Oleh: Syekh Hasan Jawahiri
Teks Syubhat (Keraguan):
- Islam telah memberikan kebebasan, kepribadian, dan kemandirian intelektual dan ekonomi kepada wanita. Islam juga mengakui hak-hak alami mereka jika mereka sudah baligh, berakal, dan rasyidah (cerdas/bijaksana). Demikian pula bagi laki-laki yang baligh, berakal, dan rasyid, tidak ada hak bagi siapa pun untuk mengawasi atau mengintervensi urusan mereka dalam aspek-aspek tersebut.
- Seorang pemuda yang telah baligh, berakal, dan rasyid, memiliki hak penuh atas dirinya sendiri dalam hal pernikahan. Tidak ada yang berhak memaksakan sesuatu kepadanya dalam urusan pernikahannya.
- Adapun wanita yang sudah tidak perawan (tsayyib), ia juga memiliki hak penuh atas dirinya sendiri dalam pernikahan dan memilih pasangan yang cocok baginya, sama seperti pemuda yang baligh, berakal, dan rasyid.
- Sedangkan bagi gadis perawan (bakirah) yang sudah baligh, berakal, dan rasyidah, jika ia mandiri dan memiliki kendali penuh atas urusan hidupnya, maka ia boleh menikah tanpa izin ayah dan kakek dari pihak ayah, menurut sebagian ulama, karena ada riwayat sahih yang menunjukkan hal tersebut. Seolah-olah kemandiriannya dalam urusan hidupnya menunjukkan bahwa ia sudah matang secara sosial, sehingga ayahnya telah memberinya izin dalam semua tindakannya, termasuk memilih pasangan.
- Adapun gadis perawan yang baligh, berakal, dan rasyidah, yang tidak mandiri dan tidak memiliki kendali penuh atas urusan hidupnya, namun sulit mendapatkan izin dari ayah dan kakek dari pihak ayah untuk menikah, misalnya karena mereka tidak ada, dipenjara, atau semacamnya, dan gadis tersebut membutuhkan pernikahan serta ingin menikah dengan individu tertentu, maka dalam kondisi ini izin dari ayah atau kakek dari pihak ayah menjadi gugur dalam urusan pernikahannya.
- Adapun gadis perawan yang baligh, berakal, dan rasyidah, yang tidak mandiri dan tidak memiliki kendali penuh atas urusan hidupnya, dan ayah atau kakek dari pihak ayah ada bersamanya, maka ayah dan kakek dari pihak ayah tidak boleh menikahkannya tanpa kerelaannya. Ini berarti mereka tidak memiliki kekuasaan mutlak atasnya. Namun, apakah dia boleh menikah tanpa izin ayah dan kakek dari pihak ayah?
Beberapa ahli fikih (dan ada sejumlah besar ahli fikih, dan mungkin mayoritas ulama terdahulu, yang mengatakan tidak perlu izin ayah dan kakek dalam urusan pernikahannya) berpendapat bahwa pernikahannya tidak sah tanpa kerelaannya dan kerelaan salah satu dari kedua orang tua (ayah atau kakek dari pihak ayah). Ini berarti bahwa dalam kasus ini, ayah atau kakek dari pihak ayah memiliki semacam wilayah (kewenangan wali) atas gadis perawan, sehingga pernikahannya tidak sah tanpa persetujuan salah satu dari kedua orang tua.
Apakah hal ini menunjukkan bahwa gadis dianggap belum dewasa, atau kurang matang secara sosial dibandingkan laki-laki?
Jawaban: Bukan begitu. Jika demikian, maka tidak akan ada perbedaan antara wanita tsayyib (tidak perawan) dan bakirah (perawan), di mana wanita tsayyib yang balig pada usia 15 tahun tidak membutuhkan persetujuan ayah dan kakek, sementara gadis bakirah yang balig pada usia 18 tahun membutuhkan persetujuan.
Dan jika Islam menganggap wanita tidak mampu mengelola urusannya, mengapa ia memberikan kemandirian ekonomi kepada wanita yang balig dan rasyidah, dan mengesahkan transaksi keuangannya, bahkan yang berisiko sekalipun, tanpa perlu persetujuan ayah, kakek, atau saudara laki-lakinya?
Jadi, ada sebab lain yang membuat Islam menjadikan pernikahannya membutuhkan kerelaannya dan kerelaan salah satu dari kedua orang tuanya. Apakah sebab itu?
Saya katakan: Sebab ini tidak ada hubungannya dengan ketidakmampuan wanita atau ketidakmatangan akalnya. Sebab, telah kami jelaskan berkali-kali bahwa wanita yang baligh dan berakal adalah sempurna dalam segala aspek. Bahkan, kematangan akalnya bisa jadi lebih cepat daripada kematangan akal laki-laki, sehingga ia dibebani ibadah lebih awal daripada laki-laki, dan ini sudah jelas.
Namun, mungkin apa yang dikatakan oleh para psikolog: bahwa cepatnya wanita merasa tenang dengan laki-laki yang menunjukkan cinta dan ketulusan kepadanya, membuatnya menjadi tawanan kata-kata cinta dan ketulusan yang didengarnya dari mulut laki-laki, adalah alasan untuk menjadikan izin salah satu dari kedua orang tua sebagai jaminan keamanan agar dia tidak jatuh dalam tawanan cinta tanpa verifikasi dan tanpa memperhatikan hal-hal yang harus ada pada pasangan yang layak dan sesuai dengan kedudukannya. Maka, Islam menetapkan izin salah satu dari kedua orang tua agar wanita tidak jatuh ke tempat yang tidak sesuai dengan kedudukannya hanya karena adanya manifestasi cinta dan kasih sayang yang palsu. Ini, seperti yang Anda lihat, adalah tindakan pencegahan baginya dan petunjuk yang menerangi jalannya agar dia tidak jatuh ke dalam jurang yang dalam yang tidak bisa dia keluar darinya akibat tindakan yang dia lakukan sendirian. Namun, jika pernikahan adalah hasil kerja sama antara kerelaannya dan kerelaan ayah atau kakek, dan hasil dari pertimbangan yang biasanya dilakukan oleh ayah, maka kemungkinan gadis itu jatuh ke tempat yang tidak sesuai dengan kedudukannya dan merugikannya akan berkurang.
Karena itu, para ahli fikih menyebutkan bahwa ayah yang tidak mengizinkan pernikahan putrinya yang perawan tanpa alasan yang masuk akal, bahkan tindakannya menunjukkan arogansi dan kekuasaan, maka kewenangan walinya atas putrinya gugur, dan gadis perawan itu berhak memilih pasangan yang cocok baginya sendirian.
Jadi, dari semua yang telah dijelaskan, kita memahami bahwa hukum Islam tidak merendahkan gadis perawan dengan menempatkan wali baginya dalam pernikahan yang berpartisipasi dengannya. Sebaliknya, hukum ini adalah perlindungan dan penghormatan bagi gadis perawan, bukan penghinaan.(1)
Catatan Kaki:
1. Posisi Dan Peran Sosial Wanita Muslim Dari Perspektif Islam, karya Syekh Hasan Jawahiri.