ICC Jakarta
No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami
  • Login
ICC Jakarta
No Result
View All Result

KEBUDAYAAN SEBAGAI TITIK TOLAK PERJALANAN PERADABAN

by Syafrudin mbojo
October 10, 2025
in Kebudayan
0 0
Share on FacebookShare on Twitter

Oleh: Sayid Muhammad Taqi Mudarrisi

Sungguh menyakitkan setiap hati nurani yang hidup dalam umat ini, dan memedihkan, adalah kondisi keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan yang dialami oleh umat Islam kita sejak lama hingga saat ini. Seseorang di antara kita tidur di malam hari sambil bermimpi tentang roti esok hari, bagaimana dia akan mendapatkannya dan membawanya kepada anak-anaknya untuk meredakan rasa lapar mereka dan dirinya sendiri. Sampai kapan, kira-kira, kita akan terus hidup dalam jurang keterbelakangan, sementara dunia lain melangkah maju dengan langkah lebar dan melompat jauh dalam dunia teknologi canggih dan ekonomi yang makmur?

Antara Negara Terbelakang dan Negara Maju

Di beberapa negara miskin, anak-anak mungkin tidak melewati tahun pertama mereka, dan meninggal dalam beberapa bulan pertama tanpa sempat merayakan ulang tahun pertama mereka. Sementara itu, di Eropa, Amerika, dan Jepang, lilin dinyalakan untuk anak-anak setiap tahun hingga mereka menua.

Jika kita asumsikan anak-anak kita ditakdirkan untuk hidup, mereka akan tumbuh kurus atau cacat karena sejak kecil mereka tidak diberikan vaksin sederhana yang biayanya tidak lebih dari satu dolar. Akibatnya, mereka menjadi korban kelumpuhan, cacar, dan berbagai wabah serta penyakit lainnya. Sebaliknya, program gizi khusus disiapkan untuk anak-anak dunia industri, di samping obat-obatan dan perawatan yang mungkin tidak mereka butuhkan karena penyakit dan wabah telah lama pergi dari lingkungan mereka.

Mengapa gelombang kemiskinan dan bencana melanda negara-negara kita, menyebabkan anak-anak kita tewas sebagai korban penyakit, kekeringan, dan kelaparan yang menghancurkan ribuan jiwa?

Selama ratusan tahun, kehidupan yang nyaman dan bahagia menjadi impian banyak bangsa Muslim dan anak-anak mereka. Seandainya ada upaya dari orang kaya di wilayah Islam ini atau itu, kemiskinan tidak akan mencapai tingkat kritis dan akut seperti sekarang. Namun, gambaran umum—sayangnya—bukanlah gambaran kekayaan, kemakmuran, dan kemajuan, melainkan gambaran keterbelakangan, kemiskinan, kehinaan, kerendahan, dan ketergantungan, serta fenomena negatif menjijikkan lainnya.

Apakah kita diciptakan untuk menderita dan kesakitan. Atau apakah karena kita Muslim sehingga takdir kita adalah kenyataan pahit ini? Atau, apakah kita telah meninggalkan dunia ini dan lebih memilih akhirat, sehingga kemakmuran, kemajuan, dan kenikmatan dunia ini menjadi bagian orang lain?

Tentu tidak! Jauh dari itu, mustahil Allah Tabaraka wa Ta’ala telah menetapkan semua itu bagi kita. Sebaliknya, kita harus mencari sebab dan akar dari kenyataan kita yang gelap dan terbelakang. Jika kita ingin mengatasi kondisi sosial, politik, dan ekonomi kita yang memburuk dengan solusi instan dan sementara tanpa mencari tahu kedalamannya, dan tanpa mempelajari latar belakang serta akar dari kondisi ini dan konsekuensi yang ditimbulkannya, maka upaya dan solusi semacam itu hanyalah kesia-siaan belaka.

Diperlukan Pengobatan yang Radikal

Keterbelakangan dalam kondisi sosial, politik, dan ekonomi kita seperti gunung es yang mengapung di lautan; hanya sebagian kecil dari ukurannya yang muncul di atas permukaan air, tidak lebih dari sepersepuluh, sementara sisanya tersembunyi dan tidak terlihat. Demikian pula halnya dengan kondisi kita, terutama yang ekonomis; sebagian besar tenggelam dalam lautan keterbelakangan.

