Oleh: Syekh Muhammad Taufiq Miqdad
Tidak diragukan lagi bahwa reproduksi adalah ketetapan ilahi yang dijadikan Allah sebagai jalan untuk kelangsungan hidup manusia di dunia ini, sampai Allah menetapkan suatu urusan yang pasti terlaksana. Reproduksi tidak akan terwujud kecuali melalui kelahiran generasi-generasi yang saling berkesinambungan, agar setiap generasi dapat menjalankan perannya dalam tugas memakmurkan bumi dan menyembah Allah, sebagaimana yang telah direncanakan oleh Sang Pencipta Yang Mahamulia. Ini dari satu sisi.
Di sisi lain, kehidupan adalah produk ilahi, bukan produk manusia, sehingga manusia tidak berhak untuk mengaturnya sesuka hati. Sebaliknya, tindakan manusia terhadap jiwa dan kehidupan harus sesuai dengan sistem ilahi. Oleh karena itu, dalam Alquran disebutkan ketika Rasulullah (saw) ditanya tentang ruh, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’”(1)
Karena itu, kita mendapati bahwa Allah Swt telah menjadikan hak hidup setiap manusia sebagai sesuatu yang suci. Tidak ada seorang pun yang berhak melanggarnya tanpa alasan yang benar dan tanpa adanya pembenaran syariat yang membolehkan membunuh manusia. Alasannya jelas. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah neraka Jahanam, ia kekal di dalamnya…”(2)
Dan Dia juga berfirman, “…Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka…”(3)
Dan Dia juga berfirman, “…Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya…”(4)
Poin yang layak dibahas di sini adalah: Dari mana hak hidup manusia dimulai? Apakah dimulai sejak pembuahan di rahim ibunya? Atau dimulai sejak masuknya ruh saat ia berada di rahim? Atau dimulai dari saat ia keluar hidup-hidup ke dunia?
Tiga kemungkinan ini adalah satu-satunya yang ada dan menjadi bahan diskusi di antara para psikolog, sosiolog, dan juga di kalangan non-muslim, di mana masalah ini menjadi perdebatan besar. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hak hidup dimulai sejak pembuahan, sehingga mereka mengharamkan aborsi dalam kondisi ini karena dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak hidup janin yang telah dibuahi. Sebagian lain berpendapat bahwa hak hidup dimulai sejak masuknya ruh, sehingga menurut mereka aborsi diperbolehkan sebelum tahap itu. Namun, setelahnya tidak diperbolehkan karena sudah bukan lagi hal yang berada di bawah otoritas manusia. Adapun setelah kelahiran, hak hidup diakui oleh semua orang dan tidak ada yang membolehkan membunuh bayi yang baru lahir karena itu adalah kejahatan dalam arti kata yang sesungguhnya.
Sebelum menjelaskan pandangan Islam mengenai masalah ini, kita harus merenungkan tahap-tahap yang dilalui manusia sebelum kelahirannya. Di sini, kita kembali kepada Alquran, di mana ia menjelaskan tahap-tahap tersebut secara berurutan dan alami dalam pembentukan janin. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah liat. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.”(5)
Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa setelah dibuahi, nuthfah (air mani) menjadi awal mula penciptaan manusia, yang setelah beralih dari satu tahap ke tahap lain hingga tubuhnya sempurna, ruh masuk ke dalamnya, sebagaimana disebutkan dalam sumber-sumber kami. Umumnya, ini terjadi pada usia 120 hari, kecuali jika ada pengetahuan bahwa ruh telah masuk sebelumnya, seperti yang kadang terjadi.
Tidak diragukan lagi, ketika Allah Swt menjelaskan berbagai tahap penciptaan manusia saat masih di rahim ibunya, tujuannya adalah untuk menunjukkan betapa besarnya perhatian-Nya terhadap makhluk ini yang Dia unggulkan di atas banyak makhluk lain. Ini juga untuk menjelaskan kepada kita bahwa proses penciptaan manusia bukanlah masalah biasa, melainkan sangat penting dan rumit, serta mengandung keajaiban ilahi yang luar biasa yang hanya dapat dilakukan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi manusia untuk menempatkan dirinya di posisi Sang Pencipta untuk menentukan pada tahap mana manusia berhak untuk menjaga hidupnya. Sebab, manusia bukanlah yang menciptakan nuthfah; Allah-lah yang menciptakannya dan menjadikannya dalam diri manusia. Manusia tidak mengendalikannya dan tidak memiliki keputusan untuk mencegahnya dari melewati tahap-tahap tersebut untuk menjadi manusia. Ini berarti, dari perspektif ilahi dan Islam, hak hidup manusia dimulai sejak pembuahan dan terjadi pembuahan dengan air mani laki-laki. Sejak saat itu, manusia tidak lagi berhak untuk bertindak sewenang-wenang terhadap hak nuthfah yang telah dibuahi itu untuk berubah menjadi janin yang akan dimasuki ruh, kemudian keluar ke dunia untuk menikmati hidup seperti manusia lainnya.
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa aborsi adalah haram sejak saat pembuahan, dan tidak ada hak bagi siapa pun untuk merampas hak hidup dari nuthfah tersebut, karena setelah pembuahannya, ia tidak lagi berada di bawah kendali manusia dan tidak lagi menjadi miliknya. Sebaliknya, itu adalah milik Allah, dan ia adalah amanah di dalam rahim wanita yang harus dijaga. Bahkan, ia wajib menjaganya dan tidak melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan kegugurannya secara sengaja.
