Oleh: Syekh Ja’far Subhani
Teks Syubhat (Kerancuan):
Kaum Qadiyaniyah telah dihukumi kafir karena mengklaim kenabian bagi pemimpin mereka. Jadi, apa bedanya dengan kaum Syiah yang mengklaim karakteristik para nabi bagi para Imam mereka, dan lain-lain?
Jawaban:
Dengan merujuk pada salah satu kitab akidah Syiah mana pun, akan jelas perbedaan antara kedua kelompok tersebut. Menyamakan Syiah dengan mereka (Qadiyaniyah) adalah penghinaan bagi Syiah.
Syiah meyakini bahwa kenabian telah ditutup dengan Nabi Muhammad saw, bahwa wahyu telah terputus dengan wafatnya beliau saw, dan bahwa tidak akan ada Nabi setelah beliau hingga hari kiamat.
Namun, semua ini tidak menghalangi perhatian Allah Swt untuk mencakup sebagian hamba-Nya yang saleh, menjadikan mereka ulama yang cerdas dari sisi-Nya tanpa mereka belajar di tangan siapa pun. Inilah yang berlaku bagi Imam-imam mereka. Hal ini bukanlah sesuatu yang aneh dan ada analoginya. Inilah sahabat Musa (Khidir) yang digambarkan Alquran mulia, “Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.”(1)
Berdasarkan hal itu, perhatian Allah Swt telah meliputi Ahlulbait Nabi saw. Dia menyucikan mereka dari kotoran dan dosa, dan mengajarkan mereka ilmu dari sisi-Nya—tanpa mereka menjadi nabi—agar mereka dapat menjalankan fungsi-fungsi Nabi setelah wafatnya, kecuali menerima wahyu.
Hal ini diisyaratkan oleh riwayat Muslim dalam Shahih-nya, di mana Nabi saw bersabda kepada Ali as, “Kedudukanmu di sisiku sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku.”(2)
Lalu, apa masalahnya dengan hal ini? Menutup pintu kenabian dan mengakhirinya bukan berarti mengakhiri perhatian Allah Swt kepada sebagian hamba-Nya dengan kelembutan, rahmat, kemuliaan, dan keagungan.
Karakteristik yang diklaim oleh penanya seolah-olah harus melekat pada kenabian—yaitu keyakinan akan kemaksuman (‘ishmah) mereka atau pengetahuan mereka tentang hal gaib dengan izin Allah Ta’ala, atau yang serupa dengannya—ternyata penanya lalai bahwa:
- Kemaksuman lebih umum daripada kenabian. Inilah Maryam binti Imran, ia maksumah (terjaga dari dosa) dan suci, tetapi ia bukanlah seorang nabi.³
- Inilah sahabat Musa (Khidir), dia mengetahui hal gaib, tetapi dia bukanlah seorang nabi, melainkan seorang wali (kekasih) Allah Ta’ala.(4)
- Yusuf as mengetahui hal gaib sebelum menjadi nabi, ketika dia memberitahu dua temannya di penjara tentang nasib mereka, bahwa salah satunya akan disalib dan yang lain akan menjadi pemberi minum bagi Raja.(5)
Kenyataannya, kelompok ini (penanya dan yang serupa) tidak mempelajari masalah kepemimpinan (wilayah) dan kekhalifahan dari Nabi kecuali dalam sudut pandang pemerintahan umum—dari menteri, perdana menteri, hingga presiden dan lain-lain. Bagi mereka, Imam dan Khalifah sama seperti para pemimpin ini, dan sudah jelas bahwa mereka (para pemimpin umum) tidak disifati dengan kemaksuman, pengetahuan gaib, atau hal-hal lain yang serupa.(6)
Catatan Kaki:
- al-Kahfi [18]:65, hal.301.
- Shahih Muslim, jil.7 , hal.120, hadis ke-2404.
- Ali Imran [3]:42. (Merujuk pada penyucian Maryam).
- al-Kahfi [18]: 79. (Merujuk pada tindakan Khidhir).
- Yusuf [12]:41. (Merujuk pada tafsir mimpi).
Jawaban ini dipublikasikan di situs resmi YM. Ayatullah Uzhma Syekh Ja’far Subhani damat barakatuh.