247 jurnalis Palestina telah tewas sejak Israel memulai perang di Gaza pada 7 Oktober 2023.
Kecaman keras datang dari berbagai penjuru dunia. Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni menyebut serangan itu “tidak bisa dibenarkan.” Organisasi Kerja Sama Islam menilainya sebagai “kejahatan perang.” Turki, Mesir, Arab Saudi, dan Spanyol mengeluarkan pernyataan serupa, sementara Mesir menyebutnya “pelanggaran nyata hukum kemanusiaan internasional.” Jerman mengaku “terkejut” dan mendesak Israel membuka akses bagi media asing. Presiden Prancis Emmanuel Macron menilai serangan itu “tidak bisa ditoleransi,” sedangkan Kanada menyebutnya “tidak dapat diterima” dan menekankan kewajiban Israel melindungi warga sipil. China, Pakistan, dan sejumlah negara lain juga menyampaikan kecaman terbuka.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kembali menyerukan penyelidikan independen dan cepat. Namun keraguan besar tetap ada. Laporan terbaru Action on Armed Violence (AOAV) pada Agustus 2025 menemukan 88 persen penyelidikan internal Israel atas dugaan kejahatan perang di Gaza berakhir tanpa hasil. Termasuk di antaranya penyelidikan atas penembakan terhadap 112 warga yang antre tepung di Gaza City pada Februari 2024, serta serangan udara ke tenda pengungsi yang menewaskan 45 orang pada Mei 2024. AOAV menyimpulkan hal ini mencerminkan “pola impunitas” dalam kasus kejahatan yang dilakukan militer Israel.
Sumber berita: https://www.tehrantimes.com/
Sumber gambar: https://www.npr.org/