Kelas Tafsir Maudhu‘i Islamic Cultural Centre (ICC) Jakarta pada Kamis, 16 Oktober 2025 menghadirkan Syaikh Mohammad Sharifani sebagai pembicara dengan penerjemahan oleh Ustaz Hafidh Alkaf. Kajian kali ini berfokus pada tema kesombongan (al-kibr) — salah satu sifat tercela yang menyebabkan kejatuhan Iblis dan menjadi sumber berbagai penyakit hati dalam diri manusia.
Syaikh Mohammad Sharifani membuka kajian dengan menjelaskan bahwa kesombongan adalah sifat yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa’ ayat 36:
wa‘budullâha wa lâ tusyrikû bihî syai’aw wa bil-wâlidaini iḫsânaw wa bidzil-qurbâ wal-yatâmâ wal-masâkîni wal-jâri dzil-qurbâ wal-jâril-junubi wash-shâḫibi bil-jambi wabnis-sabîli wa mâ malakat aimânukum, innallâha lâ yuḫibbu mang kâna mukhtâlan fakhûrâ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”
Beliau menekankan bahwa orang-orang yang disebut dalam ayat ini — seperti anak yatim dan orang miskin — merupakan golongan lemah dalam masyarakat. Perintah untuk memperhatikan mereka sekaligus mengandung larangan untuk bersikap sombong. Kesombongan, yang dalam bahasa Arab disebut kibr, biasanya diawali dengan ‘ujub, yaitu rasa bangga terhadap diri sendiri yang muncul dari khayalan atau angan-angan. Ketika kebanggaan itu tumbuh, seseorang mulai menganggap orang lain rendah.
Hal ini dijelaskan dalam Surah Hud ayat 10–11:
wa la’in adzaqnâhu na‘mâ’a ba‘da dlarrâ’a massat-hu layaqûlanna dzahabas-sayyi’âtu ‘annî, innahû lafariḫun fakhûr. illalladzîna shabarû wa ‘amilush-shâliḫât, ulâ’ika lahum maghfiratuw wa ajrung kabîr.
“Sungguh, jika Kami cicipkan kepadanya suatu nikmat setelah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, ‘Telah hilang keburukan itu dariku.’ Sesungguhnya dia sangat gembira lagi sangat membanggakan diri. Kecuali orang-orang yang sabar dan beramal saleh; bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa kenikmatan sering kali membuat manusia lupa kepada Allah SWT dan berbangga atas apa yang dimilikinya. Padahal, orang yang sabar dan tetap beramal saleh justru mendapat ampunan dan pahala besar.
Dalam Surah At-Takatsur, Allah berfirman:
al-hâkumut-takâtsur, ḫattâ zurtumul-maqâbir, kallâ saufa ta‘lamûn…
“Berbangga-bangga dalam memperbanyak (dunia) telah melalaikanmu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu).”
Dahulu, orang Arab berbangga atas kabilah dan keturunannya, tetapi sifat itu melalaikan mereka dari akhirat. Orang yang saling berbangga di dunia, kata beliau, adalah orang yang kelak akan melihat neraka Jahim.
Beliau kemudian menyampaikan beberapa riwayat. Dalam hadis dari Imam Musa al-Kazhim a.s., disebutkan bahwa sebaik-baik hal yang bisa dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah — selain mengenal-Nya — adalah salat, berbakti kepada kedua orang tua, meninggalkan iri hati, berbangga diri, dan kesombongan.
Dalam riwayat lain dari Rasulullah saw., disebutkan: “Barang siapa berjalan di bumi ini dengan kesombongan, maka bumi, yang di atasnya dan yang di bawahnya, serta semua makhluk akan melaknatnya.” Artinya, seluruh alam melaknat orang yang sombong.
Syaikh Mohammad Sharifani juga mengutip riwayat dari Imam Ja‘far al-Shadiq a.s.: “Sebaik-baik pakaian yang kamu kenakan adalah yang tidak membuatmu lalai dari Allah, bahkan mendekatkanmu kepada dzikir, bersyukur, dan taat kepada-Nya. Janganlah pakaian itu menjadikanmu berbangga, riya, atau sombong.”
Kesombongan, kata beliau, termasuk bencana agama yang dapat mengeraskan hati manusia.
