Oleh: Ustaz Sayid Sa’id Kazhim Udzari hafizhahullah
Menyusui (Radha’ah)
Air susu ibu (ASI) adalah makanan yang paling ideal untuk anak, karena ia “paling sesuai dengan sifat dasarnya dan paling cocok dengan tabiatnya,”(1) dan yang paling baik memberikan kehangatan emosional (hanan). Dengan ASI, anak akan menjadi lebih tenang, damai, dan bahagia.
Karena itu, disunahkan (dianjurkan) bagi ibu untuk menyusui anaknya dengan air susunya. Imam Ali as berkata, “Tidak ada air susu yang diberikan kepada bayi yang memiliki keberkahan lebih besar atasnya daripada air susu ibunya.”(2)
Hal ini dikuatkan oleh ilmu pengetahuan modern yang mengungkap kesesuaian ASI dengan kebutuhan bayi, baik dari segi komposisi maupun suhunya. Komposisi dan suhu ASI berubah seubah pertumbuhan anak, sesuai dengan apa yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang yang sehat.
Meskipun menyusui anak dengan ASI adalah sunnah, tidak wajib bagi seorang ibu untuk menyusui anaknya.(3) Imam Ja’far Shadiq as ditanya tentang menyusui, lalu beliau menjawab, “Wanita merdeka tidak dipaksa untuk menyusui anak, tetapi ummu walad (hamba sahaya yang melahirkan anak Tuannya) dipaksa.”(4)
Ketidakwajibannya disyaratkan dengan adanya ayah dan kemampuannya untuk membayar upah, atau ibu tidak mau menyusui secara sukarela, atau anak memiliki harta, dan adanya wanita lain yang bisa menyusui. Dalam kondisi tidak terpenuhinya syarat-syarat ini, wajib bagi ibu untuk menyusui, sebagaimana ia wajib menafkahinya jika ayah dalam keadaan kesulitan (miskin) atau tidak ada.(5)
Dalam keadaan-keadaan darurat yang menghalangi ibu untuk menyusui anaknya, seperti karena sedikitnya ASI, penyakit ibu, meninggalnya ibu, atau penolakan ibu untuk menyusui secara gratis, disunnahkan memilih wanita penyusu yang sesuai dan cocok dengan kriteria tertentu.
Amirul Mukminin as berkata, “Perhatikanlah siapa yang menyusui anak-anak kalian, karena anak akan tumbuh sesuai dengan air susu itu.”(6)
Disunahkan memilih wanita penyusu yang memenuhi empat kriteria: berakal, muslimah, menjaga kehormatan (‘afifah), dan berparas rupawan (wadhi’ah).(7)
Imam Muhammad Baqir as berkata, “Carilah wanita penyusu untuk anakmu dengan air susu yang baik, dan jauhilah yang buruk (jelek), karena air susu itu dapat menular (berpengaruh).”(8)
Dan beliau as berkata, “Pilihlah dari kalangan perawat (wanita penyusu) yang berparas rupawan, karena air susu itu menular (berpengaruh).”(9)
Dimakruhkan memilih wanita penyusu yang bodoh (pandir). Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian memilih wanita penyusu yang bodoh, karena anak akan tumbuh sesuai dengan itu.”(10)
Begitu pula wanita pezina (baghiyyah) dan wanita gila. Beliau saw bersabda, “Hati-hatilah terhadap anak-anak kalian dari air susu wanita pezina dan wanita gila, karena air susu itu menular (berpengaruh).”(11)
Diperbolehkan memilih wanita penyusu dari kalangan Ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani) dengan kemakruhan (ketidaksukaan). Kemakruhan itu hilang jika tidak ada wanita penyusu muslimah, dan kemakruhan juga berkurang jika mereka dilarang meminum khamar (minuman keras). Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Jika mereka menyusui untuk kalian, cegahlah mereka dari meminum khamar.”(12)
Kemakruhan memilih golongan-golongan tersebut disebabkan oleh pengaruh air susu terhadap anak. Dalam hadis Rasulullah saw, “…sesungguhnya air susu itu menular (berpengaruh), dan anak itu cenderung kepada air susu tersebut.”(13)
Untuk memperbaiki kualitas ASI, disunnahkan memberi makan kurma kepada wanita yang sedang nifas. Rasulullah saw bersabda, “Hendaknya yang pertama kali dimakan oleh wanita nifas adalah kurma basah (ruthab).”(14)
Lebih diutamakan memberikan jenis kurma tertentu, yaitu kurma al-Burni. Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Berilah kurma al-Burni kepada istri-istri kalian saat nifas, niscaya anak-anak kalian akan menjadi penyabar/halim (berhati lembut).”
