Iran adalah negara yang sangat layak dicontoh dalam pengembangan sains. Sistem keilmuan Iran, menurut A. S. Hikam, berhasil mengintegrasikan religiusitas dengan keilmuan sekuler.
Pernyataan tersebut dikemukakan Mohammad A. S. Hikam, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dalam ceramahnya di depan jamaah yang hadir pada peringatan Syahadah Imam Sajjad as. dan Arbain Syuhada Ilmuwan Nuklir Iran di Aula Husainiyah Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, Guru Besar Ilmu Politik President University itu tampil setelah pembicara lain, yakni Direktur ICC Jakarta Mohammad Sharifani dan Duta Besar Iran untuk Indonesia Mohammad Bourujerdi.
Acara yang berlangsung pada Kamis, 24 Juli 2025 itu dihadiri kurang lebih seratus orang peserta. Dalam ceramahnya, A. S. Hikam menyatakan bahwa pengembangan keilmuan di Iran tidak mengenal dikotomi. Ia memberi contoh ahli nuklir Iran yang diperingati kesyahidannya bersama syuhada lainnya malam itu. Doktor Tehranchi, katanya, adalah fisikawan dan juga mengerti Alquran. Di Indonesia, tambahnya, dulu pernah ada keinginan islamisasi, namun karena tetap dikotomis maka yang dikagumi ternyata masih aspek sains sekuler.
Pengetahuan religius dan pengetahuan sekuler yang tak dikotomis itulah yang menurut A. S. Hikam membuat para ilmuwan Iran punya kemampuan berpikir di atas rata-rata. Sambil berseloroh, ia bertanya tentang kemungkinan adanya ijazah palsu dalam sistem yang memadukan keilmuan tanpa dikotomis tersebut.
Etos Keilmuan
Ilmuwan Iran juga punya tingkat kegigihan yang sangat tinggi. Spirit keilmuannya tinggi ditambah etos yang menghargai sikap independen. Walaupun sederhana, milik sendiri itu sangat penting. “Milik sendiri dulu, lalu pada akhirnya akan menjadi baik,” katanya.
Salah satu kemampuan Iran, menurutnya, adalah reverse engineering. Meniru dulu teknologi tinggi, lalu mengembangkannya menjadi benar-benar baru. Itu sangat terbukti dalam pengembangan sistem pertahanan udara (air defense system). A. S. Hikam juga sempat menyelingi ceramahnya dengan sedikit bergurau tentang proyek Esemka.
Kemampuan tersebut menempatkan Iran sebagai satu-satunya negara yang menjadi pagar betis untuk melindungi kawasan dari serbuan AS. Selain itu, Iranlah yang dapat menguak bahwa Israel bukan apa-apa.
Kembali kepada aspek kultural, Iran membangun berdasarkan nilai Islam. Nuklir dikembangkan untuk kepentingan generasi mendatang. Berdasarkan sistem Wilayatul Fakih, ilmuwan Iran taat untuk tidak mengembangkan senjata nuklir. Dalam kewenangan Wali Fakih memang tidak diperkenankan pembuatan senjata nuklir.
Ia menjelaskan bahwa dalam hal nuklir ini ada tiga jalan: Korea Utara, Libya, dan Iran. Korea Utara tidak peduli pada serangan Barat; mereka memiliki senjata nuklir. Libya mengembangkan sendiri namun berakibat pada hilangnya Khadafi. Iran tidak membuat senjata nuklir tetapi tetap melakukan riset nuklir. Iran sudah jelas dimusuhi namun tetap tidak percaya bahwa memiliki senjata nuklir itu amat penting. Bagi banyak pihak, katanya, punya senjata nuklir itu perlu meski tidak harus dipakai.
Ia mengaku bahwa nalar pemerintah Iran dalam hal ini sangat unik. “Tidak sampai nalar saya. Imam Ali Khamenei tetap menolak jalan model Korea Utara,” katanya. Iran memang mandiri soal nuklir, namun tidak dimanfaatkan untuk memiliki kekuatan persenjataan.
Pelajaran Bagi Indonesia
Indonesia dan Iran punya kesamaan, terutama dalam solidaritas terhadap Palestina. Dalam solidaritas tersebut, kata Hikam, harus sama-sama mendukung.
Itu sebabnya ide evakuasi penduduk Gaza menurutnya sangat konyol. “Lihat Yaman! Apakah kita tidak malu terhadap Houthi? Berani meski sederhana. AS bertekuk lutut untuk urusan Laut Merah,” katanya.
Iran sudah berdiri paling depan. Menurutnya, bangsa ini perlu diajak bekerja sama. Iran konsisten melawan Israel ketika banyak negara mendiamkan genosida. Tiap hari disiarkan lewat berbagai media. Iran, katanya, berhasil mencitrakan bahwa Holocaust Hitler masih kalah kejam dibanding Israel. Ketika Israel melakukan pembersihan etnis di Gaza, menurut A. S. Hikam, itu sama absurdnya dengan kengganan Iran memiliki senjata nuklir. Meski demikian, ia selalu memberikan apresiasi terhadap kemampuan Iran.
Kerja Sama Produktif
A. S. Hikam menganjurkan kerja sama dengan Iran. Menurutnya, kemajuan teknologi dan kekuatan politik Iran perlu ditiru. Pelajaran dari Iran, katanya, tidak boleh dianggap mengganggu. Kebiasaan mencurigai sebaiknya diakhiri. “Kebiasaan untuk mencurigai harus dihilangkan,” katanya sambil menyinggung kasus di Pemalang. Masyarakat dihasut atas nama mazhab atau pemihakan tertentu. Menurutnya, ini menandakan ukhuwah kita lemah.
A. S. Hikam menegaskan sekali lagi agar kita belajar dari Iran. “Marilah kita belajar dari kemampuan bangsa Iran. Itulah jalan yang dipakai untuk bisa beradu atau berkompetisi. Bayangkan jika usaha Israel bisa berhasil pada hari pertama. Tentu saja akan lain. Siapa lagi yang akan kita harapkan?” tanyanya.
Iran, katanya, tidak boleh dianggap ancaman dan dicurigai seolah saingan. “Tidak apa-apa kita belajar. Iran punya pegangan, kita juga punya Pancasila. Dari sinilah akan tumbuh alternatif yang bisa mengurangi ketergantungan pada hegemoni Barat,” tegasnya usai ceramah.