ICC Jakarta menyelenggarakan Kelas Tafsir Qur’an Tartîbî pada Jumat, 22 Agustus 2025 di Aula ICC Jakarta bersama Syaikh Mohammad Sharifani (Direktur ICC) dengan tema Karakteristik Orang-orang Munafik. Pada pertemuan sebelumnya telah dibahas empat kategorisasi manusia menurut Al-Qur’an: pertama orang-orang bertakwa, kedua orang-orang mukmin, ketiga orang-orang kafir, dan keempat orang-orang munafik. Hari ini kajian difokuskan pada karakteristik orang-orang munafik, yang ciri utamanya berpura-pura beriman padahal sebenarnya tidak.
Di antara ciri-ciri lain yang disinggung adalah kecenderungan mereka mengklaim diri sebagai musliḥûn — orang yang mengajak kepada kebenaran. Sebagaimana firman Allah: innamâ naḫnu mushliḥûn (Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan). (Al-Baqarah: 11). Namun Allah menegaskan sikap berbeda terhadap mereka pada ayat berikut: alâ innahum humul-mufsidûna wa lâkil lâ yasy‘urûn (Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari). (Al-Baqarah: 12). Dalam penjelasannya, Syaikh Mohammad Sharifani menyorot penggunaan kata alâ dan hum sebagai bentuk penekanan ilahi terhadap sikap dan perilaku kemunafikan.
Al-Qur’an menggambarkan pula bagaimana orang-orang munafik menempatkan diri sebagai terdidik dan cerdas, sementara memandang orang mukmin sebagai bodoh atau ṣafīḥ. Firman Allah: wa idzâ qîla lahum âminû kamâ âmanan-nâsu qâlû a nu’minu kamâ âmanas-sufahâ’ (Apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman,” mereka menjawab: “Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang bodoh itu beriman?”). (Al-Baqarah: 13). Allah menegaskan kembali: alâ innahum humus-sufahâ’u wa lâkil lâ ya‘lamûn (Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu). (Al-Baqarah: 13). Pengulangan alâ di sini menurut Syaikh Mohammad Sharifani berfungsi sebagai penekanan atas kebodohan yang sesungguhnya ada pada pihak penuduh.
Dari bacaan ayat tersebut, Syaikh Mohammad Sharifani menurunkan empat konsep kunci yang perlu dipahami: pertama istilah ‘ālim (orang yang mengetahui) yang berlawanan dengan jāhil (bodoh); kedua ‘āqil (orang yang berakal) yang berlawanan dengan majnūn (gila); ketiga rāshid (orang yang berada di jalan kebenaran) yang berlawanan dengan ṣafīḥ. Rāshid berada di atas ‘ālim dan ‘āqil, karena tidak hanya mengetahui dan cerdas tetapi juga berada di jalan kebenaran. Ketika orang-orang munafik menuduh orang mukmin sebagai ṣafīḥ (lawan dari rāshid), Allah justru menegaskan bahwa yang ṣafīḥ adalah orang-orang munafik itu sendiri, karena mereka gagal memahami hal-hal ghaib dan tidak menjalankan kecerdasan spiritual yang dimiliki orang mukmin.
Sifat bermuka dua menjadi ciri berikutnya yang diuraikan. Allah berfirman: wa idzâ laqulladzîna âmanû qâlû âmannâ, wa idzâ khalau ilâ syayâthînihim qâlû innâ ma‘akum innamâ naḫnu mustahzi’ûn (Apabila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka berkata: “Kami telah beriman.” Akan tetapi apabila mereka menyendiri dengan pemimpin-pemimpin mereka, mereka berkata: “Sesungguhnya kami bersama kamu; kami hanyalah pengolok-olok.”). (Al-Baqarah: 14).
Allah menjawab sikap bermuka dua itu dengan ketetapan: Allâhu yastahzi’u bihim wa yamudduhum fî thughyânihim ya‘mahûn — Allah akan memperolok-olokkan mereka, membiarkan mereka tenggelam dalam kesesatan, dan menggambarkan mereka sebagai orang-orang yang buta, tidak mengetahui baik dan buruk. (Al-Baqarah: 15). Syaikh Mohammad Sharifani menjelaskan bahwa frasa yastahzi’u bihim dapat dipahami dalam dua lapis makna: secara kiasan (mis. menjawab mereka menggunakan kata-kata sendiri sebagai cermin) dan sebagai bentuk pembalasan Allah yang bukan penipuan tetapi konsekuensi atas perilaku mereka; selanjutnya yamudduhum fî thughyânihim berarti dibiarkan dalam kesesatan, dan ya‘mahûn menggambarkan kebutaan moral mereka terhadap hakikat kebaikan.
Ayat selanjutnya menggambarkan transaksi merugikan yang dilakukan orang munafik: ulâ’ikalladzînasytarawudl-dlalâlata bil-hudâ — “Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk.” (Al-Baqarah: 16). Frasa ini diikuti: fa mâ rabiḫat tijâratuhum — “Maka, tidaklah beruntung perniagaannya.” (Al-Baqarah: 16). Syaikh Mohammad Sharifani menekankan dimensi bahasa Al-Qur’an yang kaya makna: kata belanja pada ayat ini memberi ruang pembacaan ganda — bisa dibaca sebagai “menjual petunjuk dan membeli kesesatan” ataupun “membeli kesesatan dengan petunjuk” — keduanya menegaskan kerugian hakiki pihak munafik.
Dalam kaitan ini Syeikh Mohammad Sharifani merujuk pada penjelasan bahwa Allah bukanlah penipu atau pencemooh yang zhalim; sebaliknya pernyataan Al-Qur’an tentang “tidak beruntungnya perdagangan” menjadi metafora moral. Ia juga menyebut ada riwayat dari Imam Ridha as. yang menjelaskan sifat-sifat Allah bahwa Allah tidak menipu, mengolok-olok, dan tidak melakukan perbuatan buruk. Selain itu disebutkan pula sebuah hadis dari Imam Ali as. yang menyatakan tidak ada perdagangan yang memberi keuntungan sebagaimana amal baik; orang-orang munafik, sebagaimana disinggung ayat-ayat, adalah mereka yang tidak memahami perdagangan sejati sehingga merugi. Dalam hal ini — sebagaimana Syeikh Mohammad Sharifani tekankan — orang mukmin ibarat “membeli dirinya” dengan amal baik dan memperoleh keuntungan hakiki; orang munafik ibarat “menjual dirinya” dan akhirnya merugi.