Keterbelakangan dan kemerosotan dalam kondisi ekonomi dan politik kita telah mencapai tingkat di mana pengobatan sementara tidak lagi bermanfaat, karena penyakitnya akan tetap mengakar, tumbuh, dan menyebar seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, dalam situasi ini, pengobatan radikal mutlak diperlukan selama penyakit dan penyebabnya juga bersifat mengakar dan radikal.

Beberapa orang mungkin beralasan bahwa keterbelakangan dan kemunduran kita adalah takdir ilahi yang telah ditetapkan. Subhanallah—Mahasuci Dia Yang Mahakuasa—mustahil Dia menjadikan itu sebagai takdir tanpa sebab. Dia sendiri meniadakan hal itu dari Zat-Nya yang suci dengan tegas dalam firman-Nya, “…dan tidaklah Tuhanmu berlaku zalim terhadap hamba-hamba-Nya.”(1) Bagaimana Dia menetapkan kemiskinan atas hamba-hamba-Nya, padahal Dia telah menciptakan segala yang ada di alam semesta ini tunduk dan bermanfaat bagi mereka? Dia telah menciptakan bumi ini beserta segala kekayaan di atasnya dan harta karun serta sumber daya di dalamnya, dataran, gunung, laut, sungai, ladang, padang rumput, burung, kekayaan hewani, dan nikmat lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

Kita Kaya, Tapi…!

Negara-negara kita yang luas dan membentang, tidak ada satu pun yang tidak ditemukan kaya dan penuh dengan berbagai sumber daya dan kekayaan alam yang berbeda-beda; mulai dari minyak, gas, besi, tembaga, emas, air tawar, tanah subur, dan hutan. Sumber daya ini seringkali terkonsentrasi di wilayah-wilayah Islam, seperti di Uni Soviet dan Tiongkok, apalagi di negara-negara Islam itu sendiri.

Allah Swt tidak akan menetapkan kita—kaum muslim—untuk hidup miskin, melarat, dan membutuhkan pihak lain. Bagaimana Dia menetapkan kemiskinan bagi kita, padahal di negara-negara Teluk saja terdapat lima puluh persen dari cadangan minyak dunia?

Pada saat Allah Ta’ala tidak menjadikan kemiskinan sebagai takdir dan ketetapan kita, Dia juga tidak memerintahkan kita untuk berdiam diri di sudut-sudut rumah, duduk, dan menunggu Dia memberikan segala yang kita butuhkan melalui mukjizat dan bantuan gaib. Sebaliknya, Dia memerintahkan kita untuk bergerak di seluruh penjuru bumi ini dan mencari karunia serta nikmat-Nya.

Lalu, apa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan kita, setelah jelas bagi kita bahwa kemiskinan bukanlah dari Allah Jalla Jalaluh? Dan di mana letak penyakit kemiskinan itu?

Jawabannya adalah: Penyebabnya adalah belenggu dan rantai yang membatasi tangan kita, sehingga tidak lagi mampu berinvestasi, berproduksi, dan berkreasi, serta hilangnya kebebasan ekonomi. Meskipun negara-negara kita melimpah dengan harta karun dan kekayaan, pemanfaatan dan pengambilan manfaatnya dilarang bagi penduduk dan pemiliknya. Sebagai contoh, ada tanah subur yang masih perawan memenuhi cakrawala, dan ada air tawar yang melimpah yang mampu mengubah tanah itu menjadi taman hijau yang menghasilkan buah-buahan yang baik melalui reklamasi, pembajakan, dan penanaman. Namun, ketika Anda bertekad untuk melaksanakan proyek Anda, Anda pasti akan berbenturan dengan seribu satu undang-undang yang menghalangi Anda untuk mencapai tujuan investasi ini.

Ya, undang-undang—yang lebih tepat kita sebut sebagai penghalang dan hambatan—terus mengejar harapan dan impian kita. Jika kita mencermati undang-undang ini, kita akan mendapati bahwa itu tidak lain adalah warisan kolonialisme yang menjijikkan.

