Dalam acara Peringatan Syahadah Imam Sajjad as. dan 40 Hari Kesyahidan Para Ilmuwan Nuklir Iran di Aula Husainiyah Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, Kamis, 24 Juli 2025, Menteri Riset dan Teknologi era Presiden Gus Dur, Mohammad A. S. Hikam, menyampaikan apresiasinya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) Iran.
Mengawali ceramahnya dengan santai khas seorang kiai Nahdlatul Ulama, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam ini mengaku hanya ingin ngalap berkah atas peringatan syahadah Imam Ali Zainal Abidin atau Imam Sajjad. Ia sempat berkelakar tentang nama lengkapnya yang jarang disebut: Mohammad Athaillah Shahibul Hikam. “Biasanya orang cuma kenal saya A. S. Hikam. Paling lengkap ya Mohammad A. S. Hikam,” ujarnya sambil tertawa, heran bagaimana panitia ICC menemukan nama lengkapnya.
“Disebut-sebut saya mantan Menristek. Ya, namanya mantan sudah banyak lupanya. Sudah tiga puluhan tahun,” candanya. Meski demikian, ia merasa terhormat diundang ICC Jakarta, meski awalnya hanya berniat ikut tahlilan.
Meski mengaku bukan kapasitasnya membahas kesyahidan, Guru Besar Ilmu Politik President University itu tetap menyoroti latar belakang para syuhada Iran dari sisi kemajuan sains. “Saya tidak punya kapasitas soal kesyahidan, tapi pidato Dubes Iran tadi memberi saya gambaran penting, terutama soal Palestina dan Iran,” katanya.
Kemajuan Iptek Iran
A. S. Hikam menegaskan, dalam bidang keilmuan, sains, dan teknologi, Iran adalah salah satu contoh terbaik. “Pembangunan keilmuan, sains, teknologi — STEM, Science, Technology, Engineering, and Mathematics — mau tidak mau kita lihat contohnya pada Iran,” ujarnya.
Ia menyoroti situasi Iran yang berbeda dengan negara lain: memulai kemajuan sains dalam kondisi sulit. “Belum apa-apa sudah diganggu perang Iran-Irak. Amerika Serikat jadi sponsor perang itu,” katanya. Ia mengingatkan bagaimana Iran harus menghadapi sanksi internasional yang hingga kini belum sepenuhnya dicabut. “Tak bisa dibayangkan kalau Indonesia yang kena sanksi. Tapi Iran bukan hanya bertahan, malah melesat,” tambahnya.
Menurutnya, Iran bahkan berhasil membalikkan situasi ketika diserang: “Seperti yang Dubes Iran jelaskan, hanya dalam dua hari Iran bisa kirim rudal supersonik yang Amerika saja belum punya.”
Di tengah tekanan sanksi, Iran tetap membantu perjuangan Palestina. Hikam menyebut Iran juga mendukung Ansharullah di Yaman, yang sekarang jadi pengganjal dominasi AS di Laut Merah. “Itu ketika Iran diboikot. Mereka tetap mampu mandiri. Apakah Indonesia perlu diboikot dulu supaya maju?” selorohnya.
Bukan Sekadar Omon-omon
Hikam memaparkan kunci sukses Iran. Pertama, adaptive innovation and scientific nationalism. Iran membangun inovasi adaptif sambil menanamkan nasionalisme keilmuan. Kedua, comprehensive plan system. Menurutnya, Iran mengembangkan teknologi dengan perencanaan menyeluruh, termasuk menjaga moral sains.
“Iran tertinggi dalam capaian per kapita di bidang nanoteknologi dan nuklir. Sampai Netanyahu pun khawatir pengayaan nuklir Iran bisa tembus ke senjata nuklir,” katanya.
Ketiga, kultur. “Kultur bukan sekadar upacara. Itu nilai peradaban. Iran punya peradaban lebih dari 5.000 tahun, seperti big data — kesadaran kulturalnya mendalam. Beda dengan bangsa ecek-ecek. Subconscious Iran itu peradaban,” tandasnya.
Keempat, Iran memanfaatkan kaum diaspora. Ilmuwan Iran tersebar di Eropa dan Amerika, menjadi kekuatan nyata dalam pengembangan teknologi.
Pendek kata, kata Hikam, “Iran tidak pernah merasa rendah di hadapan Barat dalam pengembangan sains. Jadi, bukan omon-omon.”