Pendahuluan
Dalam sejarah Islam Nusantara, nama Hamzah Fansuri menempati posisi penting sebagai ulama, sufi, sekaligus sastrawan. Ia dikenal sebagai tokoh pertama yang memperkenalkan tasawuf wujudiyah atau paham wahdatul wujud di dunia Melayu. Pemikirannya menimbulkan perdebatan panjang hingga kini: ada yang mengaguminya sebagai pelopor, tetapi ada pula yang menuduhnya sesat.
Meskipun demikian, karya-karya Hamzah Fansuri tidak bisa diabaikan. Ia menulis syair dan risalah keislaman dengan bahasa Melayu, menjadikannya pionir dalam penyebaran ilmu Islam melalui sastra. Pengaruhnya menjangkau Aceh, Sumatera, Jawa, bahkan hingga Semenanjung Malaya. Artikel ini akan mengulas biografi, karya, ajaran tasawuf, serta kontribusi Hamzah Fansuri terhadap perkembangan Islam di Nusantara.
Biografi Singkat Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri diyakini lahir di Barus, sebuah kota pelabuhan penting di pesisir barat Sumatera Utara. Nama “Fansuri” berasal dari “Fansur”, sebutan Arab untuk Barus. Namun, ada juga pendapat yang menyebut ia berasal dari Syahr Nawi di Siam (Thailand Selatan). Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti. Sebagian peneliti memperkirakan ia hidup antara 1550–1630 M, sementara temuan lain menyebut wafatnya lebih awal pada 1527 M di Mekkah.
Dalam hidupnya, Hamzah Fansuri dikenal sebagai pengembara. Ia menuntut ilmu hingga ke Makkah, Madinah, Baghdad, Persia, India, dan bahkan Siam. Di Baghdad, ia bergabung dengan Tarekat Qadiriyah, tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sepulangnya ke Nusantara, ia menetap di Aceh, mengajar murid, dan menulis karya-karya yang kemudian menjadi tonggak awal tasawuf di dunia Melayu.
Syair-syair Hamzah Fansuri juga memberi petunjuk tentang kehidupannya. Salah satunya berbunyi:
Hamzah nur asalnya Fansuri /
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi /
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali /
Dari Abdul Qadir Sayyid Jailani.
Bait ini menegaskan asal-usulnya dan keterkaitannya dengan tradisi tasawuf besar di dunia Islam.
Karya-Karya Monumental Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri meninggalkan sejumlah karya penting yang hingga kini dipelajari para peneliti. Karya-karyanya terbagi menjadi dua bentuk: risalah (prosa) dan syair (puisi).
Risalah Penting Hamzah Fansuri
- Asrar al-‘Arifin – Membahas rahasia perjalanan spiritual (suluk) dan tauhid. Karya ini menafsirkan puisi-puisi sufistik ciptaannya sendiri dengan gaya filosofis.
- Al-Muntahi – Menjelaskan konsep penciptaan alam dan perjalanan manusia menuju asalnya, yakni Allah.
- Syarab al-‘Asyiqin – Disebut juga “Minuman para pencinta”. Berisi uraian tentang wahdatul wujud dan bagaimana seorang hamba bisa mencapai makrifat.
Syair-Syair Sufi
Selain risalah, Hamzah Fansuri dikenal sebagai perintis sastra sufi Melayu. Beberapa syair terkenalnya antara lain:
- Syair Perahu – Menggunakan perahu sebagai simbol kehidupan manusia yang sedang berlayar menuju Tuhan.
- Syair Ikan Tongkol – Menjelaskan fana’ (lenyap dalam Tuhan) dan baqa’ (kekekalan bersama Tuhan).
- Syair Burung Pingai – Terinspirasi dari karya Fariduddin Attar tentang perjalanan spiritual burung.
Karya-karya ini menjadi bukti bahwa Hamzah Fansuri bukan hanya ulama, tetapi juga penyair yang memperkenalkan istilah-istilah tasawuf ke dalam bahasa Melayu.