Keterbelakangan dalam Bidang Pertanian

Sayangnya, pertanian di sebagian besar negara kita, yang dulunya menikmati swasembada di bidang ini, seolah mati. Tanah-tanahnya dibiarkan tandus, dan air tawar mengalir sia-sia ke laut tanpa pemanfaatan yang benar. Hingga kita harus mengemis dan meminta sedekah dari Amerika dan Eropa untuk menyediakan sedikit gandum, daging, dan kentang, setelah mereka merampok minyak dan sumber daya mineral kita. Akibatnya, ekonomi kita menjadi tawanan mata uang asing.

Di manakah kita hari ini dibandingkan masa lalu kita? Tanah Irak, yang dulunya disebut “Tanah Hitam/Irak” (Ardh al-Sawad), di mana tidak ada sepetak pun yang kosong dari pertanian dan kehijauan, kini penduduknya mati kelaparan. Padahal, tanah ini dahulu kala menjadi tempat berlindung bagi semua orang yang kelaparan di dunia ketika dilanda paceklik. Sementara itu, kini cadangan gandum di sana hanya cukup untuk dua minggu.

Jika kita mencari sebabnya, sejarah akan menceritakannya kepada kita: Ketika Inggris datang ke Mesir, mereka melarang dan memerangi penanaman gandum dan menggantinya dengan penanaman kapas untuk memasok pabrik-pabrik mereka di Inggris. Saat itu, revolusi industri sedang mencapai puncaknya, dan pabrik-pabrik sangat membutuhkan bahan baku, termasuk kapas, yang merupakan bahan baku utama dalam industri tekstil.

Sesungguhnya, sebagian besar undang-undang kolonial yang diimpor dan diterapkan di negara-negara Islam kita datang kepada kita sebagai bagian dari konspirasi Barat untuk menghancurkan ekonomi kaum muslim, menghambat proses pertumbuhan dan perkembangan mereka, bahkan untuk membuat rakyat kita kelaparan, dan meruntuhkan infrastruktur ekonomi mereka. Mereka mematikan pertanian kita dan membekali kita dengan mesin dan peralatan yang tidak penting, sehingga kita membuang waktu dalam industri perakitan.

Faktanya, jika kita melihat negara-negara yang maju secara industri, kita akan menemukan bahwa kemajuan ini hanya terjadi melalui perkembangan pertanian dan peningkatan produksi. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan oleh setiap negara berkembang adalah mengembangkan pertaniannya terlebih dahulu, mengamankan produksinya, baru kemudian beralih ke bidang industri. Salah satu penyebab yang memicu revolusi industri di dunia Barat—terutama Inggris, sebagaimana yang dilihat oleh beberapa sejarawan—adalah surplus dalam produksi pertanian yang disaksikan oleh Inggris dan negara-negara Eropa lainnya pada saat itu.

Untuk mengatasi masalah ini, mungkin kita berkata, “Baiklah; mari kita berikan hak yang semestinya kepada pertanian, tanah ini terbuka bagi siapa saja yang ingin menginvestasikannya. Selain itu, mari kita berikan kebebasan dalam industri, kita bangun pabrik, dan kita berproduksi.”

Namun, ini saja tidak cukup. Kebebasan tanpa batasan dan pengaturan tidak memadai, bahkan dalam bentuk yang serampangan ini, ia akan berubah menjadi stratifikasi yang menjijikkan. Beberapa orang akan menggunakan kelicikannya, tidak segan melakukan kejahatan apa pun, dan mereka akan membentuk blok-blok dan kelompok ekonomi khusus. Melalui formasi ini, mereka akan menghisap darah mayoritas rakyat kita yang tertindas, sehingga mereka—pada akhirnya—menjadi lebih kaya dan mewah, sementara yang tertindas tetap dalam kemiskinan dan kebutuhan mereka. Gerakan ekonomi akan menjadi dominasi kelompok borjuis besar dan kecil, kapitalisme, dan kartel atas kekayaan kita.

