ICC Jakarta kembali menyelenggarakan program mingguan Kelas Tafsir Qur’an Maudhu’i pada Kamis malam, 14 Agustus 2025, di Aula ICC Jakarta, bersama Syaikh Mohammad Sharifani (Direktur ICC). Pertemuan ini merupakan malam kedua dari seri tafsir tematik. Di awal pemaparan, Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan dua pendekatan tafsir—tartibi (berurutan) dan maudhu’i (tematik)—seraya menekankan bahwa topik malam ini adalah ikhlas sebagai prinsip yang menentukan kualitas amal seorang mukmin.
Beliau menerangkan, ikhlas berasal dari kata khulush (murni). Dalam praktiknya, ikhlas berarti memurnikan niat dan perbuatan hanya untuk Allah SWT. Pada tataran personal, ada dua istilah penting: mukhlis (orang yang mengupayakan pemurnian amal dari syirik dan riya) dan mukhlas (hamba yang disucikan oleh Allah sehingga tiada yang tersisa dalam hatinya selain-Nya). Perbedaan ini ditegaskan Al-Qur’an ketika Iblis mengakui ketidakberdayaannya terhadap hamba yang mukhlas:
qâla fa bi‘izzatika la’ughwiyannahum ajma‘în. illâ ‘ibâdaka min-humul-mukhlashîn — “(Iblis) berkata, ‘Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (mukhlas) di antara mereka.’” (Shad: 82–83)
Untuk menimbang kokohnya amal, Syaikh Mohammad Sharifani merujuk At-Taubah: 109 sebagai perumpamaan bahwa bangunan (amal) yang diletakkan di atas takwa dan keridaan Allah akan tegak, sedangkan bangunan di tepi jurang rapuh akan runtuh:
a fa man assasa bunyânahû ‘alâ taqwâ minallâhi wa ridlwânin khairun am man assasa bunyânahû ‘alâ syafâ jurufin hârin fanhâra bihî fî nâri jahannam — “Apakah orang yang mendirikan bangunannya atas dasar takwa dan rida Allah lebih baik daripada yang mendirikannya di tepi jurang yang nyaris runtuh…?”
Beliau kemudian menyinggung mandat kenabian untuk menjelaskan Al-Qur’an melalui An-Nahl: 44 — “wa anzalnâ ilaikadz-dzikra litubayyina lin-nâsi” — seraya menambahkan bahwa di antara sekian banyak ayat, terdapat sekitar 300 ayat yang diawali perintah “qul” (katakanlah), dan sekitar 10 ayat memuat frasa “umirtu” (aku diperintahkan). Menurut beliau, corak ini menunjukkan urgensi tema yang ditegaskan. Contoh yang diangkat adalah Al-An‘am: 162–163:
qul inna shalâtî wa nusukî wa maḥyâya wa mamâtî lillâhi rabbil-‘âlamîn, lâ syarîka lah, wa bidzâlika umirtu wa anâ awwalul-muslimîn — “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah yang pertama berserah diri.”
Masih terkait bimbingan praktis, Syaikh Mohammad Sharifani menggarisbawahi Al-Isra’: 80 sebagai doa yang Allah ajarkan untuk dimohonkan, dan termasuk baik dibaca di qunut:
“wa qur rabbi adkhilnî mudkhala shidqiw wa akhrijnî mukhraja shidqiw waj‘al lî mil ladunka sulthânan nashîrâ.”
Doa ini mencakup permohonan keikhlasan (masuk dan keluar “dengan cara yang benar”) sekaligus kekuatan penolong yang semata bersumber dari Allah—menjadi fondasi etika ikhlas dalam tindakan.
Memasuki bahasan riwayat, beliau menyampaikan hadis Imam Shadiq a.s.: Allah menganugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW inti dari seluruh syariat para nabi ulul azmi: tauhid, ikhlas, penafian sekutu bagi Allah, fitrah, agama yang lurus, dan agama yang mudah. Dalam riwayat lain, Imam Shadiq a.s. menekankan menuntut ilmu yang disertai amal, dan amal itu tidak sah tanpa keikhlasan. Karena itu umat dianjurkan berdoa agar dilindungi dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Sebagai ilustrasi, Syaikh Mohammad Sharifani menyinggung karya para ulama—di antaranya Syahid Murtadha Muthahhari—yang terus dicetak dan memberi hidayah bagi banyak orang; hal ini, menurut beliau, menunjukkan buah keikhlasan dalam penulisan dan pengajaran. Di lapangan amal, pekerjaan yang dilakukan karena Allah biasanya lebih cepat mencapai tujuan dan berbuah baik, sedangkan amal yang dilandasi riya kerap lambat dan kurang berkualitas hasilnya.
Soal mengapa orang tergelincir dari ikhlas, beliau mengutip penjelasan Imam Shadiq a.s. bahwa antara iman dan kekafiran hanya dibatasi kebodohan (akal yang pendek): ketika seorang hamba menautkan harapan pada makhluk (untuk dipuji atau keuntungan duniawi), ia membuka celah bagi riya; sebaliknya, jika harapan ditambatkan hanya kepada Allah, pertolongan-Nya datang lebih cepat dari yang disangka—itulah buah ikhlas.
Di penutup, Syaikh Mohammad Sharifani menyampaikan riwayat Imam Shadiq a.s.: pemberi nasihat yang tidak mengamalkan atau tidak ikhlas ibarat orang tidur—tidak mampu membangunkan orang lain. Maka nasihat yang baik harus bertumpu pada dua hal: kebenaran dalam ucapan dan keikhlasan dalam perbuatan.
Kelas Tafsir Qur’an Maudhu’i ini merupakan agenda rutin setiap Kamis malam di Aula ICC Jakarta, dan akan berlanjut pada pertemuan berikutnya dengan tema tematik lainnya.