Dalam wasiat Rasulullah saw. kepada Imam Ali a.s., beliau bersabda: “Wahai Ali, siapa yang menuntut ilmu untuk berbangga diri di hadapan orang bodoh, atau untuk mendebat ulama, atau berharap orang-orang mengikuti dirinya, maka tempatnya di neraka.” Menuntut ilmu harus diniatkan untuk mendapatkan keridaan Allah dan pengabdian kepada makhluk-Nya.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Segala sesuatu memiliki bencananya: bencana pembicaraan adalah kebohongan, bencana ilmu adalah lupa, bencana ibadah adalah merasa lemah, bencana kedermawanan adalah mengungkit pemberian, bencana keberanian adalah kezaliman, dan bencana kecantikan adalah kesombongan.”
Kesombongan, lanjut beliau, bisa masuk ke dalam diri manusia karena adanya unsur syirik. Dalam ayat wa‘budullâha wa lâ tusyrikû bihî syai’aw, orang yang sombong seakan-akan menganggap ada sesuatu selain Allah yang memiliki kekuasaan atas dirinya. Untuk menghilangkan kesombongan, seseorang harus menjauhkan diri dari segala bentuk kesyirikan.
Hal lain yang menumbuhkan kesombongan adalah berbangga terhadap orang lain, sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa’ ayat 37–38:
(Yaitu) orang-orang yang kikir, menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir azab yang menghinakan. Dan (Allah juga tidak menyukai) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang (lain) dan tidak beriman kepada Allah serta hari akhir. Siapa yang menjadikan setan sebagai temannya, maka dia adalah seburuk-buruk teman.”
Kesombongan juga bisa timbul karena kebodohan, sebagaimana dalam Surah At-Takatsur:
kallâ lau ta‘lamûna ‘ilmal-yaqîn, latarawunnal-jaḥîm
“Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat (neraka) Jahim.”
Penyebab lainnya adalah kelimpahan nikmat, sebagaimana dalam Surah Saba’ ayat 35:
wa qâlû naḥnu aktsaru amwâlaw wa aulâdaw wa mâ naḥnu bimu‘adzdzabîn
“Mereka berkata, ‘Kami memiliki lebih banyak harta dan anak, dan kami tidak akan diazab.’”
Ayat ini menunjukkan bahwa kesombongan sering muncul karena manusia tertipu oleh banyaknya nikmat dunia.
Allah juga memberikan perumpamaan dalam Surah Al-Kahf ayat 32–35 tentang dua pemilik kebun:
wa dakhala jannatahû wa huwa dhâlimul linafsih, qâla mâ adhunnu an tabîda hâdzihî abadâ
“Dia memasuki kebunnya dengan sikap menzalimi dirinya sendiri (karena angkuh dan kufur). Dia berkata, ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya.’”
Kesombongan telah menutup pandangan manusia dari hakikat kefanaan nikmat dunia.
Dalam Surah Al-Hadid ayat 23, Allah berfirman:
likai lâ ta’sau ‘alâ mâ fâtakum wa lâ tafraḫû bimâ âtâkum, wallâhu lâ yuḥibbu kulla mukhtâlin fakhûr
“(Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih atas apa yang luput darimu dan tidak terlalu gembira atas apa yang diberikan kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Ayat ini sekaligus menggambarkan makna zuhud: tidak sedih karena kehilangan dunia, dan tidak berlebihan dalam kegembiraan atas apa yang dimiliki.
Terakhir, beliau menjelaskan bahwa kesombongan juga dapat timbul karena tertipu oleh kehidupan dunia, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Hadid ayat 20:
i‘lamû annamal-ḥayâtud-dun-yâ la‘ibuw wa lahwuw wa zînatuw wa tafâkhurum bainakum wa takâtsurun fil-amwâli wal-aulâd…
“Kehidupan dunia hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, saling bermegah-megahan, dan berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya seperti) hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering, kamu lihat menguning, kemudian hancur.”
Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa ayat ini menggambarkan lima fase kehidupan manusia di dunia: masa kanak-kanak (0–10 tahun) diwarnai permainan, masa remaja (10–20 tahun) oleh hura-hura, masa dewasa (20–30 tahun) dengan berhias diri, masa paruh baya (30–40 tahun) dengan saling berbangga diri, dan masa selanjutnya (40 tahun ke atas) dengan berbangga atas kelimpahan nikmat dan keturunan.
Semua fase ini, jika tidak diarahkan dengan kesadaran tauhid, hanya akan menjerumuskan manusia ke dalam kesombongan duniawi yang memperdaya. Sebagaimana penutup ayat tersebut:
“Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.”