Ajaran Tasawuf Wujudiyah
Hamzah Fansuri dikenal sebagai pengembang paham wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dipengaruhi oleh Ibnu ‘Arabi, al-Hallaj, Rumi, dan Attar. Inti ajarannya adalah bahwa Tuhan dan alam semesta tidak terpisahkan, meski tidak identik.
Ia menggambarkan Tuhan sebagai lautan tak terbatas, sementara alam semesta adalah ombak-ombak lautan tersebut. Segala sesuatu yang ada adalah manifestasi (tajalli) dari Wujud Mutlak Allah. Dalam salah satu ungkapannya, ia menulis:
Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga dengan Allah, tiada bercerai dengan alam.
Bagi Hamzah Fansuri, mengenal Tuhan harus melalui proses makrifat dengan bimbingan seorang guru. Ia menafsirkan hadis “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya) dengan makna filosofis: manusia adalah cermin bagi Tuhan.
Kontroversi Ajaran
Ajaran wujudiyah ini menimbulkan polemik. Sebagian ulama, seperti Syamsuddin al-Sumatrani, muridnya sendiri, mengembangkan ajaran tersebut. Namun ulama lain, seperti Nuruddin al-Raniri, menentangnya keras dan menuduhnya sesat. Konflik ini bahkan menyebabkan pembakaran karya-karya Hamzah Fansuri di Aceh pada abad ke-17.
Pengaruh Hamzah Fansuri di Nusantara
Sekalipun ditentang, pengaruh Hamzah Fansuri tetap meluas. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, dan ajaran tasawufnya menyebar hingga ke Perak, Kelantan, Terengganu, bahkan Sulawesi (Buton).
Di Jawa, konsep wujudiyah Fansuri beririsan dengan ajaran Syekh Siti Jenar yang terkenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Hal ini menunjukkan adanya kesinambungan antara pemikiran sufistik Aceh dan Jawa.
Kontribusi bagi Studi Islam dan Sastra Melayu
Hamzah Fansuri tidak hanya pelopor tasawuf, tetapi juga peletak dasar studi Islam di Nusantara. Beberapa kontribusinya antara lain:
- Mengislamkan bahasa Melayu – Ia memasukkan istilah-istilah Arab ke dalam syair Melayu sehingga memudahkan masyarakat memahami tasawuf.
- Pelopor sastra sufi Melayu – Karyanya menjadi tonggak lahirnya syair keagamaan dan filsafat dalam bahasa lokal.
- Menyatukan Islam dan budaya Nusantara – Melalui karya-karyanya, ia berhasil mendialogkan Islam dengan tradisi Melayu.
- Inspirasi studi keislaman – Pemikirannya menjadi bahan kajian bagi sarjana modern, baik dari Indonesia maupun luar negeri, seperti Naquib al-Attas, Abdul Hadi W.M., dan Azyumardi Azra.
Dengan kontribusi ini, Hamzah Fansuri bisa disebut sebagai jembatan antara Islam universal dan budaya lokal.
Relevansi Hamzah Fansuri di Era Modern
Mengapa Hamzah Fansuri tetap relevan? Ada beberapa alasan:
- Dialog agama dan budaya – Ia menunjukkan bahwa Islam bisa menyatu dengan tradisi lokal tanpa kehilangan substansinya.
- Spiritualitas untuk kesehatan mental – Di tengah krisis modern, ajaran tasawuf Hamzah Fansuri tentang kedekatan manusia dengan Tuhan bisa menjadi obat batin.
- Literasi keislaman – Karya-karyanya menjadi bukti bahwa bahasa daerah bisa menjadi sarana penyebaran ilmu agama.
Kesimpulan
Hamzah Fansuri adalah sufi besar Nusantara yang berjasa memperkenalkan tasawuf wujudiyah melalui karya sastra dan risalah ilmiah. Ia bukan hanya tokoh keagamaan, tetapi juga budayawan dan penyair yang berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu.
Walaupun pemikirannya menimbulkan kontroversi, pengaruhnya tetap terasa hingga kini. Dari Aceh hingga Jawa, dari abad ke-16 hingga abad ke-21, Hamzah Fansuri dikenang sebagai pelopor tasawuf Nusantara yang membuka jalan bagi dialog antara Islam, tradisi, dan kebudayaan lokal. (Dari berbagai sumber)