Selain keharaman aborsi, kita mendapati bahwa Islam telah menetapkan denda (diyah) syariat bagi siapa pun yang menggugurkan janin sebelum kelahirannya. Denda ini berbeda-beda sesuai dengan tahap pembentukan janin, sebagai berikut, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama terkemuka:
- Nutfah (Air Mani): Dua puluh dinar emas.
- Alaqah (Segumpal Darah): Empat puluh dinar emas.
- Mudghah (Segumpal Daging): Enam puluh dinar emas.
- Izham (Tulang): Delapan puluh dinar emas.
- Janin sempurna sebelum masuknya ruh: 100 dinar emas.
- Setelah masuknya ruh: Denda penuh, seperti denda membunuh manusia lain secara syariat.
Jadi, pada dasarnya, aborsi adalah haram secara mutlak, baik ruh sudah masuk atau belum. Namun, ada beberapa kasus pengecualian yang langka dan jarang terjadi di mana ibu diizinkan untuk menggugurkan janin, tetapi hanya sebelum masuknya ruh. Ini terjadi secara eksklusif dalam kasus-kasus berikut:
- Pertama, jika janin, sebelum masuknya ruh, membahayakan nyawa ibu karena suatu alasan, maka aborsi diizinkan untuk menyelamatkan nyawa ibu.
- Kedua, jika kelangsungan kehamilan sebelum masuknya ruh menyebabkan rasa sakit yang luar biasa pada wanita dan kelanjutan kehamilan sangat kritis baginya, yang dapat menyebabkan penyakit serius yang tidak biasa, maka dalam kasus ini juga dia boleh menggugurkannya, dan tidak ada larangan syariat.
Adapun setelah masuknya ruh, aborsi secara pasti haram berdasarkan prinsip yang telah kami sebutkan, kecuali dalam kasus yang sangat jarang, yaitu hanya dalam satu kondisi berikut: (Jika kelangsungan hidup janin yang telah dimasuki ruh membahayakan nyawanya dan juga nyawa ibunya, dan tidak mungkin untuk menyelamatkan janin dalam kondisi apa pun, maka dilemanya adalah apakah dua nyawa harus mati atau satu nyawa saja yang mati. Dalam hal ini, aborsi janin diizinkan karena kerugiannya dapat digantikan dengan kehamilan ibu yang lain, sedangkan kematian salah satunya, yaitu janin, adalah pasti, sementara ibu dapat diselamatkan dengan aborsi janin).
Adapun aborsi dalam kasus-kasus selain yang disebutkan ini, hukumnya pasti haram, seperti dalam kasus kondisi ekonomi yang buruk dan ketidakmampuan untuk menafkahi keluarga dan anak-anak, atau dalam kasus kelainan bentuk pada janin saat masih di rahim ibu, atau jika wanita hamil dan janinnya adalah hasil zina, baik secara sukarela atau karena pemerkosaan, atau dalam kasus di mana wanita membutuhkan perawatan medis, dan kehamilan menghambat perawatan tersebut, tetapi tidak ada bahaya bagi nyawa ibu dan ruh belum masuk ke dalam janin, sehingga masih bisa menunggu sampai setelah melahirkan dengan jenis perawatan yang dapat meringankan rasa sakit ibu sambil kehamilan tetap berlanjut.
Setelah semua penjelasan itu, ada baiknya kita merujuk pada fatwa-fatwa dari Pemimpin Tertinggi, Imam Khamenei “semoga Allah melanggengkan naungannya” dalam bidang ini. Saya akan memilih beberapa di antaranya sebagai berikut:
Soal 180: Apakah aborsi diperbolehkan karena masalah ekonomi?
Jawab: Tidak diperbolehkan menggugurkan janin hanya karena adanya kesulitan dan masalah ekonomi.
Soal 182: Para dokter spesialis, dengan menggunakan metode dan peralatan modern, dapat mendeteksi banyak kekurangan pada janin selama kehamilan. Mengingat kesulitan yang dialami oleh anak-anak cacat setelah lahir, apakah diperbolehkan menggugurkan janin yang menurut dokter spesialis terpercaya memiliki cacat? Dan apakah ada batasan usia tertentu dalam hal ini?
Jawab: Aborsi tidak diperbolehkan pada usia kehamilan berapa pun hanya karena janin memiliki cacat atau karena kesulitan yang akan ia hadapi dalam hidupnya.
Soal 188: Jika seorang wanita hamil terpaksa harus menjalani pengobatan gusi atau gigi, dan menurut diagnosis dokter spesialis ia memerlukan operasi, apakah ia boleh menggugurkan janinnya? Mengingat janin di rahim akan mengalami kekurangan akibat kemacetan dan paparan sinar-X?
Jawab: Alasan yang disebutkan tidak membolehkan aborsi janin.
Soal 190: Apakah diperbolehkan menggugurkan janin yang terbentuk dari hubungan seksual yang salah paham (syubhat) dengan orang non-muslim atau dari perzinaan?
Jawab: Tidak diperbolehkan.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.(6)
Catatan Kaki:
- al-Isra’ [17]:85, hal.290.
- al-Nisa’ (4]:93, hal.93.
- al-An’am [6]:151, hal.148.
- al-Maidah [5]:32, hal.113.
- al-Mukminun [23]:12-14, hal.342.
- Dikutip dari situs Sabil al-Salam milik Syekh Muhammad al-Tawfiq al-Miqdad, semoga Allah melindunginya.