Kebebasan Ekonomi dan Politik Sekaligus

Kesimpulannya, kita mengakui kebutuhan mendesak akan kebebasan ekonomi. Namun, kebebasan ini tidak cukup sendirian. Harus ada kebebasan politik yang mendukung dan mengarahkan kebebasan ekonomi. Sebab, kebebasan ekonomi saja, tanpa latar belakang politik yang bertindak sebagai pengendali dan pengarahnya, tidak akan lama berubah menjadi serigala buas yang mencabik-cabik tubuh umat dan menghisap darahnya.

Batasan, pengaturan, dan manajemen yang tegas yang dilakukan oleh kekuatan politik di negara tersebut berarti mencegah penyebaran korupsi ekonomi, seperti eksploitasi, monopoli, keserakahan, kenaikan harga, suap, dan penggelapan. Apa gunanya hukum dan apa maknanya jika suap merajalela di negara tersebut, atau jika eksploitasi dan monopoli kian parah? Faktor-faktor yang melumpuhkan ekonomi negara ini akan berubah menjadi sekelompok kartel yang mendominasi, merencanakan, dan melaksanakan.

Terkait dengan kebebasan politik, kita bertanya: apakah dengan kebebasan ini segalanya akan berakhir, sehingga segala urusan berjalan normal?

Di sini kita katakan: Kebebasan politik juga tidak cukup sendirian, dan tidak mampu mencegah penyebaran faktor-faktor kerusakan ekonomi. Itu karena kebebasan politik memiliki manfaat dan kerugian. Salah satu manfaatnya adalah membuat seseorang bebas mengungkapkan dan menyatakan apa yang dia inginkan dan mempraktikkan apa yang dia sukai. Namun, salah satu kerugiannya juga adalah merusak opini publik melalui timbulnya perpecahan di antara individu, sehingga setiap orang berusaha menjatuhkan yang lain; membicarakannya dengan apa yang ada padanya, dan apa yang tidak ada padanya. Inilah akar mendasar dari masalah yang kita derita, dan kita harus berusaha keras untuk mencabutnya dengan menyebarkan budaya kenabian yang berlandaskan iman dan interaksi etis yang mulia.

Budaya Kenabian (al-Tsaqafah al-Risaliyyah); Kerangka Kebebasan

Jika kebebasan politik dibingkai oleh kerangka keimanan dan akhlak Islam yang mulia, maka kita akan mampu mengendalikan dan mengarahkan kebebasan ekonomi, yang merupakan salah satu penyebab utama pertumbuhan, kemakmuran, dan kemajuan.

Budaya kenabian adalah yang membentuk manusia yang bertakwa dan warak yang layak untuk mengemukakan pendapat dan melakukan penelitian di tingkat sosial. Dia tidak akan mengatakan sesuatu atau berpendapat kecuali setelah diuji, dipelajari, dan dipahami. Dia tidak akan melakukan tindakan kecuali setelah memahami dampaknya. Semua ini bersumber dari rasa takut dan takwa kepada Allah Swt, sehingga dia tidak mengatakan atau melakukan sesuatu dengan sia-sia.

Demikianlah, harus ada budaya kenabian yang mengarahkan arus politik dalam umat ini. Jika budaya kenabian yang jujur tersebar di kalangan umat, dan masyarakat mengetahui hak dan kewajiban mereka, serta mampu berinteraksi dengan baik dengannya, maka saat itu kebebasan politik akan bermanfaat dan berguna. Setelah itu, kebebasan ekonomi akan membuahkan hasilnya, dan umat akan makmur serta melangkah maju dalam perjalanan kemajuan.

Karena itu, kita melihat Alquran menekankan poros budaya kenabian sebagai unsur terpenting dalam proses kemajuan. Pertama-tama, akal manusia harus disucikan, tumbuh, dan terbuka. Realitas ini diisyaratkan oleh konteks Alquran dalam firman-Nya, “Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) Islam, lalu ia berada dalam cahaya dari Tuhannya, (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah bagi mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”(2)

Ketika seorang mukmin membuka hatinya dan membuatnya lapang untuk iman, maka Allah Swt akan melimpahkan ke hatinya cahaya abadi-Nya. Saat itu, pemilik hati ini akan menyadari hak-haknya dan kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan ini, baik terhadap dirinya sendiri, keluarganya, masyarakatnya, maupun umatnya.