Ibu memiliki hak untuk menyusui anaknya jika ayah mengizinkan tanpa upah. Ibu juga memiliki hak untuk menolak menyusui. Namun, jika ibu dalam keadaan talak (cerai), ia lebih berhak untuk menyusui, baik ayah ridha maupun tidak, dan ia berhak atas upah yang setara. Jika ibu menuntut upah yang lebih tinggi dari yang disepakati oleh orang lain, ayah berhak untuk mengambil anak darinya.(15)
Tidak boleh bagi ayah menyerahkan anak kepada wanita penyusu yang akan membawanya ke rumahnya kecuali dengan keridhaan ibu.(16)
Masa menyusui adalah dua tahun, dan minimalnya dua puluh satu bulan. Diperbolehkan menambah dari dua tahun sekitar dua bulan, dan tambahan itu tidak ada upahnya.(17)
Dalam fase menyusui, disunnahkan mengajak bayi berbicara (munaghat), karena hal itu memengaruhi kecepatan bicara, perkembangan bahasa, dan emosionalnya di masa depan. Melalui munaghat, anak merasa aman, tenteram, dan tenang. Kita memiliki teladan terbaik dalam sunah Ahlulbait as. Sayidah Fathimah Zahra as pernah mengajak Hasan as berbicara di fase ini, dan beliau berkata,
Miripilah ayahmu, wahai Hasan
Tanggalkan tali kekang dari kebenaran
Sembahlah Tuhan yang penuh karunia
Dan janganlah engkau bersahabat dengan pendendam.
Dan beliau mengajak Husain as berbicara,
Engkau menyerupai ayahku (Rasulullah)
Engkau tidak menyerupai Ali.(18)
Menyapih (Fitham)
Syariat Islam telah menetapkan masa menyusui yang sempurna adalah dua puluh empat bulan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
﴿وَ الْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ…﴾
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan…”(19)
Minimal menyusui–sebagaimana telah disebutkan–adalah dua puluh satu bulan. Jika kedua orang tua ingin menyapih anak dalam masa ini, hendaknya mereka bermusyawarah di antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman,
﴿…فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا…﴾
“… Dan jika keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan kerelaan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya…”(19)
Diperbolehkan menunda menyusui hingga satu atau dua bulan setelah masa sempurna dua puluh empat bulan. Haram menyusui setelah itu, karena air susu wanita menjadi termasuk hal yang kotor dan termasuk sisa dari sesuatu yang dagingnya tidak dimakan, sehingga haram bagi orang yang sudah mukalaf (dibebani hukum) untuk meminumnya, dan segala sesuatu yang haram diminum oleh orang mukalaf haram diberikan kepada orang yang belum mukalaf.(20)
Karena itu, wajib bagi ibu atau ayah yang menyewa wanita penyusu untuk memperhatikan waktu menyusui dan waktu menyapih, tanpa berlebihan dan tanpa mengurangi. Sebaiknya menyusui anak dua puluh satu bulan dan tidak boleh menyusui kurang dari itu.(21)
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Menyusui adalah dua puluh satu bulan, dan apa yang kurang dari itu adalah kezaliman terhadap anak,” karena anak membutuhkan air susu dalam masa ini, dan membutuhkan kehangatan emosional dan kasih sayang secara bersamaan.
Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Hadhanah adalah perwalian (hak kuasa) atas anak demi manfaat pendidikannya dan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingannya.(22)
Fase hadhanah adalah fase terpenting dalam pertumbuhan fisik, bahasa, akal, dan akhlak anak. Ini adalah fase pembentukan bangunan psikologis yang menjadi tiang utama kesehatan mental dan moral. Fase ini menuntut kedua orang tua untuk memberikan perhatian khusus dalam merawat dan melindungi anak, serta menyediakan kebutuhan-kebutuhan untuk pertumbuhan fisik dan spiritualnya, agar ia menjadi anggota masyarakat yang efektif.
Ibu lebih berhak atas hak asuh anak selama masa menyusui. Oleh karena itu, tidak boleh bagi ayah untuk mengambil anak dari ibu selama masa ini.
Setelah masa menyusui berakhir:
- Ayah lebih berhak atas anak laki-laki.
- Ibu lebih berhak atas anak perempuan hingga anak perempuan tersebut mencapai usia tujuh tahun.
- Setelah anak perempuan mencapai usia tujuh tahun, ayah lebih berhak atasnya.
