Pada Jumat, 3 Oktober 2025, ICC Jakarta kembali mengadakan Kajian Tafsir Tartibi yang disampaikan oleh Direktur ICC Jakarta, Syaikh Mohammad Sharifani, dengan penerjemahan oleh Ustaz Umar Shahab. Kajian kali ini masih melanjutkan pembahasan mengenai ayat-ayat yang berhubungan dengan empat karakter manusia, yaitu mukmin, kafir, munafik, dan fasik.
Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas kriteria orang-orang fasik, yakni mereka yang melanggar perjanjian dengan Allah SWT. Disebut fasik karena keluar dari jalan kebenaran. Dalam kesempatan kali ini, Syaikh Mohammad Sharifani menyoroti lebih jauh tentang orang-orang yang mengingkari janji yang telah mereka berikan kepada Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, ketika Allah mengambil janji dari Bani Israil.
Beliau membacakan Surah Al-Baqarah ayat 83:
“(Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil: janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Selain itu, bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat. Akan tetapi, kamu berpaling (mengingkarinya), kecuali sebagian kecil darimu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.”
Menurut penjelasan Syaikh Mohammad Sharifani, perjanjian ini tidak hanya berlaku bagi Bani Israil, tetapi juga bagi umat Islam, karena ini adalah janji Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Dalam ayat ini terdapat beberapa poin penting yang menjadi kewajiban, yaitu tidak menyembah selain Allah, berbuat baik kepada kedua orang tua, kepada keluarga, kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin, berkata baik kepada sesama manusia, menegakkan salat, serta menunaikan zakat.
Beliau kemudian menjelaskan ciri kedua dari orang-orang fasik, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an: “wa yaqtha‘ûna mâ amarallâhu bihî ay yûshal” — yaitu mereka yang memutuskan apa yang Allah perintahkan untuk disambungkan, yakni silaturahmi. Syaikh Mohammad Sharifani menekankan bahwa setidaknya ada empat pihak yang wajib dijaga hubungan baiknya. Pertama adalah keluarga, khususnya perlakuan baik terhadap istri. Bahkan malaikat Jibril dalam beberapa kesempatan selalu mengingatkan Rasulullah SAW agar menyampaikan kepada kaum muslimin untuk berbuat baik kepada keluarganya. Kedua adalah orang-orang yang dekat dengan kita, termasuk sesama jamaah dalam satu majelis. Ketiga adalah kaum muslimin secara umum, dan keempat adalah pemimpin kaum muslimin.
Syaikh Mohammad Sharifani kemudian mengutip Surah At-Taubah ayat 120:
“Tidak sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka untuk tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang), dan tidak pantas (pula) bagi mereka untuk lebih mencintai diri mereka daripada mencintai Rasulullah.”
Ayat ini menunjukkan betapa eratnya hubungan antara kaum muslimin dengan Rasulullah SAW dan pentingnya mendahulukan kepentingan bersama dalam membela agama.
Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an banyak disebutkan tentang orang-orang fasik. Bahkan ditegaskan bahwa jumlah mereka banyak, sebagaimana dalam Surah Al-Ma’idah ayat 49: “Sesungguhnya banyak dari manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Syaikh Mohammad Sharifani merinci bahwa kategori fasik meliputi ahli kitab, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Ma’idah ayat 47:
“Hendaklah pengikut Injil memutuskan urusan menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Siapa yang tidak memutuskan suatu urusan menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.”
Kategori berikutnya adalah orang-orang munafik. Hal ini dijelaskan dalam Surah At-Taubah ayat 67: “Sesungguhnya orang-orang munafik adalah orang-orang yang fasik.” Demikian pula mereka yang mengingkari nikmat Allah, serta orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik dengan tuduhan zina tanpa bukti, sebagaimana dijelaskan dalam Surah An-Nur ayat 4.
Setelah selesai membahas Surah Al-Baqarah ayat 27, kajian berlanjut pada ayat 28:
“Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia akan mematikan kamu, Dia akan menghidupkan kamu kembali, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan?”
Menurut Syaikh Mohammad Sharifani, gaya bahasa berupa pertanyaan dalam ayat ini bukanlah untuk meminta penjelasan, melainkan sebagai bentuk peringatan. Kata “amwât” di sini memiliki dua makna: pertama, tidak pernah ada, dan kedua, bukan siapa-siapa. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surah Al-Insan ayat 1: “Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa yang ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”
Dengan demikian, ayat ini menggambarkan proses perjalanan hidup manusia. Tahapan pertama adalah amwât (tidak ada), kemudian hidup di dunia, lalu meninggal, kemudian dibangkitkan kembali, hingga akhirnya kembali kepada Allah SWT. Itulah lima fase kehidupan manusia.
Kaitannya dengan hal ini, Syaikh Mohammad Sharifani juga menyinggung Surah Al-Mu’minun ayat 12-14 yang menjelaskan fase penciptaan manusia, mulai dari sari pati tanah, kemudian menjadi air mani, kemudian menjadi segumpal darah yang melekat, lalu segumpal daging, kemudian tulang belulang yang dibungkus dengan daging, hingga akhirnya ditiupkan ruh dan menjadi makhluk yang berbeda. Semua itu menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat tersebut: “Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta.”