Imam Ali Sajjad as menjelaskan dalam risalahnya yang dikenal sebagai (Risalah al-Huquq) bahwa kita memiliki hak-hak di dunia ini. Sebagai contoh, jiwa manusia, tubuhnya, dan setiap anggotanya memiliki hak yang harus dipenuhi. Jika seseorang keluar dari kerangka dirinya, dia akan dihadapkan pada hak-hak lain, seperti hak orang tua, anak-anak, istri, tetangga, lalu meluas ke teman, kerabat, dan masyarakat hingga mencakup seluruh umat. Jika seseorang menjaga dan mengamalkan hak dan kewajiban ini, ia tidak akan membutuhkan hukum eksternal untuk membingkai dan mengarahkan gerakannya dalam hidup, karena hukum sudah ada—sebelumnya—dalam diri dan hati nuraninya; yaitu, penghalang internal yang akan menggerakkannya.

Adapun orang-orang yang hatinya keras dan nuraninya mati, semua hukum tidak akan bermanfaat bagi mereka, betapapun banyak dan beragam pasalnya, selama ingatan akan Allah Jalla wa ‘Ala tidak memasuki lubuk hati mereka dan tidak merasuk ke dalam hati mereka yang mati dan keras. Kemudian, konteks Alquran yang mulia berlanjut, menegaskan kenyataan ini dengan berfirman, “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Alquran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya merinding karenanya, kemudian kulit dan hati mereka menjadi tenang sewaktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk.”(3)

Atas dasar ini, kita membutuhkan petunjuk Allah, dan masyarakat kita juga perlu mencabut akar-akar ketergantungan, keterbelakangan, perpecahan, dan semua penyakit membandel yang bersarang di masyarakat Islam kita, selama Alquran masih ada di tangan kita.

Mari kita membaca Alquran dengan bacaan yang sebenarnya, mari kita sebarkan prinsip-prinsip dan ajarannya di antara anggota masyarakat, dan mari kita ajak mereka untuk menjadi manusia-manusia Qurani. Jika kita mencapai tingkat ini, maka semua masalah kita akan teratasi. Memahami dan merenungkan Alquran berarti kita telah mengatasi masalah budaya kita; yaitu, kita telah membekali diri dengan bekal budaya kenabian yang merupakan kunci untuk mengatasi masalah dan kesulitan politik kita, dan kemudian masalah ekonomi. Dengan demikian, kita akan membangun umat yang kreatif dan inovatif yang mencintai pekerjaan yang dibingkai oleh keikhlasan, dan bersemangat untuk bergerak dan aktif.

Karena itu, kita harus mempersenjatai diri dengan senjata budaya kenabian, meninggalkan stagnasi, kemalasan, dan semangat ketergantungan. Kita harus menyerap budaya Qurani, memahaminya sepenuhnya, dan menyebarkannya di masyarakat kita agar kita dapat mengambil langkah awal dalam mengatasi masalah kita, mengubah kenyataan kita yang memburuk menuju yang lebih baik, dan pada akhirnya membawa umat kita menuju masa depan peradaban yang cerah dan makmur.(4)

Catatan Kaki:

  1. QS. Fushshilat [41]:46, hal.481.
  2. QS. al-Zumar [39]:22, hal.461.
  3. QS. al-Zumar [39]:23, hal.461.
  4. Dari kitab: Peradaban Islam—Cakrawala Dan Aspirasi (al-Hadharah al-Islamiyyah — Afaq wa Tathallu’at), Bab Ketiga: Dalam Pembangunan Peradaban.
Syafrudin mbojo

Syafrudin mbojo

Related Posts

Pengarahan Spiritual: Perspektif Islami tentang Penyucian Jiwa — Menggali Akhlak Sufistik Syekh Siti Jenar
Islam Nusantara

Pengarahan Spiritual: Perspektif Islami tentang Penyucian Jiwa — Menggali Akhlak Sufistik Syekh Siti Jenar

October 7, 2025

Dalam perjalanan spiritual manusia, setiap langkah menuju kesempurnaan tidak hanya ditandai oleh pengetahuan tentang agama, tetapi terutama oleh pengalaman batin...