Jika ibu berpisah dari ayah, baik dengan faskh (pembatalan) atau talak (perceraian), sebelum anak perempuan tersebut mencapai usia tujuh tahun, hak asuh ibu tidak gugur selama ia belum menikah lagi dengan orang lain. Apabila ibu menikah lagi, maka hak asuhnya gugur, dan hak asuh beralih kepada ayah.(23)
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Wanita (ibu) lebih berhak atas anak selama ia belum menikah.”(24)
Dan diriwayatkan dari beliau ‘alaihissalam, beliau bersabda, “Selama anak dalam masa menyusui, ia berada di antara kedua orang tua secara setara. Apabila telah disapih, maka ayah lebih berhak atasnya daripada ibu. Apabila ayah meninggal dunia, maka ibu lebih berhak atasnya daripada ‘ashabah (kerabat laki-laki pihak ayah)…”(25)
Urutan Hak Asuh setelah Orang Tua
Dalam hal kedua orang tua tidak ada (meninggal dunia), hak asuh jatuh kepada kakek dari pihak ayah (ayahnya ayah), didahulukan daripada kerabat lainnya seperti saudara laki-laki dan kakek-kakek yang lain.(26)
Apabila kakek dari pihak ayah juga tidak ada, hak asuh jatuh kepada kerabat-kerabat anak sesuai urutan pembagian warisan, di mana yang terdekat menahan yang terjauh.(27)
Syarat-syarat Hak Asuh bagi Ibu
Di antara syarat-syarat hak asuh bagi ibu(28) adalah:
- Harus seorang muslimah.
- Harus berakal (waras).
- Harus selamat dari penyakit menular.
- Harus bebas dari hak-hak suami (tidak terikat pernikahan dengan orang lain). Jika ia menikah, maka hak asuhnya gugur.
- Harus dapat dipercaya (aminah).
- Sebagian fukaha (ahli fikih) menambahkan syarat tidak fasik (tidak berbuat maksiat secara terang-terangan).(29)
Aturan Bepergian (Safar)
Tidak diperbolehkan bagi ibu yang memegang hak asuh untuk bepergian membawa anak ke suatu negeri tanpa persetujuan ayahnya. Begitu pula tidak diperbolehkan bagi ayah untuk bepergian membawa anak selama anak masih dalam hak asuh ibunya.(30&31).
Catatan Kaki:
- Al-Hadaiq al-Naḍhirah, jil.25, hal.71.
- Al-Kafi, jil.6, hal.40.
- Al-Hadaiq al-Naḍhirah, jil.25, hal.71; Jawahir al-Kalam, jil.31,hal.272; al-Ṣhiraṭh al-Qawim, hal.214.
- Al-Kafi, jil.6, hal.41.
- Al-Hadaiq al-Naḍhirah, jil.25, hal.72; Jawahir al-Kalam, jil.31, hal.272.
- Al-Kafi, jil.6, hal.44; Jawahir al-Kalam, jil.29, hal.307.
- Al-Wasilah ila Nayl al-Faḍhilah, hal.316; Jami‘ al-Maqaṣhid, jil.12, hal.208; Jawahir al-Kalam, jil.29, hal.306.
- Al-Kafi, jil.6, hal.44; Jawahir al-Kalam, jil.29, hal.306.
- Al-Kafi, jil.6, hal.44.
- Makarim al-Akhlaq, hal.237; Jawahir al-Kalam, jil.29, hal.306.
- Makarim al-Akhlaq, hal.223; Jawahir al-Kalam, jil.29, hal.306, 308.
- Al-Kafi, jil.6, hal.42; Jawahir al-Kalam, jil.29, hal.307.
- Al-Kafi, jil.6, hal.43.
- Al-Kafi, jil.6, hal.22.
- Al-Wasilah ila Nayl al-Faḍhilah, hal.315-316.
- Al-Wasilah ila Nayl al-Faḍhilah, hal.315-316; Minhaj al-Ṣhaliḥin, al-Mu‘amalat, hal.120.
- Al-Wasilah ila Nayl al-Faḍhilah, hal.315-316; al-Ṣhiraṭh al-Qawim, hal.214.
- Biḥar al-Anwar, juz 43, hal.286.
- QS. al-Baqarah [2]:233, hal.37.
- Muhadzdzab al-Aḥkam, jil.25, hal.275.
- Minhaj al-Ṣhaliḥin, al-Mu‘amalat, hal.120.
- Al-Hadaiq al-Naḍhirah, jil.25, hal.83.
- Muhadzdzab al-Aḥkam, jil.25, hal.278.
- Wasail al-Syi‘ah, jil.21, hal.471.
- Al-Kafi, jil.6, hal.45.
- Al-Hadaiq al-Naḍhirah, jil.25, hal.96.
- Muhadzdzab al-Aḥkam, jil.25, hal.281.
- Al-Hadaiq al-Naḍhirah, jil.25, hal.90-91, 93; al-Ṣhiraṭh al-Qawim, hal.214.
- Al-Wasilah ila Nayl al-Faḍhilah, hal.288.
- Muhadzdzab al-Aḥkam, jil.25, hal.283.
- Sumber: Kitab Adab al-Usrah fi al-Islam (Adab Keluarga dalam Islam), karya Allamah Sayyid Sa‘id Kaẓhim al-‘Udzari.