ICC Jakarta kembali menggelar Kelas Tafsir Al-Qur’an Tartibi sebagai bagian dari agenda mingguan pada Jumat, 15 Agustus 2025, pukul 14.00 WIB di Aula ICC Jakarta. Kajian ini akan dipandu oleh Syaikh Mohammad Sharifani, Direktur ICC.
Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas ayat kedua Surah Al-Baqarah terkait sifat Al-Qur’an, disertai penjelasan mengenai empat pembagian umat manusia: Muslim, Mukmin, Munafik, dan Kafir. Beberapa ciri orang beriman juga telah diuraikan, antara lain menegakkan salat, berinfak, beriman kepada Allah SWT, beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya, beriman kepada hari akhir, beribadah hanya kepada Allah SWT, serta mendapatkan kemenangan dari-Nya.
Dalam pertemuan kali ini, pembahasan dilanjutkan pada ciri-ciri orang kafir, yaitu mereka yang tidak beriman kepada Allah SWT dan tidak memiliki keyakinan terhadap amal perbuatan yang dilakukan.
Syaikh Mohammad Sharifani memaparkan bahwa pada Surah Al-Baqarah ayat 6, Allah berfirman:
Innal-ladzîna kafarû sawâ’un ‘alaihim a-andzartahum am lam tundzir-hum lâ yu’minûn.
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, apakah engkau beri peringatan atau tidak, mereka tidak akan beriman.
Kata kafarû secara bahasa berarti “menutupi” hakikat atau kebenaran. Dalam bahasa Arab, malam disebut kafir karena menutupi cahaya. Begitu pula, kekafiran berarti menutupi kebenaran dengan sesuatu yang salah.
Allah menyebutkan bahwa peringatan tidak berpengaruh bagi mereka (sawâ’un ‘alaihim), karena mereka telah bersikap memusuhi agama Allah dan menutup pintu hati mereka.
Selanjutnya, pada Surah Al-Baqarah ayat 7, dijelaskan:
Khatamallâhu ‘alâ qulûbihim wa ‘alâ sam‘ihim, wa ‘alâ abshârihim ghisyâwah.
Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup.
Syaikh Sharifani menjelaskan, penggunaan kata khatama (mengunci) pada hati menunjukkan bahwa hati mereka tertutup rapat dari menerima kebenaran. Sedangkan ghisyâwah (penutup) pada penglihatan dan pendengaran merupakan penghalang yang bersifat lahiriah namun tebal, sehingga tidak ada lagi peluang bagi cahaya kebenaran untuk masuk.
Penyegelan hati ini tidak terjadi tanpa sebab. Menurut ayat-ayat lain, Allah menutup hati manusia karena kekafiran mereka, penolakan terhadap ayat-ayat Ilahi, serta kesombongan terhadap Allah SWT. Hati yang buruk adalah hati yang dipenuhi penyakit, cinta berlebihan kepada dunia, lupa kepada kebenaran, lalai mengingat Allah, dan tidak mensyukuri nikmat-Nya. Sebaliknya, hati yang baik adalah hati yang berserah diri, selalu mengingat Allah, dan senantiasa menuju kepada-Nya.
Pembahasan kemudian berlanjut pada ciri-ciri orang munafik. Pada Surah Al-Baqarah ayat 8, Allah berfirman:
Wa minan-nâsi may yaqûlu âmannâ billâhi wa bil-yaumil-âkhiri wa mâ hum bimu’minîn.
Di antara manusia ada yang berkata: “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir,” padahal mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.
Orang munafik secara lahiriah menampakkan keimanan, namun batinnya mengingkari. Pada ayat berikutnya (ayat 9), disebutkan:
Yukhâdi‘ûnallâha walladzîna âmanû wa mâ yakhda‘ûna illâ anfusahum wa mâ yasy‘urûn.
Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman; padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.
Kata khâdi‘ûn berarti terbiasa menyembunyikan hakikat, sedangkan yasy‘urûn berasal dari kata syu’ûr yang bermakna perasaan atau kesadaran terhadap hal-hal kecil. Orang munafik tidak memiliki kepekaan terhadap kebenaran, bahkan pada perkara detail sekalipun.
Ciri berikutnya pada ayat 10 adalah:
Fî qulûbihim maradlun fa zâdahumullâhu maradlâ wa lahum ‘adzâbun alîm bimâ kânû yakdzibûn.
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya, dan bagi mereka azab yang pedih karena mereka berdusta.
Syaikh Sharifani menekankan bahwa “penyakit” di sini adalah kondisi spiritual yang dibiarkan tanpa upaya penyembuhan. Sebagaimana kebiasaan baik akan dimudahkan Allah, kebiasaan buruk pun akan dipermudah menuju kehancuran. Karena itu, azab bagi orang munafik disebut ‘adzâbun alîm (azab yang pedih) — lebih berat daripada ‘adzâbun ‘azhîm bagi orang kafir, sebab kemunafikan merupakan kejahatan batin yang lebih dalam.
Pada ayat 11-12, ciri lainnya adalah mengaku sebagai pembuat perbaikan, padahal justru menimbulkan kerusakan:
Wa idzâ qîla lahum lâ tufsidû fil-ardli qâlû innamâ naḥnu mushliḥûn. Alâ innahum humul-mufsidûna wa lâkin lâ yasy‘urûn.
Apabila dikatakan kepada mereka: “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka berkata: “Sesungguhnya kami hanya membuat perbaikan.” Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.
Di sini, Al-Qur’an menggunakan lima penekanan untuk menegaskan bahwa mereka benar-benar pelaku kerusakan: penggunaan kata alâ, inna, dua kali kata ganti hum, dan alif-lam pada al-mufsidûn.
Melalui rangkaian ayat ini, Syaikh Mohammad Sharifani mengajak jamaah untuk memahami tanda-tanda kekafiran dan kemunafikan, agar dapat menghindarinya serta menjaga hati tetap bersih dari penyakit spiritual. Kajian diakhiri dengan sesi tanya jawab yang membahas berbagai persoalan seputar tafsir Kelas Tafsir Al-Qur’an Tartibi akan kembali digelar pada Jumat, 22 Agustus 2025, di Aula ICC Jakarta. Jamaah dan masyarakat umum diundang untuk hadir dan melanjutkan pendalaman makna ayat-ayat suci Al-Qur’an bersama.