Syekh Siti Jenar: Misteri, Ajaran, dan Warisan Spiritual dalam Sejarah Islam Jawa
Islam Nusantara

Syekh Siti Jenar: Misteri, Ajaran, dan Warisan Spiritual dalam Sejarah Islam Jawa

September 25, 2025

  Pendahuluan Sejarah Islam di Jawa tidak hanya dipenuhi dengan kisah Wali Songo yang dikenal sebagai penyebar Islam melalui dakwah...

Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wujudiyah di Nusantara dan Pengaruhnya Hingga Kini
Islam Nusantara

Hamzah Fansuri: Pelopor Tasawuf Wujudiyah di Nusantara dan Pengaruhnya Hingga Kini

September 9, 2025

Pendahuluan Dalam sejarah Islam Nusantara, nama Hamzah Fansuri menempati posisi penting sebagai ulama, sufi, sekaligus sastrawan. Ia dikenal sebagai tokoh...

Ilmu Slamet dalam Budaya Jawa: Antara Pandangan Kolonial dan Perspektif Ki Agus Sunyoto
Kebudayan

Ilmu Slamet dalam Budaya Jawa: Antara Pandangan Kolonial dan Perspektif Ki Agus Sunyoto

September 4, 2025

Pengantar Budaya Jawa dikenal sebagai salah satu khazanah terbesar dalam peradaban Nusantara. Di dalamnya terdapat beragam nilai, simbol, dan praktik...

Puasa Mutih dan Tradisi Tirakat dalam Budaya Nusantara
Islam Nusantara

Puasa Mutih dan Tradisi Tirakat dalam Budaya Nusantara

September 1, 2025

Pendahuluan Budaya Nusantara memiliki kekayaan spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi tersebut lahir dari perpaduan antara kepercayaan lokal,...

Kiai Saleh Darat: Ulama Visioner, Guru Para Kiai, dan Inspirasi RA Kartini
Islam Nusantara

Kiai Saleh Darat: Ulama Visioner, Guru Para Kiai, dan Inspirasi RA Kartini

August 28, 2025

Pendahuluan Sejarah Islam di Jawa tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama yang tidak hanya berdakwah, tetapi juga membangun basis...

Next Post
DAMPAK KEBERADAAN AHLULBAIT (ITRAH) AS DALAM KELANGSUNGAN ISLAM

DAMPAK KEBERADAAN AHLULBAIT (ITRAH) AS DALAM KELANGSUNGAN ISLAM

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

ICC Jakarta

Jl. Hj. Tutty Alawiyah No. 35, RT.1/RW.7, Pejaten Barat.
Pasar Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12510

Telepon: (021) 7996767
Email: iccjakarta59@gmail.com

Term & Condition

Agenda

[tribe_events_list]

HUBUNGI KAMI

Facebook
Telegram

Jadwal Salat Hari Ini

sumber : falak-abi.id
  • Lintang: -6.1756556° Bujur: 106.8405838°
    Elevasi: 10.22 mdpl
Senin, 26 Desember 2022
Fajr04:23:34   WIB
Sunrise05:38:32   WIB
Dhuhr11:53:01   WIB
Sunset18:07:31   WIB
Maghrib18:23:39   WIB
Midnight23:15:32   WIB
  • Menurut Imam Ali Khamenei, diharuskan berhati-hati dalam hal waktu salat Subuh (tidak berlaku untuk puasa) dengan menambah 6-7 menit setelah waktu diatas

© 2022 ICC - Jakarta

No Result
View All Result
  • Home
  • Profil
    • Sambutan direktur
    • Sejarah Berdiri
  • Kegiatan
    • Berita
    • Galeri
  • Artikel
    • Akhlak
    • Alquran
    • Arsip
    • Dunia Islam
    • Kebudayan
    • Pesan Wali Faqih
    • Press Release
    • Sejarah
  • Hubungi kami

© 2022 ICC - Jakarta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist